… The resulting ambiguity allows the logically illegitimate conclusion to slip through that the other positions occupied by these agents are also ‘working-class positions’. (They are obviously ‘working-class’ in the second sense, but not necessarily in the first.) The implicit assumption of the unity and transparency of the consciousness of every social agent serves to consolidate the ambiguity — and hence the confusion …
Laclau & Mouffe, 2001
Pernyataan nan dilontarkan oleh Ernesto Laclau dan Chantal Mouffe barusan menjadi penanda penting bagi gagasannya, terutama di dalam bukunya yang berjudul Hegemony and Strategy Socialist (HSS), guna menyisihkan analisa kelas yang sangat mendominasi telaah atas (ortodoksi) Marxisme. Keadaan mutakhir bagi Laclau dan Mouffe dinamakannya sebagai situasi pasca-Marxisme (Post-Marxism). Situasi ini dimungkinkan justru karena ketidakmungkinannya di saat kondisi mutakhir terpaku pada analisa kelas seperti telaah atas (ortodoksi) Marxisme sebelumnya. Akan tetapi, apakah benar bahwa klaim mengenai analisa kelas sudah berada pada titik nadir senjakala?
Laclau & Mouffe Beserta Gagasannya
Ernesto Laclau merupakan seorang profesor yang menggeluti secara fasih mengenai political theory sekaligus pernah menjabat sebagai direktur di Centre for Theoretical Studies in the Humanities and Social Science di University of Essex, Inggris. Ia lahir dan besar di Argentina. Tatkala menjadi mahasiswa, Laclau aktif sebagai presiden dewan mahasiswa filsafat dan sastra, sekali lalu perwakilan dari faksi kiri Senat Universitas. Di tahun 1958, ia sempat bergabung bersama Partido Socialista Argentino, dan pada tahun 1963 menyeberang sebagai pimpinan Partido Socialista de la Izquierda Nacional yang di mana merupakan kelompok pecahan dari Partido Socialista Argentino. Namun, karena gagasan Partido Socialista de la Izquierda Nacional sangat mengedepankan pendekatan berbasis kelas, akhirnya Laclau break dan mengambil keputusan untuk keluar pada tahun 1968. Menurutnya, reduksionisme berbasis kelas dalam gagasan Partido Socialista de la Izquierda Nacional telah mengaburkan pemahaman yang jeli atas bangkitnya fenomena massa dalam kemunculan Peronisme di Argentina. Mulai saat itulah Laclau mempelajari Gramsci dan Althusser, kemudian daripadanya konsisten untuk mengemukakan konsep-konsep seperti hegemony dan over determined contradiction (bersama Mouffe) yang pada akhirnya mengambil jarak terhadap analisis kelas dalam Marxisme sesampai akhir hayatnya delapan tahun silam.
Sementara, Chantal Mouffe ialah seorang profesor dalam bidang political theory di Centre for Studies in Democracy, University of Westminster, Inggris. Ia lahir di Belgia dan kelak melalang buana ke Perancis hingga Amerika Latin. Tak seperti Laclau, latar belakang Mouffe dipengaruhi oleh nuansa politik khas Eropa Barat. Ketika menjadi mahasiswa di Université Catholique de Louvain, ia aktif di dalam gerakan mahasiswa Belgia, pemimpin redaksi jurnal sosialis, dan anggota faksi kiri dalam partai sosialis Belgia. Di sekitaran tahun 60-an, Mouffe pindah ke Paris guna menghadiri seminar dari salah seorang Marxis Perancis, yakni Louis Althusser. Tetapi, ia sama sekali tak tertarik terhadap pandangan dari Althusser guna memperbaharui gagasan teoritik Partai Komunis Perancis dan menjadi konsekuensi pula apabila ia tak mau ambil bagian dalam aktivitas partai tersebut. Pada akhirnya, Mouffe lebih memilih untuk bergabung dalam kelompok pembebasan Amerika Latin, serta membawanya pergi ke Kolombia untuk mengajar di departemen filsafat National University. Dalam refleksinya mengenai konstelasi politik Kolombia dan negara Amerika Latin lainnya atas bentuk simbolik identitas sosial membawanya pada sebuah pengamatan kritis atas reduksionisme yang berbasis kelas dari Marxisme.
Sepenggal kisah barusan memberikan titik pijak awal bagi pemahaman mengenai konteks kehidupan Laclau dan Mouffe nan akan mempengaruhinya dalam merumuskan gagasannya.
Dalam HSS, pertama-tama, Laclau dan Mouffe mendaratkan sebuah konsep tentang hegemoni. Menurutnya, selama ini dan apa yang disebutnya sebagai Marxisme ortodoks niscaya menyingkirkan konsep hegemoni menjadi yang pinggiran. Yang utama niscaya ialah determinisme ekonomi. Ekonomi menjadi base-structure bagi superstructure seperti hukum, politik, ideologi, agama, serta tatanan institusional dan kesadaran lainnya.
Hegemoni sendiri, sejak Gramsci, dapat diartikan sebagai pembentukan front yang dirumuskan berdasar pada kehendak kolektif untuk dikonstruksikan dalam tatanan sosial atau bisa dikatakan pula sebagai pengkonstruksian sesuatu dari yang-partikular menuju yang-universal guna mewujudkan blok historis. Pembentukan blok historis ini merupakan wujud keinginan kolektif yang berdasar pada kepemimpinan intelektual beserta moral dalam kancah politik dan budaya. Meskipun begitu, hegemoni tak melulu datang secara top down dari the-sovereign, ia juga bisa hadir melalui cara bottom up ketika terjadi sebuah resistensi dari the-people terhadap tekanan maupun penindasan yang dilakukan oleh the-sovereign itu.
Walaupun berhutang terhadap konsep hegemoni dari Gramsci, Laclau dan Mouffe menyangsikan bahwa Gramsci meskipun sedikit banyak mencoba untuk memodifikasi Marxisme ortodoks akan tetapi masih menempatkan basis ekonomi di dalam telaahnya dengan merujuk pada kelas proletariat yang memiliki andil besar di dalam penyatuan rantai hegemonik.
