Jean-Paul Sartre

Ekspresi pemikiran Jean-Paul Sartre berhamburan dalam lebih dari 60 karya sejenis drama, novel, esai-esai kritik hingga filsafat. Penulis yang juga aktivis ini tentu saja menerima sambutan lebih beragam lantaran konsentrasinya menempati posisi antara—satu mata untuk sastra dan lainnya untuk melirik filsafat. Audien yang kesulitan akhirnya sederhana saja menyebutnya sebagai seorang intelektual publik. Entah juga, beberapa kalangan intelektual sendiri bahkan menjulukinya filsuf kedai kopi. Bahwa memang betul, ia sering menghabiskan waktu di kafe-kafe dan hanya sebentar mengajar filsafat di sejumlah lycées di Paris dan Le Havre. Betul, Sartre tidak duduk di ruang dosen atau profesor.

Terlepas dari berbagai komentar publik, biar bagaimanapun, Sartre telah menyodorkan La transcendance de l’égo (1937) dan L’être et le néant (1943) kalau-kalau pembaca menganggap eksistensialismenya semata berangkat dari motif perburuan like dan subscribe. Bahwa ini lebih penting dari semua quote tentang persoalan eksistensi manusia: fenomenologi sebagai metode filsafat yang kembali memijak bumi, bagi Sartre, harus dilepaskan dari belenggu-belenggu yang menghambat kemungkinan terjauhnya.

Dalam pandangan Sartre, pada mulanya Edmund Husserl sudah melakukan tugasnya dengan baik. Peletak dasar fenomenologi didikan Franz Brentano itu setidaknya sudah mengatasi kejanggalan rasionalisme Descartes yang terancam jatuh pada solipsisme. Ringkasnya, struktur diadik “I think” atau ego cogito oleh Husserl diusul sehingga menjadi triadik: ego cogito cogitatum (I think object-thought). Implikasi metafisis dari pemahaman ini adalah nanti pada gagasan intensionalitas kesadaran yang selalu berbentuk sadar-akan-sesuatu. Karenanya pula, keyakinan eksistensial atas ‘kenyataan-ada’ tidak mesti diragukan atau disangasikan sebagaimana metode Cartesian, melainkan ditangguhkan; ditunda; dijadikan nanti dulu. Metode penundaan interpretasi yang disebut reduksi fenomenologis ini ditujukan Husserl agar kenyataan-ada menyingkapkan diri sebagaimana adanya melalui phenomenon. Subjek harus terlebih dulu netral dari prasangka atau interpretasi apapun sehingga dimungkinkan bagi kesadaran untuk berikutnya menangkap esensi dari realitas an sich. Untuk tujuan tersebut Husserl meminjam istilah Yunani epochē yang merujuk pada tradisi ‘penangguhan penilaian’ para skeptisis kuno. Detail argumentasi ketat dari Husserl terkait persoalan ini dapat ditilik dalam karyanya Cartesian Meditations (1931) dan seri pertama Ideas (1913).

Rupa-rupanya epochē juga digunakan untuk menanggulangi kritisisme Immanuel Kant yang terjerembab dalam kubangan idealisme sebab telah mendahului gugatan kepada Descartes secara kurang tepat—setidaknya ini menurut Husserl, melalui kacamata fenomenologi sebagai sebuah metode atau cara berfilsafat. Wacana idealisme yang sedemikian gagah dari seorang Immanuel Kant (atau bahkan Fichte sampai Hegel) bakal ambyar begitu pembaca berpaling pada teguran-teguran Husserl dalam Logical Investigation, Ideas atau The Crisis of European Sciences and Transcendental Phenomenology. Bagi fenomenlogi, setiap klaim filsafat atas kebenaran selama ini didasarkan pada pra-pemahaman tertentu yang dipaksakan terhadap realitas, sungguh bukankah ini berarti kekerasan terhadap realitas itu sendiri?

