Hermeneutika Dilthey bertitik-tolak dari hermeneutika Schleiermacher. Schleiermacher menjadi perintis pertama hermeneutika modern. Schleiermacher mengatakan bahwa lebih baik kita memahami teks dari pada penulisnya. Teks lebih kaya dari pada penulisnya. Schleiermacher memahami teks sedangkan Dilthey memahami manusia. Adapun Schleiermacher memahami manusia dengan cara berempati namun Dilthey menggunakan metode interpretasi. Secara etimologis, kata ‘hermeneutik’ berasal dari bahasa Yunani hermeneuein yang berarti menafsirkan.[1] Banyak istilah yang berasal dari Yunani itu pasti ada hubungan dengan kebudayaan Yunani. Dengan demikian istilah ini memiliki kaitan yang erat dengan Hermes yakni seorang tokoh dalam budaya Yunani. Hermes merupakan dewa pengetahuan. Ia menafsiran apa yang dikatakan oleh dewa kepada manusia. Para dewa di Olympus memberikan pesan dan hermes menafsirkan agar tidak ada kesalahan dalam mengerti pesan yang disampaikan.
Semua orang akan selalu dihadapkan pada keadaan untuk memahami segala sesuatu yang ada dan dijumpai dalam kehidupannya, baik sesuatu itu berupa teks maupun konteks kehidupan itu sendiri. Perbedaan itu merupakan suatu kewajaran dalam kehidupan ini. Dengan adanya perbedaan tafsiran atau cara memahami itu bisa membuat manusia bertengkar antara satu dengan yang lain. Dilthey memberikan solusi untuk mengatasi kesalahpahaman itu dengan memahami orang lain. Pemahaman tentang orang lain ini membawa manusia pada sebuah pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri. Saya dan yang lain tidak bisa dipisahkan. Saya membutuhkan yang lain dan yang lain membutuhkan saya.
Mengenal Dilthey
Wilhelm Christian Ludwig Dilthey (1833-1911) dibesarkan di dalam keluarga Protestan Jerman yang terpelajar. Dia dilahirkan di kota Biebrich di tepi sungai Rhain dekat kota Mainz pada 19 November 1833. Ayahnya merupakan seorang pendeta gereja Reformed di Nassau mendorongnya untuk studi teologi. Karena itu setelah lulus gimnasium di Wiesbaden, Dilthey mendaftarkan diri di Universitas Heidelberg untuk belajar teologi. Kalaupun dia lulus teologi pada 1856, hal itu dilakukan demi menyenangkan hati ayahnya. Pada waktu yang bersamaan dia lulus filsafat di Berlin. Karier akademis Dilthey cemerlang. Setelah meraih gelar doktor pada 1864 dengan disertasi tentang Schleiermacher, dia diundang untuk mengajar di banyak universitas, namun universitas yang terkenal saat itu yakni Universitas Berlin.
Berbeda dari Berlin di zaman Schleiermacher yang ada dalam suasana gerakan Romantisme, Berlin di zaman Dilthey diwarnai oleh politik monarki Prussia Otto von Bismarck dan industrialisasi besar-besaran. Dilthey sendiri terhitung ke dalam kalangan atas yang mapan, karena gaji profesor Jerman lebih dari cukup sehingga dapat mengarahkan diri pada idealisme dan wawasan liberal. Dapat digambarkan sebagaimana aristokrat intelektual, mereka sangat kritis terhadap materialisme yang dibawa oleh elite industrial yang sedang naik dan mengecam krisis-krisis yang disebabkan oleh industrialisasi, antara lain ketercerabutan dari sejarah. Dilthey, seperti kalangannya ini, ingin mengembalikan perhatian pada sejarah, kebudayaan, dan kehidupan mental yang mengalami krisis oleh perkembangan baru itu, maka dapat dianggap memiliki motif Romantik dalam pemikirannya seperti Schleiermacher.
