fbpx

Menyoal Apatisme terhadap Aufklarung bersama Horkheimer dan Sindhunata

Pemikiran yang awalnya begitu optimis dan mengebu-gebu untuk menghasilkan sesuatu yang emansipatoris berakhir dengan jalan buntu.
cultural factory
Cultural Factory

Sindhunata, dalam bukunya Dilema Usaha Manusia Rasional: Teori Kritis Sekolah Frankfurt (2019), ingin menjelaskan pemikiran teori kritis Sekolah Frankfurt. Ia memfokuskan pembahasaannya pada Horkheimer ketimbang tokoh-tokoh lain seperti Adorno, Marcuse, ataupun Habermas. Salah satu sebabnya ialah bahwa Horkheimer lah yang meletakkan dasar dan membuka pemikiran bagi rekannya. Ada pun keterbatasan waktu membuat Sindhunata hanya memfokuskan diri pada pemikir ini, meski Sekolah Frankfurt sendiri tak bisa dipersempit karena pemikiran dari tokoh-tokoh lainnya yang juga beraneka ragam.

Kisah masa muda Horkheimer mengawali buku ini untuk menjelaskan latar belakang pemikirannya. Ia adalah seorang putra dari seorang Yahudi yang memiliki pabrik tenun. Kehidupannya begitu mapan dan baik-baik saja karena tinggal mengurusi bisnis bapaknya untuk menikmati hidup. Namun bukan itulah yang diinginkannya, Horkheimer menaruh perhatian yang begitu besar pada orang-orang yang menjalani hidup penuh nestapa. Di sisi lain, ia begitu benci pada bapaknya yang telampau kolot dan mencegah pernikahannya dengan sekretaris kantornya. Ia menemukan jalan keluar dengan belajar psikologi dan filsafat di Freiburg. Meski ayahnya tak menyukai filsafat, setidaknya hal itu dapat membuat Horkheimer tak jadi menikah. Nyatanya, beberapa tahun setelahnya, Horkheimer justru menjadi guru besar dan dapat menikahi sekretarisnya dulu.

Sejak perkuliahan, Horkheimer begitu terinspirasi oleh Kant. Pembimbing disertasinya sendiri, Prof. Hans Cornelius, adalah seorang filsuf neo-Kantian. Ketika pengukuhannya sebagai guru besar pun, Horkheimer membawa pidato berjudul Kant’s Critique of Judgement. Idealisme Kant begitu berpengaruh pada pemikirannya kelak. Ia sendiri juga memberikan kuliah tentang filsafat Hegel.

Pada tahun 1920-an, Felix J. Weil ingin membuat proyek untuk merevitalisasi ajaran Marx yang dianggap sudah lesu dan bahkan menyeleweng. Mereka (para penerus ajaran Marx) terlalu memandang kejatuhan kapitalisme dengan ekonomistis, deterministis, dan evolusionis. Ajaran Marxisme pun menjadi kaku karena cengkeraman partai. Maka dibentuklah Sekolah Frankfurt untuk melihat kapitalisme dari segi yang lebih kritis serta ilmiah, bukan politis karena hubungan partai. Horkheimer diajak bergabung dalam kelompok ini dan resmi menjadi direkturnya pada Januari 1931. Bersama Horkheimer pula Sekolah Frankfurt mencapai kejayaannya.

Pada 1933 ia bersama Sekolah Frankfurt terpaksa mengungsi ke Amerika karena kegilaan fasisme Nazi di Jerman. Pertemuannya dengan masyarakat kapitalis Amerika dan memorinya dengan fasisme cukup berperan besar terhadap pemikirannya kelak. Tesisnya bahwa kapitalisme monopolis yang berubah menjadi kapitalisme negara yang melahirkan fasisme sangat dipengaruhi oleh pengalaman ini. Pemikiran yang sangat simplistik dan mengabaikan kompleksitas penyebab fasisme ini kerap dikecam oleh cendekiawan lain. Namun, di sisi lain, pembacaan Horkheimer lainnya atas masyarakat dalam belenggu kapitalisme tak lantas boleh diabaikan.