Descartes, Kant dan Husserl duduk sederet dalam ilustrasi berikut. Mereka menatap satu layar lebar yang sama, yang menampilkan suatu bayangan bebentuk sapi atau entah kerbau. Tak menentu, sebab ia hanya berupa bayangan gelap di permukaan layar putih. Kegaduhan dimulai saat Descartes gelisah dan meragukan pengalaman menangkap gambar yang muncul pada layar, bahwa itu tak lebih dari bayangan substansi yang berkeluasan di baliknya. Andaian ini menuntut sebuah keraguan metodis sehingga diperlukan cara-cara untuk menyelinap ke balik layar sana dan memergoki substansi berkeluasan apa yang menjadikan bayangan itu ada. Kant tentu memandang ini secara lain: sensibilitas indrawi (Sinnlichkeit) menangkap tampilan layar putih di sana sebagai phenomenon dan berikutnya der Verstand (intelek/akal budi) mengonstitusinya ke dalam kategori-kategori. Verstand tak mungkin menembus das Ding an sich di balik layar yang mana itu adalah noumena. Mengapa pula masih gelisah dengan sesuatu yang di balik penampakan? Kant menginterupsi Descartes dengan argumentasi sedemikian rupa menggunakan fungsi Vernunft (rasio). Seisi bioskop bisa krisis jika kegaduhan ini dibiarkan berlanjut. Akhirnya Husserl tergerak untuk meredam suasana.

“Ssst.. om-om tuh ya! neither things-in-themselves nor thing-as-it-appears doesn’t make sense tau ga kalo om masih aja ribut-ribut dualisme macem itu, which is yaudalaa tonton aja dulu, ini selesein, biar tuh film ngungkapin esensinya sendiri.”

Sebagai tambahan untuk ilustrasi tersebut: Sartre duduk di belakang mereka bertiga, senyam-senyum.

Barulah sekarang kita bisa mulai fokus pada fondasi ontologis yang hendak direkonstruksi Sartre sebagai tumpuan eksistensialisme miliknya. Dan pilihan Sartre tepat ketika mengambil jalan metafisika sebagai titik tolak keberatannya atas status subjek yang diajarkan Husserl. Dalam seri pertama Ideas, fenomenologi sebagai ajaran membedakan dua tipe ego yaitu ego empiris dan ego transendental. Sederhananya, penjelasan mengenai ego empiris adalah ego yang teramati oleh kesadaran. Sedangkan mengenai ego transendental Husserl memberi penjelasan yang kurang menentu. Tapi secara garis besar merujuk pada entitas murni atau potensialitas tertinggi. Setiap proses mental dimungkinkan karena adanya ego murni; bahwa ialah ego murni yang bertindak menunda, menerapkan epochē, berpikir atau meragukan. Tipe yang terakhir ini, menurut Sartre, tidak perlu disebut ‘The Pure’ atau ‘Transcendental I’ jika Husserl konsisten pada pendirian awal fenomenologi sebagai metode. Sartre menolak Ego beridentitas tinggi yang berdiri sendiri di belakang kutub ‘sadar-akan-sesuatu’ sehingga menjadi pemersatu antara kesadaran dan objek yang disadari. Dengan penetapan ego transendental yang serba-siap, mampu mengatasi segala pengada dan berstatus positif semacam itu, seakan Husserl merindukan pulang ke pelukan idealisme yang sebelumnya telah ia ceraikan. Fenomenologi Husserl menjadi seperti reka-adegan ketika Fichte menyeru mahasiswa seisi kelas: “Saudara-saudara, pikirkanlah dinding itu.” Tambahnya lagi, “pikirkanlah dia yang memikirkan dinding itu.” Selang kemudian, “sekarang pikirkan dia yang memikirkan dia yang memikirkan dinding itu.” Das absolute Ich atau ‘Aku-murni’ inilah yang dinyatakan Fichte sebagai suatu yang tetap dan mentransendensikan dirinya sebagai yang lebih tinggi dari ‘Aku-empiris’.