Latar Belakang Intelektual
Dilthey mencurahkan perhatiannya pada Geisteswissenschaften yang sebaiknya kita terjemahkan menjadi ‘Ilmu-ilmu sosial-kemanusiaan’. Kelompok ilmu ini dibedakan dari Naturwissenschaften yang bisa diterjemahkan menjadi ilmuilmu alam. Dilthey juga mendasari pandangannya dan pengertiannya tentang Geisteswissenschaften dari filsuf sebbelumnya, yaitu semua ilmu-ilmu sosial kemanusiaan, semua disiplin yang menafsirkan ungkapan-ungkapan kehidupan batiniah manusia, entah ungkapan itu berupa gestur-gestur, tindakan-tindakan historis, hukum yang terkodifikasi, karya-karya seni atau kesusastraan. Ia menulis banyak buku. Pada akhirnya Dilthey tutup usia pada 1 Oktober 1911 di kota Seis am Schlern di wilayah Tirol Selatan yang sekarang adalah bagian Italia.[2]
Dilthey berusaha untuk memahmi manusia. Manusia merupakan bagian penting dari hermeneutikanya. Manusia menjadi titik tolak dari pemikirannya. Dengan mengetahui siapa itu manusia atau siapa yang menulis teks itu maka Dilthey semakin memperolah pengetahun yang mendalam tentang makna kehidupan yang ada. Makna kehidupan itu merupakan hasil dari tafsirkan akan orang lain yang memberikan informasi tentang dirinya sendiri. Pemberian informasi itu diberikan dengan banyak cara.
Schleiermacher mempengaruhi latar belakang pemikiran Dilthey. Dilthey melihat dan meneliti apa yang telah dilakukan oleh Schleiermacher sehingga ia memiliki dasar pemikiran yang telah digagas oleh pendahulunya. Schleiermacher hanya meneliti arti dari teks Yunani dan Kitab Suci sedangkan Dilthey lebih memfokuskan penelitiannya pada penulis teks tersebut. Dalam Pemikirannya itu Dilthey mau mengetahui batin dari penulisnya sehingga teks yang ditulis oleh penulis itu semakin dapat dimengerti maksudnya. Dilthey menggagas pemikiran baru ini sehingga pemikiran Dilthey ini dapat diterima sebagai hermeneutika produksi. Dilthey menghasilkan sesuatu pemikiran baru. Pemikirannya membantu orang untuk semakin memahami makna dari sebuah teks. Makna itu diperoleh dari mengetahui penulisnya. Gerak batin penulis menentukan maksud penulisnya.
Metode Memahami Yang lain
Cara Dilthey memahami yang lain itu tidaklah mudah untuk kita terapkan dalam kehidupan ini. Namun, kalau kita teliti dan tepat mengikuti setiap metode yang Dilthey berikan ini maka kita akan memperoleh pemahaman yang mendalam tentang orang lain. Metode Dilthey ini dimulai dengan mengetahui konteks sejarah dari yang lain dan menggeluti tentang Erlebnis, Ausdruck, dan Verstehen. Metode yang disajikan oleh Dilthey ini merupakan cara yang tepat untuk memahami yang lain . Memahami yang lain itu membutuhkan proses. Proses itu harus dilaksanakan dengan sitematis. Kehidupan ini memiliki makna yang luar biasa. Dilthey menaruh perhatian pada sejarah. Sejarah mempengaruhi tata batin seseorang dalam kehidupannya. Cara sejarah mempengaruhi yakni dengan menghayati apa yang telah dialami. Apa yang dihayati itu bukanlah menjadi penghayatan lagi apabila sudah diungkapkan. Dalam pemikirannya itu Dilthey membedakan antara Naturwissenschaften dan Geisteswissenschaften.[3]
Pembedaan ini berdasarkan pemikirannya bahwa ilmu Naturwissenschaften dapat dipatenkan sedangkan ilmu Geisteswissenschaften selalu mengalami perubahan setiap waktu. Dengan adanya pemikiran baru itu, Dilthey tidak lagi mengetahui manusia dari membandingkan dengan ilmu alam tetapi Dilthey mengetahui manusia dari mempelajari manusia itu sendiri. Manusia sudah dapat memberikan informasi untuk orang lain dari dirinya sendiri. Pemahaman tentang manusia itu dinamis. Pada hakikatnya hidup bersama di dunia adalah saling berbagi di antara manusia. Dengan demikian yang lain memberikan informasi kepada aku. Informasi itu harus aku pahami.