Meski begitu ingin mengentaskan segala penindasan di masa kapitalisme, Horkheimer tak pernah setuju dengan segala bentuk revolusi penuh kekerasan. Hal ini membuat Sekolah Frankfurt berpisah dengan mahasiswa-mahasiwa pemberontak yang sempat mendukungnya. Sekolah Frankfurt juga tak pernah bergairah ketika Revolusi Bolshevik pecah, tak seperti kaum marxis lainnya. Mereka beranggapan bahwa kaum proletar sudah menjadi bagian dari masyarakat yang melestarikan kemapanan. Tak ada lagi harapan revolusi dari kaum proletar, apa lagi dengan kekerasan fisik.

Sekolah Frankfurt menganalisis individu terlepas dari masyarakat. Bagi mereka, masyarakat bebas hanya berasal dari individu yang bebas, individu yang sempurna. Tak ada lagi perubahan masyarakat yang terjadi karena kontradiksi di dalamnya. Terlebih mereka juga memasukkan ajaran Freud dalam teorinya, hal yang tak biasa dalam tradisi marxis. Sebab itu mereka dianggap menyimpang dari keortodoksan marxisme, dituduh murtad, dan dijuluki revisionis.

Gagasan Sekolah Frankfurt sendiri biasa disebut sebagai sosiologi kritis yang kurang lebih searus dengan gagasan-gagasan sosiolog seperti C. Wright Mills, Daniel Bell, serta Peter L. Berger yang dijelaskan secara singkat dalam buku ini. Dennis H. Wrong (penulis Skeptical Sociology) mengatakan bahwa ia mendukung dua pokok pikiran dari Sekolah Frankfurt: pertama, bahwa sosiolog tak boleh mengambil posisi sebagai sarjana ilmu pengetahuan alam. Dan sebaliknya, ia harus memperhitungkan keterlibatannya dengan dunia sosial dan mempengaruhinya; kedua, bahwa sosiolog harus berada secara kritis menghadapi masyarakat, menolak struktur sosial, kelembagaan, maupun kebudayaan yang sedang mapan. Wrong juga setuju dengan utopia Sekolah Frankfurt menjadi sumber kritis dan memungkinkan sosiolog untuk terus berkembang. Baginya juga, Sosiologi kritis bukan monopoli kaum marxis (selain karena latar belakangnya), ia harus dikerjakan oleh setiap pemikir yang menghendaki perubahan masyarakat.

Meski garis besarnya terletak dalam perspektif filosofis, Sekolah Frankfurt tak pernah menganggap remeh hal-hal empiris. Mereka juga tetap mengadakan studi empiris. Bagi Horkheimer kerja sama filsafat dan ilmu pengetahuan empiris itu begitu penting untuk diorganisasikan berdasar “problem bertopik filosofis”. Sebab itulah, pemikiran Sekolah Frankfurt sebagai teori kritis masyarakat (critical theory of society) mengatasi filsafat maupun sosiologi sekaligus. Filsafat dibuat, mau tidak mau, untuk membuahkan praksis bagi perubahan masyarakat (maka disebut bahwa teori kritis menjadi realisasi filsafat). Di sisi lain, sosiologi dibuat tak sekadar menjadi duplikat dari realitas sosial yang ditelitinya. Ia ingin menemukan sesuatu yang tersembunyi di balik tabir realitas sosial.

Berlawanan dengan sosiologi pada umumnya, sosiologi kritis melihat bahwa fakta sosial tak pernah bebas nilai. Baginya, menganggap fakta sosial itu bebas nilai berakibat manipulasi fakta sosial terhadap sosiologi. Dengan begitu, justru fakta yang medikte ilmu dan menjadi integral dari fakta sosial yang sudah mapan. Sekolah Frankfurt selalu curiga bahwa fakta-fakta yang kelihatan objektif justru penuh nilai yang tak disetujui dan perlu didobrak.

Alih-alih bersekutu dengan masyarakat, Sekolah Frankfurt justru ingin mendobraknya. Mereka menginginkan pembangunan masyarakat yang rasional. Kini, masyarakat rasional masih merupakan hal yang di angan-angan: individu masih terbelenggu dalam jerat irasionalitas masyarakatnya. Dengan demikian, teori kritis jelas bersoalan dengan “pembebasan manusia” secara sosiologis maupun filosofis. Ia adalah alternatif dari pemikiran filosofis maupun sosiologis yang sekarang kita miliki. Pun jelas bahwa ajaran Sekolah Frankfurt bukan lah marxisme vulgar yang kaku dan harus berafiliasi pada gerakan marxis, mereka lebih kaya dan itu, (bisa dikatakan bahwa) mereka adalah pewaris seluruh tradisi filsafat Jerman.

