fbpx

Merefleksikan Kembali Demokrasi Kita

Dalam sebuah negara demokrasi, mayoritas memiliki kecendrungan tinggi untuk memiliki kekuasaan yang tak terbatas.
The County Election karya George Caleb Bingham
The County Election karya George Caleb Bingham

Demokrasi secara umum diartikan sebagai metode pengambilan keputusan dan dapat dikarakterkan dengan adanya kesetaraan (equality) di antara para partisipan. Secara esensial, hal ini bertujuan untuk melahirkan keputusan yang diambil secara kolektif. Perlu diingat kembali bahwa Demokrasi berasal dari kata demos yang berarti rakyat, dan kratos yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Secara terminologis, demokrasi diartikan sebagai pemerintahan rakyat.

Kembali menilik catatan sejarah, kita akan menemukan bahwa Athena dikenal sebagai negara-kota (polis) yang mengembangkan sistem demokrasi sekitar abad ke-6 SM. Demokrasi kala itu masih terbilang begitu sederhana dan banyak mengalami perubahan seiring waktu berlalu. Banyak teoritikus politik menilai bahwa demokrasi kontemporer tidak lepas dari kontribusi salah satu polis di Yunani tersebut.

Demokrasi adalah sebuah kabar baik sekaligus kabar buruk. Ia merupakan sebuah sistem yang diinginkan demi tercapainya kehendak bersama sebagai manusia politik (zoon politicon). Ia juga merupakan sebuah sistem yang rentan menimbulkan “tirani massal”.

Plato dalam karyanya The Republic (375 SM) menganggap bahwa demokrasi tidak lebih baik dari beberapa bentuk sistem pemerintahan lain: misal, monarki, aristokrasi, dan oligarki. Hal ini bisa saja terjadi lantaran demokrasi yang menghilangkan keahlian esensial yang diperlukan untuk menata masyarakat dengan terampil.

Sementara itu, perlu diakui bahwa tidak seluruh lapisan masyarakat memahami dan menyikapi dengan bijak beragam persoalan mendasar dan kompleks dalam fenomena politik. Misal, dalam kontestasi pemilu, pasangan calon menawarkan beragam hal untuk memikat hati pemilih, bahkan tidak jarang dengan menampilkan diri dalam rupa seorang agamawan (agama mayoritas).

Atas dasar pertimbangan emosional tersebut, alih-alih rasional, kerumunan diarahkan pada pilihan kelompok yang syarat kepentingan. Akhirnya, demokrasi menjadi arena pertarungan dualitas antara si mayoritas yang mengalahkan minoritas, menang-kalah. Kuasa terletak pada pemenang dalam pemilu. Tidak setiap orang memiliki bakat, apalagi ketertarikan yang sama dalam persoalan pemilu. Mereka didorong untuk tidak abstain. Lalu, bagaimana ketika dihadapkan dengan kondisi masyarakat yang plural? Tentu tidak semua orang sama, tidak semua juga memahami konteks persoalan pelik.

Bagaimana jika mereka disodorkan sebuah rambu yang berdasar pada dikotomi baik-buruk, benar-salah, stimulus-respon, dst. Karena itu, negara akan dibimbing oleh gagasan-gagasan yang dikerjakan dengan sangat buruk, oleh para teknokrat manipulatif. Tentu masyarakat turut berperan. Berperan membantu mereka untuk memenangkan jabatan. Thomas Hobbes (1588-1679), memaknai demokrasi sebagai wadah yang hanya akan memperkeruh perselisihan-perselisihan yang ada. Keikutsertaan masyarakat dalam dunia politik tidak akan diperhitungkan. Yang utama adalah politisi dengan kepentingan kelompoknya saja demi menaiki tangga kekuasaan, lalu masyarakat yang terabaikan hanya akan semakin terlepas dari ideal demokrasi yang melibatkan setiap unsur partikular dalam pengambilan keputusan.  Konsekuensinya, jarak semakin terpisah antara politisi dan masyarakat sehingga akan mempengaruhi proses pengambilan kebijakan bersama. Sama seperti Plato, ia memandang hal ini sebagai otoritas syarat manipulatif dari segolongan orang dengan kepentingan egoistis.

