Nihilisme: Diskursus untuk Moralitas yang Kian Tergerus

Filsuf yang Berduka
Filsuf yang Berduka

Sebagai makhluk yang diberkahi rasio adalah suatu keniscayaan ketika manusia berupaya terus menerus untuk menemukan makna dan tujuan dalam hidupnya. Sesekali mungkin kita pernah bertanya apa tujuan hidup kita, apa yang kita cari dalam hidup ini, bahkan seringkali kita mempertanyakan apa itu kebahagiaan dan bagaimana cara memperolehnya.

Di tengah hiruk pikuk kehidupan manusia terutama di abad 21, kebanyakan manusia hanya dipandang sebagai objek dan angka, muncullah suatu aliran pemikiran yang menyatakan bahwa pencarian terhadap makna dan tujuan yang dilakukan manusia hanya akan berujung pada kesia-siaan. Aliran pemikiran itu disebut “Nihilisme”.

Apa itu Nihilisme?

Secara bahasa nihilisme berasal dari bahasa Latin “nihil”, berarti “tidak ada” atau “tidak ada apa-apa”. Sederhananya nihilism adalah pandangan filsafat yang menolak atau memandang ketiadaan arti terhadap nilai-nilai objektif, tujuan hidup, bahkan makna yang bersifat inheren dalam kehidupan manusia. Pemikiran tersebut muncul dan berkembang pada abad ke-19 dan membawa pengaruh besar dalam perkembangan filsafat modern. 

Kata kunci atau gagasan utama nihilisme adalah dunia terutama keberadaan manusia tidak memiliki suatu makna dan tujuan. Namun demikian nihilisme juga tidak dapat diasosiasikan dengan suatu hal yang radikal bahkan dianggap sebagai perilaku pesimisme yang ekstrim bahkan dianggap sebagai bentuk pemikiran yang mengesampingkan moral. Mengapa demikian?

Sejarah Nihilisme dan Tokoh-Tokoh Nihilisme

Akar nihilisme telah muncul sejak era Yunani kuno, terutama dalam pemikiran para Sophist seperti Gorgias (483-375 SM). Secara sederhana Gorgias dan para Sophist mengajukan 3 pemikiran yang menjadi dasar argumentasi. Pemikiran tersebut diantaranya tidak ada kebenaran objektif, kalaupun ada kebenaran itu tidak dapat diketahui, dan kalaupun dapat diketahui segala sesuatu yang ada hanyalah bersifat subjektif.

Gorgias mungkin menjadi filsuf yang meletakkan fondasi nihilisme, namun Friedrich Nietzsche (1844-1900) yang membangun konstruksi nihilisme yang sistematis di abad 19. Karya-karyanya terutama “Thus Spoke Zarathustra” dan “Beyond Good and Evil,” memberi sumbangsih paling berpengaruh yang membidani kelahiran nihilisme. Dalam buku-bukunya Nietzsche banyak mengkritik nilai-nilai tradisional serta penggambarannya terhadap dunia ia asosiasikan sebagai tempat kosong tanpa makna yang inheren. 

Pandangannya yang paling kontroversial ialah ketika ia menyatakan bahwa kematian Tuhan atau kehancuran keyakinan tradisional akan menyebabkan kehampaan dan memunculkan sikap nihilistik dalam masyarakat. Ia juga berpandangan bahwa manusia harus melewati fase nihilistik untuk mencapai pencerahan yang memungkinkan mereka membangun nilai-nilai baru yang didasarkan pada spirit kehendak individu.

Ada banyak tokoh-tokoh nihilisme yang memberikan sumbangsih signifikan terhadap pemikiran nihilisme, 2 yang cukup dikenang ialah Albert Camus dan Jean Paul Sartre. Camus menawarkan konsepnya sendiri dalam ranah pemikiran nihilisme yaitu absurditas. Konsepnya bisa kita temui dalam karyanya “The Myth of Sisyphus,” atau dalam karya sastranya yang monumental “The Stranger”, dimana Camus menyatakan absurditas hadir karena adanya ketidakharmonisan antara keinginan manusia akan pencarian makna serta ketidakmampuan manusia untuk menemukan makna objektif dalam dunia yang tanpa hakikat. Maka ia mengusulkan pemberontakan sebagai suatu respons terhadap absurditas dengan melibatkan penerimaan penuh terhadap kehampaan eksistensi sambil tetap berjuang menciptakan makna subjektif. 

Sementara itu Sartre yang merupakan filsuf eksistensialis juga menaruh sumbangsih terhadap pemikiran nihilisme. Dalam bukunya, “Being and Nothingness,” ia menarasikan jika manusia hadir sebagai entitas yang bebas namun terjebak dalam ketidakpastian dan kehampaan eksistensi, dimana menurutnya kebebasan manusia tidak memiliki arah atau tujuan inheren. Oleh karenanya ia mengusulkan agar manusia menciptakan makna dan nilai-nilai mereka sendiri melalui tindakan dan pilihan mereka.

