Menyelami Pemikiran Freud-Menemukan Diri yang Sejati

Ilustrasi bisikan sifat baik dan jahat

Pernahkah terlintas dalam benak teman-teman pertanyaan, “siapa aku?” Jika iya, kemungkinan besar teman-teman sedang berada dalam fase pencarian jati diri. Pertanyaan “who am I?” menyiratkan adanya ketidaktahuan atau keraguan mengenai siapa diri kita sebenarnya. Orang-orang yang mencoba menjawab pertanyaan ini biasanya mencari makna yang lebih mendalam secara filosofis, dengan harapan memperoleh pemahaman yang lebih utuh tentang eksistensi dirinya.

Pemahaman mengenai siapa diri kita sangat bergantung pada kesadaran kita terhadap pengalaman yang kita alami. Diri terbentuk dari akumulasi interaksi yang kita jalani—baik dengan diri sendiri maupun dengan lingkungan sekitar. Istilah-istilah seperti “kamu adalah apa yang kamu makan”, “kamu adalah apa yang kamu lihat”, dan “kamu adalah apa yang kamu lakukan” menunjukkan bahwa pembentukan diri tidak bisa dilepaskan dari realitas eksternal. Pengalaman membentuk persepsi dan cara pandang seseorang terhadap dunia dalam pikirannya.

Jika dikaji melalui pendekatan teoritis, pandangan Sigmund Freud—seorang tokoh Psikoanalisis yang juga dijuluki sebagai Bapak Psikoanalisis—dapat dijadikan pijakan untuk memahami konsep diri. Walaupun teorinya kerap bersifat spekulatif, Freud menjelaskan struktur kepribadian manusia melalui tiga unsur penting: Id, Ego, dan Super Ego.

Diri (self) adalah hasil aktualisasi dari kepribadian yang terbentuk melalui interaksi antara ketiga unsur tersebut.

Id

Id adalah dorongan naluriah atau insting dasar manusia yang bekerja berdasarkan prinsip kenikmatan. Perilaku anak-anak usia dini menggambarkan fungsi Id, misalnya saat mereka hanya ingin makan, tidur, dan bermain tanpa mempertimbangkan situasi. Id bersifat impulsif dan berakar dari kebutuhan biologis yang mendesak.

Ego

Ego berfungsi sebagai penengah antara dorongan primitif Id dan batasan realitas. Ego bekerja berdasarkan prinsip realitas dan berusaha menyalurkan dorongan Id dengan cara-cara yang dapat diterima oleh lingkungan. Misalnya, ketika seseorang merasa lapar, Ego akan mencari cara yang sesuai—seperti membeli atau meminta makanan—bukan mencuri atau merebut makanan orang lain.

Superego

Superego mencerminkan internalisasi nilai dan norma moral yang berlaku dalam masyarakat. Superego tidak hanya mengarahkan Ego agar bertindak sesuai realitas, tetapi juga sesuai dengan norma dan etika. Misalnya, seseorang tidak hanya mencari makanan dengan cara yang baik, tetapi juga mungkin melibatkan nilai keagamaan seperti berdoa sebelum makan.

Ketiga unsur ini terus berinteraksi dalam diri manusia. Kadang mereka selaras, kadang juga saling bertentangan. Ketika terjadi konflik antara Id, Ego, dan Superego, muncullah mekanisme pertahanan diri (defense mechanism) untuk menciptakan stabilitas internal. Dengan memahami dinamika ketiga unsur tersebut, kita bisa lebih dalam memahami bagaimana proses pembentukan diri berlangsung dalam kehidupan sehari-hari.

Walaupun unsur-unsur kepribadian menurut Freud berasal dari dalam diri, proses pembentukan diri sejatinya juga dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Proses penyaluran dorongan Id melalui Ego dan Superego senantiasa melibatkan interaksi dengan realitas sosial, budaya, dan nilai yang dominan.

Dalam proses pembentukan diri, terjadi internalisasi dari pengalaman eksternal ke dalam pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang. Artinya, pembentukan diri bukanlah proses yang sepenuhnya “alami” atau “murni dari dalam diri”, melainkan juga hasil dari pengaruh lingkungan. Oleh sebab itu, apa yang kita anggap sebagai “diri kita” sesungguhnya merupakan hasil konstruksi yang terbentuk dari perpaduan unsur internal dan eksternal.

Lalu, bagaimana kita bisa memahami diri kita yang sejati ?

Diri sejati terbentuk melalui interaksi antara pikiran, perasaan, dan pengalaman dengan lingkungan sekitar. Pemahaman terhadap diri pada dasarnya adalah pemahaman terhadap realita yang pernah kita alami. Segala yang terinternalisasi dalam pikiran dan perasaan membentuk persepsi kita terhadap dunia, dan persepsi inilah yang menjadi manifestasi dari diri yang teraktualisasi.

Mengenal diri bukanlah proses yang sederhana. Ia melibatkan pencarian yang dalam dan refleksi atas pengalaman hidup, serta pemahaman tentang dinamika kepribadian. Dengan memahami konsep-konsep seperti Id, Ego, dan Superego, serta menyadari peran lingkungan dalam pembentukan diri, kita bisa lebih memahami siapa diri kita sebenarnya—dan mungkin, menemukan jawaban atas pertanyaan fundamental: “Who am I ?”

Reza Athabi Zayeed

Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses