Memahami Teori Dekonstruksi Jacques Derrida sebagai Hermeneutika Radikal

dekonstruksi derrida
Jacques Derrida

Jacques Derrida merupakan salah seorang filosof modern yang banyak mengkritik gagasan dan teori para filosof modern. Para filosof barat misalnya yang sering kali mengunggulkan logosentrisme.1 Hal ini sangat tidak disetujui oleh Derrida. Dia berpikir bahwa tidak mungkin konsep yang pertama selalu menjadi yang benar dan konsep setelahnya hanya tambahan saja. Hal itu menunjukkan bahwa kebenaran itu tunggal dan mutlak. Sama seperti konsep totalitas dan konsep esensi.2 Jika kita membahasa tentang Derrida tentang konsep memahami yang ditawarkan olehnya kita pasti akan merasa bingung dan juga terjadi perdebatan. Karena Derrida menawarkan konsep yang sama sekali berebeda dan problematis. Konsep Derrida berbeda dengan konsep para filsuf sebelumnya. Melalui dekonstruksi, dia menemukan makna dalam “teks” bukan sekedar menghadirkan kembali makna yang asli dari teks, atau melihat teks dengan objektif, atau dengan memahami keseluruhan teks, atau makna untuk diri sendiri dan sebagainya seperti yang dikatakan oleh beberapa filosof yang telah kita bahas bersama.

Cara yang ditawarkan oleh Derrida adalah dalam memahami makna teks yang tidak boleh terus mempertahankan makna yang lama (sudah ada) dan menentukan makna yang kemudian mengagungkannya. Tetapi harus diperoleh suatu kebenaran yang sungguh-sungguh baru dan menggambarkannya. Kebenaran ini diperoleh tanpa menyingkirkan kebenaran-kebenaran atau makna-makna yang lalu (yang telah mendahuluinya). Setelah kebenaran ini ditemukan, kita tidak boleh secara legitimasi menyatakan bahwa itulah kebenarannya yang sesugguhnya atau absolut.

“Teks” dapat diinterpretasikan sampai tidak terhingga, olehnya kita tidak perlu mengambil kesimpulan karena bagi Derrida kebenaran tidak harus tunggal, absolut dan universal. Makna yang diperoleh bukan tiruan atau dari pemikiran penulis sendiri atau pembacanya, tetapi sungguh baru. Makna diperoleh dari teks itu sesuatu yang tidak terpikirkan bahkan oleh penulisnya. Kebenaran atau makna yang diperoleh bukanlah satu-satunya kebenaran, tetapi ada kesempatan untuk ditemukan kebenaran baru, sampai seterusnya.

Sekilas Hidup dan Latar Belakang Pemikiran

Jacques Derrida lahir di Aljazair pada tangggal 15 Juli 1930. Pada tahun 1949 ia berpindah ke Perancis, di mana ia tinggal sampai akhir hayatnya. Ia mengajar di École Normale Supérieure di Paris.  Orang tuanya yang bernama Aimé Derrida dan Georgette Sultana Esther Safar, menikah pada tahun 1923 dan pindah ke St. Agustinus di Aljazair pada tahun 1925. Pada tahun yang sama Rene Derrida (anak Aimé dan Georgette) lahir dan empat tahun kemudian Paul Derrida (adik Rene) lahir. Namun tiga bulan kemudian Paul meninggal. Pada tahun 1930 Jackie Derrida lahir. Di kemudian hari ia menyebut dirinya “Jacques”. Derrida adalah seorang keturunan Yahudi. Pada tanggal 9 Oktober 2004, ia meninggal dunia di usia 74 tahun karena penyakit kanker (Hardiman, 2015).

Sejak tahun 1774 Derrida ikut aktif dalam kegiatan-kegiatan himpunn dosen filsafat yang memperjuangkan tempat yang wajar unutk filsafat pada taraf sekolah menengah: Greph (Grouph de recherché sur l’enseignement philoshopique) (Kelompok Penelitian tentang Pengajaran Filsafat). Kelompok ini didirikan ketika dalam rangka rencana pembaruan pendidikan peranan filsafat pada sekolah-sekolah menengah mulai dipersoalkan. Ia menulis artikel-artikel dalam terbitan-terbitan himpunan ini, misalnya dalam Qui a peur de la philoshopie?– Siapa Takut pada Filsafat?(1977). Beberapa di antara artikel itu, ditambah dengan karangan-karangan baru, dikumpulkan dalam buku Du droit à la philoshopie – Tentang Hak Atas Filsafat (1990). Karya-karya Derrida hampir semuanya ditulis merupakan komentar atas pengarag-pengarang lain: filsuf-filsuf, ilmuan-ilmuan, (misalnya S. Freud, F. de Saussure, dan Cl. Lévi-Strauss), dan sastrawan-sastrawan (Derrida, 2002). Tetapi komentar dalam bentuk yang khusus, sebab dengan cara itu pemikirannya sendiri berkembang selangkah demi selangkah. Ia tidak memberi penafsiran begitu saja. Ia juga tidak membatasi diri pada suatu penelitian mengenai pra-andaian dan implikasi dalam teks yang dibicarakan. Dengan mengomentari teks-teks itu ia menyajikan suatu teks baru. Ia menyusun teksnya sendiri dengan “membongkar” teks-teks lain dan dengan demikian ia berusaha melebihi teks-teks itu dengan mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan dalam teks itu sendiri. Prosedur ini yang oleh Derida disebut deconstruction, “pembongkaran” (Bertens, 1996).

