Kaidah Filsafat: Ijtimā` al-Mitslayni Muhāl

Kaidah Filsafat Ijtimā` al-Mitslayni Muhāl
John Locke

Kaidah Kemustahilan Berkumpulnya Dua Hal Sama (Ijtimā` al-Mitslayni Muhāl) adalah salah satu topik umum dalam diskursus mengenai kaidah-kaidah filsafat. Maksud kaidah ini adalah 2 entitas (mawjūd) yang sama persis dengan tidak ada perbedaan sama sekali apapun tidak dapat ada dalam sebuah lokus yang sama. Di antara persoalan yang mengemuka didasarkan atas prinsip ini yaitu “an-nafs an-nāthiqah bi dzātihā hushūliyyan”. Dimaksudkan dengan “an-nafs an-nāthiqah” adalah jiwa yang berpikir. Frase ini merujuk pada jiwa rasional yang pada esensinya adalah bersifat hushūli. Adapun “hushūliyyan” merujuk pada suatu proses epistemologis akan pengetahuan perolehan.

Untuk diketahui bahwa jiwa rasional tentu tidak pernah lalai pada dirinya sendiri. Dia mengetahui dirinya sendiri dengan pengetahuan kehadiran (hudhūrī). Apa yang terjadi pada dirinya akan segera langsung ia ketahui tanpa membutuhkan perantara. Saat jiwa mengetahui bahwa ia tahu, maka ia tahu secara langsung tanpa perantara. Kondisi ini berlangsung terus menerus seiring dengan adanya kesadaran jiwa. Adapun pengetahuan perolehan (hushūlī) meniscayakan suatu perantara, misalnya bentuk mental hasil dari penalaran atau penginderaan. Dalam kaitannya dengan kaidah di atas, apabila pengetahuan perolehan berlangsung sementara pengetahuan kehadiran pun terus berlangsung pada jiwa, kondisi ini dianggap berkumpulnya dua hal yang sama pada satu lokus: jiwa yang berpikir. Dengan kata lain, dianggap semestinya jiwa tidak dapat mengetahui dirinya sendiri secara hudhūrī sekaligus hushūlī pada saat yang sama.

Dr. Ghulām ad-Dīnānī mencatat bahwa persoalan ini diulas dalam kitab al-Muhākamāt. Sang penulis menolak pandangan bahwa jiwa yang berpikir bisa mengetahui dengan mode perolehan (hushūlī). Tentu saja argumentasinya adalah mode pengetahuan dan kaidah ijtimā` al-mitslayni muhāl. Bahwa pengetahuan yang dimiliki oleh jiwa yang berpikir ini bersifat langsung, segera, dan berlangsung terus menerus. Dengan kata lain hudhūrī. Kemudian, jika ia memiliki mode pengetahuan perolehan (hushūlī) di saat yang sama maka akan bertentang dengan kaidah tersebut. Sekalipun demikian, masih dalam kitab yang sama, melalui catatan kaki (hāsyiyah), Mīrzā Jān mengklarifikasi persoalan ini (Dr. Ghulām Husayn al-Ibrāhīmī ad-Dīnānī, 2007):

“Karena ucapannya bahwa mustahil karena pertimbangan kemustahilan berkumpulnya antara 2 hal yang sama persis, dikarenakan mustahil bagi 2 hal yang sama persis wujud dalam lokus ketiga. Dalam kasus ini, salah satu dari keduanya ada dalam yang lain. Lagipula, tiada penyatuan wujud di dalamnya, melainkan salah satunya ada dengan wujud nyata (`aynī) sedangkan yang lain dalam wujud maya (zhillī). Perbedaan ini cukup untuk membedakannya dari (kaidah) 2 hal yang sama persis dan tidak perlu mencabut kekhasan. (Justru) ini adalah bukti (kaidah) ketidakmungkinan berkumpul.”

