Filsuf asal Inggris, John Locke (1632-1704) lebih sering dibicarakan sebagai penganut empirisme. Akhirnya pembicaraan tentang pemikiran Locke hanya seputar teori tabula rasa, pengalaman sebagai sumber pengetahuan, jenis-jenis pengetahuan, atau seputar konsep sensasi sebagai cara manusia menghasilkan ide. Padahal, akan lebih menarik jika pembahasan mengenai Locke mengikutsertakan konsepsi realismenya mengenai dunia.
Hal tersebut penting agar kita tidak menyeret Locke dalam kubangan idealisme, dengan terus mengulang-ulangi tesisnya tentang aspek subjektif sensasi dalam mengenali dunia eksternal. Sebab hal tersebut hanya menyamarkan aspek realis dari pemikiran empirismenya. Kondisi demikian membuat Locke nyaris tak bisa dibedakan dengan Uskup George Berkeley, misalnya, yang memegang prinsip esse est percipi: yang ada adalah yang dipersepsi. Artinya, sesuatu yang tak dipersepsi sama dengan tidak ada.
Realisme adalah aliran filsafat yang bertentangan dengan prinsip idealistik Berkeley tersebut. Tesis utama realisme adalah mengakui keberadaan realitas objektif yang bersifat independen di luar pikiran, mengakui objek pada dirinya yang tidak terikat pada kesadaran. Pandangan seperti itu sangat kental dalam filsafat Locke, dan bisa kita jumpai dalam masterpiece-nya berjudul An Essay Concerning Human Understanding. Artikel ini akan fokus menelisik pandangan realis Locke mengenai dunia, yang seluruhnya dikaji dalam buku tersebut. Meski artikel ini fokus pada realisme Locke. Namun pembahasan tentang epistemologi empirismenya perlu dibahas sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan filsafat realismenya.
Pengalaman Sebagai Sumber Pengetahuan
Locke adalah filsuf yang percaya jika seluruh ide-ide manusia didapatkan melalui pencerapan indrawi terhadap dunia. Dia menolak ide bawaan ala Descartes yang, entah dari mana asalnya, dianggap sudah terkandung dalam akal budi tanpa melalui pengalaman. Meski Locke percaya setiap manusia memiliki ide di pikirannya, dan bisa diketahui jika diekspresikan dengan kata-kata, namun ide tersebut bukanlah sesuatu yang sudah ada “di sana”. Manusia menurut Locke ibarat kertas putih yang kosong dari karakter, tanpa pengetahuan apapun. Ide hanya muncul pada kesadaran melalui pengalaman. Bagi Locke, pengalaman adalah sumber pengetahuan manusia. Cara kita memahami dunia ditentukan oleh cara kita mengalami dunia.
Berangkat dari tesis itulah Locke mengembangkan teori tentang sensasi dan refleksi, dua modus pengalaman manusia dalam menghasilkan bahan-bahan dasar berupa ide sederhana. Pertama-tama manusia mengalami objek eksternal melalui pencerapan indrawi. Mulut mencicipi apel, mata memandang tembok, dan telinga mendengar musik rock. Melalui proses tersebut, objek eksternal memberi pengaruh pada indra manusia hingga terciptalah ide-ide sederhana tentang sensasi seperti manis, putih, dan kebisingan, sebagai hasil reaksi subjektif kita terhadap pengaruh objek eksternal. Refleksi bekerja dengan cara berbeda. Ia menghasilkan ide sederhana seperti pemahaman dan kehendak melalui operasi internal pikiran.
Ide-ide sederhana akan menjadi bahan dasar bagi operasi pikiran untuk menghasilkan ide-ide kompleks. Di sini, pikiran bekerja dalam mengelola ide-ide sederhana dengan berbagai variasi. Seperti melakukan pengulangan, membandingkan, menghubungkan, dan abstraksi atas ide-ide sederhana untuk menghasilkan segala jenis ide-ide kompleks. Seperti itulah proses perjalanan manusia dalam menghasilkan ide. Bagi Locke pengetahuan tentang dunia hanya dimungkinkan melalui sensasi dan refleksi atau operasi internal pikiran. Tanpa keduanya, manusia tak akan mungkin memiliki ide mengenai dunia.
