Pemandangan Kota Herat
Pemandangan Kota Herat

Maulana Jalaluddin Rumi merupakan salah seorang tokoh tasawuf yang memberikan perhatian khusus terhadap kajian cinta, seperti yang sudah diulas dalam tulisan sebelumnya di bagian satu. Ketertarikannya akan bidang cinta menghantarkannya sebagai pencetus teori cinta yang sangat terkenal baik dari cendikiawan muslim maupun yang beraliran orientalis, kajian tentang cinta yang Rumi gagas dikenal dengan evolusi cinta.

Adapun konsep cinta Jalaluddin Rumi selanjutnya setelah Manifestasi (lihat artikel sebelumnya) adalah adanya proses peningkatan cinta dan dampak dari cinta itu sendiri. 

Proses Peningkatan Cinta Rumi 

Menurut Abu al-Shiraj cinta terbagi dalam tiga tahapan. Pertama adalah al-Mahabbah al-Ammah, yaitu cintanya kaum awam, yang berawal dari perilaku baik dan kasih sayang Tuhan kepada mereka. Yang kedua ialah Mahabbah ash-Shadiqin, yaitu cinta yang berasal dari perenungan hati tentang kemandirian, cinta yang mampu menghilangkan sekat antara seorang hamba dan Tuhan dengan menghilangkan kehendak dan sifat-sifatnya sendiri lalu memenuhi hatinya dengan perasaan cinta kepada Tuhan dan selalu rindu akan kehadiran-Nya. Ketiga ialah al-Mahabbah ash-Ahiggin al Al-Arifin, yakni cinta yang timbul akibat pengetahuan tentang sifat keazalian dan kemutlakan cinta Tuhan kepada mereka.

Semenjak kecil Rumi sudah mendapatkan didikan dalam bidang agama yang baik dari ayahnya sendiri yaitu Bahaudin Walad juga dari kawan-kawan ayahnya karena ayah Rumi sendiri adalah seorang guru sufi yang cukup terkenal pada waktu itu. Saat usianya masih cukup belia pada waktu itu ia sudah menunjukkan ketertarikan yang besar terhadap nilai-nilai religius dalam kehidupan, dalam kondisi inilah ia mengalami cinta pada level yang pertama. 

Sepeninggal ayahnya Rumi mengambil peran yang dilakukan sang ayah sebagai seorang guru spiritual di bawah bimbingan Burhanudin murid sang ayah. Rumi yang waktu itu masih berusia dua puluh lima tahun sudah menunjukkan keantusian dalam disiplin keagamaan khususnya sufi. Setelah itu Rumi memutuskan untuk mengajar di Madrasah yang ia pimpin dan mendakwahkan keilmuan Islam kepada murid-muridnya. 

Namun kehebatan yang Rumi miliki belum juga memuaskan dahaga jiwanya yang rindu akan kedamaian. Pada titik ini ia menyadari bahwa keilmuan saja tidak cukup untuk mengubah dan mengembangkan kualitas hidup seseorang. Ia mulai yakin bahwa hukum dan akal hanyalah alat yang mudah mendatangkan keburukan. Pada titik ini Rumi sudah mulai tidak tertarik lagi dengan teologi karena menurutnya teologi hanya akan menyibukkan manusia dengan formalitas, sehingga mereka mengabaikan makna dan mengupayakan teologi semata-mata demi memuaskan kaum awam dan menguasai  mereka. Pada fase ini Rumi menyelami peningkatan cinta yang kedua. 

Pada tahun 1244, Rumi bertemu dengan seorang yang bernama Syamsudin Tabriz, pada titik ini dunia spiritual Rumi mengalami evolusi besar-besaran. Syams dinilai sebagai orang yang memberikan didikan spiritual yang melegakan dahaga Rumi, walaupun sudah  sejak lama Rumi mempelajari sufisme namun setelah pertemuaanya dengan Syams inilah ia semakin yakin untuk melangkahkan kaki dalam dunia kesufian. Pertemuan dengan Syams ini menjadi tingkatan level ketiga bagi Rumi dalam kitap Matsnawi Rumi menyampaikan pesan dalam Syairnya: “Syams dari Tabriz menunjukkanku jalan kebenaran dan imanku tidak lain adalah anugrah dari-Nya”.