Malapetaka Tirani Mayoritas

Mayoritas, dalam pandangan Alexis de Tocqueville (1905-1839) mengungkapkan bahwa, If not an individual with opinions, and usually with interests, contrary to another individual, called the minority?

Dalam sebuah negara demokrasi, mayoritas memiliki kecendrungan tinggi untuk memiliki kekuasaan yang tak terbatas. Dengan begitu mayoritas ini akan lebih leluasa menggusur beragam kepentingan yang berbeda dengannya. Hal ini lah yang disebut “Tiranny of Majority“, dalam pandangan Tocqueville.

Inti dari tirani adalah adanya ruang yang memaksa atau mengabaikan kehendak minoritas. Beberapa fenomena banal yang sering kita jumpai sebagai permisalan; rasisme kulit putih atas kulit hitam di Afrika, pengusiran etnis Rohingnya di Myanmar, dst. Tentu saja hal-hal semacam ini begitu bertolak belakang dengan arti adil dalam pengertian demokrasi, di mana pilihan-pilihan yang tidak disetujui dianggap sebagai musuh yang harus dibumi hanguskan.

Secara normatif, hal ini koheren dengan fungsi-fungsi yang luput dari pemerintah, tentang bagaimana sumber daya langka harus didistribusikan atau persoalan kontroversi etis seperti hukuman mati dipertanggungjawabkan. Seruan tertentu dalam sebuah keputusan kerap kali terdengar biasa saja. Misal, penduduk kota dapat memilih bahwa sumber daya terbatas yang tersedia untuk keperluan angkutan umum dimasukkan ke dalam sistem bawah tanah dan bus di pusat-pusat kota besar, dengan mengorbankan perluasandan perbaikan di daerah berpenduduk jarang. Terlihat bahwa pemerintah memang tidak melakukan tindakan tirani, dalam arti melakukan tindakan dengan konsekuensi amoral secara langsung dan disepakati. Namun jika ditilik dari sisi yang lain, keterlibatan beragam unsur-unsur secara partikular tertelan dalam suara mayoritas.

Tujuan dari demokrasi adalah rakyat (demos), menimbun kebaikan bersama. Terdengar seperti angan-angan. Impian semu sebagai penengah antara beragam rupa dari wajah budaya, agama, suku, ras, dan bahkan eksistensi individu. Sekalipun demokrasi tidak sempurna, dalam level konsepsi, pun juga pelaksanannya yang kerap cacat karena memarjinalkan kelompok lain.

Kemenangan kubu mayoritas dalam pesta pemilu memungkinkan penetapan standar moral baru. Nilai moral yang akan diturunkan dan dipatuhi secara universal. Tirani mayoritas akhirnya kembali terjadi. “Democracy for greater happiness” menjadi makna tunggal di mana hidup bersama-sama dengan keterikatan pada narasi besar (metanarasi). Aspirasi dan kemampuan untuk mengembangkan budaya seperti gambaran kebijaksanaan dalam istilah Aristoteles – ditemukan di antara segelintir saja – menjadi nampak lebih jelas. Terma “hoi polloi” – The People – akhirnya hanya berupa urusan kelompok tertentu dan mengabaikan multisiplitas atau keberagaman.

Kendati demikian, tidak mudah untuk mengatakan jika demokrasi kita telah gagal. Bagaimanapun, terma demokrasi telah banyak mengalami transformasi dengan membuka peluang bagi terangkatnya nilai-nilai baru.

Democracy is not the law of the majority but the law protection of the minority”, Albert Camus.

Tentang bagaimana kebebasan semakin terjamin secara individu dan kolektif, dalam menjadi dalam keseharian di ruang publik dan privat, di mana satu subyek individu diberi hak dan memiliki tanggung jawab atas dalam relasi intersubyektivitas.

Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content