fbpx

Matematika sebagai Model Epistemologi Gaston Bachelard

Bagi Bachelard matematika mempunyai pengaruh besar sebagai model epistemologinya untuk memahami aktivitas rasional di dalam sains.

Kemunculan relativitas Einstein dan non-Euclid geometri dianggap sebagai suatu kebaruan dari suatu konsepsi sebelumnya yang dianggap sebagai suatu aliran dominan dalam bidang fisika dan matematika (Euclid atau Newtonian). Dalam hal ini keduanya dianggap sebagai “kebaruan” yang menandakan progres di dalam sains yang sekaligus memberikan sebuah bahan untuk ditinjau secara filosofis. Hal ini dilakukan oleh Bachelard dengan merefleksikan progres di dalam sains guna memahami “pengetahuan” yang didasarkan oleh sejarah perkembangan sains. Bachelard mendeskripsikan bagaimana pengetahuan bekerja di dalam sains hingga pada perkembangannya saat ini dengan menunjukkan keretakan (epistemological rupture) di dalam sejarahnyadan kemudian menyingkirkan hambatan-hambatannya (epistemological obstacle). Setelah itu ia menengok filsafat dan menyeleksi gagasan yang sudah “outdated”. Penjelasan ini didapat dari melihat titik keberangkatan Bachelard ketika ia mengatakan “Science in effect creates philosophy.” artinya sains sebagai titik awal untuk dideskripsikan sesuatu dan berdasarkan deskripsi tersebut maka seseorang dapat menuai implikasi secara filosofis. Dia pun terkenal dengan anjuran bahwa filsafat harus belajar dari sains.

Di dalam tulisan ini saya hanya akan membahas bagaimana Bachelard menerangkan “pengetahuan” (bagaimana sains memperoleh pengetahuan) yang  bekerja di dalam sains (epistmological situation), karena demikianlah yang pokok dari pemikiran Bachelard. Sebagian lagi dari penjelasannya hanyalah koreksi yang didasarkan dari uraian tersebut. Upaya Bachelard menempatkannya pada posisi seorang filosof yang melihat kebenaran ilmiah di dalam sains bukan dari sebuah pendasaran logis atau filosofis, tetapi bergantung pada duduknya persoalan suatu ilmu pada saat tertentu. Karenanya Bachelard menganggap bahwa sains memiliki aturan-aturannya sendiri, sains bergerak tanpa campur tangan apa pun selain sains itu sendiri, sehingga penyelidikan Bachelard selalu di dalam kerangka sejarah sains itu sendiri untuk mengurai rasionalitas yang bekerja di baliknya (nilai filosofis di dalam sains). Berangkat dari posisi tersebut apa yang menjadi kunci untuk memberikan penjelasan di sini adalah bagaimana kita dapat menjelaskan rasionalitas yang bekerja di balik sains.

Paradoks dan Kontradiksi

Bagi Bachelard matematika mempunyai pengaruh besar sebagai model epistemologinya untuk memahami aktivitas rasional di dalam sains. Aktivitas tersebut mulai dipahami setelah non-Euclid geometri muncul dan  menunjukkan ada sebuah kontradiksi pada sistem itu sehingga perlu proses pengetatan dengan mengorganisasikan ulang sistem di dalam geometri. Bachelard mengatakan “Geometrical intuition, based on visual images, fails us when we try to extend intuitively grounded geometrical reasoning beyond the perceptible to the infinitely small.” (CA pp. 170-2). Menurutnya ada sebuah kontradiksi ketika metode geometri Euclid yang berbasiskan intuisi (self-evident) atau gambaran visual (mengenai bangun atau ruang) dapat digunakan untuk memikirkan suatu set infinitif jumlah kecil sehingga perlu pengembangan matematis lebih lanjut yang didasarkan pada analisis aritmetika. Upaya tersebut merupakan memahami gagasan geometri yang dikonstruksi sedemikian rasional, jadi tidak hanya berangkat dari intuisi yang  self-evident atau sekedar dideduksi dari prinsip pertama. Proses ini dilakukan langkah-demi-langkah untuk mengatasi kontradiksi yang ada, Dengan hal ini dihasilkanlah gagasan geometri yang kompleks seperti yang dikatakan Bachelard “The continuity characteristic of Euclidean space is no longer a simple primitive concept, but a highly complex one”

