Sudah sebelas tahun sejak berpulangnya sang Begawan, Prof. Satjipto Rahardjo, hukum progresif masih terus berkembang mewarnai diskursus hukum Indonesia. Para penerusnya melanjutkan dengan tetap menyuarakan jargon-jargon khas beliau seperti “hukum haruslah berhati nurani”, “biarkan hukum mengalir” atau “hukum itu untuk manusia bukan manusia untuk hukum”. Berbagai kajian dan karya ilmiah baik dalam bentuk buku, jurnal, artikel, termasuk ragam opini seperti tulisan ini, masih menganggap hukum progresif sebagai konsep yang relevan dan kontekstual dengan kebutuhan hukum Indonesia.
Salah satu ciri khas dari kajian hukum progresif adalah pertentangannya dengan positivisme hukum. Pertentangan ini sendiri telah menjadi pilihan populer di kajian-kajian hukum progresif arus utama. Secara alegori interaksi keduanya sudah menyerupai relasi antara karakter protagonis dan antagonis dalam film-film kebanyakan, di mana kedua tokoh akan bertempur mati-matian dan sudah barang tentu pemenangnya adalah hukum progresif sang protagonis.
Kemenangan protagonis atas antagonis sebenarnya bukan persoalan baik dan jahat atau superioritas dan inferioritas semata. Jika melihat lebih dalam kita akan menemukan problematika ide dan gagasan, layaknya potret-potret sinematik. kadang kala tokoh utama akan kehilangan eksistensi fisiknya, namun gagasan dan ide-idenya tetap terwujud. Maka itu kita mengenal istilah “happy ending”, karena meskipun si protagonis telah tiada (meninggal, terbunuh atau lenyap), gagasan dan idenya tetap berhasil dimanifestasikan hingga akhir film (meskipun tidak terjadi pada semua film).
Dalam ruang filosofis, alegori di atas sebenarnya memiliki perbandingan yang cukup sepadan, khususnya dalam konsep dialektika yang dipopulerkan oleh filsuf kenamaan Jerman, Friedrich Hegel, di mana model dialektikanya berdiri atas tesis yang ditentang oleh anti-tesis dan dari pertentangan tersebut terjadilah suatu fusi yang bernama sintesis. Meski demikian, dalam perkara hukum progresif dan positivisme hukum, pertanyaan yang pertama muncul bukan berasal dari proses dialektika yang berlangsung, melainkan terkait kedudukan hukum progresif itu sendiri. Pertanyaan tersebut yakni apakah sedari awal hukum progresif dapat dikatakan sebagai semangat perlawanan terhadap positivisme hukum? Mundur lebih jauh lagi, apakah hukum progresif merupakan gagasan yang sepadan untuk didudukkan bersebelahan dengan positivisme hukum?
Rasa-rasanya akan sulit untuk menjawab kedua pertanyaan tersebut secara komprehensif dalam tulisan singkat ini. Namun jika kita melihat pada interpretasi paling “orisinal” atas gagasan hukum progresif, tentu tidak lain yang berasal dari tulisan-tulisan karya Prof Tjip (sapaan akrab Prof. Satjipto Rahardjo), mungkin kita dapat memperoleh gambaran kasar akan relasi tersebut.
Dalam literatur-literatur terkait hukum progresif yang beliau tuliskan, sesungguhnya sulit untuk menemukan bentuk detail kritik konseptual yang dilayangkan hukum progresif sebagai alat kritik terhadap positivisme hukum. Secara sekilas memang terlihat bahwa kritik beliau terhadap positivisme hukum tersebut cukup banyak dan sebagian besar bernada keras. Namun kritik-kritik tersebut tidak sekalipun menjelaskan terlebih dahulu kerangka ontologis apalagi metodologis dirinya sebagai manifestasi dari suatu pendekatan hukum progresif.
Seperti dalam kritiknya terhadap nurani maupun moralitas penegak hukum yang diduga mengidap modernisme-positivistik, di mana justru lebih terlihat nuansa aliran hukum kodrati. Jika progresivisme hukum dikatakan hadir disitu, maka ia hampir tidak ada bedanya dengan cara hukum kodrati memandang dunia (Worldview/Weltanschauung), di mana alam nalar akan mengakui eksistensi variabel-variabel meta-yuridis yang bersifat deterministik dalam berhukum.
Kemudian argumen bahwa “hukum haruslah mengalir”, juga kental dengan unsur-unsur aliran hukum sejarah yang terlihat dalam pengakuan atas keberadaan hukum tidak hanya dalam undang-undang, melainkan juga tumbuh di tengah-tengah masyarakat, sehingga sudah sepatutnya hukum diharuskan bertindak dengan melihat lingkungan tempat ia bergerak. Ini sangat Savignian bukan? Tidak hanya kedua aliran di atas, hampir seluruh karakteristik aliran-aliran dalam filsafat hukum (kecuali positivisme hukum) dapat kita temui dalam kritik beliau terhadap positivisme, mulai dari Interessenjurisprudenz, sociological jurisprudence, aliran hukum bebas (Freirechtslehre) hingga critical legal studies.
Maka dari itu tidak heran jika Shidarta dalam tulisannya yang berjudul Posisi Pemikiran Hukum Progresif dalam Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat Hukum mendiagnosis Prof Tjip sebagai seorang “eklektikawan”. Suatu gelar yang didasarkan pada gaya filosofis “comot sana-sini”, di mana dalam membangun pandangannya, seorang eklektis akan melihat pada teori yang sudah ada dan akan dipilah-pilah mana yang disetujui dan mana yang tidak sehingga ia dapat selaras dengan semua teori itu.
Lalu apakah ini artinya hukum progresif tidak pernah benar-benar melancarkan kritik terhadap teori positivisme hukum? Tidak, permasalahannya bukan di situ, melainkan dari bagaimana Prof. Tjip mengenalkan hukum progresif pada dunia. Hingga akhir hayatnya, beliau tidak pernah melakukan teorisasi terhadap gagasan tersebut. Hukum progresif tidak pernah memiliki “persenjataan” konseptual se-sophisticate positivisme hukum atau aliran-aliran hukum lainnya. Sehingga pertanyaan di awal tadi, khususnya yang berkaitan dengan kritik antar keduanya tidak pernah benar-benar terjadi.
Jika kemudian terdapat suatu kritik terhadap teori positivisme hukum oleh sesuatu yang mengaku sebagai “teori” hukum progresif, yang muncul kemudian adalah kesulitan dalam menemukan variabel-variabel perbandingan yang sesuai (compactible) dan metodis, karena sedari awal Prof Tjip hanya melemparkan hukum progresif sebagai gagasan aplikatif dalam memecah kebuntuan hukum, bukan bermaksud melakukan klaim teoritis. Meski demikian, rasanya terlalu naif jika mengatakan bahwa progresivisme hukum tidak pernah benar-benar melakukan kritik terhadap positivisme hukum.
Kiranya kita perlu melihat kembali beberapa kritik yang beliau lancarkan terhadap positivisme hukum. Misalnya dalam tulisan yang berjudul “Pendekatan Holistik terhadap Hukum”, dengan tajam beliau menuliskan bahwa, “positivisme hukum sudah gagal karena pemahaman yang dibatasi oleh perundang-undangan”. Atau dalam tulisan lain yang berjudul “Hukum Progresif Berdamai dengan Alam”, beliau menuliskan cara pikir berhukum progresif yang dibangun dengan tidak hanya melibatkan ciri berpikir linear, tetapi juga melibatkan rasa perasaan atau kecerdasan meta-rasional.
Tentu yang dimaksud di sini bukanlah positivisme hukum sebagai teori payung (grand theory), melainkan komponen lebih kecil yang terdapat di dalamnya, mungkin bagian dari analytical legal positivism, analytical jurisprudence, pragmatic positivism atau bisa jadi Kelsen’s pure theory of law. Karena toh positivisme hukum tidak menutup mata akan keberadaan di luar undang-undang atau aspek-aspek meta-yuridis, selama hal tersebut dikukuhkan oleh undang-undang, maka ia dapat diterima. Terkait kritik tersebut, tuduhan dialamatkan lebih kepada bentuk primordial dari positivisme hukum, yaitu legisme, paham yang “mengkeramatkan” undang-undang secara sempit dan dianggap sebagai cikal bakal positivisme hukum.
Legisme sendiri sudah ada jauh sebelum positivisme hukum lahir. Pandangan radikal terhadap teks normatif telah mengantarkannya pada suatu kesimpulan bahwa hukum dan undang-undang adalah dua komponen identik. Yang tentu dalam perkara ini hukum progresif tidak keliru jika melihat legisme secara keseluruhan adalah “parasit” dalam penegakan hukum yang mengandalkan rule breaking sebagai fitur andalannya. Bagaimana tidak, ketika hukum progresif mengharapkan hakim untuk membongkar tembok kekakuan hukum, maka sebaliknya legisme akan berupaya membentengi hakim agar fokus menjadi pelaksana undang-undang yang taat.
Akan tetapi tuduhan terhadap legisme ini bukan menunjukkan positivisme hukum sebagai model penalaran yang tanpa cela. Justru sebaliknya hukum progresif berhasil menampilkan berbagai kelemahan penegakan hukum positivistik. Namun presentasi atas kekurangan-kekurangan tersebut bukan berupaya untuk meniadakan positivisme hukum secara teoritis maupun praktis, melainkan suatu upaya untuk menawarkan opsi gaya berhukum dinamis dan humanis.
Jika mengacu pada gagasan Prof Tjip hal ini didasarkan pada tiga asumsi utama yaitu: Pertama, hukum ada adalah untuk manusia, dan tidak untuk dirinya sendiri; Kedua, Hukum itu selalu berada pada status “law in the making” dan tidak bersifat final; dan Ketiga, hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan, dan bukan teknologi yang tidak berhati nurani. Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut, dalam tulisannya yang berjudul “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, terdapat empat kriteria hukum progresif; Pertama, mempunyai tujuan besar berupa kesejahteraan dan kebahagiaan manusia; Kedua, memuat kandungan moral kemanusiaan yang sangat baik; Ketiga, hukum progresif adalah “hukum yang membebaskan” meliputi dimensi yang amat luas yang tidak hanya bergerak pada ranah praktik, melainkan juga teori; dan Keempat, bersifat kritis dan fungsional, oleh karena ia tidak henti-hentinya melihat kekurangan yang ada dan menemukan jalan untuk memperbaikinya.
Dari pedoman berhukum progresif di atas kiranya dapat dipahami bahwa keadilan substantif yang hukum progresif hendak wujudkan tidak terletak dalam kebenaran konseptual semata, melainkan di dalam upaya-upaya hukum yang timbul dalam merespon gejala ketidakadilan yang muncul. Hukum progresif tidak pernah menempatkan positivisme hukum sebagai sang antagonis yang harus dihilangkan. Kritik yang ada lebih tepat untuk dialamatkan terhadap penegak hukum yang salah memaknai atau menerapkan positivisme hukum. Kondisi ini sama halnya dengan kedudukan pisau di tangan seorang pembunuh atau koki handal, terlepas dari siapa pun penggunanya, pisau tetap menjadi variabel bebas nilai.
Maka dari itu, hukum progresif bisa saja sewaktu-waktu mengalamatkan kritik terhadap penggunaan aliran-aliran selain positivisme hukum, karena esensi dari hukum progresif adalah upaya mencari keadilan substantif dari celah sekecil mungkin dan tentu hambatan yang dihadapi dalam mencapai tujuan ini bukan hanya undang-undang semata. Menggunakan hukum progresif hanya sebatas legitimasi dalam melancarkan kritik terhadap positivisme hukum tidak hanya mereduksi makna fundamentalnya, namun juga mengakibatkan malfungsi alat pencari keadilan yang terdapat di dalam gagasan hukum progresif itu sendiri.
Daftar Rujukan
Satjipto Rahardjo. “Hukum Progresif: Aksi, Bukan Teks”, dalam Arinanto, S. & Triyanto, N. (Ed). (2009). Memahami Hukum: dari Konstruksi sampai Implementasi. Jakarta: Rajawali Press.
Satjipto Rahardjo, “Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan”, dalam Rahardjo, S. (2009). Hukum Progresif: Sebuah Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta: Genta Publishing.
Satjipto Rahardjo. (2008). Negara Hukum yang Membahagiakan Rakyatnya. Yogyakarta: Genta Press.
Satjipto Rahardjo. (2011). “Arsenal Hukum Progresif”, Jurnal Hukum Progresif, 3(1).
Satjipto Rahardjo. (2006). “Hukum Progresif, Kesinambungan, Merobohkan dan Membangun”, Jurnal Hukum Progresif, 2(1).
Sidharta, “Posisi Pemikiran Hukum Progresif Dalam Konfigurasi Aliran-Aliran Filsafat Hukum (Sebuah Diagnosis Awal)”, dalam Safitri, M., Marwan A., & Arisona Y. (Ed). (2011). Satjipto Rahardjo Dan Hukum Progresif : Urgensi dan Kritik, Jakarta: Epistema Institute-HUMA.
Josua Navirio Pardede
Alumni Fakultas Hukum Universitas Diponegoro dan Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada. Sekarang bekerja sebagai CPNS Analis Perkara Peradilan di Pengadilan Negeri Bulukumba Kelas IB.
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.