Mengakui dan Mengetahui Realitas Objektif
Problemnya adalah, sensasi kadang menghasilkan ide yang tidak menyerupai objeknya. Misalnya, rasa manis, hanya ada dalam persepsi saat kita memakan buah mangga. Sementara manis itu sendiri bukan bagian dari properti mangga. Sehingga kita tak bisa katakan mangga adalah buah yang manis. Locke (1999: 116) menyadari hal tersebut dengan mengatakan:
“Gagasan dalam pikiran, kualitas dalam benda. Untuk menemukan sifat ide kita lebih baik, dan untuk wacana mereka dimengerti, akan mudah untuk membedakan mereka sebagai ide atau persepsi dalam pikiran kita; dan mereka sebagai modifikasi materi dalam benda yang menyebabkan persepsi seperti itu dalam diri kita: jadi mungkin kita tidak berpikir (seperti yang mungkin biasanya dilakukan) bahwa mereka gambaran persis dan menyerupai sesuatu yang melekat pada subjek; sebagian besar sensasi berada di pikiran tidak lebih mirip dengan sesuatu yang ada tanpa kita…”
Jika ide-ide bukan berasal dari objek eksternal. Hanya sekadar hasil sensasi manusia. Bukankah hal itu menunjukkan bahwa manusia hanya mengenali dunia yang nampak pada persepsinya? Bukankah itu sama artinya kita memandang realitas sebagai hasil konstruksi subjektif manusia? Kalau pendapat ini disepakati, maka sama halnya kita menyeret Locke untuk membenarkan tesis idealisme yang memandang dunia hanya ada sejauh dipersepsi. Padahal, tidak demikian. Meski persepsi kadang tak menggambarkan realitas sebenarnya, bukan berarti menjadi alasan untuk menolak objektivitas benda. Pernyataan Locke di atas menegaskan, munculnya sensasi tertentu pada indera justru disebabkan oleh suatu kekuatan dalam objek eksternal.
Locke menyebut penyebab tersebut sebagai kualitas: kemampuan suatu objek untuk menimbulkan ide-ide dan bersifat independen dari pikiran. Locke menggambarkan hubungan tersebut melalui contoh bola salju dan api. Dalam bola salju, ada kekuatan untuk menghasilkan ide-ide tentang putih, dingin, dan bulat dalam diri kita. Begitupun dengan api yang memiliki kekuatan untuk menghasilkan dalam diri kita ide (sensasi) kehangatan. Locke menyebut kekuatan dalam bola salju dan api tersebut sebagai kualitas dalam benda. Sementara sensasi disebut sebagai gagasan dalam pikiran. Kualitas-kualitas dalam benda itulah penyebab lahirnya sekumpulan ide dalam pikiran.
Locke menyebut kualitas dalam objek sebagai kualitas primer: sifat fisikal dari benda yang tidak akan terpisah dari benda dan independen dari pikiran. Kualitas tersebut antara lain kepadatan, keluasan, bentuk, gerak, diam, dan bilangan. Dari konsep kualitas primer inilah Locke menampilkan dirinya sebagai seorang realis. Bagaimana kita bisa tahu kualitas seperti itu memang ada pada objek? Locke mengambil contoh gandum yang ketika dibagi dalam beberapa bagian, tetap akan mempertahankan kualitas kepadatan, keluasan, bentuk, dan jumlahnya. Hal tersebut membuktikan jika kualitas primer melekat pada objek.
Jika ada properti objektif yang independen dari pikiran, lantas mungkinkah kita bisa punya ide tentangnya? Kata Locke, bisa. Meski kualitas primer terpisah dari pikiran, namun kita bisa mempersepsi kualitas-kualitas primer suatu benda menjadi ide-ide sederhana tentang kepadatan, keluasan, bentuk, atau jumlah melalui pengalaman indrawi. Locke (1999: 118) memberi penjelasan bagaimana gerak sebagai kualitas primer dipersepsi:
“….. jelas beberapa gerakan harus dilanjutkan oleh saraf kita, atau jiwa hewani (animal spirits), oleh beberapa bagian tubuh kita, ke otak atau ke pusat sensasi, di sana menghasilkan dalam pikiran kita ide-ide khusus yang kita miliki tentang mereka. Dan karena keluasan, bentuk, bilangan, dan gerakan benda-benda dengan ukuran besar yang dapat diamati, dapat dipersepsi dari jarak jauh oleh penglihatan, jelas bahwa beberapa benda yang tidak kelihatan mereka harus sampai pada mata, dan dengan demikian mengirimkan beberapa gerakan ke otak; yang menghasilkan ide-ide tersebut di dalam diri kita.”