Berdasarkan paparan di atas, maka bisa disimpulkan bahwa Non-Euclid geometri adalah hasil dari upaya untuk mengatasi kontradiksi dan paradoks yang sedang dihadapi oleh gagasan dari geometri. Proses tersebut menempatkan matematika mempunyai standar yang ketat pada sistem gagasannya. Bagaimana sebenarnya standar yang ketat tersebut berlaku di dalam sistem matematika? Ketika suatu  kesalahan terjadi (seperti yang terjadi pada Euclid geometri yang berupaya memberikan penjelasan terhadap set infinitif jumlah yang kecil) diperlukan penjelasan ulang terhadap konsep dan metode yang sudah terjamin benar. Karenanya terjadilah sebuah rekonstruksi dari sebuah konstruksi (geometri intuitif) dan ini juga menunjukkan peralihan dari geometri yang intuitif ke struktur yang lebih kompleks.

Bachelard menggambarkan lebih jauh proses tersebut  dengan mengatakan “The construction goes on in the development of organised mathematical theories; in the process of agreeing on precise definitions finding adequate sets of axioms, and standardising proof procedures”. Di sini kita bisa melihat bahwa, pertama matematika beroperasi pada ciri yang mekanis dengan mengikuti aturan-aturannya, tetapi ketika kita berusaha melihatnya dengan bertanya bagaimana operasi tersebut bisa dibuktikan benar? Jawaban tersebut hanya bisa didapat dengan mencari pembuktian melalui operasinya  dan dengan demikian akan menuntun kita pada standar pembuktian tertentu yang menjadi dasar sistem tersebut beroperasi (ex: Peano Axiom). Jawaban tersebut tidak bisa didapat dari pengoperasiannya yang mekanis. Melainkan justru timbul dari pertanyaan bagaimana operasi matematis itu berlangsung dan bisa dikatakan benar. Upaya tersebut bersifat reflektif dan di dalam wilayah ini matematika diperlakukan sebagai struktur yang ideal artinya mengonseptualisasikan dan melakukan sistematisasi terhadap suatu teknis operasi matematis yang ada (geometri intuitif) untuk dapat di uji sebagai sistem yang konsisten dan sistemnya sebagai alat klarifikasi terhadap apa yang terjadi pada operasinya sebelumnya.

Hal yang dijelaskan Bachelard tersebut hanya bisa didapat dari upaya reflektif terhadap operasi matematika yang telah tersedia. Proses tersebut terjadi pada tataran formal di mana terisolasinya matematika dari pengaplikasiannya sehingga memungkinkannya aktivitas kreatif yang tanpa batas, batasannya hanyalah operasi itu sendiri. Bachelard membahasakannya dengan “Disengage the method from the conditions of its employment”. Harus diingat bahwa di dalam wilayah ini bisa dianggap juga matematika berperan sebagai “practical reason”, artinya sistem tersebut pertama harus dijamin konsisten, koheren dan dengan itu dapat merespons apa yang dianggap sebagai  practical problem, seperti silogisme dengan kerangkanya kita bisa menilai penalaran tertentu dengan menggunakannya sebagai sebuah sistem berpikir. Contoh yang lebih sederhana untuk menjelaskan cara kerjanya adalah seperti kita bertanya sesuatu, kemudian  pertanyaan tersebut dijawab berdasarkan kerangka sistem  artinya di sini sistem tersebut hanyalah mengolah sebuah data yang diberikan kepadanya dan kemudian dihasilkan berdasarkan aturan di dalam sistem tersebut.