Pemikiran Derrida

Pada intinya pemikiran Derrida ini dilatarbelakangi oleh Ontologi Heidegger, Fenomenologi dan Postrukturalime Prancis (Hardiman, 2015). Kemudian berkaitan berkaitan dengan teori itu muncul karena kritik terhadap Saussurian. Ferdinand de Saussure merumuskan teorinya melalui dua oposisi biner (dua hal yang berlawanan), seperti; besar dan kecil, ucapan dan tulisan, ada dan tidak ada, murni dan tercemar, dan seterusnya. Dalam pandangannya bahwa yang pertama selalu superior atau sempuna, utama, sedangkan yang kedua disingkirkan atau marginal. Contoh yang paling nyata adalah ketika Saussure menyatakan bahwa untuk menemukan makna adalah melalui ucapan dan rasa dari kata. Hal itu menunjukan bahwa ia meremehkan tulisan dan mengunggulkan ucapan.

Derida tertarik untuk mengkritik filsafat modern karena filsafat modern identik dengan pandangan metafisika kehadiran dan logosentrisme. Metafisika kehadiran menjelaskan bahwa suatu konsep atau teori akan dibenarkan jika sudah mewakili “being” (ada). Suatu yang ada tersebut bisa diwakili oleh kata, tanda dan konsep (Hardiman, 2015).

Istilah dekonstuksi ini dikenakan kepada Derrida sejak ia memberikan ceramah di Amerika dalam sebuah artikel. Pemikiran Derrida juga bukan suatu yang khas dalam hal dekonstruksi. Jika kita melihat perkembangan filsafat Prancis dan bahkan di Jerman, ada bebrapa filosof yang sudah berbicara tentang dekonstruksi. Mereka disebut proto-dekonstruksionis Walter Benyamin, Nietzsche. Dalam bukunya Derida mengatakan bahwa:

Filsafat selalu cinderung mencari istlah yang bersifat umum untuk satuan-satuan yang bersifat konkret (craving for generality). Dengan kata lain filsafat sering mencari kesatuan makna/pengertian dari hal-hal yang beraneka ragam, menacari kesamaandalam perbedaan, atau membuat penunggalan dalam kemajemukan (craving for unity) (Derrida, 2002).

Teori Dekonstruksi

Kita juga tentu bertanya apa itu teori dekonstruksi? Dekonstruksi susah untuk didefinisikan. Ada macam-macam definisi tentang dekonstruksi. Royle mendefenisikan bahwa dekonstruksi sebagai sesuatu yang bukan seperti yang dipikirkan orang banyak, pengalaman akan yang tak mungkin, cara berpikir untuk menggoyang apa yang sudah dianggap mapan, apa yang membuat identitas bukan merupakan identitas, dan masa depan yang masih belum ada itu sendiri (Royle, 2003).            

Seperti yang dikatakan oleh Derrida sendiri pas de method; pas artinya baik “tidak” maupun “metode”.  Jika kita ingin memahami dekonstruksi, dekontrsuksi bukan cara atau metode. Dalam Bahasa Prancis kata pas berarti bukan. Tetapi ternyata pas juga berarti metode. Berarti dekonstruksi itu bukan metode sekaligus langkah. Ini membingungkan karena lngkah itu juga berarti metode. Inilah yang perlu kita pahami. Apa artinya? McQuilan mengatakan kira-kira ada lima strategi untuk memahami dekonstruksi. Sebagai berikut (Hardiman, 2015):

  1. Pertama Dekonstruksi berarti sebuah peristiwa; peristiwa pembacaan. Kalau kita memahami dekonstruksi sebagai sebuah metode berarti kita akan mengulangi cara yang sama. Tetapi itulah yang tidak ingin dilakukan oleh seorang dekonstruksianis, seperti Derrida.
  2. Kedua, dekonstruksi adalah kontaminasi oposisi-oposisi biner. Misalnya, Oposisi biner itu seperti badan dan jiwa, maskulin dan feminim, dan laki-laki dan perempuan, siang dan malam, timur dan barat dan seterusnya. Dengan adanya oposisi biner ini, maka ada hegemoni makna dari salah satu kutub dan kutub lain menjadi marginal. Misalnya kutub laki-laki, siang, maskulin, badan, akan lebih dominan sedangkan kutub perempuan, barat, malam, feminisme, dan seterusnya menjadi terpinggirkan. Berbagai antinomi biner bisa dideret dan pasti ada salah satu sisi hegemonial dan sisi lain marginal. Apa yang akan dilakukan dengan dekonstruksi? Yaitu menunjukan, bahkan tidak perlu sengaja ditunjukan. Yang akan ditunjukan adalah sisi dari yang terpinggirkan atau marginal, karena ada sesuatu yang lain di balik interpretasi dominan mengenai yang marginal. Kata-kata ini untuk mejelaskan suatu makna. Makna itu sesuatu tidak dapat dijaga kemurniannya. Menurut McQuilan Dekonstruksi menempuh dengan dua tahap. Tahap pertama ialah alih-alih membiarkan dominasi dari salah satu kutub maka mecoba menekankan kutub lawannya. Misalnya ada oposisi biner laki-laki dan perempuan, lalu dekonstruksi melihat kekayaan, kemampuan, kandungan makna, kemungkina interpretasi dari kutub yang selama ini di abaikan yaiti perempuan. Kedua, yaitu menghapus antinomi biner itu sendiri. Karena menekankan kutub lawannya itu juga tidak bisa dipertahankan secara konsisten, itu hanya strategi untuk menjelaskan bahwa ada sesuatu yang lain.
  3. Ketiga, dekonstruksi juga bisa dijelaskan sebagai suatu proses pembacaan yang meminati yang terpingggirkan, seperti coretan di dinding. Kalau dalam konteks oposisi biner, maka semua yang dimarginalisaasikan dalam oposisi biner itu yang diminati. Kalau dalam riset maka hal-hal yang selama ini diam, bungkan maka itu dibiarkan bersuara, berbicara.
  4. Keempat, dekonstruksi adalah sejarah. Istilah-istilah yang diunggulkan dalm oposisi-oposisi biner, juga tidak stabil dan mendekostruksi diri dan hal yang terjadi di dalam sejarah. Setiap istilah memiliki sejarahnya dan sejarah juga menunjukan bahwa istilah itu tidaklah stabil.
  5. Kelima, tidak ada yang bebas-teks. Dalam pembacaan dekonstruktif makna teks mengacu pada rangkaian jejak-jejak, yaitu konteks-konteks yang ada dalam teks itu yang memberi makna. Dekonstruksi menghentikan upaya rehabilitasi ataupun kontruksi seperti dalam kasus Schleiermarcher dan Dilthey dan dalam kasus Gadamer.[11]

Dekonstruksi Hermeneutik Radikal

Dekonstruksi merupakan sebuah bentuk interpretasi teks, tetapi interpretasi itu tidak sama dengan para filosof yang telah kita bahas. Perbandingan dengan hermeneutik sebelum Derrida F. Schleiermacher dan Dilthey merekonstruksi makna; ada makna di masa lalu dicoba dihadirkan kembali, H. Georg Gadamer itu mengkonsumsi makna baru. Tetapi dekonstruksi mempersoalkan makna, konsep makna itu sendiri.  Jika pembaca begitu yakin akan sebuah makna maka ia akan berpegang teguh padanya dan tidak akan berubah perspektifnya. Maka ia akan menjadi piranis, karena lewat posisi makna pembaca mendefenisiskan sub-sub makna lain. Derrida cenderung mengatakan makna itu tidak bisa diputuskan. Jadi aktivitas interpretasi juga tanpa fondasi. Interpretasi bisa tak terhingga. Gadamer sudah hampir melakukan dekonstruksi tetapi belum radikal. Ini adalah sebuah interpretasi teks yang dilakukan secara radikal. Hermeneutik radikal berkaitan dengan teori milik Derrida yakni teori dekonstruksi. Oleh karena cara pikirnya yang sungguh berbeda dengan pemikir-pemikir modernis.

Dekonstruksi sebagai hermeneutik radikal ditandai dengan pergantian perpektif terus-menerus sehingga makna “tidak dapat diputuskan”. Karena misalnya ada sebuah teks dibaca, makna yang lain sudah muncul dan siap untuk membatalkan interpretasi pembaca. Sehingga batal interpretsi pembaca karena makna itu akan muncul. Jika makna itu diambil maka makna yang lain akan muncul dan akan terus seprti itu. sehingga sebuah interpretasi diwarnai dengan peralihan interpratsi terus-menerus. Karena interpretasi terus berganti maka makna tidak pernah bisa diputuskan. Seperti kata F. Budi Hardiman dalam sebuah kuliah kelas Filsafat bahwa Seorang pembaca dekonstruksi tidak akan memberikan jawaban apa makna teks itu, tetapi hanya akan bisa mengatakan, “ada makna ini, ada makna itu…tetapi makna yang sesungguhnya, saya tidak bisa memutuskan.” Maka akan berbeda dengan para pembaca positifis akan mengatakan dengan tegas “maknanya ini!”