Pernyataan tersebut menegaskan, jika Locke tak hanya memandang ada yang objektif di luar pikiran, tapi yang objektif itu bisa diketahui. Kualitas primer menurut Locke adalah ide-ide kita yang menyerupai objek. Sebab polanya ada dalam benda itu sendiri. Ada pun ide-ide sederhana seperti warna, rasa, bau, panas hanyalah sensasi yang tentunya bersifat subjektif. Sehingga dianggap tidak menyerupai objek. Locke menyebutnya kualitas sekunder. Entitas yang bukan bagian dari objek. Tak akan eksis tanpa sensasi dan refleksi, atau hanya eksis sejauh dialami dan dipikirkan. Penganut Realisme Spekulatif, Quentin Meillassoux (2021: 12) menggambarkan kualitas sekunder Locke dengan sangat menarik:
“Tetapi tidaklah masuk akal untuk mengatakan bahwa kemerahan atau panas dapat eksis sebagai kualitas-kualitas yang tetap ketika terkait dengan saya atau tidak: tanpa persepsi akan kemerahan, tiada suatu hal yang merah; tanpa sensasi panas, tiada panas. Entah afektif atau perseptual yang terindra hanya eksis sebagai suatu relasi: suatu relasi antara dunia dan makhluk hidup, yakni saya.”
Lantas bagaimana kualitas sekunder bisa dipersepsi? Locke mengatakan, ketika kualitas primer dihasilkan dalam diri kita, kualitas sekunder juga akan terpahami. Saat gerakan suatu benda mempengaruhi organ indra, dengan sendirinya menghasilkan sensasi berbeda pada benda tersebut. Misalnya, muncul ide tentang warna dan bau. Olehnya itu, masuk akal jika kita menyingkirkan sensasi mengenai warna, bau, suara, dingin, panas dengan cara menutup mata, hidung, telinga. Maka yang tersisa hanyalah kualitas primer dari benda. Dunia akhirnya direduksi menjadi sekadar entitas geometris. Karena pada dasarnya kualitas sekunder tidak eksis. Dia hanya eksis sejauh ada relasi subjektif sang aku dengan kualitas primer benda-benda. Artinya dia bergantung pada sifat fisik pada objek. Terkait kebergantungan ini, Meillassoux (2021: 12) mengatakan:
“Karena memang terdapat suatu rantai tetap di antara hal-hal nyata dan sensasi-sensasi atasnya: jika tidak ada yang mampu membangkitkan sensasi atas kemerahan, maka tidak ada persepsi atas suatu hal berwarna merah; jika tidak ada api yang nyata, maka tidak akan ada sensasi terbakar.”
Penjelasan di atas semakin melengkapi posisi Locke sebagai penganut realisme. Karena memberi penegasan jika konsepsi kualitas primer tak hanya mengakui keberadaan objektif yang independen dari pikiran dan kita bisa mengetahuinya, tapi juga memperlihatkan kebergantungan ide subjektif pada realitas objektif. Kualitas sekunder memang adalah hasil reaksi subjektif manusia yang tidak melekat pada benda. Namun reaksi subjektif itu hanya bisa muncul karena disebabkan oleh kualitas primer pada benda. Dengan kata lain, disebabkan oleh realitas objektif.
Substansi: Ada yang Tak Diketahui
Tapi, persoalan lain muncul. Jika pikiran dapat memiliki ide tentang kualitas primer dan sekunder, lantas bagaimana dengan sesuatu di balik kualitas primer? Apakah pemahaman manusia juga bisa mengakses esensi benda apa adanya? Pertanyaan ini akan mengantarkan kita pada konsep Locke mengenai substansi. Pada dasarnya manusia bisa memiliki pemahaman mengenai dunia luar. Karena kita dapat mengakses gagasan tentang kualitas primer yang diandaikan ada pada benda dan terpisah dari pikiran. Namun, yang perlu diingat adalah, setiap pemahaman manusia hanya terkait dengan ide-ide mengenai kualitas, baik yang bersifat sekunder maupun primer.
Sementara hakikat objek itu sendiri tak dapat diakses secara langsung oleh persepsi manusia. Hakikat objek itulah yang disebut sebagai substansi. Locke juga menyebutnya sebagai “esensi nyata”. Substansi adalah konsep ontologi yang pertama kali digagas oleh Aristoteles. Substansi kerap diartikan sebagai sesuatu yang esensial dari benda-benda, ia independen dari atribut, justru menjadi dasar bagi keberadaan atribut atau kualitas pada benda. Kita dapat mempersepsi setiap kualitas dan perubahan pada benda. Namun di balik kualitas dan perubahan benda terdapat esensi yang bersifat tetap yang menjadikan benda selalu ada pada dirinya. Itulah yang disebut sebagai substansi.
Dalam An Essay Concerning Human Understanding, Locke mendefinisikan substansi dengan cukup unik: sesuatu yang kita tidak tahu apa itu. Definisi tersebut mengindikasikan, jika pada level ontologi, Locke meyakini adanya substansi. Namun pada level epistemologi, Locke meyakini jika substansi tak bisa diketahui. Pandangan tersebut pastinya mengundang pertanyaan: bagaimana bisa substansi diandaikan ada sementara kita tidak punya pengetahuan tentangnya?