Untuk keluar dalam aras determinisme ekonomi beserta konsekuensi yang terkandung di dalamnya, Laclau dan Mouffe menempatkan hegemoni dalam sebuah artikulasi. Artikulasi bagi mereka merupakan;
… we will call articulation any practice establishing a relation among elements such that their identity is modified as a result of the articulatory practice …
Laclau & Mouffe, 2001
Dari pengkonstruksian terhadap relasi antar berbagai elemen, sehingga identitasnya menjadi termodifikasi, nantinya akan menghasilkan sebuah formasi atau barangkali disebut juga front/blok diskursif.
Namun, sebelum masuk lebih jauh mengenai formasi/front/blok diskursif, untuk mendudukannya secara lebih jelas, perlu ditunjukkan argumen dasar dari Laclau dan Mouffe mengenai realitas sosial masyarakat.
Jikalau sesosok subjek memang pelaku di dalam masyarakat, sudah barang tentu akan berelasi secara internal dengan pelaku lainnya. Apa yang disebut sebagai identitas dalam diri pelaku dan pelaku lainnya di dalam masyarakat, jikalau ia berelasi, selalu dikonstitusikan oleh keberadaan yang-lain sehingga pada dirinya sendiri akan menampakkan negativitas internal. Hal ini berarti, sejauh identitas masyarakat A ditentukan oleh relasinya dengan masyarakat non-A, maka di dalam diri masyarakat A terdapat masyarakat non-A yang memungkinkan untuk mengidentifikasi masyarakat A sekaligus membatasi kemutlakan dari identitas masyarakat A (Suryajaya, 2016). Maka dari itu, setiap masyarakat tidak dapat ditotalkan dan niscaya hadir dalam diri setiap subjek yang-lain ataupun tak identik daripadanya. Fenomen inilah yang lalu dirangkum oleh Laclau sebagai empty signifier atau ‘penanda kosong’ (penanda tanpa petanda) (Laclau E. , 2007). Apa yang dimaksud sebagai ‘penanda kosong’ ini dapat dipermudah dengan contoh berikut; seandainya kita sedang melihat sebuah pohon. Pohon apabila kita artikan secara umum merupakan sebuah entitas tumbuhan yang berbatang keras. Namun, ia ternyata tak hanya sekedar entitas tumbuhan yang berbatang keras semata. Akan tetapi, ia bisa juga diartikan sebagai habitat bagi berbagai jenis spesies hewan, dalam studi ekologi ia berguna bagi kehadiran oksigen, di mata pengusaha ia bisa menjadi barang yang berguna bagi akumulasi kapital (ekonomi), bahkan dalam kepercayaan klenik ia merupakan tempat tinggal bagi makhluk tak kasat mata. Dari keragaman arti mengenai pohon inilah ia tak dapat dijadikan sebuah definisi baku yang hanya dilihat dari satu sisi semata, sehingga menjadi mungkin apabila arti lain mengenai pohon akan selalu bergantian hadir atasnya. Hal demikian yang dimaksud sebagai ‘penanda kosong’ itu.
Selanjutnya akan dibahas mengenai pembentukan formasi/front/blok diskursif dalam realita sosial masyarakat yang plural tersebut. Dari berbagai macam relasi yang terjadi dalam realita sosial masyarakat hampir dipastikan bahwasanya terdapat artikulasi hegemonik nan mencoba membentuk sebuah diskursus ‘bersama’ di dalamnya. Diskursus ‘bersama’ ini kemudian akan menjadi sebuah dominasi atau barangkali penggugat terhadap yang-dominan ketika berhasil memanifestasikan penetapan atau ketetapan makna bagi semesta relasi tersebut. Hal ini disebut pula sebagai nodal point atau titik ketetapan makna. Mengutip Martin Suryajaya dalam bukunya, apa yang disebut sebagai nodal point dapat dicontohkan melalui terma ‘anti-Soeharto’ dalam fenomen gerakan ’98. Meskipun begitu, apa yang menjadi nodal point akan selalu bersifat parsial, maka dari itu terma ‘anti-Soeharto’ tak menjadi gema ketika pasca-Reformasi (Suryajaya, 2016). Proses emansipasi penyatuan di dalam terma ‘anti-Soeharto’ ini yang kemudian dikatakan sebagai chains of equivalence. Sementara, blok hegemonik dalam terma ‘anti-Soeharto’ tersebut dikatakan sebagai political frontier. Namun, apa yang disebut sebagai chains of equivalence maupun political frontier itu bukan sebuah persamaan total antar aktor di dalamnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:
… A relation of equivalence is not a relation of identity among objects. Equivalence is never tautological, as the substitutability it establishes among certain objects is only valid for determinate positions within a given structural context. In this sense, equivalence displaces the identity which makes it possible, from the objects themselves to the contexts of their appearance or presence. This, however, means that in the relation of equivalence the identity of the object is split: on the one hand, it maintains its own ‘literal’ sense; on the other, it symbolizes the contextual position for which it is a substitutable element …
Laclau & Mouffe, 2001
Chains of equivalence maupun political frontier dimungkinkan apabila berhadapan dengan yang-mensubordinasi atau rezim opresif. Posisi berhadap-hadapan itu kemudian disebut sebagai antagonisme. Mengutip tulisan Daniel Hutagalung, antagonisme yang dimaksud dapat dimisalkan sebagai berikut; katakanlah terdapat aktor A, B, C, dan D. Jika di dalam suatu diskursus tertentu terdapat sebuah antagonisme (A, B, dan C) dengan D, maka aktor (A, B, dan C) dapat mengidentifikasikan sebuah batasan politik tertentu dengan D. Sebuah identitas bahwa mereka bukanlah D itu dapat menjadi sebuah artikulasi hegemonik (Takwin dkk, 2008). Hal tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut:
Penciptaan rantai hegemonik maupun kondisi antagonisme itulah yang kemudian akan mengarah pada sebuah politik emansipatoris berupa demokrasi radikal-plural serta populisme kiri. Mouffe dalam bukunya mengatakan bahwa momen yang menentukan bagi ‘revolusi demokratik’ ialah Revolusi Perancis dengan afirmasinya pada keabsolutan kekuasaan rakyat. Afirmasi tersebut menimbulkan model simbolik baru dari berbagai macam institusi sosial yang memutus kerangka teologi-politik, sehingga tersedia kosa kata untuk mempertanyakan pelbagai bentuk ketidaksetaraan yang dianggap tak absah (Mouffe, 2018). Dari sinilah apa yang disebut sebagai revolusi demokratik dengan aktor the-people mewujud. Seperti sebelumnya, apa yang dimaksud sebagai the-people merupakan keragaman itu sendiri, misalnya gabungan seperti; kaum urban, environmentalis, feminis, anti-rasis, dan kaum yang tersubordinasi lainnya. Namun, menurutnya, agar tak terjebak pada esensialisme maka penting untuk dilihat bahwa identitas politik bukanlah ekspresi langsung dari posisi objektif dalam tatanan sosial. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat demikian;
…To apprehend the role of the democratic discourse in the constitution of political subjectivity, it is necessary to understand that political identities are not a direct expression of objective positions in the social order. This attests to the importance of an anti-essentialist approach in the field of politics. As asserted in Hegemony and Socialist Strategy, there is nothing natural or inevitable in the struggles against relations of power, nor in the form that they will take.