Catatan Kritis Dr. Ghulām ad-Dīnānī

Lebih lanjut, Dr. Ghulām ad-Dīnānī melihat bahwa kemustahilan kaidah ini diterapkan untuk kasus di atas justru ada pada pernyataan Mīrzā Jān “..tidak perlu mencabut kekhasan (wa lam yalzam raf`ul imtiyāz).” Dimaksudkan dengan kekhasan tersebut adalah masing-masing mode pengetahuan (baik hushūlī maupun hudhūrī) memiliki karakteristik masing-masing. Seandainya kekhasan dari pengetahuan perolehan (hushūlī) dicabut (butuh perantara, tidak langsung, dan insidentil) maka ia akan sama dengan pengetahuan kehadiran (hudhūrī). Atau, lebih tegasnya ialah pengetahuan kehadiran itu sendiri.

Dengan demikian, bila dua hal diposisikan pada lokus yang sama, dengan sebelumnya dihapuskan berbagai kekhasan yang membedakannya, sesungguhnya tidak tepat menggunakan kata “dua”. Jelas karena yang terjadi setelahnya adalah apa yang awalnya dikatakan “dua” tersebut sejatinya adalah satu kesatuan. Sekali lagi, setelah berbagai kekhasan dicabut darinya.

Catatan Kritis Sayyid Kamāl al-Haydarī

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari penjelasan Sayyid Kamāl al-Haydarī ketika merespon penyangkalan al-Haydajī atas kaidah ini dengan alasan yang sama sebagaimana disampaikan oleh penulis al-Muhākamāt. Beliau menjelaskan kesalahan penyangkalan kaidah ini dengan menggunakan kasus tersebut. Menurutnya, setidaknya ada 2 hal yang perlu diperhatikan dalam kaitannya dengan kasus ini ( Sayyid Kamāl al-Haydarī, 2005):

  1. Kaidah ini (ijtimā` al-mitslayni muhāl) berlangsung dalam satu objek yang sama. Dalam kasus ini bukan demikian yang terjadi, melainkan yang satu diperoleh dari yang lain.
  2. Yang terjadi dalam kasus ini bukanlah antara 2 hal yang sama persis karena masing-masing memiliki kekhasan, yakni bentuk yang berbeda. Yang satu wujud dengan wujud ekternal dan yang lain dengan wujud mental.

Sampai di sini, kita sekaligus akan mengerti betapa bijak para filsuf muslim belakangan mengadopsi pembagian cabang filsafat ontologi-epistemologi-aksiologi dalam taksonomi filosofis tradisi filsafat Islam. Di antara pertimbangan utama mengadopsi pembagian cabang filsafat seperti ini dalam tradisi filsafat Islam adalah untuk memudahkan pembelajaran filsafat (lihat uraian penulis akan ini dalam tulisan sebelumnya: Filsafat adalah Induk Ilmu Pengetahuan). Demikianlah kita dapat temukan pembagian seperti ini dalam buku-buku pembelajaran filsafat Islam yang ditulis oleh para filsuf muslim belakangan.

Manfaat pembagian cabang filsafat demikianpun dapat kita jadikan pendekatan untuk memahami kaidah ini. Dari catatan kritis yang disampaikan oleh para filsuf muslim di atas, kita dapat dengan mudah memetakan bahwasanya kaidah ini berlaku dalam ranah ontologis dan bukan epistemologis. Meskipun istilah yang digunakan oleh para filsuf muslim di atas berbeda-beda untuk merujuk suatu lokus dari realitas.

Contoh dari Ibn Miskawayh

Apabila kita memahami kaidah ini dari para filsuf di atas secara negasi, apakah ada yang afirmasi?

Tentu saja ada. Patut disebutkan salah satunya adalah Ibn Miskawayh (932-1030). Beliau menegaskan bahwasanya setiap jism memiliki bentuk. Jism yang padanya bentuk melekat ini tidak akan menerima bentuk lain yang sejenis, kecuali bentuk yang telah ada padanya terlepas darinya. Misalnya, bila sebuah jism menerima bentuk segitiga, ia tidak akan menerima bentuk lain seperti lingkaran ataupun segiempat ataupun lainnya yang sejenis. Jism tersebut baru dapat menerima bentuk lainnya manakala bentuk segitiganya terlepas darinya.