Dengan memahami informasi yang diberikan oleh yang lain itu aku dapat memahami lebih mendalam tentang orang lain. Secara tidak sadar, yang lain itu sudah memberikan informasi tentang dirinya untuk kita pahami. Kita harus dapat menafsirkan dengan tepat informasi yang diberikan oleh yang lain. Sejarah tidak bisa dijadikan metode ilmih. Sejarah selalu menglami perubahan, sedangkan metode ilmiah sudah memiliki hukum ketetapa. Akan tetapi Dilthey mencoba untuk membuat penelitian sejarah ini masuk dalam ranah ilmiah. Dilthey berusaha untuk menjelaskan dengan menggunakan pemahaman akan Erlebnis, Ausdruck, Verstehen. Ketiga hal tersebut memiliki relasi dasar yang saling berkaitan satu dengan yang lain sehingga membentuk suatu pemahaman akan makna yang mendalam.[4]
Pengalaman atau Penghayatan (Erlebnis)
Dalam bahasa Jerman kata Erlebnis berarti pengalaman yang dimiliki seseorang dan dirasakan sebagai sesuatu yang bermakna. Dalam bahasa Indonesia memiliki banyak arti untuk menerjemahkan kata Erlebnis. Sebelumnya kita juga melihat terjemahan dalam bahasa Inggris yakni lived experience atau pengalaman hidup. Pengalaman merupakan suatu peristiwa yang telah terjadi dalam kehidupan sebelumnya. Dilthey memiliki pengertian lain tentang pengalaman yakni pengalaman hidup, di mana seseorang bersentuhan langsung dengan realitas. Di mana manusia tidak akan bisa lepas dari pengalaman hidupnya sendiri melainkan akan selalu melekat dalam hidupnya.
Kata lived experience dapat diartikan sebagai ‘penghayatan’ agar kita semakin memahami apa yang dimaksud dalam hermeneutika Dilthey. Dilthey mengatakan bahwa Erlebnis itu ada di dalam dirinya sendiri. Pengalaman bukan isi suatu kegiatan reflektif kesadaran. Bila Erlebnis itu sudah keluar dari dirinya sendiri maka Erlebnis bukanlah sebuah Erlebnis. Sebuah Erlebnis itu belum ada pemisahan tentang subjek dan objek. Bila manusia sudah dapat memisahkan subjek dan objek maka itu bukan merupakan sebuah Erlebnis lagi tetapi merupakan sebuah refleksi. Orang merefleksikan pengalaman hidupnya yaitu orang yang keluar dari Erlebnis. Erlebnis dapat memahami dirinya sendiri.
Pengalaman yang hidup atau Erlebnis ditentukan oleh proses timbal balik antara pengalaman lama dan pengalaman baru.[5] Pengalaman yang lama merupakan pengalaman yang telah dialami dulu sampai sekarang masih saya miliki sebagai pengalaman saya sendiri. Pengalaman baru merupakan pengalaman saya saat ini. Saya memberi pemaknaan baru akan pengalaman saya yang dulu dan saya memaknai pengalaman yang lama menjadi suatu yang berguna bagi masa depan saya. Dengan begitu, masa lalu dan masa depan membentuk kesatuan struktural dengan kekinian dari seluruh pengalaman. Penghayatan merupakan kontak langsung dengan kehidupan.[6] Orang yang sungguh menghayati pengalaman hidupnya berarti orang itu tidak memisahkan diri dari pengalaman itu sendiri. Orang itu hadir dalam pengalaman itu. Bila seseorang menghayati pengalaman doanya maka seseorang berada di dalam doa itu sendiri. Bila seseorang menuliskan pengalaman doa tersebut berarti orang itu tidak berada di dalam pengalaman doa itu sendiri.