Bachelard mengatakan setiap sistem di dalam wilayah formal dapat dipelajari dengan cara seperti ini dengan menetapkan standar ketetapan tertentu tetapi tidak bisa mengakui dengannya telah mencapai objektivitas di dalam sains, karena formal sistem tersebut berkarakter sebagai sistem yang tertutup. Artinya objek yang mungkin hanya harus berdasarkan sistem tersebut. Selain itu karakter ini tidak memungkinkan  untuk adanya suatu yang ditemukan, karena semuanya hanyalah hasil dari totalitas sebuah sistem yang bekerja. Dengan mendefinisikan matematika hanya melalui cara ini artinya matematika hanya dianggap sebagai sebuah keberagaman sistem simbol dari sebuah bahasa.

Kerangka Teoritis

Untuk keluar dari sistem yang tertutup (ketika matematika dipelajari di dalam sistem yang formal), matematika mempunyai aspek lainnya yang melengkapinya sebagai model epistemologi Bachelard. Bachelard menunjukannya dengan mengatakan “When heterogeneous domains ‘interfere’. If this kind of cross-application is always possible, then no mathematical theory can form an entirely closed deductive system”. Gagasan matematika di sini harus menjalin relasi antar sistemnya “kind of cross application” ataukeluar dari wilayah asalnya. Mengingat objek fisik bersifat multidimensional, jadi matematika pun harus didefinisikan secara  multidimensional sehingga metode rasionalitas yang memiliki domain rasionalitas yang berbeda harus berelasi satu sama lain untuk menjangkau perluasan aplikasi dari teori dan teknik yang melampaui batasan dari domainnya masing-masing.

Keheterogenan sistem tersebut di dalam proyek penyatuannya menunjukkan sebuah penolakan masing-masing, sehingga dibutuhkan kehadiran dari entitas rasional yang akan membuat keheterogenan sebuah wilayah dapat dipikirkan  secara  transparan untuk memungkinkan adanya persatuan di antara semua sistem tersebut. Bachelard mencontohkannya dengan pembagian divisi di dalam matematika, antara matematika diskrit dan kontinu. Keduanya memiliki wilayah yang berbeda tetapi memiliki upaya untuk menuju persatuan di dalam pendefinisian tertentu, seperti yang Bachelard katakan “Is in trying to measure the continuous by the discrete that a mathematical reality seems to emerge.”. Menurutnya ada sebuah kenyataan matematika yang dihasilkan dari penyatuan sistem yang berbeda. Ia mencontohkannya dalam matematika diskrit dan kontinu. Pada kerangka kajian ini, matematika bukan hanya ilmu yang menuntaskan segala paradoks dan kontradiksi di dalam sistemnya melainkan sebagai ilmu yang menciptakan sesuatu, sehingga dengannya kita mengalami sesuatu yang baru.

Di dalam kerangka kajian tersebut, matematika memerlukan  sebuah pendefinisian yang  berangkat dari sebuah pertanyaan mengenai satu sistem dengan sistem lainnya sehingga bisa melampaui sistem operasinya, walau tetap berada dalam konsistensi pada sistemnya masing-masing. Hal ini dicontohkan Bachelard ketika dia melihat ada hubungan antara geometri dan aritmetika melalui gagasan mengenai proporsi. Gagasan tersebut  mengandaikan ketika dua set rasio sebanding satu sama lain, kemudian hal ini digunakan untuk menghitung angka dari Pi yang sebanding dengan rasio antara keliling lingkaran  dengan diameternya. Pada konteks tersebut kita bisa melihat bahwa konsep mengenai angka memberikan sebuah nilai dengan diaplikasikannya di dalam kerangka bangun geometri. Kemudian timbul pertanyaan apa yang membuat kedua konsep tersebut berada dalam satu kerangka teoritis yang mensyaratkannya?

Dengan contoh lain ketika dua segitiga dengan bangun yang sama tetapi dengan ukuran yang  berbeda, jika sisinya ada yang tidak diketahui, maka kita bisa mengetahuinya dengan mengoperasikan perhitungan melalui bilangan rasio dan mengetahui sisi yang tidak diketahuinya. Pada penjelasan ini diperlihatkan bahwa perhitungan aritmetika hanya memungkinkan pada bangun geometri tertentu. Tentu konstruksi bangunan geometri yang didasarkan  dengan  ruler-and-compass construction yang mengidealkan bangunan geometri berdasarkan garis lurus dan garis melingkar yang membuat mungkin untuk mengatakan  bahwa bentuk konstruksi yang sama menghasilkan proporsi yang sama. Dengan itu dimungkinkan suatu perhitungan. Dapat dikatakan bahwa konsep mengenai angka yang di aplikasikan pada bangun geometri tertentu memberikan nilai terhadapnya, dan bangun geometri  melegitimasi konsep mengenai angka untuk mengukur konstruksi geometri tersebut.