Pun, klausa terakhir tadi tak bisa dianggap terlalu angkuh atau berlebihan bila kita menilik pada latar belakang dari pemikiran mereka. Horkheimer dan kawan-kawannya menjadikan Idealisme Kant dan Hegel, marxisme, serta psikoanalisa Freud sebagai titik tolak. Idealisme Kant mempengaruhi Sekolah Frankfurt bahwa kesadaran manusia harus membentuk dan menjadikan sejarah manusia di dunia itu. Namun ia juga harus mengejawantah secara dialektik, sebagaimana ajaran Hegel. Begitu pula, pengejawantahan itu masih dibatasi oleh kenyataan yang asing dari kesadaran, maka yang menjadi persoalan ialah bagaimana mengubah kenyataan itu. Di sinilah teori kritis mendasarkan diri pada kritik ekonomi politik Karl Marx yang dianggap bersifat emansipatoris. Walau begitu, mereka masih kurang puas dengan pemikiran ekonomi-deterministik Karl Marx dan menganggap perlu untuk memasukkan unsur-unsur sosiologis kebudayaan. Psikoanalisis Freud — terutama teori tentang superego — masuk untuk menutupi kekurangan ini. Sayangnya, hal ini pula yang membuat mereka dituduh menyimpang dari keortodoksan ajaran Marxisme.

(Keempat pemikiran di atas dibahas secara sangat singkat dalam buku ini sehingga memerlukan pembacaan yang lebih mendalam untuk mengerti bagaimana akar dari pemikiran kritis Sekolah Frankfurt.)

Selain berpijak pada keempat pemikiran tersebut, Sekolah Frankfut juga memiliki relasi dengan filsafat kemanusiaan (Lebensphilosophie) dan neo-positivisme. Meski kedua aliran ini tak sepenting keempat pemikiran di atas, ada baiknya untuk sedikit membahasnya untuk mengetahui posisi Sekolah Frankfurt. Horkheimer, sebagai pimpinan Sekolah Frankfurt, pertama kali berkenalan dengan filsafat melalui buku Aphorism on the Wisdom of Life (1851) dari Schopenhauer yang begitu pesimistis. Pun, Adorno begitu akrab dengan Kierkegaard dan filsafat Heidegger sangat melatarbelakangi pemikiran Marcuse. Filsuf-filsuf lain seperti Bergson dan Nietzsche juga begitu dikenal oleh para anggota Sekolah Frankfurt. Bagi Horkheimer, Lebensphilosophie membantu menyatakan protes terhadap kekakuan rasionalisme yang abstrak, dan pula mereka menyerukan harkat kemanusiaan melawan kapitalisme saat itu. Pemikiran Horkheimer yang nantinya sangat pesimis pun sangat dipengaruhi oleh filsafat Schopenhauer.

Di sisi lain, Sekolah Frankfurt sangat mengecam neo-positivisme yang begitu mendewa-dewakan pengetahuan sebagai bahasa tautologi yang kebenarannya dapat dicek secara empiris. Sekolah Frankfurt — meski juga menghormati dan mengagumi ilmu pengetahuan — mengecam pandangan bahwa prosedur ilmiah adalah jaminan atas kebenaran. Ilmu pengetahuan modern yang juga menganggap dirinya bebas nilai, justru mudah dipakai sebagai alat untuk pengukuhan kekuasaan tanpa mereka sadari. Neo-positivisme, secara tidak kritis, terjebak dalam pendewaan ilmu pengetahuan modern. Mereka menganalisis bahasa ilmiah tanpa mempertanyakan kebenaran bahasa itu sendiri berikut dengan kepentingan-kepentingan di baliknya. Pandangan ini cukup menjelaskan betapa bertolak belakanganya teori kritis dengan neo-positivisme.

Teori Kritik, sebagai pemikiran unggulan Sekolah Frankfurt, perlu dibaca dengan membandingkannya terhadap teori tradisional. Dalam Aufklarung (usaha manusia rasional) yang tak pernah usai, Horkheimer memandang bahwa akhirnya teori tradisional (yang terpengaruh oleh Kant dan Hegel) hanya menganalisis fakta dengan metode dan hukum yang dimilikinya. Ia memandang fakta secara lahiriah dan hanya ingin membangun konsep umum mengenai semua hal, padahal justru hal ini yang membuatnya sekadar melestarikan kondisi yang ada. Penyesuaian diri — yang dilakukan dengan tak sadar — ini sama saja dengan tindakan irasional. Pasalnya, sistem ekonomi sekarang ini bukan hasil karya manusia dengan kontrolnya yang sadar, melainkan hasil dari otomasi yang digerakkan oleh modal. Mengamininya sama saja dengan bertindak irasional, meski orang menganggap bahwa semua itu rasional.