Dari sejarah serta pemikiran para tokoh di atas dapat kita tarik benang merahnya bahwa nihilisme hadir sebagai bentuk gerakan anti kemapanan yang mengkritisi nilai-nilai moralitas yang konvensional dalam masyarakat. Namun demikian disadari ataupun tidak nihilisme justru hadir sebagai alternatif jawaban terhadap pertanyaan eksistensial yang tak surut digerus zaman.

Nihilisme dalam Moralitas Kontemporer

Pemikiran nihilisme telah membawa pengaruh yang sangat signifikan dalam pemikiran kontemporer terutama dalam kaitannya dengan unsur moralitas di era sekarang. Dalam pandangan seorang nihilis, nilai-nilai moral hanya dianggap sebagai konvensi manusia semata yang tidak memiliki dasar objektif ataupun tujuan etis. 

Tidak ada benar atau salah yang melekat dalam tindakan manusia, mungkin fakta itulah yang saat ini menghinggapi kehidupan manusia. Aspek moralitas tak lagi menjadi hal yang dijunjung tinggi dalam setiap tingkah laku manusia. Korupsi, genosida, perang, serta kejahatan besar yang tak bermoral yang pernah dan sedang dilakukan manusia saat ini seolah menjadi pemandangan yang biasa kita lihat, dan tanpa disadari secara naif kta menganggap konsep nihilisme telah begitu menjamur dipraktikan oleh individu maupun sosial.

Dalam kacamata kaum nihilis moralitas dianggap sebagai ilusi bahkan bentuk penindasan terhadap kebebasan individu. Maka secara sederhana orang-orang dapat menyimpulkan bahwa perilaku penyimpangan sosial seperti LGBT yang dalam moralitas tradisional dianggap sebagai perilaku amoral seolah merupakan bagian dari praktik nihilisme. 

Lantas apakah moralitas masih relevan dan memiliki arti bagi seorang nihilis? Dalam pandangan Nietzsche menjadi nihilis bukan berarti bahwa kita tidak dapat memiliki moralitas sama sekali, tetapi kitalah yang harus menciptakan moralitas kita sendiri berdasarkan pada kehendak kuat individu. Namun demikian pemikiran ini bukan tanpa celah, pandangan Nietzsche dapat mengarah pada kesukaran dan apatisme dalam menetapkan dan menerapkan dasar etika yang konsisten dan dapat diterima oleh masyarakat, serta dapat berpotensi pada pelanggaran akan hak-hak orang lain.

Sementara Albert camus menawarkan pendekatan yang berbeda. Baginya walaupun kehidupan tidak memiliki makna yang inheren, manusia tetap memiliki tanggung jawab moral dan harus menjunjung etika dalam menciptakan makna yang subjektif. Menurut Camus walaupun nihilisme mengakui kehampaan eksistensi bukan berarti ia dapat menghapus tanggung jawab moral manusia untuk bertindak secara etis. 

Nihilisme Sebagai Gagasan Moral yang Baru

Tanpa disadari ketika membaca tentang nihilisme kebanyakan dari kita pasti akan mengernyitkan dahi bahkan menjadi penentang dari jenis pemikiran ini. Namun demikian tanpa disadari pula banyak diantara kita yang mempraktikan nihilisme dalam kehidupan atau setidaknya melihat orang-orang mempraktekannya. 

Dalam kenyataannya tidak ada kesepakatan tunggal mengenai apa itu nihilisme dan bagaimana ia mempengaruhi moralitas. Namun demikian, nihilisme beserta perdebatannya mendorong kita untuk berefleksi secara mendalam mengenai dasar-dasar etika dan tanggung jawab moral kita sebagai manusia. 

Walaupun nihilisme terkesan menguliti dan menentang eksistensi beserta nilai-nilai objektif, namun demikian dalam nihilisme masih ada ruang untuk mempertimbangkan gagasan bahwa kita selaku manusia memiliki tanggung jawab etika terhadap diri kita sendiri, orang lain, dan dunia di sekitar kita.

Dalam menghadapi kehampaan nihilistik kita haruslah menerima kehampaan eksistensi sambil terus mempertimbangkan dan mempertahankan nilai-nilai etika dengan tidak melanggar hak individu dan sosial. 

Lambang Wiji Imantoro
Lambang Wiji Imantoro

Peneliti dan pengamat kebijakan ekonomi, kader PK IMM FEB Uhamka Jakarta Timur.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.