Ungkapan (Ausdruck)
Kata Ausdruck merupakan kata yag berasal dari kata jerman yang dapat diartikan dalam bahasa Indonesia sebagai “ungkapan” atau “ekspresi”. Ungkapan atau Ausdruck menurut Dilthey adalah segala sesuatu yang merefleksikan produk kehidupan dalam manusia.[7] Segala sesuatu yang berkaitan dengan manusia merupakan ungkapan kehidupan atau ekspresi hidup. Arti ungkapan dalam bahasa indonesia ini terlalu sempit maknanya sebab orang terkadang berpikir tentang kata ungkapan itu hanya merupakan ungkapan perasaan.[8] Ketika seseorang memiliki perasaan cinta maka ia akan mengungkapkan perasaan itu. Perasaan cinta yang diungkapkan merupakan sebuah ekspresi yang dimiliki oleh seseorang itu. Hal ini tidak salah dalam arti ungkapan namun akan menjadi sempit maknanya jika dihubungkan dengan ekpresi hidup menurut Dilthey. Ekspresi hidup menurut Dilthey itu lebih luas dari pada sekedar ungkapan perasaan semata.
Bagi Dilthey, ekspresi adalah mutlak bagi tercapainya pengetahuan diri. Dengan ekspresi itu kita akan tahu tentang kedalaman diri kita dan lewat ekspresi juga kita dapat tahu tentang orang lain. Kita semakin mengenal diri kita sendiri dan segala sesuatu yang tersembunyi dalam diri kita tersingkap. Dengan tersingkapnya sesuatu yang ada dalam diri kita maka kita memiliki pengetahuan akan diri kita. Pengetahuan akan diri kita ini dapat menghantar kita untuk mengetahui tentang orang lain, namun tidak sepenuhnya kita mengenal diri kita itu sama dengan mengenal orang lain. Lewat ekspresi inilah kita juga memiliki pengetahun tentang keadaan jiwa orang lain. Berbagai ekspresi yang ada dalam diri kita tentunya akan menjadi sama dengan keadaan jiwa orang lain. Apa yang kita ekspresikan itu ada kemungkinan sama asalkan kita memiliki konteks yang sama dengan orang tersebut. Bila kita memiliki konteks yang berbeda dengan ornag lain maka kita dapat mempelajari konteksnya terlebih dahulu, baru kita dapat memahami apa yang diekspresikan itu. Dilthey membedakan tiga macam ekpresi yakni:[9]
1. Ekpresi yang termasuk dalam macam ini adalah sebagai ekspresi yang mengungkapkan ide-ide, konstrsuksi-konstruksi pikiran yang isinya tetap identik dalam kaitan mana pun juga. Seperti tanda lampu merah dalam lalu lintas, rumus-rumus aljabar, dan tanda-tanda yang muncul berdasarkan perjanjian, adalah konvensi semata. 2. Ekspresi kedua merupakan tingkah laku manusia. Dalam mewujudkan maksudnya, manusia melangsungkan suatu tingkah laku. Dan lewat tingkah lakunya, dapat dimengerti maksudnya. Suatu tingkah laku sering begitu jelas maksudnya. 3. Ekspresi ketiga Dilthey dengan nama Erlebnisausdrucke. Ekspresi ini merupakan ungkapan jiwa yang terjadi secara spontan, seperti suara spontan, seperti suara kagum, senyum, memelototkan mata karena marah, garuk-garuk kepala, tertawa, dan sebagainya yang merupakan ungkapan perasaan.
Ungkapan ini merupakan ungkapan yang diteliti oleh Dilthey sebagai ungkapan yang sama dalam konteks tertentu. Berbeda halnya dengan konteks yang berbeda maka makna dari ungkapan itu akan berbeda pula. Untuk mengetahui ungkapan itu maka kita terlebihi dahulu untuk memahami konteks orang yang mengungkapkannya.
Memahami (Verstehen)
Verstehen dapat diartikan dalam bahasa Indonesi sebagai ‘memahami’. Verstehen adalah proses pemahaman yang tidak hanya bersifat kognitif, tetapi juga mencakup kompleksitas seorang manusia.[10] Seluruh yang berkaitan dengan manusia itu dapat terpahami. Untuk dapat memahami secara dalam yakni dengan proses yang panjang. Pemahaman adalah sesuatu yang kita ketahui tentang realitas yang ada. Realitas itu kita ketahui dan menjadi sebuah pemahaman bagi kita. Namun demikian berbeda dengan apa yang dinyatakan oleh Dilthey tentang pemahaman. Dilthey berpendapat bahwa pemahaman adalah nama untuk proses mengetahui kehidupan kejiwaan lewat ekspresi-ekspresi yang diberikan pada indra.[11] Indra mulai mengamati ekspresi yang keluar dari diri seseorang. Ekspresi itu ditanggap oleh indra dan indra menyimpulkan ekspresi itu. Pemahaman yang dimaksud Dilthey merupakan pemahaman tentang orang lain.