Pengukuhan Ego sebagai ‘The Pure’ atau ‘Transcendental I’ semacam itu, Sartre menyebutnya useless and superfluous. Tidak berguna karena ego transendental tidak menunjang apapun sehingga ia memajukan fenomenologi atau menjadikannya lebih memadai sebagai metode, dan hal itu berlebihan sebab alasan untuk dianggap murni/lebih tinggi/superior pastilah bukan deskripsi melainkan idealisasi. Jika Husserl konsisten dengan metode fenomenologi, menurut Sartre, maka pembedaan ego semestinya berupa deskripsi dua wajah yang menjadi manifestasinya: Lje (The I) dan le Moi (The Me). Keduanya memang transenden—dalam artian berada di luar kesadaran (outside) dan menjadi objek kesadaran itu sendiri—akan tetapi bukan suatu absolut yang berperan krusial dalam transendensinya atas kesadaran. Detail pembedaan tersebut diuraikan Sartre dalam publikasi debutnya sebagai pelengkap jurnal Recherches Philosophiques IV di Perancis, yang berikutnya dialihbahasakan secara familiar dengan judul The Transcendence of the Ego: A sketch for a phenomenological description. Sebagai himbauan cara baca, deskripsi dalam 30 halaman tersebut jangan dulu diperbandingkan dengan kompleksitas Lje et le Moi dari Lacan atau analisis ego warisan Freud. Demi menghindari kerancuan untuk sementara waktu, cukuplah hal ini dipahami sebagai upaya Sartre meloloskan diri dari jeratan fenomenologi egologis Husserl.

Fenomenologi yang menobatkan ego transendental sebagai kausa efisien tidak lagi layak diadopsi—Sartre menangkalnya dengan ajaran Husserl sendiri yang mana itu juga warisan Brentano. Apa yang menyebabkan kesadaran ‘berdenyut’ bukanlah ego transendental, melainkan intensionalitas. Sedangkan apa yang menjadikan ia intensional adalah karena secara esensial ia wujud kesadaran itu sendiri dan bukan yang lain. Kesadaran menjadi kesadaran itu sendiri karena wujudnya yang tiada apapun selain terarah dan menambatkan diri pada objek transenden tertentu (revealing intuition), entah pada being berwujud material konkret atau pada ide abstrak seperti kebenaran matematis. Dalam deskripsi Sartre kesadaran bersifat tembus pandang (translucent), jernih dan transparan (clear and lucid), sampai-sampai kesadaran mampu menyadari dirinya sendiri (artinya reflektif, baik dalam level non-thetic atau implisit non-posisional maupun thetic atau eksplisit posisional) selagi ia menyadari objeknya (kesadaran posisional pra-reflektif). Kesadaran tidak diciptakan atau dimunculkan. Kesadaran bukan lagi kesadaran jika ia berupa kesadaran yang tidak menganut prinsip-prinsip kesadaran sedemikian.

Semenjak ego didaulat Sartre sebagai warga being-in-the-world (bukan lagi pemilik rumah kesadaran) fenomenologi non-egologis kemudian didorong untuk mengejar kemungkinannya yang paling radikal. Langkah progresif Sartre tunjukkan melalui karyanya, Being and Nothingness, di gelanggang inilah ia memperhadapkan ‘Ada’ dengan tanda tanya besar, vis-à-vis. Sartre membuka presentasinya melalui sebuah pendahuluan bertajuk “À la recherche de l’être” (Dalam Pencarian Ada). Beberapa kalangan menganggap frasa ini slengean sebab ontologi sebagai sebuah persoalan kini menjadi sedikit dramatis tak ubahnya À la recherche du temps perdu-nya Marcel Proust. Akan tetapi Sartre nampak berkomitmen ketika memulai deskripsi fenomenologisnya dengan mengangkat kembali sisa-sisa dualisme klasik yang menempatkan substansi tersembunyi dari yang nampak; dualisme interior-eksterior; atau modalitas fenomena-noumena. Sekalipun faktanya seluruh teka-teki dualisme ini sudah diselesaikan Husserl—melalui gagasan esensi yang merujuk pada the thing or property ‘in general’ (überhaupt)—menurut Sartre kini masih tersisa dualisme terakhir: finite-infinite. Bahwa meskipun fenomena suatu objek hanya menampakkan diri dalam cara-cara yang terbatas, objek tersebut tidak dapat semerta direduksi karena bagaimanapun ia merupakan being yang tak terbatas. Apakah dengan ini fenomenologi hendak diseret untuk berbicara di luar pengalaman esensi? Atau justru bermaksud melampauinya?

