fbpx

Psikologi Kesadaran Bagian II

Kesadaran-diri dapat diartikan sebagai keawasan terhadap tubuh diri sendiri yang merupakan milik si manusia dalam ruang-waktu kontinuum serta interaksi-interaksi nya terhadap lingkungan—termasuk interaksi terhadap yang liyan.
Marbles Champ karya Norman Rockwell
Marbles Champ karya Norman Rockwell

Artikel ini akan menyajikan ulasan konsep-konsep kesadaran-diri, dengan menyorot peran penting dari tubuh (secara khusus persepsi tubuh, tindak-tindak tubuh atau jasmaniah), serta pengaruh sosial lain dalam konstruksi kesadaran-diri.

Secara lebih tepat, persepsi jasmaniah: khususnya persepsi intermodal (antar-moda) sensorik seperti persepsi kinestetik yang disertakan dalam konstruksi indrawi atas diri akan memungkinkan adanya kesadaran diferensial atas diri yang lain.

Dari hal itu kemudian, yang liyan secara sosial (di dalam kesadaran) melalui interaksi-interaksi paling partikular di ranah sosial dan emosional—akan menyediakan makna bagi persepsi arkhais kita dan berkontribusi bagi perkembangan kapasitas simbolisasi manusia.

Hal itu merupakan kondisi pasti bagi representasi citra tubuh dan keawasan dari sebuah diri-permanen—dalam ruang dan waktu yang kontinuum (tidak berubah melalui ruang dan waktu).

Ketercerabutan rekognisi citra diri dalam teori cermin (mirror theory) juga akan didiskusikan dalam artikel ini bagi pengembangan teori kesadaran-diri.

Pendekatan neuropsikologis dan neurofisiologis dalam topik kesadaran-diri akan mempresentasikan peran aktivasi/integrasi otak yang kompleks dengan alur serta sistem neuron cermin-nya bagi kesadaran-diri.

Akhirnya, artikel ini akan menyediakan perspektif yang baru mengenai evaluasi kesadaran-diri menggunakan paradigma cermin ganda (double mirror) untuk mengkaji diri dan kesadaran atas liyan serta rekognisi tubuh.

Kesadaran-diri dapat diartikan sebagai keawasan terhadap tubuh diri sendiri yang merupakan milik si manusia dalam ruang-waktu kontinuum serta interaksi-interaksi nya terhadap lingkungan—termasuk interaksi terhadap yang liyan.

Hal ini juga meliputi keawasan si individu untuk memiliki identitasnya sendiri: yang mana terbentuk dari waktu ke waktu melalui interaksi dengan yang liyan. Interaksi yang (dalam radikalitas proses proses tertingginya) dijelaskan dalam teori pikiran atau teori empati—proses-proses itulah yang membuat kita sadar atas yang liyan serta mendiferensiasi diri kita dari mereka: yang mana dari citra diri mereka dan dari pengalaman perseptif serta emosional mereka (Decety dan Sommerville, 2003; Rochat, 2003).

Kesadaran-diri akan dikaji dalam persinggungan multi disiplin ilmu antara lain dalam neurofisiologi, psikiatri, psikologi/neuropsikologi, psikoanalisis, dan filsafat. Topik ini merupakan topik utama dalam berbagai bidang ilmu tersebut.

Banyak pemikir telah menggaris bawahi peran krusial dari tubuh dalam pengembangan kesadaran-diri, baik sebagai sebuah perantara dengan lingkungannya serta sebagai sebuah bagian aktual pula dari tubuh-diri (Damasio et al., 2000; Ionta et al., 2011). 

Sebagai tambahan, teori cermin pikiran psikoanalisis dan model-model pengembangan jiwa atas kesadaran-diri akan menguatkan posisi tubuh-diri itu sendiri dalam konstruksi rekognisi citra diri yang berimplikasi pada kesadaran-diri (Wallon, 1934).

Kami berharap melalui artikel ini kita akan menemukan panduan bagi ulasan historis atas riset konsep kesadaran-diri dan peran dari tubuh (khususnya persepsi tubuh serta tindak-tindak jasmani/tubuh) ditambah lagi yang liyan secara sosial dalam konstruksi kesadaran-diri.