Kedua konsep  tersebut dibasiskan pada operasi konsepnya masing-masing. Pada konsep mengenai bilangan seperti yang telah dicontohkan di atas operasi tersebut menggunakan bilangan rasional  dan  konsep mengenai konstruksi geometri dibasiskan pada ruler-and-compass contruction. Kedua konsep tersebut merupakan aturan dasar yang membuat pengetahuan tertentu menjadi mungkin. Semisal, dengan mengandaikan konstruksi geometri tertentu yang didasarkan ruler and compass construction, dengannya kita dapat mengetahui bangunan apa yang mungkin dan bagaimana aturan aturannya.

Begitu pun terjadi pada konsep mengenai bilangan dalam bilangan rasional. Artinya kedua hal tersebut sama-sama adalah objek dari pendemonstrasian aturan-aturan yang berlaku padanya, yang saling menjaga konsistensi antar sistemnya dan Kemudian pada tahapan tertentu kedua konsep tersebut bertemu pada titik yang sama pada gagasan mengenai proporsi (pengukuran) melaluinya kita dapat mengetahui kedua sistem tersebut dipadukan sebagai kerangka teoritis yang sama dan saling melegitimasi keberadaannya.  Upaya di sini adalah yang disebut Bachelard sebagai “Is in trying to measure the continuous by the discrete.” ialah melakukan pengukuran terhadap konstruksi geometri tertentu (ruler-and-compass contruction) dengan menggunakan bilangan tertentu (bilangan rasional).

Gagasan mengenai pengukuran  pada bidang geometri  tidak muncul dari  kedua konsep tersebut melainkan dari pendefinisian yang diciptakan. Bisa juga dipertimbangkan pernyataan berikut: “The procedures for such a determination are not given within either system, but have to be created, and yet they cannot be freely created, for there is the constraint of keeping consistency with both systems.” Untuk melakukan prosedur tersebut kita terlebih dahulu harus bertanya mengenai nilai (angka) pada suatu bidang geometri tertentu. Dengannya kita merelasikan keduanya dan menempatkannya pada suatu kerangka teoritis melalui praktik pengukuran.  Karena di sisi lain persoalan geometri bisa diselesaikan secara geometris seperti halnya ketika ingin mengetahui rasio antara keliling lingkaran dengan diameternya. Proses ini bisa direduksi menjadi pertanyaan geometris dengan bertanya mengenai metode untuk mengonstruksi persegi menjadi sepadan dengan area lingkaran. Dengan mengetahui rasio tersebut, kita menanyakan hal tersebut di dalam kerangka konsep mengenai angka. Pada titik ini kita mengetahui bagaimana prosedur konsep tersebut berelasi yang mensyaratkan konsistensi antar sistemnya sehingga memungkinkan kita mempunyai teknik terkait pengukuran.

Kerangka teoritis untuk menjawab  hal tersebut  belum lengkap jika diharapkan dapat menjelaskan secara utuh aktivitas rasionalitas di dalam sains. Terdapat poin yang esensial dimana kita bukan hanya mempertimbangkan pertanyaan yang berujung pada jawaban (adanya sebuah domain baru) melainkan juga cara menjawab pertanyaan tersebut (progres or development). Hal ini membawa kita pada inovasi geometri di mana aljabar mereformasi konsep geometri yang didasarkan rules and compass contruction hingga memperluas objek geometrinya. Upaya tersebut dicontohkan sebagai model untuk menerangkan bagaimana sains progres ditandakan dengan memperluas kerangka teoritis –dalam hal ini geometri—sehingga bisa mencapai objek yang lebih luas. Sebagai contoh: irisan kerucut atau menuntaskan masalah yang tak bisa diselesaikan  sebelumnya dengan geometri yang didasarkan oleh rules and compass contruction. Keduanya ialah usaha  menemukan cara untuk menduplikasi kubus. Jadi berdasarkan hasil tersebut  dapat disimpulkan bahwa geometri koordinat bukan hanya menawarkan metode yang baru tetapi juga memperluas aplikasi dan gagasan geometri.