Satu-satunya yang pasti di sini adalah pergeseran phenomenological essence menjadi phenomenological ontology. Yang kita pahami, standar fenomenologi Husserl bertumpu pada variasi imaginatif, yakni gerak dari partikularitas warna “merah” menuju/menjadi “kemerahan” sebagai konsep universal. Merah adalah yang transenden ada-di-sana (still there), sedang yang kita tangkap adalah esensinya (redness). Maka Being tetap bukanlah esensi. Being masihlah sebagaimana yang disebut Kant “condition of an object’s having any properties at all.”

Sartre menyebutnya transphenomenal: seri-seri fenomena tak terbatas yang secara potensial menyediakan pengetahuan baru. Gagasan ini tidak dimaksudkan mengulang dualisme interior-eksterior sebagaimana ontologi lama—bukan sesuatu yang tersembunyi dan terselubung di dalam being—melainkan sebagai inspeksi untuk terus menyingkap penampakan being yang tak terbatas dan melampaui pengetahuan. Sebelum tulisan ini berakhir membosankan mari kita perjelas dengan contoh berikut: dari titik mana pun Anda memposisikan diri, sebuah kubus hanya menampakkan (in profile) paling banyak tiga sisi. Tentu mustahil dalam level persepsi menangkap keseluruhan kubus. Tiga sisi kubus yang Anda lihat tersebut membawa semacam janji bahwa di balik sana ada tiga sisi lain. Dalam pengertian inilah Sartre menyebut esensi ‘kekubusan’ Husserl menganut prinsip serial (the principle of series) yang kebenarannya bersifat tentatif, sedangkan fakta pada being itu sendiri adalah transphenomenal.

Dengan demikian Sartre tetap menimbang bahwasanya yang riil sebagai wujud yang terberi (the given) tidak pernah hadir selayaknya being secara utuh. Phenomenon menampilkan dirinya dalam wujud representasi, tetapi juga bukan melalui imanensi tersebut being menjadi sepenuhnya riil. Hal ini memperlihatkan karakteristik realisme fundamental dalam ontologi Sartre yang pada akhirnya berbeda dari realisme representatif. Upaya ambisiusnya semakin berbelit ketika masuk pada ranah spasial-temporal. Tatapannya kian mengejar pesona dimensi aktual dan potensial. Belum lagi persitegangannya dengan Nothingness. Pantas kiranya Spiegelberg menyandangkan deskripsi untuk tokoh satu ini: “a combination of a phenomenalism of essences with a realism of existence.”

Sementara banyak kalangan bingung hendak menjebloskannya ke Rutan mana, lebih-lebih atas dakwaan ontologis semacam apa, Sartre tetap berhasil lolos dan menghirup udara bebas.


Saran Bacaan

Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology, tr. with an Introduction by Hazel E. Barnes, New York, 1956

French Philosophy in the Twentieth Century, Gary Gutting. Cambridge University Press, UK, 2001

The Transcendence of the Ego: A sketch for a phenomenological tr. Andrew Brown with an introduction by Sarah Richmond, Routledge, 2004

Twentieth-Century French Philosophy: Key Themes and Thinkers, Alan D. Schrift. Blackwell Publishing, 2006

Pegiat Lingkar Studi Filsafat Discourse yang juga merupakan mahasiswa Psikologi di salah satu universitas di Kota Malang.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.