The struggle against forms of subordination cannot be the direct result of the situation of subordination itself. For relations of subordination to be transformed into sites of an antagonism, one needs the presence of a discursive ‘exterior’ from which the discourse of subordination can be interrupted. This is precisely what the democratic discourse has made possible…
Mouffe, 2018
Maka dari itu, apa yang disebut sebagai demokrasi radikal-plural menjadi titik dasar bagi populisme kiri nan merupakan antitesis dari populisme kanan. Setidaknya, demokrasi radikal-plural dapat diidentifikasi sebagai berikut; Pertama, demokrasi radikal-plural dalam artian pluralitas tersebut berbasiskan pada logika kesamaan-kesetaraan dari berbagai macam identitas yang ada. Kedua, demokrasi radikal-plural ialah pluralitas dalam demokrasi serta perjuangan bagi kebebasan dan kesetaraan harus diperdalam ke seluruh wilayah kehidupan masyarakat (Mouffe, 1993).
Catatan atas Gagasan Laclau & Moufee
Meskipun gagasan konseptual Laclau dan Mouffe barusan sedikitnya mampu menghadapi gejala populisme kanan yang rasis, misoginis, dan anti-pluralitas itu, namun dalam kadar tertentu mereka tak mampu untuk menjangkarkannya pada problema fundamentalisme pasar bebas ataupun neoliberalisme secara keseluruhan sebagai ‘musuh bersama’ bagi kaum kiri saat ini. Sedikitnya, apa yang dimaksud sebagai neoliberalisme tak hanya sekedar masalah ekonomi sehingga acapkali dikaitkan dengan para ekonom mazhab Chicago seperti Milton Friedman, George Stigler, dan Gary Becker. Walaupun tak salah pula dikaitkan seperti itu, namun masih kurang lengkap. Apa yang disebut sebagai neoliberalisme jauh melampaui persoalan ekonomi semata, ia merupakan pandangan tentang kaitan manusia dengan masyarakatnya. Mungkin kita bisa merujuk pada gagasan Frederich von Hayek di dalam merumuskan hal ini. Bagi Hayek, sebuah tatanan ideal ialah tatanan yang tak dibentuk melalui otoritas maupun rencana apa pun, tetapi tatanan dibiarkan begitu saja terbentuk secara alamiah sebagai hasil ekuilibrium tindakan bebas setiap orang dalam mengejar kepentingan dirinya. Itulah neoliberalisme secara keseluruhan.
Lalu, muncul pertanyaan begini; mengapa dapat dikatakan bahwa gagasan Laclau dan Mouffe tak menjangkarkan pada kritik atas fundamentalisme pasar bebas maupun neoliberalisme padahal ia merupakan ‘musuh bersama’ dari kaum kiri saat ini? Pertama-tama, kita dapat mempertanyakan apa yang dimaksud Laclau dan Mouffe mengenai relasi subordinasi? Alih-alih menaruhnya pada kondisi objektif eksploitasi kelas ala Marxian, mereka justru melihat subordinasi hanya sebatas konstruksi antar subjek semata sehingga bersifat arbitrer. Hal demikian setidaknya dapat dilihat ketika mereka mengatakan soal ambiguitas ‘kelas pekerja’ (Laclau & Mouffe, 2001) serta wacana demokrasi dalam bentuknya sebagai subjektivitas politik (Mouffe, 2018). Artinya, mereka membayangkan sebuah subordinasi hanya sebagai ‘penanda kosong’ tanpa sosialisme, dikarenakan telah membuang terlebih dahulu apa yang ingin diselesaikan oleh sosialisme itu sendiri, yaitu; perkara sosial-ekonomi-politik soal kepemilikan privat hampir di segala lini, pertentangan kelas, pemberhalaan komoditas, pencurian nilai-lebih yang dihasilkan oleh pekerja, akumulasi primitif, fundamentalisme pasar bebas, dan ketimpangan struktural. Lalu, apabila ‘klaim’ gerakan kiri ditempatkan pada sebuah subjektivitas ia justru nampak seperti neoliberalisme itu sendiri dikarenakan fundamentalisme pasar bebas yang menjadi konsekuensi ekonomis dari neoliberalisme menempatkan tenaga kerja dalam artian subjektif (subjective voluntarist). Upah maupun gaji pekerja bukan dilihatnya sebagai ‘harga’ bagi tenaga kerja yang dijual, melainkan ‘laba’ dari kemampuan yang dimilikinya (otot, ketrampilan, dan pengetahuan) (Herry-Priyono, 2022).
Apa itu Kelas Sosial?
Terlepas dari perdebatan yang nyaris tak ada ujungnya mengenai basis-suprastruktur dari pandangan Marx. Mau itu disebut sebagai determinisme ekonomi, overdeterminasi khas Althusser, maupun pembedaan sistem terbuka dan tertutup ala Bhaskar (Suryajaya, 2014), penulis akan menganalisis mengenai kondisi sosial-ekonomi-politik terlebih dahulu dengan kerangka teoritis dari Pierre Bourdieu mengenai kapital. Dalam pemikirannya, Bourdieu mengatakan bahwa di dalam arena sosial, kapital tak hanya sekedar terdapat pada aras ekonomi (sistem pasar, aset, proses produksi guna menghasilkan nilai-lebih, dan kekayaan material) melainkan nampak kapital lainnya seperti budaya (pendidikan, ijazah, penguasaan atas ilmu, kemampuan menulis dan bertutur kata, serta sopan santun), sosial (hubungan dan relasi sosial), dan simbolik (gelar-gelar tertentu) (Haryatmoko, 2003). Meskipun begitu, paling tidak kondisi umum yang dapat dilihat ialah bahwasanya kapital ekonomi merupakan kapital yang mudah dikonversi ke dalam bentuk kapital lainnya. Di dalam arena sosial, kapital ekonomi tidak bisa tidak apabila kehadirannya amat mempengaruhi tubuh sosial.
