fbpx

Pikiran dan bahasa

Jika kita menahan pikiran pada semua hal penting dalam hasrat untuk berekspresi, kita mendapatkan gambaran baru tentang perilaku manusia.
Susane K Langer
Susane K. Langer

Sebuah simbol tidak sama dengan tanda; itulah fakta yang sering diabaikan oleh para psikolog dan filsuf. Semua binatang cerdas menggunakan tanda; begitu juga kita manusia. Bagi para binatang dan manusia suara, aroma dan gerakan adalah tanda-tanda misalnya dari sebuah makanan, bahaya, kehadiran makhluk lain, hujan, atau badai. Selanjutnya, beberapa binatang tidak hanya memperhatikan tanda tetapi menghasilkannya untuk kepentingan atas keberadaan makhluk lain. Anjing menggonggong di pintu untuk diizinkan masuk; kelinci berdebar untuk memanggil satu sama lain; kicauan merpati dan auman serigala yang mempertahankan perburuan mereka, semuanya adalah tanda-tanda yang jelas dari perasaan dan sebuah niat yang harus diperhitungkan oleh makhluk lain.

Kita menggunakan tanda-tanda seperti halnya binatang, meskipun dengan penjelasan yang jauh lebih luas. Kita berhenti di lampu merah dan berjalan ketika lampu berwarna hijau; kita menjawab bunyi panggilan telepon, mengawasi langit untuk memprediksi badai yang akan datang, membaca masalah atau janji, atau kemarahan di mata orang lain. Itulah kecerdasan binatang yang meningkat pada manusia. Para pecinta anjing mungkin bisa menceritakan kisah indah tentang seberapa tinggi peningkatan kecerdasan anjing kita, kadang-kadang kemampuannya meningkat dalam skala interpretasi tanda yang sangat cerdas atau bahkan mereka dapat menggunakan tanda-tanda.

Tanda adalah segala sesuatu yang mengumumkan adanya sesuatu atau mengumumkan akan segera terjadinya suatu, hadirnya sesuatu atau seseorang, atau suatu perubahan keadaan. Ada tanda-tanda cuaca, tanda-tanda bahaya, tanda-tanda baik atau buruk di masa depan, tanda-tanda masa lalu. Dalam setiap kasus tanda terikat erat dengan sesuatu yang perlu dikenali atau diharapkan dalam pengalaman. Ia selalu menjadi bagian dari situasi yang dirujuk, meski acuannya jarak ruang dan waktu jauh. Sejauh kita dituntun untuk memperhatikan atau mengharapkan peristiwa yang ditandai, kita menggunakan tanda dengan benar. Ini adalah inti dari perilaku rasional, yang ditunjukkan oleh binatang dalam berbagai tingkat. Hal sepenuhnya realistis, terikat erat dengan perjalanan sejarah objektif yang sebenarnya – dipelajari melalui pengalaman dan dituangkan, atau dibatalkan oleh pengalaman yang lebih lanjut.

Jika manusia tetap menggunakan tanda dengan lurus dan sempit, ia akan menjadi seperti binatang lainnya, meskipun mungkin sedikit lebih tercerahkan. Dia tidak akan berbicara, tetapi mendengus dan menunjukkan maksudnya. Dia akan membuat keinginannya diketahui, memberikan peringatan, mungkin mengembangkan sistem sosial seperti lebah dan semut, dengan efisiensi yang luar biasa dari upaya komunal hingga semua orang dapat memiliki banyak makanan, apartemen yang hangat – semuanya persis sama dan sangat nyaman – untuk ditinggali, dan setiap orang dapat dan akan duduk di bawah sinar matahari atau di dekat api jika dikondisikan oleh iklim, tidak berbicara tetapi hanya berjemur, dengan setiap keinginan yang telah terpenuhi dalam sebagian besar hidupnya. Yang muda akan bermain-main dan bercinta, yang tua akan tidur, yang setengah baya akan melakukan pekerjaan rutin hampir tanpa disadari dan makan banyak. Tapi itu akan menjadi kehidupan sosial, super cerdas, penggunaan tanda sebagai mana para binatang biasa menggunakan.

Bagi kita, manusia, gambaran tersebut tidak terdengar sangat mulia. Kita ingin pergi ke suatu tempat dan melakukan sesuatu, memiliki semua jenis gadget yang sebenarnya tidak kita butuhkan, dan ketika kita duduk untuk bersantai, kita ingin berbicara. Hak dan properti, posisi sosial, bakat dan kebajikan khusus, dan di atas semua ide kita, kesemuanya merupakan tujuan hidup kita. Kita telah menyimpang dari garis singgung yang membawa kita jauh lebih dari sekadar siklus biologis yang dicapai oleh berbagai generasi binatang; dan itu terjadi tidak hanya karena kita dapat menggunakan tanda tetapi juga simbol.

Simbol dibedakan dari tanda di mana ia (simbol) itu tidak mengumumkan keberadaan objek, keberadaan kondisi, atau yang lainnya, yang artinya hanya membawa hal ini (simbol) ke pikiran. Ini bukan sekadar “pengganti tanda” yang kita reaksikan seolah-olah ia adalah objek itu sendiri. Faktanya ada misalnya saat kita bereaksi ketika mendengar nama seseorang, hal ini sangat berbeda dengan reaksi kita terhadap orang itu sendiri. Ada kasus-kasus tertentu yang jarang terjadi di mana sebuah simbol berdiri dan tertuju langsung pada maknanya: dalam pengalaman religius, misalnya, Tuhan bukan hanya sebuah simbol tetapi juga sebuah Kehadiran. Tetapi simbol dalam pengertian biasa bukanlah hal mistik. Mereka adalah hal yang sama dengan tanda-tanda biasa; hanya saja mereka tidak menarik perhatian kita pada sesuatu yang harus ada atau untuk ditangani secara fisik – mereka hanya memanggil konsepsi tentang “yang mereka maksudkan”.

Perbedaan antara tanda dan simbol, secara singkat adalah bahwa tanda menyebabkan kita berpikir atau bertindak di hadapan hal yang ditandakan, sedangkan simbol membuat kita berpikir tentang hal yang disimbolkan. Di situlah letak pentingnya simbolisme bagi kehidupan manusia, kekuatannya untuk membuat kehidupan ini begitu berbeda dari biografi binatang lain sehingga generasi manusia merasa lebih luar biasa dengan menganggap bahwa kita berasal dari zoologi yang murni. Sebuah tanda selalu tertanam dalam realitas, di masa sekarang yang muncul dari masa lalu yang sebenarnya, dan membentang ke masa depan; tetapi sebuah simbol dapat dipisahkan dari kenyataan sama sekali. Hal ini mungkin merujuk pada apa yang tidak terjadi, pada ide semata, atau bahkan isapan jempol dan mimpi. Karena itu, ia berfungsi untuk membebaskan pikiran dari rangsangan langsung atas dunia yang hadir secara fisik; dan bahwa pembebasan menandai perbedaan esensial antara mentalitas manusia dan bukan manusia. Binatang berpikir, tetapi mereka berpikir pada dan atas benda-benda; manusia berpikir terutama mengenai benda-benda. Kata-kata, gambar, dan memori adalah simbol yang dapat digabungkan dan divariasikan dalam seribu cara. Hasilnya adalah struktur simbolis yang maknanya menjadi kompleks dari semua maknanya masing-masing, dan kaleidoskop gagasan ini adalah produk khas otak manusia yang kemudian kita sebut sebagai “arus pemikiran”.

Proses perubahan dari semua pengalaman langsung menjadi citra atau menyatu dalam mode ekspresi simbolik tertinggi, ialah bahasa, telah menguasai sepenuhnya pikiran manusia sehingga itu bukan hanya menjadi bakat khusus tetapi juga menjadi kebutuhan organik yang dominan. Semua kesan indra kita meninggalkan jejaknya dalam ingatan, tidak hanya sebagai tanda yang menunjukkan reaksi praktis kita di masa depan, tetapi juga sebagai simbol atau gambar yang mewakili gagasan kita tentang berbagai hal; dan kecenderungan untuk memanipulasi ide, untuk menggabungkan dan mengabstraksikan, mencampur dan memperluasnya dengan bermain dengan simbol, adalah karakteristik manusia yang luar biasa. Tampaknya itulah yang dilakukan oleh otak secara alami dan spontan. Karenanya, fungsi mental primitif tidak mengenai penilaian atas kenyataan melainkan memimpikan hasratnya.

Bermimpi ternyata merupakan fungsi dasar otak manusia, karena ia bebas dan tidak melelahkan seperti halnya metabolisme, detak jantung, dan napas kita. Lebih mudah bermimpi daripada tidak bermimpi, sebagaimana lebih mudah bernafas daripada menahan diri dari bernafas. Karakter simbolis mimpi tidak dapat dipungkiri. Simbol menawarkan, pada tingkat yang tidak efektif dan tidak kritis, dapat bersifat naluriah bagi pemenuhan kebutuhan dasar manusia dibandingkan latihan yang penuh tujuan untuk memenuhi kemampuan yang tinggi dan sulit.

Kekuatan khusus pikiran manusia bertumpu pada evolusi aktivitas khusus ini, bukan pada perkembangan kecerdasan binatang yang transendental. Kita tidak jauh lebih tinggi dari binatang lain; kita hanya berbeda. Kita memiliki kebutuhan biologis dan dengan berkat kebutuhan biologis yang tidak mereka bagi satu sama lain.

Karena manusia tidak hanya memiliki melainkan memiliki konstanitas kemampuan untuk memahami apa yang telah terjadi padanya, apa yang mengelilinginya, apa yang dituntut darinya – singkatnya, melambangkan alam, dirinya sendiri, dan harapan, serta ketakutannya – ia telah memiliki dan sangat membutuhkan konstanitas dalam berekspresi terus-menerus. Apa yang tidak bisa ia ungkapkan, tidak bisa ia bayangkan pula; apa yang tidak bisa ia bayangkan adalah kekacauan dan hal tersebut akan menerornya.

Jika kita menahan pikiran kita pada semua hal penting dalam hasrat untuk berekspresi, kita mendapatkan gambaran baru tentang perilaku manusia; karena dari sifat ini muncul kekuatan dan kelemahannya. Proses transformasi simbolik yang dialami oleh semua pengalaman kita tidak lebih dan tidak kurang dari proses konsepsi, yang mendasari kemampuan abstraksi dan imajinasi manusia.

Ketika kita dihadapkan pada situasi yang aneh atau sulit, kita tidak dapat bereaksi secara langsung, seperti yang dilakukan makhluk selain manusia melalui pelarian, agresi, atau pola naluriah sederhana semacam itu. Seluruh reaksi kita tergantung pada bagaimana kita mengatur cara kita memahami situasi – apakah kita melemparkannya dalam bentuk dramatis yang pasti, apakah kita melihatnya sebagai bencana, tantangan, pemenuhan malapetaka, atau perintah dari Kehendak Ilahi. Dalam kata-kata atau gambaran seperti mimpi, dalam bentuk artistik atau religius atau bahkan dalam bentuk sinis, kita harus menafsirkan peristiwa-peristiwa kehidupan. Ada kiasan kebajikan besar, “Saya tidak bisa berbuat apa-apa,” untuk mengungkapkan kegagalan untuk memahami sesuatu. Pikiran dan ingatan adalah proses pembentukan isi pikiran dan gambaran ingatan; pola ide-ide kita diberikan melalui simbol-simbol yang melalui ekspresi manusia atasnya. Dan dalam proses memanipulasi simbol-simbol tersebut manusia pasti mendistorsi pengalaman asli. Manusia mengabstraksi fitur-fitur tertentu darinya, menyulam dan memperkuat fitur-fitur tersebut dengan ide-ide lain hingga konsepsi yang kita proyeksikan di layar memori sangat berbeda dari sejarah apapun yang nyata.

Konsepsi adalah proses yang penting dan mendasar; namun apa yang kita lakukan dengan konsepsi kita adalah cerita lain. Inilah keseluruhan sejarah budaya manusia – kecerdasan dan moralitas, kebodohan dan takhayul, ritual, bahasa, dan seni – semua fenomena yang membedakan manusia dari, dan di atas, kerajaan binatang lainnya. Ketika pikiran religius harus menjadikan seluruh sejarah manusia sebagai drama atas dosa dan keselamatan untuk menentukan sikap moralnya sendiri, demikian pula seorang ilmuwan bergulat dengan sekadar penyajian “fakta” sebelum ia dapat bernalar tentang objeknya. Proses membayangkan fakta, nilai, harapan, dan ketakutan telah mendasari seluruh pola perilaku kita; dan proses ini tercermin dalam evolusi fenomena yang selalu luar biasa, dan hanya dalam masyarakat manusia –  ialah fenomena bahasa.