Dalam pengaruh Syams, Rumi mulai menyadari dari pencarian diri sejatinya, misal, dalam Syair di bawah ini Rumi mengisyaratkan intensitas pencariannya dengan hasil yang mengejutkan dirinya karena ternyata selama ini yang ia cari sudah ada dalam dirinya sendiri:

“Salib dari sudut ke sudut telah ku atasi. Aku tidak penganut salib. Rumah berhala telah kukunjungi, kuil kuno; tak ada rasa yang bisa kutangkap; aku mengunjungi pegunungan Herat dan Kandahar; aku lihat dia tidak sedang di kedalaman jurang maupun di atas pegunungan dengan niat kudaki puncak gunung Qaf; ditempat itu tidak ada apa-apa kecuali “Angga”, kualihkan pencarian ku menuju Ka’bah; dia bukan berada ditempat orang tua maupun muda yang mendapat ilham itu. kutanyakan kepada Ibnu Sina tentangnya, dia diluar pengetahuan Ibnu Sina. Aku mengunjungi ruang persidangan; dia tidak ada di pengadilan agung itu aku tilik kedalam hatiku disanalah aku menemukannya; dia tidak ada dimana-mana”.

Syair di atas pada intinya menjelaskan bagaimana perjalanan spiritual yang dialami oleh seorang Rumi dari ruang lingkup eksternal agama hingga inti batinnya. Dalam tahapan inilah rumi menyadari banyak kekurangan tentang ha-hal yang ia anggap hakiki selama ini.

Dampak Cinta 

Cinta memiliki banyak sekali pengaruh bagi siapa saja yang sedang mencintai kekuatan cinta sangat luar biasa untuk meengubah segala hal. Seperti kata Rumi dalam Syairnya:

Sungguh cinta dapat mengubah yang pahit menjadi manis, debu beralih emas, keruh menjadi bening, sakit menjadi sembuh, penjara berubah menjadi telaga, derita menjadi nikmat dan kemarahan menjadi nikmat. Hanya cintalah yang mampu melunakkan besi, menghancur leburkan batu karang, membangkitkan hati yang mati dan meniupkan kehidupan padanya, serta menjadikan budak menjadi pemimpin.

Sedemikian besar pengaruh cinta pada diri manusia, dengan cinta pula manusia dapat mempercepat perjalanan menuju Tuhan. Cinta memiliki lima ratus sayap dan setiap sayap mengembang dari langit ke bumi, yang sedang zuhud berlari; kekasih (Tuhan) terbang lebih cepat daripada kilat dan angin ”bebaskanlah dirimu dari dunia dan cara jalan kaki, karena hanya elang sang raja yang menemukan jalannya kepada sang Maharaja”.

Menurut Rumi cinta adalah penyembah bagi kebanggaan, kesombongan, dan pengobat dari segala kekurangan diri. Hanya mereka yang berjubahkan cinta yang sepenuhnya tidak mementingkan diri sendiri. Maka, bila sang pencinta ingin mendapatkan cinta dari kekasihnya ia harus bisa menghilangkan kebanggaan dan kesombongan dari dalam dirinya. Seiring dengan menghilangnya kebanggaan dan kesombongan maka akan timbul rasa kesadaran diri. Pada kondisi ini pencinta akan memiliki jiwa yang luhur dan menggantikan jiwa yang kerdil, karena jiwa yang kerdil hanya akan dimiliki oleh orang yang egois dan cinta pada diri sendiri. Maka cinta kepada kekasih akan melenyapkan ego dalam dirinya sehingga akan luhur jiwanya. 

Cinta menumbuhkan kebebasan dan jiwa untuk menjadi cinta. Cinta Rumi kepada Syams membuatnya bebas untuk menemukan jiwanya sendiri yang menemukan saluran melalui puisinya, cinta jiwa dan kebebasan menyatu. Namun pada saat itu terjadi kehidupan Rumi berputar balik setelah menyatakan kebebasannya untuk mencintai jiwanya, Rumi tidak lagi berperilaku selayaknya seorang Syekh yang baik. Ia menjadi benar-benar bebas, hanya memperdulikan jiwanya sendiri dan cintanya kepada Tuhan. Rumi berkata: 

“Lagi-lagi aku berada dalam diriku sendiri aku berjalan pergi tetapi ke sinilah aku berlayar kembali, kaki di udara jungkir balik. seperti seorang wali ketika dia membuka matanya di tengah doa: sekarang, ruangan, taplak meja wajah-wajah yang akrab”.

Cinta Rumi kepada Ilahi menghendaki “keadaan mabuk” di mana keadaan ini mengisyaratkan tentang keintiman cinta Rumi dengan Ilahi. Dalam hal ini Rumi menerangkan simbol-simbol tertentu yang berkaitan dengan kemabukan, seperti anggur dan cawan “Tuhan adalah cawan dan anggur: Dia tahu cinta seperti apapun situasiku”.

Dalam syairnya Rumi mengekspresikan keadaan ekstasenya yang hebat ketika anggur Ilahi seketika menyentuh jiwanya:  

“Rembulan yang tak pernah disaksikan langit bahkan dalam mimpi, telah kembali. Dan datanglah api yang tak bisa dipindahkan air apapun. Lihatlah rumah tubuh dan pandanglah jiwaku, ini membuat mabuk dan kerinduan itu dengan cawang cintanya. Ketika pemilik kedai itu menjadi kekasih hatinya, darahku berubah menjadi anggur dan hatiku menjadi kabab. Ketika pandangan dipenuhi oleh ingatan padanya, datanglah suara: Baguslah Wahai Cawang, hebat lah wahai anggur”.

Cinta yang Rumi alami diakibatkan oleh perasaan cinta yang sangat menggelora dalam hatinya kepada sang Ilahi, cinta memiliki kemampuan untuk menyatukan segala daya. Cinta akan mampu memaksimalkan potensi pencinta. Segala upaya akan dilakukan untuk dapat menjangkau yang dicinta dengan indra lahiriahnya. Karena hal inilah hatinya hanya berisi tentang yang dicintai baik dalam kondisi bagaimanapun dan kapanpun sang pencinta akan terus dibuaikan oleh hasrat cinta yang menggebu untuk selalu menghadirkan sang kekasih dalam jiwanya.

Referensi

A. Reza Arasteh, Sufisme dan Penyempurnaan Diri, (Raja Grafindo: Jakarta, 2000)

Annemarie Schimmel, Akulah Angin Engkaulah Api: Hidup dan Karya Jalaluddin Rumi, Terj, Alwiyah Hasan dan Ilyas hasan (Mizan: Bandung, 2016)

Denise Breton dan Christoper Largent, Cinta, Jiwa danKekerasan di jalan sufi: Menari Bersama Rumi. Terj. Rahmani Astuti, (Pustaka Hidayah: Bandung, 2003)

Haidar Baghir, Belajar Hidup Dari Rumi, Serpihan-serpihan Puisi Penerang Jiwa, (Bandung: Mizan, 2015)

Jalaluddin Rumi, Fihi Ma Fihi, Terj. Abd Kholiq (yogyakarta: Forum, 2014)

Juliet Mabey, Wasiat Spiritual Rumi, Terj. Ribut Wahyudi, (Penerbit Jendela: Yogyakarta, 2002)

Mulyadhi Kartanegara, Jalal Al- Din Rumi: Guru Sufi dan Penyair Agung, (Teraju: Jakarta, 2004)

Rumi, Yang Mengenal Dirinya yang Mengenal Tuhannya, Aforisme-Aforisme Sufistik Jalalluddin Rumi, Signs off The Unseen: The Discourses of Jalalluddin Rumi, Terj. Anwar Holid, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2001)

Seyyed Hosein Nasr, Ensiklopedi Tematis SPIRITUALITAS ISLAM, Terj. Rahman Astuti, (Bandung: Mizan Media Utama, 2003)

Syamsun Ni’am, Cinta Ilahi perspektif Rabiah al-Adawiyah dan Jalaluddin Rumi, (Risalah Gusti: Surabaya, 2001) Titus Burckhard, Mengenal Ajaran Sufi, Terj. Azyumardi Azra (Jakarta: Pustaka Jaya 1984)

Abdur Rahmad

Alumnus Pesantren Nurul Jadid

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.