Walau pada titik ini dengan aljabar, geometri tetap berada pada objek yang sama karena yang dialami hanyalah sebuah perluasan secara teoritis. Namun untuk menstimulasikannya kita dapat melihat sebuah persamaan dari lingkaran menurut geometri koordinat. Kita bisa menuliskan persamaan lingkaran dengan (x – a)2 + (y – b)2 = r2. Jika kita menggunakan alternatif lain di dalam koordinat geometri semisal, di dalam polar koordinat persamaan lingkarannya akan menjadi r2 + a2 – 2racos (0—a) = A2. Kedua persamaan tersebut mempunyai model yang berbeda terhadap lingkaran dan di dalam konteks ini dapat dikatakan juga, “Geometrical theory itself determines how to translate from one such system into another, entails that there will be more than one such system, and determines what are the possible systems.” Di sini ditekankan bahwa kendati perluasan terjadi pada kerangka teoritis, geometri tetap berkutat pada objek yang sama. Artinya teori yang lama masih terkandung pada teori yang baru. Hal ini menunjukkan kekonsistenan walau terjadinya sebuah inovasi perlu menekankan perluasan yang terjadi secara konsisten pada skala teoritis. Di sisi lain dengan koordinat geometri, masih ada kemungkinkan membuka sebuah perluasan objek yang didasarkan pada persamaan matematika aljabar seperti yang terjadi dengan persamaan lingkaran atau sebuah kemungkinan objek geometri yang baru. Dapat kita simpulkan bahwa upaya mengaljabarkan geometri merupakan tanda dari progres di dalam geometri yang tetap konsisten dengan konsep lalunya, dan terus-menerus membuka kemungkinan terhadap hasil yang tergabung sehingga kita bisa melihat adanya sebuah perluasan.

Epistemologi

Lantas bagaimana sebenarnya aktivitas rasional yang terjadi pada matematika? Bagaimana ia dapat menjadi model epistemologi untuk menggambarkan cara sains bekerja? Bachelard mengatakan, “Thus the interplay between the pure structures of the discrete and continuous magnitudes in mathematics also becomes the structure of the interplay between theory and experience in science.” (lihat juga CA p. 175.). Keseluruhan peristiwa di atas  merupakan gambaran bagaimana upaya matematika diskrit menangkap sebuah gambaran pada tatanan kontinu.

Gambaran tersebut ditangkap olehnya dengan membangun rangkaian approximation, ialah tindak untuk menciptakan sebuah perkiraan baru dengan mengevaluasi perkiraan yang salah seperti halnya perkembangan di dalam matematika yang telah digambarkan pada gagasan mengenai pengukuran atau inovasi geometri oleh geometri koordinat. Perkiraan ini merupakan pandangan umum mengenai objektivitas di dalam sains di mana sebuah kepastian selalu berada di dalam proses. Di sini  pun digambarkan bahwa matematika bukan hanya memahami  objeknya tetapi juga menjadi poin sentral, bukan objek itu sendiri melainkan bagaimana di dalam setiap tahap perkembangannya matematika terdapat cara pandang yang berbeda di dalam memikirkan  objeknya. Semisal  yang tadinya upaya mengonstruksi objek geometri yang didasarkan dari intuisi self-knowledge atau self evident dideduksi dari aksioma melalui perkembangannya, kemudian  bertransisi menjadi sebuah konstruksi geometri yang dibentuk melalui persamaan aljabar, maka  kedua cara tersebut secara eksplisit dapat menjelaskan bahwa objek geometri yang mungkin berkaitan erat dengan cara kita memikirkan objek tersebut – jika kita berbicara mengenai transformasi yang terjadi pada objek geometri yang tadinya dipikirkan secara intuitif— dibasiskan pada sebuah perhitungan angka. Melalui proses ini kita dapat menganggap bahwa objek geometri yang mungkin, hanya akan terjadi jika dikenakan pada struktur rasional. Artinya cara kita memikirkan sesuatu menentukan objek apa yang akan ditemukan. 