Satu contoh dapat dikatakan begini: dalam artikel opininya di Kompas, Arief Asnhory Yusuf, menceritakan bahwa di dalam tubuh sosial-ekonomi-politik Indonesia sesekali ditemukan kejadian seperti anak dari keluarga kelas bawah berhasil dalam menempuh pendidikannya, entah itu cum-laude dari universitas ternama baik itu di luar maupun dalam negeri, sehingga menjadi viral dan diberitakan di berbagai macam media serta membuat geger seisi publik Indonesia. Kondisi ini lantas mengafirmasi bahwa siapa saja bisa sukses di dalam menempuh pendidikannya. Namun, apa yang viral dan geger tersebut memperlihatkan sebuah kondisi ketidaknormalan. Dalam alur pikir publik Indonesia, seorang anak yang berasal dari kelas bawah sukses dalam pendidikannya merupakan pengecualian (exception) daripada sebuah kenormalan (norm) (Yusuf, 2022). Dari penceritaan demikian dapat dilihat bahwa apa yang menjadi kapital ekonomi dapat memengaruhi kapital budaya, orang nan berada dalam kelas bawah atau kepemilikan kapital ekonomi rendah umumnya sulit berhasil dalam menempuh pendidikannya. Ia ‘di cap’ berhasil justru bersamaan dengan momen pengecualian atau ketidaknormalan tersebut. Maka, nyaris menjadi sebuah keniscayaan apabila di dalam masyarakat yang kondisi ketimpangannya cukup tajam di aras ekonomi tak pelak memengaruhi ketimpangan pada kapital lainnya.
Membahas soal ketimpangan tajam dan mengaitkannya dengan contoh yang diajukan di muka mengingatkan kita bahwa hadirnya ketimpangan tak semata soal kerja keras, rajin, dan ulet dalam menjalani hidup. Dibaliknya, justru terlibat semacam patrimonialisme atau jika dikaitkan dengan kondisi kapitalisme saat ini maka boleh apabila disebut sebagai ‘kapitalisme patrimonial’. Apa yang disebut ‘kapitalisme patrimonial’ merupakan dominasi harta/kekayaan atas warisan orang tua, rente, kolusi, korupsi, serta keuntungan yang berlipat ganda tanpa kerja keras, rajin, dan ulet dalam menjalani hidup. Perihal inilah nan merupakan kapitalisme yang mengolok-olok semangat egaliter, sistem meritokrasi, dan demokrasi.
Kembali pada soal subordinasi, dengan menaruhnya kembali pada aras sosial-ekonomi-politik alih-alih sebatas konstruksi subjektif antar aktor, memperlihatkan bahwa yang-subordinat seperti nan diungkapan oleh Laclau dan Mouffe, katakanlah seperti gerakan feminis dan environmentalis, justru dalam kadar tertentu mendasarkan dirinya pada kondisi sosial-ekonomi-politik. Apa yang dikatakan sebagai gerakan feminisme memang bukan hanya sekedar reaksi atas subordinasi perempuan, akan tetapi terdapat berbagai macam alirannya alias tak monolitik. Sebut saja feminisme Marxis dan sosialis yang menjangkarkan paradigma-nya dalam aras sosial-ekonomi-politik khas antagonisme kelas (Fakih, 2020). Dalam gerakan lingkungan hal demikian dapat dilihat pula. Sebut saja seperti gagasan eco-Marxism dan eco-Socialism yang menggabungkan gagasan antara Marxisme dan Sosialisme dengan wacana ‘green politics’ seperti nan dicanangkan oleh James O’Connor serta John Bellamy Foster (Benton, 2018). Maka dari itu, kiranya tidak salah apabila posisi politik Laclau dan Mouffe ditempatkan pada garis pluralis-moderat alih-alih ‘kiri’ atau ‘sosialis’.
Oleh karena itu, terlampau sulit apabila kaum kiri melepaskan begitu saja soal problema kelas dalam analisanya, sekalipun wujud dari kelas tersebut berbeda setiap zamannya. Untuk mengelaborasi hal ini lebih jauh berikut akan dipaparkan persoalannya.
Penulis sadar bahwa mendefinisikan apa itu kelas bak seperti memegang belut yang licin. Dikarenakan pada setiap konteks zaman maupun dalam tradisi pemikiran tertentu kelas akan memiliki ciri khasnya tersendiri. Jika definisi diringkas seperti yang dikatakan oleh ahli linguistik, Abraham Kaplan, sebagai ‘spesifikasi arti’ (Herry-Priyono, 2018), maka kita akan sulit untuk memberikan spesifikasi utuh mengenai definisi kelas. Sebaliknya, apabila tidak memberikan arti spesifik terhadap kelas, maka kata kelas itu sendiri perlahan akan tercerabut kebermaknaannya. Setidaknya, guna penyelidikan lebih lanjut dalam keseluruhan isi tulisan ini, maka kelas akan diselaraskan sedikitnya oleh tradisi pemikiran Marxis (dengan beberapa perbedaan lain tentunya). Namun, sebelum mengelaborasinya lebih jauh, berikut paparan mengenai sekelumit soal tentang kelas dalam berbagai ciri khasnya.
Untuk menelaah kelas, setidaknya akan dibedakan berdasar pembabakan seperti pengertian kelas sebelum Marx, menurut Marx itu sendiri, dan non-Marxis.
Pembabakan perihal kelas sebelum Marx dapat kita rujuk dalam tradisi masyarakat dengan corak produksi feodal dan kapitalisme (sebelum Marx). Dalam masyarakat dengan corak produksi feodal, kelas identik dengan tatanan sosial perbudakan, sehingga relasi antara bangsawan (beserta rohaniwan), vassal, tuan tanah, dan budak cukup amat kental. Di tahta tertinggi duduk sosok raja beserta keluarganya, golongan ini menguasai semua sarana produksi di dalam konteks sosialnya, kekuasaan tersebut dipercaya sebagai karunia ‘tuhan’. Di bawah raja terdapat sosok vassal yang merupakan bawahan langsung dari raja beserta para bangsawan lainnya. Vassal mendapat hak dari raja untuk menguasai lahan garapan. Karena itu, para vassal membawahi para tuan-tuan tanah, dan tuan tanah itu mengabdi langsung kepada vassal. Di bawah para tuan tanah terdapat para budak atau barangkali disebut juga sebagai kaum tani bebas yang menggarap secara langsung tanah-tanah yang dimiliki oleh para tuan tanah. Corak produksi feodal tak mengisyaratkan bahwasanya penguasaan atas sarana produksi absolut sifatnya. Artinya, hak atas produksi hanya dipegang oleh kekuasaan yang lebih tinggi wewenangnya, sehingga sah apabila pemegang kuasa yang lebih tinggi itu mengalihkan penguasaan atas tanah kepada pihak lain dengan berbagai macam alasan (Mulyanto, 2018).
Lain halnya dengan masyarakat feodal, masyarakat kapitalis (kala itu) dalam tataran empiriknya membagi kelas menjadi dua, yakni; kelas pemilik sarana produksi (kapitalis) dan kelas tanpa sarana produksi (proletar). Keterpilahan antar kelas ini menyebabkan tiap individu diisolasi melalui pranata kepemilikan pribadi secara absolut dan di-absolut-kan pula oleh hukum formal. Tak seorang pun bisa dan diperbolehkan apabila ingin memanfaatkan sarana produksi kepemilikan pribadi pemilik produksi jika ia telah di-sah-kan oleh hukum formal. Keterisolasian dalam hak milik secara absolut itu kemudian menghasilkan kerja dengan sistem perupahan. Guna mendapat manfaat dari sarana produksi maupun upah untuk memenuhi kebutuhan hidup, kelas yang tidak memiliki sarana produksi harus menjual tenaga kerjanya kepada kelas pemilik sarana produksi. Upah yang diberikan oleh kelas pemilik sarana produksi kepada kelas yang tidak memiliki sarana produksi, karena telah mencurahkan tenaga kerjanya dalam proses produksi, kala itu dinilai berdasarkan permintaan dan penawaran dalam sistem pasar. Maka dari itu, kelas yang tak memiliki sarana produksi serta menjual tenaga kerjanya kepada kelas pemilik sarana produksi nan kemudian terlibat di dalam proses produksi seketika itu pula ia menjadi semacam barang komoditi. Sementara, dalam aras konseptualnya, sekiranya dapat dilihat melalui konsepsi kelas menurut David Ricardo. Sejak era Ricardo konsepsi mengenai kelas menjadi penting terutama dalam studi ekonomi-politik. Ia menggambarkan bahwa dalam setiap tahapan sejarah masyarakat, hasil bumi dialokasikan pada apa yang disebutnya sebagai sewa (tuan tanah), keuntungan (kapitalis), dan upah (buruh) (Pontoh, 2011). Menurutnya, ketiga komunitas yang di mana menjadi titik alokasi dari hasil bumi itu sangat berbeda, dan bagaimana menentukan aturan untuk mendistribusikan hasil alam itu merupakan masalah yang sangat prinsipil dalam ekonomi-politik (Pontoh, 2011).
Berikutnya, akan dipaparkan mengenai kelas dalam konsepsi Marx. Namun, pertama-tama perlu dikatakan bahwa Marx terinspirasi di dalam mengartikan kelas justru dari David Ricardo yang di mana, selain Adam Smith, merupakan dedengkot kapitalisme itu sendiri. Jadi, bagi yang mengaku dirinya Marxis maka perlu tuk berterima kasih kepada Ricardo karena telah memberi sebuah pendasaran teoritis bagi Marx untuk menelurkan landasannya mengenai kelas. Kembali ke persoalan, sama seperti sebelumnya, Marx hidup di kondisi masyarakat kapitalis (abad-19) dan mencoba untuk memberikan kritik terhadapnya. Tanpa mengulang pembagian kelas seperti sebelumnya karena dapat diandaikan sama, untuk lebih melihat sisi fundamentalnya, Marx memberikan pendasaran bahwa ciri utama kapitalisme terletak pada relasi produksi (production relation), yang tak hanya melihat hubungan kepemilikan dan distribusi sehingga menentukan corak produksi, siapa yang memiliki apa dan mengapa, tapi juga bagaimana kepemilikan itu diorganisasikan dan kemudian muncul dalam bentuk kontrol atas kerja dan hasil kerja yang berupa produk, serta aspek – aspek organisasi sosial lainnya (Pontoh, 2011). Dari kontrol atas kerja beserta hasilnya itu, bagi Marx, kemudian secara niscaya hadir eksploitasi. Artinya, kelas pemilik alat produksi secara niscaya merampok ‘nilai-lebih’ dari kelas yang bukan pemilik alat produksi atas curahan kerja yang dilakukannya.
Selain itu, satu hal penting lainnya, menurut Marx pembagian kelas tersebut dalam hal tertentu terdapat sebuah proses proletarisasi di dalamnya. Proletarisasi dapat diartikan sebagai sebuah proses pemisahan sarana produksi yang sebelumnya dimiliki oleh produsen (umumnya kaum tani). Pemisahan sarana produksi dari para produsen kemudian berimplikasi pada pembentukan seorang tenaga kerja, karena mereka yang kehilangan sarana produksinya (jikalau ia kaum tani, maka sarana produksinya merupakan lahan garapan) akibat proses pembagian itu maka terpaksa untuk menjual tenaga kerjanya guna mempertahankan hidup. Hal demikian yang disebut Marx sebagai akumulasi primitif (ursprüngliche akkumulation) (Marx, 1976). Akumulasi primitif terjadi secara cepat di Inggris ketika Marx hidup yakni kurang lebih selama abad ke-19. Kala itu, akumulasi primitif yang terjadi di Inggris selama abad ke-19 melibatkan pengkaplingan dan penggusuran kaum tani, nan dibarengi pula oleh perundang – undangan seperti Bill of Inclosure of Commons sehingga pengkaplingan dan penggusuran kaum tani tersebut terlegitimasi tindakannya.
Sementara, bagi kaum non-Marxis, artinya kaum yang tidak melanjutkan tradisi berpikir ala Marx atau cenderung mengkritik Marx dan para penerusnya, melihat perbedaan kelas hanya sebatas tingkat pendapatan. Namun, bukan itu yang menjadi soal, sebab beberapa Marxis juga menggunakannya dalam analisisnya mengenai kelas. Hal fundamen yang mesti dilihat, meskipun tidak khas hanya pasca-Marx namun kerap digunakan sebagai antitesa atas pandangan Marx dan para Marxis, ialah terciptanya kelas dalam arena sosial dikarenakan pada masa lalu terdapat sekelompok orang yang ‘rajin, hemat, dan gemar menabung’ serta sekelompok lainnya yang ‘malas, boros, dan senang menghambur – hamburkan uang’. Sekelompok orang yang ‘rajin, hemat, dan gemar menabung’ itulah beserta keturunannya nan kemudian akan menjadi elit ekonomi. Sebaliknya, mereka yang menjual tenaga kerjanya merupakan gerombolan ‘malas, boros, dan senang hambur-hambur’ beserta nanti keturunannya. Maka dari itu, bagi konsepsi ini, ketimpangan ekonomi tak perlu dihiraukan ataupun tak perlu dijadikan sebagai suatu masalah. Bahkan, dalam studi pembangunan, orang seperti Simon Kuznets memiliki hipotesis bahwa ketimpangan ekonomi menjadi prasyarat atau tak bisa dihindarkan pada awal-awal proses pembangunan.
Seperti dikatakan di muka, melihat kelas hanya sebatas soal ‘kelompok rajin’ dan ‘kelompok malas’ semata memang sangat bermasalah, jelas karena tak perduli mengenai ‘kapitalisme patrimonial’, selain itu salah seorang ekonom Perancis, Thomas Piketty, memperlihatkan dalam bukunya bahwasanya slogan ‘liberte, egalite, fraternite’ yang diusung oleh Revolusi Perancis tak serta merta mewujud ketika pasca-revolusi dikarenakan konsentrasi kekayaan di Perancis kala itu sangat besar dan hampir sama besarnya seperti di Inggris (Piketty, 2014).
Kelas dalam Arena Sosial Saat Ini
Berikutnya, untuk memberikan gambaran mengenai kelas dalam arena sosial terkhusus pada abad ke-21, maka dapat dipetik dua kata kunci penting, yakni; ketimpangan pendapatan dan relasi sosial yang bekerja atas ketimpangan itu.
Mike Savage dalam bukunya mengatakan, ‘economic inequality is also associated with growing class inequality between the top and the bottom’ (Savage, 2015). Meskipun perkataan demikian bukanlah sesuatu yang baru sama sekali, namun penting untuk dikemukakan karena pada umumnya ketimpangan kelas berkaitan pula dengan timpangnya ekonomi. Meskipun kajian ekonomi sangat beragam, tetapi untuk mengurai persoalan kelas dan ketimpangan maka dimensi ekonomi yang akan digunakan di sini ialah soal pendapatan atau lebih tepatnya ketimpangan pendapatan. Kemudian, muncul pertanyaan perihal ini; mengapa pendapatan yang diacu ketika melihat persoalan kelas dan ketimpangan? Untuk menjawabnya setidaknya dibutuhkan dua hal beserta contoh konkretnya di Indonesia, berikut penjelasannya.
Pertama, untuk mengukur ketimpangan biasanya terdapat dua cara, yakni melalui pengeluaran dan pendapatan. Ketimpangan berdasar pada pendapatan umumnya akan lebih tinggi dibandingkan ketimpangan berdasar pada pengeluaran (Yusuf, 2018). Mengapa demikian? Bukan maksud penulis untuk melebih-lebihkan, namun melihat ketimpangan berdasar pendapatan akan mencakup hal yang tak hanya sekedar luas akan tetapi fundamental, misalnya seperti tabungan. Dalam mengukur ketimpangan berdasar pengeluaran hal seperti tabungan luput dari analisa. Soal tabungan ini menjadi penting ketika dalam realitanya kelas yang tergolong kaya lebih memiliki banyak tabungan, sementara kelas yang lebih miskin cenderung tidak ada bahkan negatif (meminjam uang) (Yusuf, 2018).
Kedua, kondisi di mana munculnya masyarakat manajer (society manager). Apa yang disebut sebagai masyarakat manajer merupakan istilah yang dilukiskan oleh Piketty. Berdasar pada hasil risetnya, kondisi pada abad (terkhusus) ke-21 (dan lebih khusus lagi pada abad ke-20) memperlihatkan kondisi di mana pendapatan dari tenaga kerja tak terlampau jauh dari pendapatan modal dalam hirarki pendapatan keseluruhan. Ia menyebut kondisi ini ditandai oleh beralihnya masyarakat rentier (orang yang memiliki cukup kapital ekonomi untuk hidup dari pendapatan tahunan dari kekayaan mereka) menuju masyarakat manajer, yakni persentil atas dalam tatanan sosial-ekonomi-politik sebuah masyarakat tak lagi mutlak milik rentier melainkan sedikit demi sedikit diisi oleh individu – individu bergaji tinggi yang hidup dari pendapatan tenaga kerja (Piketty, 2014). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat sebagai berikut:
… In 1932, despite the economic crisis, income from capital still represented the main source of income for the top 0.5 percent of the distribution (see Figure 8.3). But when we look at the composition of the top income group today, we find that a profound change has occurred. To be sure, today as in the past, income from labor gradually disappears as one moves higher in the income hierarchy, and income from capital becomes more and more predominant in the top centiles and thousandths of the distribution: this structural feature has not changed. There is one crucial difference, however: today one has to climb much higher in the social hierarchy before income from capital outweighs income from labor. Currently, income from capital exceeds income from labor only in the top 0.1 percent of the income distribution (see Figure 8.4). In 1932, this social group was 5 times larger; in the Belle Époque it was 10 times larger…
… To a large extent, we have gone from a society of rentiers to a society of managers, that is, from a society in which the top centile is dominated by rentiers (people who own enough capital to live on the annual income from their wealth) to a society in which the top of the income hierarchy, including to upper centile, consists mainly of highly paid individuals who live on income from labor. One might also say, more correctly (if less positively), that we have gone from a society of superrentiers to a less extreme form of rentier society, with a better balance between success through work and success through capital. It is important, however, to be clear that this major upheaval came about, in France at any rate, without any expansion of the wage hierarchy (which has been globally stable for a long time: the universe of individuals who are paid for their labor has never been as homogeneous as many people think); it was due entirely to the decrease in high incomes from capital.
