Ilustrasi Nietzsche

    

Dalam dasar diri yang terdalam, seringkali kita lupa hendak memakai kendaraan apa dan memilih jalur yang mana. Niat hati ingin berbalik arah, namun lupa rumah ada di mana. Dalam beberapa kondisi, apa yang disebut sebagai rumah itu telah tiada, hangus, kosong, dan yang kita butuhkan selanjutnya adalah upaya memenuhi kebutuhan yang baru, tempat tinggal, sebuah pegangan.

Pegangan, sebuah kepercayaan yang membelenggu batas akal dan afeksi. Kita akhirnya mencoba mencari dan mencari. “Nah, ketemu!” teriak diri dengan bangga, namun apa setelahnya? Kita telah terperangkap pada suatu jangkar yang terletak di luar diri. Tidak ada Aku, tidak ada kehendak, yang ada hanya otoritas tinggi di depanku, yang paling kuat untuk melindungi kehendak lemahku. Pun, sejauh tidak ada yang pasti di luar sana, lalu untuk apa terlalu merelakan segenap kemerdekaan diri untuk kesia-siaan. Untuk apa?

Kita akhirnya tidak memiliki sedikitpun sopan santun kepada realitas. Cukup satu saja, aku fanatik padanya, dan seolah pembacaan kita atas dunia telah purna. Apakah tepat dikatakan demikian? Satu saja kata atau konsep yang kiranya lebih tinggi, memberikan kepadaku segala ketakberaturan terlihat rapi di depan mata. Apakah tepat begitu?

Sang Aku tidak sedang mencoba mengarahkan kita pada penolakan atas nilai, tidak ada niat sedikitpun. Aku sedang mengajak kita semua untuk membaca ulang segala hal yang mengarahkan kita pada disintegrasi moral. Bahwa tidak ada yang purna, semua harus terus menerus mengalami dekonstruksi. Kenyataan kita adalah plural. Tidak ada yang bisa mengelak dari semua itu; Indonesia yang serba kaya akan agama, budaya, bahasa, dst. terima saja apa-adanya se-ada-adanya. 

‘Satu Nusa Satu Bangsa’, jangan sampai narasi itu lenyap oleh tangan-tangan bengis nan fanatik. Totalitarianisme hanya mengarahkan pada dekadensi. Kita beragam, jangan memaksa untuk diseragamkan. Banyak usaha untuk mencoba memenuhi diri dengan sesuatu, namun pada akhirnya berujung pada kecintaan membabi-buta. Sebab-sebab terjadinya tidak lain adalah ‘kekosongan’, sebuah situasi di mana kehendak membutuhkan kehendak lain yang lebih kuat. Selanjutnya, kita mencoba mengisi ruang kosong itu dengan mereduksi esensi diri. Terkikis perlahan, lalu lenyap.

Intoksikasi dan Penularan

Melalui KBBI, kita akan menemukan definisi intoksikasi sebagai keracunan atau kegilaan. Penulis lebih senang memakai istilah ‘keracunan’. Bahwa, ia adalah penyakit berbahaya yang siap menular pada siapa saja yang memiliki kehendak yang lemah. “Intoksikasi sebagai kekejaman dalam kesenangan tragis dalam perusakan yang paling mulia; intoksikasi sebagai antusiasme buta bagi makhluk hidup yang sendiri atau yang berusia (seperti kebencian, dll)”, tulis Nietzsche dalam sebuah karya berjudul The Will to Power. Intoksikasi hadir dalam beragam rupa, baik sains, politik, sosial, dst. maka salah jika penyakit (fanatik) ini dikaitkan dengan orang-orang tak berpendidikan, intoksikasi tidak berkaitan dengan seberapa banyak isi kepala. Kita juga buta karena antusiasme berlebihan atas instrumen saintifik.  

Intoksikasi adalah persoalan diri. Hanya bisa disembuhkan melalui impuls dalam diri, semacam kombinasi atas afeksi, imaji, dan rasio yang tidak layu dan mudah terpengaruh oleh lingkungan eksternal. Seperti virus, penyebarannya begitu cepat dan menimbulkan kebiasaan aneh yang menggerogoti diri hingga tidak ada lagi rasa kagum atas segala yang menurutnya baru. Karena, melalui suguhan beragam preuposisi itu telah membuat kita merasa cukup, penuh, mutlak. Semacam dualitas busuk yang saling menghakimi. Aku yang benar dan kamu yang salah, aku yang bermoral dan kamu yang imoral, begitu seterusnya hingga intuisi subyektif yang tahu diri dihadapan kosmos akhirnya tenggelam dalam tragedi.

Keluar dari Intoksikasi

Tidak ada cara pasti untuk keluar dari kegilaan ini. Jika penulis memberikan cara-cara tertentu, maka penulis juga secara tidak langsung sedang mengarahkan pembaca pada presuposisi tertentu. Kesimpulan sementaranya ialah “ikuti jejak langkahmu sendiri”, setidaknya  itulah yang dapat disimpulkan apabila berjumpa dengan tulisan-tulisan dari Friedrich Nietzsche (1844-1900).

“Dunia mungkin jauh lebih bernilai daripada yang dulu kita percaya; kita harus melihat keseluruhan cita-cita naif kita, dan sementara kita berfikir bahwa kita memberikannya interpretasi tertinggi, kita mungkin bahkan tidak telah memberikan sebuah nilai adil yang sedang kepada eksistensi manusia kita”, ungkap Nietzsche dalam karya berjudul The Will to Power aforisme ke-32.

Menurut penulis, coretan itu memuat sebuah ajakan untuk mengoreksi kembali setiap nilai-nilai yang dianggap telah purna sebagai hukum moral yang prinsipal. Hal ini tidak lain bertujuan untuk mengantarkan kita pada proses menjadi (becoming), sebuah proses pencarian di dalam diri. Lalu, berlaku sopan di hadapan realitas dengan menolak homogenitas dan menerima pluralitas sepenuh hati. Karenanya, berhenti mengatakan jika aku atau kami adalah pusat dan puncak segala-gala yang ada. Tidak ada yang berhak mengatakan jika dirinya adalah penentu apa-apa yang baik dan tidak baik untuk orang banyak. Mustahil.

Pada akhirnya realitas terlalu luas untuk dijadikan daerah kekuasaan bagi para penggila perang bersenjata dogma, dan kenyataan ini terlalu indah untuk dikotori oleh tangan kotor berwajah malaikat.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.