Lebih lanjut, ia mencontohkan dengan contoh yang relevan dengan zamannya. Layaknya sebuah lilin yang digunakan untuk cap surat. Manakala lilin ini diteteskan pada sebuah media kemudian dicap dengan sebuah cincin, maka hasilnya lilin tersebut akan membentuk sesuatu sebagaimana bentuk pada cincin yang mencapnya. Bila lilin tersebut ingin dibentuk dengan bentuk lain maka lilin tersebut mesti dilepaskan dari bentuk yang telah ada padanya. Dalam contoh ini, dengan melelehkan kembali lilin tersebut. Kala ia telah meleleh, ia dapat diberikan bentuk lain dengan cap dari cincin lain yang kita kehendaki.

Meskipun demikian, ia memberikan catatan tersendiri untuk jiwa manusia:

“Kita mendapati jiwa kita menerima berbagai macam bentuk. Baik objek-objek indera (mahsūsāt) dan objek-objek akal (ma`qūlāt) secara utuh dan sempurna. Tanpa terpisahkan dari yang pertama, tanpa tertimpa, tanpa menghilangkan gambaran. Justru gambaran pertama tetap bahkan semakin utuh dan sempurna. Sekaligus menerima gambaran kedua secara utuh dan sempurna. Lantas ia tidak berhenti menerima bentuk demi bentuk terus selama waktu demi waktu tanpa melemahkan atau mengurangi apa yang telah ia terima dan terjadi akan bentuk-bentuk. Bahkan bentuk yang pertama bertambah kuat seiring bentuk lain yang datang.

Karakteristik ini berbeda dari karakteristik jism. Karena sebab ini, pemahaman manusia bertambah setiap kali ia melatih dan maju dalam ilmu dan seni. Maka jiwa bukanlah jism.

Jiwa bukanlah aksiden, telah dijelaskan sebelumnya bahwasanya aksiden tidak mengandung aksiden; karena aksiden sendiri selamanya terkandung dalam entitas (mawjūd), tidak berdiri sendiri. Substansi (jawhar) yang telah kami deskripsikan senantiasa menerima, yang mengandung keutuhan dan kesempurnaan aksiden-aksiden alih-alih jism” (Ibn Miskawayh, 2022).

Memperhatikan keseluruhan pembahasan yang sudah dilalui hingga titik ini, dengan mudah tentu kita dapat memahami mengapa jiwa berbeda dari jism. Secara ontologis telah disampaikan oleh Ibn Miskawayh bahwa jiwa adalah substansi (jawhar). Secara epistemologis, jelas bahwa kemampuan jiwa menerima berbagai ragam bentuk terus menerus tanpa melepas bentuk sebelumnya bahkan bentuk tersebut semakin kuat karena jiwa menerima pengetahuan kehadiran (hudhūrī) secara berkesinambungan dan pengetahuan perolehan (hushūlī) sekaligus.

Penjelasan John Locke

Kaidah ini bersifat universal, dalam arti berlaku tanpa batasan tradisi filosofis apapun. Dalam tradisi filsafat Barat, kaidah inipun berlaku. Hanya saja tidak secara eksplisit disebutkan dengan nama kaidah yang telah kita sebutkan.

Misalnya dalam tradisi filsafat Barat, filsuf yang membahas kaidah ini tanpa spesifik menyebutkannya ialah John Locke (1632-1704). Jika dibandingkan, penjelasannya tidak jauh berbeda dari Ibn Miskawayh. Hanya saja ia membicarakannya dalam diskursus pembentukan identitas dan keberagaman.