Relevansi: Dekonstruksi Jacques Derrida

Saya akan mencoba melakukan dekonstruksi terhadap perempuan pelacur. Pelacur sangat berarti negatif di kalangan masyarakat. Terutama di Indonesia ini. Indonesia sangat sensitif dengan nama itu. Di kalangan masyarakat, pelacur tidak mendapat tempat dan nama baik. Mereka selalu menjadi orang terpinggir. Bahkan tidak sedikit dari masyarakat yang sangat membenci mereka, mungkin karena melihat suaminya jarang pulang ke rumah. Oleh karena mereka selalu dipandang buruk oleh masyrakat, tempat tinggal dan sekaligus rumah mereka mejadi tempat bersembunyi juga. Pelacur juga sudah menjadi suatu pekerjaan mereka. Maka saya akan melihat dengan kaca mata dekonstruksi.

Pelacur adalah nama atau sebutan bagi para perempuan penghibur dan pemuas seks. Mereka berasala dari berbagai latar elakang juga pastinya. Sebutan ini pasti sudah tidak asing lagi dikalangan masyarakat kita. tetapi masyarakat selalu memberikan stampel dan cap bahwa mereka adalah perusak rumah tangga, tak bermoral dan sebagainya. Tetapi saya akan melihat dengan cara yang berbeda. Saya menyebut mereka adalah super hero. Merek bukanlah super hero yang mempunyai kekuatan yang dasyat seperti di film-film. Mereka hanya manusia biasa, tetapi mereka layak disebut super hero karena pekerjaan mereka. Mereka berkerja bukan untuk diri mereka saja tetapi juga demi orang lain. Pekerjaan mereka senantiasa memberika kebahagiaan dan kepuasan bagi orang lain. Mereka yang lelah, stress, galau, dan sebagainya jika bertemu dan memperoleh pelayanan seorang pelacur terlihat begitu gembira dan bebas. Jika ada seorang yang sedang kesepian atau stres, datang kepada seorang pelacur dan ia akan menjadi semangat lagi.

Pada saat saya melihat pendapat bahwa perempuan pelacur itu melacur adalah perebutan untuk memenuhi kebutuhannya (hidupnya). Karena mengalami kesulitan dalam bidang ekonomi maka ia mengambil pekerjaan itu Tetapi dengan menggunakan dekonstruksi saya melihat hal lain dari seorang pelacur itu, Bukan sebagai pelakor (perebut laki orang) atau kekurangan uang. Saya melihanya sebagai sosok hero. Dari hal ini saya mencoba melakukan dekonsruksi dengan cara menurut McQuilan yakni memahami dekonstruksi sebagai meminati yang marginal.

Karena kebenaran bukan satu, absolut dan universal. Kebenaran itu bersifat multipluralis. Jadi setiap orang dapat memperoleh suatu makna yang lebih berbeda dan mendalam lagi. Hal ini bukan berarti kebenaran itu bersifat relatif. Tetapi dekontruksi hendak mengajak kita untuk terbuka terhadap kebenaran-kebenaran yang yang akan muncul /timbul. Karena itu selalu ada kemungkinan lain yang tidak terduga. Dekonstruksi selalu mengajak untuk memunculkan kejutan makna baru, itulah sebabnya ia mempersoalkan makna-makna yang ada agar makna yang tak terdugakan itu muncul.

Daftar Pustaka

Bertens, K.1996. Filsafat Barat Abad XX Jilid II, Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Derrida, Jacques. 2002. Dekonstruksi Spiritual; Merayakan Ragam Wajah Spiritual, Yogyakarta: Jalasutra.

Hardiman, F. Budi. 2015. Seni Memahami, Yogyakarta: Kanisius.

Royle, Nicholas. 2003. Derrida, London: Routledge.

Catatan

  1. Logosentrime merupakan suatu anggapan bahwa yang pertama merupakan sumber/pusat kebenaran, sedangkan yang berikutnya adalah kebenaran pinggiran dan selalu menjadi hal yang marjinal (terpinggir) bila dibandingkan dengan konsep yang pertama/awal.
  2. Konsep yang menyatakan bahwa kebenaran adalah satu dan konsep esensi menyatakan tentang dasar suatu pengetahuan.

satu Respon

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.