Memahami (Verstehen) adalah mengetahui yang dialami oleh orang lain, lewat suatu tiruan (Nachbild) pengalamannya.[12] Pengetahuan akan orang lain itu tidak lepas dari pengetahuan akan diri sendiri karena kodrat semua manusia itu sama. Dengan kodrat yang sama ini menghantarkan kita untuk dapat mengetahui orang lain. Pengetahuan tentang orang lain dengan cara seperti itu masih sangat lemah. Setiap manusia memiliki kodrat yang sama namun memiliki konteks yang berbeda satu dengan yang lain. Konteks ini mempengaruhi pengetahuan tentang orang lain melalui pengetahuan kita tentang diri kita sendiri. Hal ini berarti kita harus mengetahui keseluruhan tentang orang lain atau kita sungguh kenal sehingga kita memperoleh pemahaman tentang orang lain itu.
Proses pemahaman tidak hanya pada proses empati saja melainkan pada proses interpretasi. Jika orang hanya dengan berempati saja dalam memahami hidup batiniah orang lain maka pemahaman akan orang lain itu kurang mendalam. Dengan orang menggunakan cara interpretasi maka orang akan semakin dalam mengenal batin orang lain. Ada dua pemahaman tentang orang lain yakni pemahaman lahiriah dan batiniah. Pemahaman lahiriah seperti yang dilakukan oleh seorang dokter. Dokter memeriksa badan kita yang sakit. Akan tetapi dokter itu belum mengetahui pribadinya. Disinilah menjadi titik tolak pemikiran Dilthey tentang manusia itu yakni pemahaman akan pribadinya.
Memahami Yang lain Dalam Pluralitas
Indonesia terkenal dengan negara yang plural. Pluralitas ini terlihat dari beragam budaya, agaman, bahasa dan suku. Orang tidak bisa melepaskan diri dari yang lain . Keterikatan ini akan selalu ada dalam kehidupan orang Indonesia. Hidup dalam negara yang plural ini merupakan sesuatu yang indah. Kita dapat mengenal yang lain untuk dapat membangun diri kita dan semakin mengenal diri kita sendiri. Pengenalan mendalam akan yang lain akan menciptakan keharmonisan dalam hidup bermasyarakat. Ada dua sudut pandangan untuk menilai fakta tentang pluralitas yang ada di Indonesia ini. Jika orang di luar negeri menilai tentang pluralitas Indonesia yakni Indonesia merupakan teladan bagi dunia dalam hal pluralitas. Sedangkankan jika kita sendiri yang menilai tentang pluralitas yakni Indonesia tidak memahami apa itu pluralitas dan tidak menghidupi dengan baik kehidupan pluralitas itu.
Dilthey menawarkan pemikiran untuk memahami pluralitas dengan baik. Pemikiran Dilthey yakni tentang pengalaman, ekspresi dan memahami. Adapaun pemikirannya tentang pengalaman yakni Pengalaman itu harus hadir dalam pemgalaman itu sendiri. Orang Indonesia harus memiliki pengalaman tersendiri tentang pluralitas. Pengalaman itu sebagai modal bagi kita untuk mengenal yang lain . Yang lain memiliki pengalaman tersendiri, sehingga aku dapat memahami yang lain dengan mengenal pengalaman sendiri. Hal yang perlu diingat yakni pengalaman itu tidak diceritakan, melainkan untuk direnungkan sendiri.
Pemikiran yang ditawarkan yakni ekspresi atau ungkapan. Ekspresi merupakan ungkapan kedalaman diri sendiri. Orang Indonesia yang terkenal dengan negara pluralitas ini dapat mengungkapkan pluralitas itu kepada yang lain dan sebaliknya. Kita dapat saling mengungkapkan apa yang kita miliki dalam kehidupan kita agar yang lain paham tentang apa yang kita miliki. Dengan begitu kita dapat saling memahmi semakin mendalam tentang yang lain dalam ungkapan. Pemikiran terakhir yang ditawarkan oleh Dilthey yakni memahami. Memahami adalah mengetahui tentang orang lain. Kita mengetahui tentang yang lain itu dengan pengalaman yang kita dapat dari diri sendiri serta ungkapan diri orang lain dan diri sendiri sehingga kita dapat menarik kesimpulan tentang yang lain. Dengan menggunakan pemikiran yang telah ditawarkan Dilthey ini maka orang Indonesia dapat memahmi dengan baik tentang yang lain dalam pluralitas.