To sum up: what happened in France is that rentiers (or at any rate ninetenths of them) fell behind managers; managers did not race ahead of rentiers. We need to understand the reasons for this long- term change, which are not obvious at first glance, since I showed in Part Two that the capital/income ratio has lately returned to Belle Époque levels. The collapse of the rentier between 1914 and 1945 is the obvious part of the story. Exactly why rentiers have not come back is the more complex and in some ways more important and interesting part. Among the structural factors that may have limited the concentration of wealth since World War II and to this day have helped prevent the resurrection of a society of rentiers as extreme as that which existed on the eve of World War I, we can obviously cite the creation of highly progressive taxes on income and inheritances (which for the most part did not exist prior to 1920). But other factors may also have played a significant and potentially equally important role…
Piketty, 2014
Maka dari itu, melihat kondisi demikian, analisis kelas dalam hal pendapatan menjadi relevan. Dikarenakan jatuhnya rentier serta ketimpangan yang tak seburuk abad ke-19 (ketimpangan abad ke-19 tercermin pula dalam novel yang berjudul Hard Times karya Charles Dickens serta Germinal karya Emile Zola) di beberapa negara, sehingga tak hanya menyisakan kelas secara dikotomis. Sebab dengan jatuhnya rentier dan tak separah seperti ketimpangan pada abad ke-19, maka tercipta apa yang dinamakan sebagai kelas menengah yang terbilang kokoh (tak seperti konsep petty-bourgeois ala Marx). Meskipun begitu, dalam hal lainnya, terutama sehabis rezim neoliberal seperti Reagen di Amerika Serikat berkuasa, ketimpangan justru mengalami kenaikan di negeri Paman Sam itu. Hal tersebut dapat dilihat sebagai berikut:
Lalu, bagaimana kondisi ketimpangan pendapatan di Indonesia? Karena yang dianalisis merupakan ketimpangan pendapatan, maka penulis tak akan mengacu pada rasio Gini, sebab rasio Gini hanya mengukur angka pengeluaran rumah tangga, bukan angka pendapatan (Yusuf, 2018). Maka dari itu, cukup penting apabila menghadirkan telaah dari Arief Anshory Yusuf dalam bukunya. Dalam telaahnya, ia menyajikan sebuah fakta bahwa di tahun 2016 rata-rata pendapatan orang Indonesia ialah 11 juta per bulan per keluarga. Bahkan, di beberapa kota besar seperti Bandung lebih dari itu, di sana mencapai 26 juta per bulannya (Yusuf, 2018). Angka tersebut memang cukup mengagetkan mengingat kala itu upah minimum hanya kisaran Rp 2-3 juta per bulannya. Bahkan seorang sarjana yang pertama masuk kerja di Jakarta gajinya hanya sekitar 4-5 juta per bulan. Hal demikian di dalam kajian statistik disebut sebagai the tyranny of the average. Data yang dihimpun kala itu oleh survei sosial ekonomi nasional (SUSENAS) memperlihatkan hanya 26% orang/keluarga di Indonesia yang pendapatannya di atas rata – rata. Sisanya sebanyak 74% orang/keluarga di Indonesia yang pendapatannya di bawah 11 juta (Yusuf, 2018). Sementara, untuk kondisi terkini, dengan mengutip laporan Bank Dunia di laman Tirto, pada 2021 sekitar 85 juta orang Indonesia yang memiliki pendapatan, hanya 13 juta, atau sekitar 15%, berpenghasilan cukup untuk membiayai keluarga berjumlah empat orang untuk menjalani kehidupan kelas menengah (Iswara, 2021). Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa Indonesia masih belum mencetak pekerjaan kelas menengah yang cukup untuk memotori suatu negara kelas menengah.
Meskipun analisa pendapatan di satu sisi telah menyingkap kehadiran kelas menengah yang (cenderung) kokoh di beberapa negara serta mencoba untuk menjawab kekaburan kelas, seperti dapat dicontohkan sebagai berikut; seseorang yang pagi harinya menjadi buruh pabrik (karena itu disebut proletariat) dan pada malam harinya berjualan olahan mie telur di pinggir jalan (karena itu disebut borjuis kecil). Namun, belum lengkap apabila kita tidak melihat relasi sosial di dalamnya yang mengakibatkan pada ketimpangan pendapatan itu. Meminjam konsep dari Woods mengenai hubungan (relationship) dan proses (process) (Pontoh, 2011), memiliki implikasi di dalam melihat kelas sebagai hubungan produksi terhadap sirkulasi kapital ekonomi para kapitalis/borjuis (bukan petty-bourgeois). Dengan demikian, kelas pada dasarnya juga merupakan hubungan kekuasaan. Ia bisa terkait dengan kontrol atas alat-alat produksi, sehingga memiliki konsekuensi logis apabila sang kapitalis/borjuis ketika diterpa badai krisis ekonomi maka tak serta merta mereka akan menjadi papa dikarenakan memiliki berbagai macam hal seperti tabungan, jaminan asuransi, dan dana talangan dari pemerintah sehingga masih memiliki kekuasaan (sekalipun terbatas) terhadap bisnisnya (Pontoh, 2011).
Selain itu, persoalan seperti penyingkiran paksa atau bahkan pemiskinan guna memuluskan akumulasi kapital ekonomi juga patut didedahkan, yang menambah prihatin justru hadirnya peran negara beserta alat aparatusnya dalam proses penyingkiran paksa dan pemiskinan tersebut. Sebut saja kasus-kasus seperti: kehadiran PT. Freeport yang mengganggu lanskap kehidupan suku-suku asli di Papua (Sangadji, 2019); tersingkirnya masyarakat adat Maluku yang diinisiasi oleh tombak bermata tiga (investasi demi akumulasi kapital ekonomi, depolitisasi lembaga-lembaga dan organisasi lokal demi pemusatan kekuasaan, dan pemaksaan nilai-nilai asing bagi masyarakat lokal setempat) (Topatimasang, 2016); serta pengurasan gaharu dan penyebaran wabah HIV/AIDS di tanah Papua yang diakibatkan oleh proses barter antara gaharu dengan para pekerja seks nan didukung oleh Kostrad dan Brimob (Aditjondro, 2004). Itulah sekelebat mengenai persoalan penyingkiran paksa dan pemiskinan guna memuluskan akumulasi kapital ekonomi, dan kalau boleh dikata contoh-contoh barusan hanya sebatas fenomena puncak gunung es semata, artinya sangat banyak kasus-kasus demikian yang tak dapat disebutkan satu-persatu di sini.