Beranjak dari bagaimana pikiran bekerja dengan membandingkan wujud sesuatu pada waktu dan tempat tertentu dengan wujud lain di waktu dan tempat yang lain. Dari membandingkan wujud tersebut, acapkali pikiran membuat klasifikasi menurut spesies, genus, dan aksiden tertentu. Klasifikasi akan terbentuk. Hanya saja ketika wujud yang sama dengan spesies, genus, aksiden yang sama berada di lokus yang sama, maka ini adalah suatu hal yang mustahil.

“Manakala kita melihat sesuatu berada di suatu tempat pada suatu saat, kita yakin (apa pun itu) bahwa itu adalah benda itu sendiri, dan bukan benda lain yang pada saat yang sama ada di tempat lain, betapapun mirip dan tidak dapat dibedakannya benda itu dalam semua hal lainnya: dan di sinilah letak identitas, manakala gagasan yang dikaitkan dengannya sama sekali tidak berbeda dari apa adanya pada saat kita mempertimbangkan keberadaan sebelumnya, dan yang kita bandingkan dengan saat ini. Karena kita tidak pernah menemukan, atau menganggap mungkin, bahwa dua benda dari jenis yang sama harus ada di tempat yang sama pada saat yang sama, kita dengan tepat menyimpulkan, bahwa apa pun yang ada di mana pun pada waktu apa pun, mengecualikan semua jenis yang sama, dan hanya ada di sana. Oleh karena itu, ketika kita mempersoalkan apakah sesuatu itu sama atau tidak, itu selalu merujuk pada sesuatu yang ada pada suatu waktu di suatu tempat, yang pasti, pada saat itu, sama dengan dirinya sendiri, dan tidak ada yang lain. Dari sini dapat disimpulkan bahwa satu hal tidak dapat memiliki dua awal keberadaan, atau dua hal tidak memiliki satu awal; tidak mungkin bagi dua hal dari jenis yang sama untuk ada atau ada pada saat yang sama, di tempat yang sama; atau satu hal yang sama di tempat yang berbeda. Oleh karena itu, apa yang memiliki satu awal, adalah hal yang sama; dan apa yang memiliki awal yang berbeda dalam waktu dan tempat dari itu, tidak sama, tetapi berbeda” (Locke, 1999).

Kesimpulan

Sebagian filsuf menuliskan kaidah ini di dalam kitab mereka dan menyebutkan berbagai macam persoalan yang berkenaan dengan kaidah ini. Mereka menganggap kaidah ini badīhī. Terkumpulnya dua hal yang sama dalam satu lokus wujud yang sama di mana tidak terdapat di antaranya perbedaan sama sekali adalah suatu perkara yang mustahil. Adapun perkataan bahwa terkumpulnya dua hal yang sama berarti melazimkan wujud memiliki dua wujud dalam satu wujud yang sama, maka jelas ini adalah perkara yang tidak masuk akal. Dikarenakan setiap mawjūd, hanya dengan satu wujud. Sehingga mustahil terkumpulnya dua wujud yang sama dalam satu lokus, karena jika demikian berarti terdapat wujud dengan dua mawjūd dalam satu wujud yang sama; dan ini mustahil.

Referensi

  1. Dr. Ghulām Husayn al-Ibrāhīmī ad-Dīnānī, al-Qawā`id al-Falsafiyyah al-`Āmmah fī al-Falsafah al-Islāmiyyah (Beirut: Dār al-Hādī, 2007).
  2. Sayyid Kamāl al-Haydarī, Buhūts fī `Ilm an-Nafs al-Falsafī (Qum: Dār Farāqid, 2005).
  3. Ibn Miskawayh, Tahdzīb al-Akhlāq fī at-Tarbiyah (Beirut: Dār al-Kutub al-`Ilmiyyah, 2002).
Amrizal

Amrizal adalah alumnus Magister Filsafat Islam STFI Sadra dan anggota Majelis Tarjih PC. Muhammadiyah Ciracas.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses