Menguji Logika Internal-Eksternal dalam Stoikisme

Ilustrasi manusia dalam pencarian tujuan
Ilustrasi manusia dalam pencarian tujuan

Dalam beberapa waktu terakhir, stoikisme menjadi nama yang sering dibahas oleh anak muda di Indonesia, hal itu karena ada beberapa influencer di Indonesia yang membahas tentang stoikisme dan mendapat respons yang sangat positif dari netizen Indonesia. Stoikisme berhasil menjadi metode berpikir alternatif bagi banyak orang di Indonesia, itu semua karena banyak anak muda yang kehilangan jati diri dan juga terlalu overthinking atas kehidupan di masa kini, maka stoikisme menjadi makanan empuk bagi para pemuda pemudi yang hilang arah.

Stoikisme mempunyai tempatnya dalam menata kehidupan beberapa manusia, dan itu menjadi hal yang sangat bagus. Tapi bukan berarti itu semua tidak lepas akan kritik, penulis akan berfokus pada masalah ini. Karena singkatnya, stoikisme bukanlah filsafat yang sempit seperti yang kita bayangkan, ia tidak hanya berfokus pada ruang lingkup (self) atau kedirian seorang manusia, melainkan ia juga bermain pada ranah logika kosmik alam semesta.

Terlepas dari respons positif yang diberikan pada stoikisme, Inilah yang mungkin tidak banyak disadari oleh penikmat dari stoikisme, yaitu untuk memberi peluang atas kecacatan logika stoikisme, khususnya pada logika internal-eksternalnya. Karena, jika kita mendapati suatu analisa atau ulasan akan sesuatu, dan kita stagnan atau berlarut larut atasnya, maka bisa dipastikan, ulasan atau tulisan itu telah menghambat perkembangan kita. 

Sejatinya, jika kita mendapati suatu tulisan yang baru, maka kita tidak boleh puas dengan apa yang kita terima, dan berusaha untuk terus mengkritiknya, dari sana kita bisa berkembang. Sayangnya, kebanyakan dari kita langsung menelan bulat-bulat karya-karya yang memaparkan mengenai Stoikisme. Stoikisme telah dianggap membantu kehidupan praktis manusia saat ini. Tapi apakah benar, stoikisme telah berhasil secara pragmatis? Hal ini yang akan kita bahas, Stoikisme dalam logika berpikir, dan stoikisme secara praktis.

Stoikisme

Stoikisme adalah sebuah aliran filsafat yang dicetuskan oleh Zeno dari Yunani Kuno pada abad ke-3 sebelum Masehi. Asal nama stoikisme adalah dari kata stoa, yang berarti pilar atau tiang dalam bahasa Yunani, karena seringkali pembahasan filsafat ini dibahas di teras-teras bangunan berpilar-pilar, sehingga falsafah ini bernama Stoa atau stoikisme. Tetapi walaupun berasal dari Yunani Kuno, stoikisme berkembang pesat saat di Romawi Kuno, seperti Seneca sang Senator, Epictetus sang Budak, dan Marcus Aurelius sang Kaisar.

Dasar-dasar pemikiran stoisisme adalah, bahwa hidup harus sesuai dengan sistem kosmik, kosmik di sini berarti sistem alam semesta, atau realitas yang ada. Dalam menanggapi sistem kosmik tersebut, stoikisme berusaha untuk memetakannya, adalah dengan membedakan hal-hal internal, serta hal-hal yang eksternal. Hal internal adalah hal-hal yang masih dalam jangkauan manusia serta dapat dikendalikan, sedangkan hal eksternal sebaliknya, adalah di luar jangkauan manusia, dan tidak dapat dikendalikan. Atau dapat disederhanakan, hal internal adalah kesadaran manusia itu sendiri atau subjek, dan hal eksternal adalah keseluruhan objek materi yang berada di luar subjek. Stoikisme menginginkan kita untuk berpikir bahwa kesadaran kita dan objek materi sekitar adalah dua hal yang terpisah, dan tentunya kita mempunyai kehendak untuk mengendalikan kesadaran ini atas tantangan-tantangan realitas di luar diri kita.