(Kelas) Pekerja Prekariat
Sekali lagi, mengutip perkataan Mike Savage dalam bukunya; Away from longstanding differences between middle and working class, we have moved towards a class order which is more hierarchical in differentiating the top (which we call ‘the wealth elite’) from the bottom (which we call ‘the precariat’ which consists of people who struggle to get by on a daily basis) (Savage, 2015). Untuk menutup sekaligus memperkaya diskursus mengenai kelas, kita akan masuk pada bahasan soal pekerja prekariat (precarious proletariat). Lalu, sebenarnya apa itu (kelas) pekerja prekariat, sampai-sampai namanya sangat populer di kalangan aktivis perburuhan dewasa ini?
Seperti yang diungkapkan oleh Savage barusan pekerja prekariat merupakan kelas pekerja yang masuk ke dalam proses produksi kapitalisme nan berada dalam hirarki kelas pekerja paling bawah. Mengapa demikian? Sebab, secara umum pekerja prekariat ialah pekerja yang ‘serba tak menentu’, seperti; ketidakmenentuan jaminan kerja, kontrak kerja, jam kerja, pendapatan dari kerja, serta lingkup kerjanya. Setidaknya, guna menghadirkan dimensi teoritik atas pekerja prekariat ini, penulis akan menghadirkan dua landasan teoritis atasnya. Pekerja prekariat awal kali diperkenalkan oleh Guy Standing dalam bukunya yang berjudul The Precariat: the New Dangerous Class. Mengutip tulisan dari Hizkia Yosie Polimpung, bagi Standing pekerja prekariat terbentuk melalui proses prekarisasi atau perentanan, dengan sistem ini nasib pekerja akan selalu rentan dikarenakan pekerjaannya bisa dengan mudah untuk diputus oleh majikannya kapan pun (Polimpung, 2018). Tak hanya Standing, gagasan dari Judith Butler patut disandingkan pula apabila ingin menelisik dimensi teoritik dari istilah pekerja prekariat. Masih dalam rujukan yang sama, bagi Butler kerentanan tercipta tatkala hubungannya dengan kekuasaan negara, sehingga berimplikasi pada analisa atas sumber prekaritas ketika kekuasaan tertinggi menangguhkan norma hukum dan membuat pengecualian atas tindakan sewenang-wenangnya seraya menggunakan gagasan-gagasan universal sebagai justifikasinya (keamanan nasional, kemaslahatan bangsa, dan ‘klaim’ kebaikan bersama) (Polimpung, 2018).
Daftar Pustaka
Aditjondro, G. J. (2004). Dari Gaharu ke Bom Waktu HIV/AIDS yang Siap Meledak: Ekonomi Politik Bisnis Tentara di Tanah Papua. Wacana, 83-112.
Benton, T. (2018, June 5). The Conversation. Retrieved from theconversation.com: https://theconversation.com/what-karl-marx-has-to-say-about-todays-environmental-problems-97479
Fakih, M. (2020). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: INSIST PRESS.
Haryatmoko. (2003, November – Desember). Pierre Bourdieu: Kritik Terhadap Neoliberalisme. Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bourdieu: Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa, pp. 8 – 23.
Herry-Priyono, B. (2018). Korupsi: Melacak Arti, Menyimak Implikasi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Herry-Priyono, B. (2022). Ekonomi Politik: Dalam Pusaran Globalisasi & Neoliberalisme. Jakarta: Kompas.
Iswara, M. A. (2021, August 17). Tirto. Retrieved from Tirto.id: https://tirto.id/rintangan-penciptaan-pekerjaan-kelas-menengah-di-indonesia-giBl
Laclau, & Mouffe. (2001). Hegemony and Socialist Strategy. New York: Verso.
Laclau, E. (2005). On Populist Reasons. London & New York: Verso.
Laclau, E. (2007). EMANCIPATION(S). London & New York: VERSO.
Marx, K. (1976). Capital Vol. 1. London: Penguin.
Mouffe, C. (1993). The Return of the Political. London: Verso.
Mouffe, C. (2018). For a Left Populism. London: Verso.
Mulyanto, D. (2015, September 16). Indoprogress. Retrieved from Indoprogress.com: https://indoprogress.com/2015/09/ini-soal-kelas-bro/
Mulyanto, D. (2018). Genealogi Kapitalisme. Yogyakarta: Resist Book.
Piketty, T. (2014). Capital: in the Twenty-First Century. London: Harvard University Press.
Polimpung, H. Y. (2018, January 8). The Conversation. Retrieved from theconversation.com: https://theconversation.com/ngomong-ngomong-apa-itu-pekerja-prekariat-83048
Pontoh, C. H. (2011, June 18). Indoprogress. Retrieved from indoprogress.com: https://indoprogress.com/2011/06/kelas-dan-perjuangan-kelas-dalam-manifesto-komunis/
Sangadji, A. (2019). Akumulasi Primitif: Pengalaman Industri Pertambangan di Indonesia. Prisma, 52-65.
Savage, M. (2015). Social Class in the 21 Century. London: Pelican.
Suryajaya, M. (2014, October 8). Indoprogress. Retrieved from Indoprogress.com: https://indoprogress.com/2014/10/menalar-marx/
Suryajaya, M. (2016). Materialisme Dialektis: Kajian Tentang Marxisme dan Filsafat Kontemporer. Yogyakarta: Resist Book.
Takwin dkk, B. (2008). KEMBALINYA POLITIK: PEMIKIRAN POLITIK KONTEMPORER DARI (A)RENDT SAMPAI (Z)IZEK. Jakarta: Marjin Kiri.
Topatimasang, R. (2016). Orang – Orang Kalah: Kisah Penyingkiran Masyarakat Adat Kepulauan Maluku. Yogyakarta: Insist Press.
Yusuf, A. A. (2018). Keadilan untuk Pertumbuhan. Bandung: Unpad Press.
Yusuf, A. A. (2022, January 24). Kompas. Retrieved from Kompas.id: https://www.kompas.id/baca/opini/2022/01/23/pendidikan-tinggi-dan-ketimpangan