Dalam pandangan ini, pendekatan neuropsikologis dan neurofisiologis akan dibedah seluas luasnya untuk memahami kesadaran-diri. Lalu importansinya akan ditambahkan dengan nilai citra-diri dan rekognisi-diri dalam teori pikiran cermin khususnya dengan pertimbangan keuntungan dari nilai cermin untuk mengevaluasi kesadaran-diri.

Glossarium Penerjemah

Teori Cermin

Menurut Lacan, kita mengkonstruksi identitas kita dengan merefleksikannya kepada yang liyan. Maka hubungan yang kita miliki dengan yang liyan adalah refleksi-refleksi atau proyeksi-proyeksi dari aspek-aspek personal kita yang kita sukai atau tidak kita sukai.

Ibarat terdapat bagian bagian dari tubuh dan tampilan kita yang tidak kita sukai ketika kita melihat ke cermin, terdapat aspek-aspek dari personality/kepribadian kita yang tidak ingin kita terima.

Hal yang paling kita benci dalam diri orang lain secara aktual ada dalam diri kita, setidaknya dalam kondisi simbolis. Dengan kata lain apa yang tidak kita sukai dari orang lain adalah hal dari diri kita sendiri.

Perkembangan Jiwa

Adalah kajian saintifik yang menjawab bagaimana dan mengapa manusia bisa tumbuh, berubah dan beradaptasi melalui fase demi fase kehidupannya.

Awalnya bidang ini berfokus kepada bayi dan anak lalu ber-ekspansi memperebutkan kajian masa remaja, perkembangan masa dewasa, masa tua, dan akhirnya menjadi di semua rentang usia.

Psikologi-development bertujuan menjelaskan bagaimana pikiran, perasaan, dan perilaku dapat berubah bersama waktu kehidupan. Bidang mengeksaminasi perubahan melalui tiga dimensi mayor yaitu perkembangan physical, perkembangan kognitif, dan perkembangan nilai emosional sosial.

Dalam tiga dimensi ini terdapat cakupan topik yang luas antara lain kemampuan motorik, fungsi eksekutif, pemahaman moral, akuisisi bahasa, perubahan sosial, kepribadian, perkembangan emosional, konsep diri, dan formasi identitas.

Teori Pikiran

Landasan dari Theory of the Mind adalah teori physical mengenai pikiran dengan fenomena-fenomena yang dimilikinya seperti qualia dan kesadaran. Ia juga menyertakan hal-hal yang berhubungan seperti masalah sulit mengenai consciousness, the explanatory gap (keterbatasan para filsuf fisikalis untuk menjelaskan bagaimana kaidah fisikal menghasilkan subjektivitas), variable qualia, p-zombies, dan kehendak bebas (free will).

Teori ini dapat diverifikasi secara saintifik —  didasarkan pada bukti-bukti physical dan menyediakan prediksi-prediksi yang teruji secara eksperimental.

Pikiran adalah satu hal yang selalu mencengangkan sekaligus membingungkan bagi kita. Ia adalah satu satunya hal yang dapat kita yakini eksis namun secara penampakan tidak kita ketahui apa sebenarnya ia, bagaimana ia terjadi, dan mengapa ia harus ada.

Theory of Empathy

Secara teoritis, empati dimungkinkan ketika seorang penglihat menilai sebuah situasi yang difokuskan oleh (liyan yang ia lihat). Jika si penglihat menilai situasi dengan cara yang sama seperti (yang dilihat oleh liyan) maka di sanalah empati akan terjadi. Jika penglihat menilai situasi secara berbeda maka yang terjadi adalah pengalaman emosional yang berbeda pula.

Self image

Diterjemahkan dalam artikel ini sebagai citra diri: adalah pandangan personal, atau gambaran mental yang kita miliki mengenai diri kita sendiri. Self image adalah sebuah kumpulan informasi internal yang mendeskripsikan karakteristik dari the self antara lain mengenai intelegensi, kecantikan, keburukan, talenta, ke-egoisan, dan kebaikan.

Konsep-konsep Kesadaran-diri dan Self-Image

Basis teoritis: Konseptualisasi nilai the-self selama berabad-abad secara fundamental berisikan pencarian pemahaman khusus bagi self-conciousness (Maine de Biran, 1834; Piaget, 1936; Wallon, 1959b; Merleau-Ponty, 1964; Vygotsky, 1978; Neisser, 1991; Rochat, 2003). 

Satu dari model-model teoritis itu dikembangkan khususnya oleh Piaget (1936) dan Merleau-Ponty (1964). Mereka meyakini adanya kesadaran-diri inheren setidaknya dalam dimensi jasmaniah-nya.

Dalam model ini, subjek lahir sebagai subjek dan memahami dirinya sebagai subjek. Pemahaman perkembangan fisiknya yang subsequent berfokus pada ‘bagaimana ia (seseorang) membangun dunia di sekitar-nya.

Menurut Piaget (1936) interaksi-interaksi antara anak dan lingkungan di sekitarnya dibentuk oleh satu ritme tertentu (di mana sistem persyarafan menjadi pusat pengendalinya).

Pemikiran fundamental Piaget ini dalam psikologi development telah mempengaruhi beberapa penerusnya termasuk di antaranya Merleau Ponty (1964) dengan karya filsafat terkenalnya berjudul Fenomenologi Persepsi.

Beberapa pandangan yang dikembangkan Ponty juga tergabung dalam ide-ide Piaget. Yang paling jelas, ia yakin pada kepentingan yang liyan bagi si individu disertai dengan derajat kesadaran-diri inheren tertentu khususnya dengan skema ke-tubuh-an yang telah tersajikan dalam diri anak anak pada masa sangat belia lantas memungkinkan satu individu untuk berinteraksi dengan yang liyan.

Pada permulaan abad 20, beberapa corak pemikiran lain juga mulai muncul bagi topik ini khususnya dari pengaruh yang dikembangkan oleh Vygotsky (1933). 

Pemikiran Vygotsky berbeda jauh dari teori Piagetian. Ia mempertanyakan kedudukan egosentrisme di masa kanak kanak sebagai pusat perkembangan self/diri dan kedudukan egosentris pada penggiringan representasi-representasi dunia.

Bagi Vygotsky, diri anak bukanlah pemeran utama bagi konstruksi ini karena si individu pada dasarnya memang adalah pembelajar dan ia hadir/presence dalam diri yang liyan serta lingkungan eksternal—yang mana akan memungkinkannya untuk membangun kedirian nya sebagai individu (Vygotsky, 1978).

Gagasan ini dilanjutkan oleh beberapa pemikir kontemporer. Di Prancis pengaruh dari Wallon (1959) menjadi titik tumpu utama dalam kajian ini. Melalui karyanya Wallon mempertanyakan kemungkinan konstruksi dari kesadaran-diri dan kesadaran/consciousness atas yang liyan berdasarkan pada interaksi-interaksi individu dengan lingkungan eksternal.

Wallon berfokus pada kepentingan dari kehadiran yang liyan dalam konteks si anak ada dalam self-konstruksi nya. Si anak belajar perilaku dari yang liyan, pertama tama secara sederhana dengan mimikri dan penularan/contagion reciprocal emosional (penularan emosi timbal balik).

Menurut Wallon, timbal balik emosional ini muncul sebagai tanda awal imposibilitas bagi si anak untuk mendisosiasi dirinya dari yang liyan selama bulan bulan awal kehidupannya.

Ia (si anak/bayi) tidak akan aware dengan keterpisahannya secara individu dengan orang tuanya. Hal ini terjadi melalui permainan stimulasi resiprokal dan alternasi yang oleh si anak akhirnya sadari melalui keawasan atas batas-batas yang memisahkan dirinya dengan yang liyan serta antara dirinya dengan ego-nya sendiri.

Bagi Wallon perkembangan kesadaran-diri berakhir pada krisis usia tiga-tahun di mana anak akan meng-afirmasi dirinya dan berlawanan dengan yang liyan (dalam konteks kehendak dan idea-nya). Pendekatan model ini akan bertahan di beberapa dekade berikutnya.

Artikel ditulis ke dalam bahasa Inggris oleh Gaëlle Keromnes, Sylvie Chokron, Macarena-Paz Celume, dkk, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Krisna Putra Pratama.

Krisna Putra Pratama adalah alumnus Kelas Filsafat Dasar (KFD) yang diselenggarakan oleh LSF Discourse.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content