Ada saat ketika kita, dalam lelah dan kebosanan, memandang layar ponsel kita seperti seorang musafir memandang hamparan pasir tak berujung. Semua ada di sana: kabar baik, kabar buruk, meme-meme jenaka, dan tragedi yang datang dalam kilatan notifikasi. Kita hidup dalam zaman ketika informasi mengalir seperti sungai deras, namun tetap saja ada kekosongan yang menghantui. Di sinilah absurditas ala Albert Camus menemukan panggung baru.
Absurditas, sebagaimana Camus memaknainya, lahir dari benturan antara pencarian makna oleh manusia dan keheningan dunia yang acuh tak acuh (Camus, 1942). Dunia tidak memberikan jawaban yang memuaskan, tetapi kita terus bertanya. Di era digital, absurditas itu hadir lebih terang benderang, dalam bentuk lain: algoritma yang tahu segalanya, namun tetap tidak memberi kita makna.
Seperti Sisyphus yang menggulirkan batu ke puncak gunung, manusia modern menggulirkan unggahan, foto, dan komentar ke puncak popularitas virtual. Namun, seperti batu Sisyphus yang kembali jatuh, relevansi di dunia maya hanya sementara. Satu unggahan viral, lalu dilupakan. Sepuluh ribu likes, tetapi keheningan tetap menyergap di tengah malam.
Di dunia kerja, absurditas juga menjelma dalam cara baru. Produktivitas yang dihitung dengan angka, laporan, dan grafik tak jarang mengesampingkan makna sejati pekerjaan itu sendiri. Camus menulis, “Bekerja dan mencipta dalam ketiadaan makna adalah pemberontakan yang sejati” (Camus, 1951). Tetapi, bagaimana manusia modern bisa memberontak jika mereka telah menjadi roda kecil dalam mesin kapitalisme digital? Absurditas kerja hari ini terlihat dalam cara kita bekerja untuk aplikasi yang terus-menerus mengukur kita: seberapa cepat kita bergerak, seberapa banyak kita menghasilkan, namun jarang sekali bertanya, “Untuk apa semua ini?”
Ada ironi yang dalam di sini. Teknologi yang seharusnya mempermudah kita menemukan jawaban, justru mempertegas absurditas keberadaan kita. Algoritma belajar mengenali wajah kita, kebiasaan kita, bahkan hasrat tersembunyi kita, tetapi ia tidak tahu apa-apa tentang jiwa kita. Kita mengejar keabadian virtual melalui unggahan-unggahan yang tidak akan pernah benar-benar abadi, sebab dunia digital sendiri adalah dunia yang terus berubah dan melupakan.
Dalam esai The Myth of Sisyphus, Camus menyarankan agar manusia menerima absurditas tanpa menyerah kepada keputusasaan. Sisyphus, yang tahu bahwa pekerjaannya tidak akan pernah selesai, menjadi bahagia karena ia memilih untuk menerima nasibnya. Di sinilah tantangan bagi manusia modern: apakah kita bisa menerima absurditas zaman kita tanpa menyerah pada sinisme atau nihilisme?
Jawabannya, mungkin, ada pada cara kita menciptakan. Seperti yang dikatakan Camus, “Pemberontakan itu sendiri adalah tindakan penciptaan.” Dalam dunia digital, mungkin kita bisa menciptakan ruang untuk keaslian—sebuah oase kecil di tengah gurun absurditas. Ketika kita memilih untuk menulis bukan demi likes, tetapi demi ekspresi. Ketika kita berbagi bukan demi validasi, tetapi demi koneksi. Ketika kita berbicara bukan untuk diakui, tetapi untuk benar-benar mendengarkan.
Namun, dunia tidak memberi jawaban yang mudah. Di tengah derasnya arus informasi, absurditas itu menjadi semakin tak terhindarkan. Kita hidup di zaman ketika kebenaran sering kali tenggelam dalam hiruk-pikuk berita palsu, dan makna menjadi sesuatu yang sulit dicapai. Kita terus bertanya, “Apa artinya semua ini?” tetapi layar ponsel kita tetap diam, hanya memantulkan wajah kita sendiri.
Mungkin di sinilah letak kejeniusan Camus. Ia tidak menawarkan jawaban pasti, tetapi mengingatkan kita bahwa hidup itu sendiri adalah perjuangan melawan absurditas. Dan seperti Sisyphus, kita harus membayangkan diri kita bahagia, meskipun batu itu akan terus menggelinding turun.
Di era digital ini, absurditas Camus adalah cermin yang menyoroti paradoks kehidupan modern: semakin kita mencari makna di dunia maya, semakin jelas bahwa makna itu hanya bisa ditemukan di dunia nyata, dalam tindakan kecil yang penuh kesadaran.
Maka, dalam kesunyian malam ketika layar ponsel kita padam, mungkin kita bisa belajar dari Sisyphus. Kita akan terus menggulirkan batu itu, bukan karena dunia memberi kita alasan, tetapi karena kita memilih untuk melakukannya. Dan dalam tindakan memilih itu, kita menemukan keberanian untuk hidup.