Kontribusi Dilthey bagi perkembangan ilmu hermeneutika yakni membuka wawasan lebih luas bagi hermeneutika modern dalam konteks ilmu-ilmu sosial. Adapun Dilthey tidak hanya memahami manusia sekedar pemahaman yang dangkal melainkan pemahaman yang sungguh mendalam. Memahami dunia batiniah menjadi sumbangan untuk hermeneutikanya. Sumbangan pemikiran Dilthey bagi bangsa Indonesia yakni tentang memahami pluralitas yang semakin mendalam. Pemahaman itu dilakukan dengan memahami yang lain sebagai bagian dari diri sendiri.
Kepustakaan
Buku
Hardiman, F. Budi. (2018). Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius.
Palmer, Richard E. (2003). Hermeneutika, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
———————-. (1969). Hermeneutics, Northwestern University Pres: Evanston.
Poespoprodjo, W. (2004). Hermeneutika. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sumaryono, E. (1993). Hermeneutik. Yogyakarta: Kanisius.
Pandor, Pius. (2017)“Menakar peran agama di tengah merebaknya patologi ruang publik” dalam A.Tjatur Raharso, Paulinus Yan Olla dan Yustinus(ed). Mengabdi Tuhan dan Mencintai Liyan, Malang: STFT Widya Sasana.
Jurnal
Saptono, (2016). Pembelajaran Reflektif: Upaya Membumikan Hermeneutik Dalam Praktik Pendidikan. Salatiga: LP3S. Diakses pada 05 maret 2019, pkl. 21.00 WIB.
Sumber Lain
Saputri, Kristiriana Agustin Erry. (2012). Analisis Hermeneutik Wilhelm Dilthey Dalam Puisi Du Hast Gerufen – Herr, Ich Komme Karya Friedrich Wilhelm Nietzsche (Skripsi), Yogyakarya. Diakses pada 05 maret 2019, pkl. 21.00 WIB.
[1] Sumaryono, E. (1993). Hermeneutik. Yogyakarta: Kanisius. 2 Saptono, (2016). Pembelajaran Reflektif: Upaya Membumikan Hermeneutik Dalam Praktik Pendidikan. Salatiga: LP3S. Diakses pada 05 maret 2019, pkl. 21.00 WIB.
[2] Bdk. Hardiman, F. Budi. (2018). Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius.
[3] Bdk. Palmer, Richard E. (1969). Hermeneutics, Northwestern University Pres: Evanston.
[4] idem
[5] Saputri, Kristiriana Agustin Erry. (2012). Analisis Hermeneutik Wilhelm Dilthey Dalam Puisi Du Hast Gerufen – Herr, Ich Komme Karya Friedrich Wilhelm Nietzsche (Skripsi), Yogyakarya. Diakses pada 05 maret 2019, pkl. 21.00 WIB.
[6] Hardiman, F. Budi. (2018). Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius.
[7] Hardiman, F. Budi. (2018). Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius
[8] Bdk. Hardiman, F. Budi. (2018). Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius.
[9] Poespoprodjo, W. (2004). Hermeneutika. Bandung: CV Pustaka Setia.
[10] Bdk. Hardiman, F. Budi. (2018). Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius.
[11] Poespoprodjo, W. (2004). Hermeneutika. Bandung: CV Pustaka Setia.
[12] Poespoprodjo, W. (2004). Hermeneutika. Bandung: CV Pustaka Setia.
Sirus Yulius Mbusa lahir di desa Lembah Hijau Kecamatan Nanga Tayap, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat pada tahun 1994. Ia berasal dari keluarga petani dan memiliki hobi membaca, bermain sepak bola dan volly. Melalui hobi membaca kemudian tumbuh semangat untuk menulis. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan di STFT di Widya Sasana Malang.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.