Sebaliknya, teori kritis ingin terus curiga pada keadaan masyarakat. Ia tak ingin mematuhi kaidah yang ada dalam masyarakat, apa lagi bersikap netral. Bagi mereka, tak ada kenetralan yang sungguh-sungguh (kenetralan hanyalah bentuk kepatuhan pada sistem yang sudah ada). Teori kritis juga ingin bersikap historis dengan tetap mengindentifikasi diri pada masyarakat, tetapi menarik dirinya pula dari masyarakat. Dengan pandangannya tentang ego, ia ingin senantiasa kritis terhadap diri sendiri. Sehingga, ia tak perlu menipu bahwa dirinya bebas dan otonom untuk mengingkari kenyataan bahwa dirinya masih terbelenggu. Pun teori kritis tak ingin memisahkan teori dan praktik seperti halnya teori tradisional sehingga fakta dan teori selalu terpisah. Mereka berpikir bahwa semua berada dalam wewenang manusia sehingga ia dapat membangunnya sesuai keinginan dan akal.

Pada tahap kedua pemikirannya, Horkheimer mulai berpikir bahwa teori kritis tak dapat membebaskan manusia dari irasionalitas masyarakat. Masyarakat modern terlanjur berada dalam sistem yang tertutup dan tak memungkinkan adanya usaha untuk membuka persoalannya. Manusia dengan usaha rasional akhirnya terjebak pada irasionalistasnya sendiri yang dilematis. Semakin ia ingin membebaskan diri dari akal budi objektif, ia justru semakin instrumentalis. Begitupun ketika ia ingin membebaskan diri dari alam, justru alam makin menindasnya. Semakin ia mencari identitas, justru identitas itu sendiri yang dihancurkannya.

Mengapa dilema usaha manusia rasional itu bisa terjadi? Menurut Horkheimer, semua ini karena usaha manusia rasional tak bisa lepas dari mitos (takhayul, keirasionalan, dan berbagai hal yang dipertanyakan tetapi tak terjawab oleh manusia). Sejak zaman Yunani hingga masa modern, usaha rasional selalu berasal dari mitos dan justru menghasilkan mitos lagi. Manusia yang mulai merasa tercerahkan dengan adanya usaha rasional sebenarnya justru sedang terkungkung dalam mitos. Sebab itulah mereka akhirnya tak pernah dapat keluar dari keirasioanlan seperti yang dijelaskan Horkheimer dalam tahap kedua pemikirannya. Usaha manusia rasional tak lebih dari Odysseys yang menghadapi bisikan Siren. Manusia modern gandrung dengan janji akan kebahagiaan di masa depan, padahal hidupnya dihiasi oleh penindasan. Akal budi yang ia kira akan membebaskan justru mengikatnya pada “tiang produksi dan industri”. Odysseus adalah riwayat manusia yang ingin “membudaya” tetapi justru meniadakan dirinya, karena “kebudayaan” bukanlah cita-cita dari kehendak sadar melainkan ungkapan dari kekuasaan modal buta yang memperalat mereka. Dialektika masyarakat yang ingin mencapai pengertian rasional justru menjadi irasional.

Akhirnya, Horkheimer terpaksa menyadari bahwa teori kritis, sebagai usaha mencapai pengertian rasional, juga terkena hukum dialektik dari usaha manusia rasional. Pemikiran yang awalnya begitu optimis dan mengebu-gebu untuk menghasilkan sesuatu yang emansipatoris berakhir dengan jalan buntu. Bersama Horkheimer, Sekolah Frankfurt yang lahir dengan penuh optimisme kini begitu pesimis terhadap kemungkinan perubahan masyarakat.

 | Website

Atolah Renanda Yafi adalah mahasiswa magister Kajian Budaya dan Media di Universitas Gajah Mada. Seorang penerjemah dan penulis blog paruh waktu. Buku terjemahannya berjudul Anarkisme Post Modern (2019).

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content