Jadi menurut stoikisme, jika seorang manusia tidak bisa memahami sistem kosmik yang ada dan ia tidak bisa membedakan mana yang internal dan mana yang eksternal, dan sekalipun ia sudah tahu perbedaannya, tetapi ia tidak memilih untuk lebih fokus kepada hal-hal internal, maka penderitaan akan menyelimuti manusia tersebut. Menurut stoikisme, kita lebih baik fokus pada hal-hal yang bisa kita ubah dan kendalikan, daripada hal-hal di luar diri kita yang tidak dapat diubah. Dalam artian, manusia dan hal-hal yang di luar manusia mempunyai porsinya masing-masing. Pribadi manusia itu sendiri yang terjangkau sebagai hal internal, dan hal-hal yang di luar jangkauan manusia, seperti alam dan manusia lainnya juga masuk sebagai dunia eksternal.

Logika Internal-Eksternal dalam Stoikisme

Pertama-tama, setiap filsafat memiliki pemikiran dasar sebagai kerangka. Ibarat rumah, pasti memiliki dasar bangunan untuk dapat membangun atapnya. Begitu juga dengan filsafat, misalnya seperti Hegel, dia memiliki dialektika sebagai premis besarnya, atau Nietzsche dan Schopenhauer yang mempunyai premis dasar filsafatnya tentang Kehendak (will). Begitu juga dengan stoikisme, premis besarnya adalah menafsirkan kosmos atau alam semesta dengan porsi internal dan eksternal. 

Dalam sejarah filsafat, ada dua poros dalam masalah bagi membagi apa yang ada di dalam kosmik. Adalah filsafat determinisme, yang hanya menempatkan hanya ada dunia eksternal saja, serta filsafat eksistensialisme yang menempatkan bahwa dunia internal atau kedirian “selfhood” juga mempunyai peran di dalamnya. Sedangkan, Stoa adalah filsafat tentang eksistensialisme. Pemikiran mengenai cara diri seorang manusia dapat sadar akan pembagian dunia objek dan subjek, sehingga mereka dapat percaya bahwa dirinya dapat terbebas dari pengaruh dunia objek atau pengaruh determinasi. Bahwa dunia internal adalah satu hal, dan dunia objek atau realitas yang di luar jangkauan subjek adalah hal yang lain.

Yang menjadi masalah bagi Stoa adalah bahwa ia dengan yakin dan pasti, membagi alam semesta ini menjadi internal dan eksternal. Karena dengan membagi alam semesta menjadi internal dan eksternal oleh stoikisme, hal itu bisa menjadi sangat tak masuk akal, karena sebelum kita membagi suatu hal itu apakah sesuatu itu masuk dalam kategori internal atau eksternal, kita harus menjawab dulu apa itu definisi eksternal dan internal. 

Di sini letak masalahnya adalah bahwa kosmos yang di dalamnya menyangkut dunia serta alam semesta, mereka tidak pernah mengenal yang namanya pembagian antara internal maupun eksternal, melainkan eksternal dan internal adalah satu kesatuan yang tak pernah terpisah. Dan juga, perlu dipertanyakan mengenai klaim stoikisme atas hal internal yang bisa diubah dan hal eksternal tak bisa, merupakan sebuah konsep yang tidak masuk akal.

Pada dasarnya, cara kerja otak manusia tidaklah benar-benar bebas atau independen seperti apa yang dikatakan oleh Stoikisme. Sebelum ada subjek, yang ada hanya materi-materi yang tak berkesadaran, atau dunia eksternal itu sendiri. Stoikisme berusaha membagi dua kutub atas benda, adalah benda yang dapat menyadar dan benda yang tidak dapat menyadar. Dan stoikisme juga menganggap benda-benda yang dapat menyadari dirinya adalah benda-benda yang memiliki kedudukan lebih tinggi, sehingga mereka percaya pada kemampuan “freewill”. Sebelum itu semua, kita harus mengetahui betul bagaimana otak manusia sebagai satu prosedur dapat bekerja sedemikian rupa. 

Ialah evolusi itu sendiri yang nyata dalam sejarah evolusi manusia, kita tidak pernah benar-benar terpisah atau dikotomis antara internal-eksternal. Nyatanya diri kita adalah kondisi materi itu sendiri atau dunia eksternal itu sendiri, karena otak kita dibentuk oleh tantangan materi sekitar, begitu juga dengan bentuk fisiologis daripada manusia atau makhluk hidup.

Lalu, bagaimana mungkin jika kita dikatakan memiliki suatu kemampuan untuk mempunyai otoritas atas dunia-dunia internal, jika dunia internal kita adalah dunia eksternal itu sendiri? Itu artinya, diri manusia sebagai satu entitas yang mandiri tidaklah pernah ada, karena diri kita sendiri adalah barang eksternal. Bahwa otak kita mempunyai satu kemampuan untuk menyadar adalah benar, tapi itu tidak membuat kita menjadi benda yang independen. Karena itu, kesadaran kita sering kali terbatas, karena ia telah dikurung oleh dunia objek yang ada di sekitar kita sebagai satu referensi aktivitas.

Oleh karena itu, kita tidak memiliki kehendak bebas untuk membawa diri kita pada satu titik tertentu atau titik yang lain secara eksistensialis, bahwa kebanggaan diri kita atas tubuh yang merasa independen adalah ilusi belaka, kita tidak pernah mempunyai dunia internal sedari awal, diri kita hanyalah ekstraksi sekitar. Karena orang-orang stoik percaya, bahwa diri kita mempunyai kehendak bebas untuk mengatur dan memilah atas dunia internal dan eksternal. Tetapi kenyataannya, yang bekerja untuk mengatur serta memilah adalah dunia eksternal juga, karena otak kita adalah ciptaan dunia eksternal itu sendiri, bukan dunia internal yang eksistensialis.

Bahwa pada akhirnya, stoikisme menjadi filsafat hidup yang bisa menyesatkan diri seorang manusia, yaitu ketika seorang manusia berusaha meyakini bahwa diri manusia adalah tidak menyatu dengan objek materi sekitar, maka mereka akan berjalan di atas muka bumi dengan banyak gagal paham. Karena mereka tak mengerti bahwa hal yang dirasa internal oleh manusia, nyatanya barang eksternal juga. Karena manusia masih membutuhkan fiksi-fiksi atau dongeng-dongeng akan kemampuan diri manusia yang bebas berkehendak, sehingga manusia masih perlu percaya bahwa dirinya memiliki kendali atas diri dan tidak dipengaruhi oleh dunia eksternal. Bahwa Stoikisme ingin membuat dikotomi yang jelas antara diri dan bukan diri, dalam dan luar, yang mana itu sangat menyesatkan.

Internal dan Eksternal kadang menjadi masalah yang rumit, karena ia juga akan menyinggung tentang kesadaran manusia, dan berkutat pada permasalahan apakah kesadaran kita berdiri sendiri atau ia adalah barang yang dipengaruhi. Sehingga pembicaraan akan dunia internal-eksternal kadang melebar kemana-mana dan keluar konteks. Tapi, poin yang ingin dihadirkan dalam tulisan ini bukanlah untuk meniadakan fakta bahwa manusia memiliki kemampuan atas satu hal atau yang lainnya, tentu saja manusia punya. Tetapi yang jadi masalah adalah, bagaimana kemampuan itu yang kita sering anggap sebagai dunia internal dan independen, nyatanya bukanlah internal dan indepen sama sekali, melainkan dari dunia yang eksternal. Sehingga para stoik berbangga-bangga atas dirinya dan percaya bahwa setiap orang dapat berlaku bijak akan kehidupannya. Padahal kenyataannya, mereka sendiri tidak paham bahwa kemampuan diri manusia adalah berbeda-beda, karena setiap otak ditantang berbeda juga oleh dunia materi, sehingga kemampuan seseorang menjadi tidak pernah sama. Jika manusia tidak pernah sama, maka klaim Stoik telah gagal, karena stoikisme hanya dapat dijalankan di dunia yang semua manusianya memiliki kemampuan otak yang sama.

Referensi

Lossky, N., & Duddington, N. (1929). The Metaphysics of the Stoics. Journal of Philosophical Studies, 4(16), 481–489. 

Graver, M. (2009). Stoicism & Emotion. University of Chicago Press. 

Salles, R. (2013). God and cosmos in stoicism. Oxford University Press. 

Alan Pasaribu
Alan Pasaribu

Mahasiswa Sosiologi dan Pegiat Forum Mahasiswa Ciputat (Formaci)

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.