Locke adalah seorang empirisme. Olehnya substansi sebagai “sesuatu yang tak diketahui” harus dimaknai sebagai keterbatasan persepsi indrawi dalam mengakses pengetahuan tentangnya. Meski demikian, kita bisa mengandaikan keberadaan substansi dengan cara memahami sifat kebergantungan kualitas pada benda. Telah dijelaskan sebelumnya, kualitas sekunder hanya muncul dalam relasi indra dengan kualitas primer. Sementara kualitas primer adalah sifat objektif yang melekat pada benda. Ada pun esensi benda adalah substansi yang menyokong keberadaan kualitas primer. Kata Locke (1999: 278), kualitas-kualitas benda adalah entitas yang “Kita bayangkan tidak dapat bertahan tanpa substansi, tanpa sesuatu yang mendukungnya.” Kebergantungan itulah yang membuat Locke mengandaikan keberadaan substansi.
Saat ditanya, seperti apa wujud substansi yang mendukung keberadaan kualitas primer? Jawabanya, tidak tahu. Menurut Locke, menjawab pertanyaan tersebut akan membawa kita pada kasus yang sama dengan orang India saat ditanya mengenai mitos Hindu mengenai kura-kura dunia. Mitos tersebut percaya bahwa dunia disokong oleh gajah dan kura-kura. Jika orang India ditanya, di mana gajah itu bersandar, jawabannya adalah kura-kura besar. Tapi ketika ditanya lagi mengenai apa yang menopang kura-kura besar, dia menjawab, sesuatu yang dia tidak tahu apa.
Begitulah posisi kita saat hendak mengetahui keberadaan substansi sebagai esensi nyata. Kita percaya dia ada sebagai sesuatu, yang menopang atribut realitas, tapi kita tidak tahu wujudnya. Sikap Locke sangat “agnostik” dalam memandang substansi. Namun, apakah dengan demikian membatalkan posisinya sebagai seorang realis? Tentu saja tidak. Sebab Locke sama sekali tidak menolak keberadaan substansi pada realitas.
Hanya saja tidak bisa diketahui. Pikiran manusia hanya bisa membuat abstraksinya dengan melakukan kombinasi antara ide-ide. Misalnya, konsep tentang angsa yang kita miliki melalui ide-ide mengenai kualitasnya. Seperti berwarna putih, leher panjang, paruh merah, kaki hitam, dapat berenang di air. Tapi konsep angsa tidak akan bisa mewakili esensi nyata pada objek eksternal angsa. Artinya, bagaimana pun tak ada cara untuk mencapai pengetahuan pasti mengenai dasar dari realitas, meskipun kita akui keberadaan substansi.
Realisme Representatif
Pada akhirnya, Locke tetap adalah seorang realis. Orang-orang sering menyebutnya sebagai penganut realisme representatif (representative realism) atau realisme tidak langsung (indirect realism). Sebab Locke beranggapan manusia mengenali realitas melalui representasi ide-ide: pengenalan pada realitas dimediasi oleh gagasan. Karena pengenalan bersifat representatif, maka konsekuensinya sebagian ide kita tidak menyerupai benda. Misalnya ide mengenai kualitas sekunder.
Meski demikian, Locke tetap mengakui ada representasi ide yang dianggap menyerupai objek. Yakni gagasan mengenai kualitas primer. Kenneth T. Gallagher (1994) menyebut realisme representasional Locke berangkat dari idealisme epistemologi yang menjadikan ide sebagai titik akhir kesadaran. Tetapi, ide-ide yang menampilkan kualitas primer adalah penampilan kenyataan yang lepas dari kesadaran kita. Secara tidak langsung tesis tersebut membenarkan keyakinan realisme jika kesadaran sanggup mencapai yang lain. Meski pada akhirnya Locke harus mengakui jika esensi benda, dunia pada dirinya tak bisa direngkuh, suatu eksterioritas yang asing bagi kesadaran.
Referensi
John Locke. (1999). An Essay Concerning Human Understanding. Publication of the Pennsylvania State University. Diakses, 10 November 2022, dari http://www.philotextes.info/spip/IMG/pdf/essay_concerning_human_understanding.pdf
Kenneth T. Gallager (1994). Epistemologi: Filsafat Pengetahuan. (P. Hardono Hadi, Saduran). Yogyakarta: Kanisius.
Quentin Meillassoux (2021). Setelah Keterhinggaan: Sebuah Esai Tentang Keniscayaan Kontijensi. (Dedy Ibmar, Terjemahan). Yogyakarta: Basabasi.
Muhajir MA
Muhajir MA adalah seorang jurnalis dan peminat kajian filsafat dan ilmu sosial. Sekarang tinggal di Makassar.