Perkembangan di dalam matematika juga dianggap Bachelard sebagai sebuah sebuah struktur karena terkandung di dalam sistemnya sebuah prinsip yang mengatur operasinya. Prinsip tersebut terus diformulasikan di dalam sistem formal pada tahap tertentu. Kemudian struktur tersebut dijadikan objek bagi pengetahuan untuk didemonstrasikan sehingga status abstrak di sini adalah abstrak yang dapat teraplikasikan. Langkah tersebut adalah sebuah siklus yang terus berulang sampai bertemu dengan kontradiksi dan paradoks yang kemudian kembali pada proses pengetatan ulang terhadap sistemnya. Oleh karenanya berdasarkan perkembangan sains, dinamika yang terjadi adalah proses konsolidasi di dalam sistem mencakup penuntasan paradoks dan penciptaan sebuah kerangka teoritis. Di sini operasi tersebut secara umum berada pada wilayah abstrak dan berdasarkan objek matematika yang merupakan hasil dari konsolidasi struktur yang dikenakan padanya (perluasan kerangka teoritis, pengeleminasian paradoks, dan kontradiksi) sehingga objek matematika yang mungkin berasal dari dinamika struktur yang terjadi padanya. Hal ini yang membuat Bachelard disandangkan sebagai seorang konstruktivisme, di mana hukum prinsip dari sebuah konstruksi hanya berdasarkan objek matematika muncul.

Dinamika yang terjadi di atas menunjukkan bahwa di dalam perkembangan matematika mensyaratkan peran dari subjek. Kendati pun tidak melepaskan aspek inter-subjektivitas, hal ini dibuktikan di dalam cara matematika berkembang. Di dalam tahap perkembangannya, matematika memiliki heterogenitas bidang yang diupayakan untuk menyatukan satu konsep yang terintegrasi. Hasil tersebut merupakan bentuk dari peran subjek yang mengintegrasikan pemahamannya mengenai variasi cara berpikir (keheterogenan sistem) sehingga subjek dapat mengatasi kesenjangan kognitif (perbedaan memikirkan sesuatu) antar gagasan matematika dengan mengajukan pertanyaan untuk dijawab. Jawaban tersebut membutuhkan pelibatan sistem satu dengan yang lainnya, sehingga gagasan tersebut tidak muncul dengan sendirinya. Ada entitas rasional yang melihat keheterogenan tersebut secara transparan.

Begitu pun yang terjadi pada upaya untuk mengatasi paradoks dan kontradiksi. Karena yang sesungguhnya terjadi adalah “Is the capacity of rational agents to reflect upon their own past actions, to ask questions about them, to seek to interpret them by seeking to make explicit the principles underlying the intentions with which they were performed, and to evaluate actions critically.” Aktivitas reflektif tersebut memungkinkan matematika memiliki wilayah khusus untuk menjurus pada persatuan di antara tiap konsepnya, serta melakukan pengevaluasian pada sistem operasinya. Demikianlah yang memungkinkan matematika menjadi ilmu yang bercorak koheren, konsisten, dan dapat dilacak, melalui tahap perkembangan bagaimana matematika berusaha mengatasi hambatan-hambatan dalam dirinya untuk mencapai perkembangannya.

Daftar pustaka

Bertens, K. (2014). Filsafat Barat Kontemporer Jilid II: Prancis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Gutting, G. (2001). French Philosophy in the Twentieth Century. London: Cambridge University Press.

Smith, R. (2017). Gaston Bachelard, Revised and Updated: Philosopher of Science and Imagination (SUNY series in Contemporary French Thought). United States of America: State University of New York Press.

Tiles, M. (1984). Bachelard: Science and Objectivity. London: Cambridge University Press.

Farhan Razaq

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content