Bahasa adalah pencapaian tertinggi dan paling menakjubkan dari pikiran manusia simbolis. Kekuatan yang dianugerahkannya hampir tak ternilai, karena tanpanya apa pun yang disebut “pikiran” menjadi tidak mungkin. Garis antara manusia dan binatang – antara kera tertinggi dan yang paling liar – adalah garis bahasa. Permasalahannya bukan pada apakah misalnya manusia primitif Neanderthal merupakan sosok antropoid atau manusia yang tidak terlalu bergantung pada kapasitas tengkoraknya, postur, ketegakan tubuhnya, atau bahkan penggunaan alat dan apinya. Pada satu masalah yang mungkin tidak akan pernah bisa kita selesaikan – melainkan apakah ia berbicara atau tidak.

Dalam semua ciri fisik dan tanggapan praktis, seperti keterampilan dan penilaian visual, kita dapat menemukan kesinambungan tertentu antara mentalitas binatang dan manusia. Penggunaan tanda adalah fungsi yang terus berkembang dan terus meningkat di seluruh kerajaan binatang, dari cacing bertingkat rendah yang menyusut ke dalam lubang karena suara kaki yang mendekat, hingga anjing yang mematuhi perintah tuannya, dan bahkan hingga ilmuwan terpelajar yang mengawasi pergerakan jarum indeks.

Kesinambungan kemampuan manusia menggunakan tanda telah membawa para psikolog pada keyakinan bahwa bahasa berevolusi dari ekspresi vokal, gerutuan, dengusan, dan tangisan, di mana binatang melampiaskan perasaan mereka atau memberi isyarat kepada sesamanya; hal yang mana manusia telah mengembangkan persekutuan semacam ini hingga pada titik di mana yang memungkinkan pertukaran ide sempurna.

Saya tidak percaya bahwa doktrin asal mula bahasa ini benar. Esensi bahasa adalah simbolik, bukan signifikansi; kita menggunakannya pertama-tama dan paling vital guna merumuskan dan menyimpan ide-ide dalam pikiran kita sendiri. Konsepsi, bukan kontrol sosial, adalah keuntungan pertama dan yang paling utama.

Perhatikan seorang anak kecil yang baru belajar bermain percakapan dengan mainannya; dia mengatakan nama objek, misalnya: “Horsey! horsey! horsey!” terus menerus, ia melihat objek, memindahkannya, selalu menyebut nama tersebut bagi dirinya sendiri atau dunia yang lebih luas. Cukup lama sebelum dia berbicara dengan seseorang secara khusus; dia berbicara pertama-tama kepada dirinya sendiri. Ini adalah cara untuk membentuk dan menetapkan konsepsi objek dalam pikirannya, dan membuang reaksi praktis kita di masa depan atas dunia sekitar kita, sekaligus menjadi simbol, gambar yang mewakili ide-ide kita tentang hal-hal; dan kecenderungan untuk memanipulasi ide, untuk menggabungkan dan mengabstraksikan, mencampur dan memperluasnya dengan bermain dengan simbol, seluruhnya adalah karakteristik manusia yang luar biasa. Tampaknya itulah yang dilakukan otak manusia secara paling alami dan spontan. Karenanya, fungsi mental primitif manusia tidak menilai kenyataan, tetapi memimpikan keinginannya.

Untuk tujuan ini, bayi atau anak kecil menggunakan kata jauh sebelum ia meminta kehadiran objek; ketika ia menginginkan kudanya, ia cenderung menangis dan resah, karena ia bereaksi terhadap lingkungan yang sebenarnya tidak membentuk ide. Ia menggunakan tanda­-bahasa binatang untuk keinginannya; karena berbicara merupakan proses simbolis yang murni – nilai praktisnya belum benar-benar membuat si bayi terkesan.

Bahasa tidak perlu vokal; mungkin bahkan murni visual, seperti bahasa tertulis, atau bahkan taktual (informasi meruang) seperti sistem bicara bisu-tuli; tetapi semuanya harus denotatif. Bunyi yang dimaksudkan atau tidak dimaksudkan, di mana binatang menggunakannya untuk berkomunikasi bukan merupakan bahasa karena hal tersebut adalah tanda, tidak menjadi nama. Mereka tidak pernah jatuh ke dalam pola organik, sintaks yang bermakna bahkan dari tipe yang paling mendasar sekalipun, karena semua bahasa tampaknya digunakan sebagai semacam kebutuhan yang mendorong. Itu karena tanda mengacu pada situasi aktual, di mana hal-hal memiliki hubungan yang jelas satu sama lain, ialah yang hanya perlu diperhatikan oleh manusia; tetapi simbol merujuk pada ide, yang secara fisik tidak ada, tidak dapat diperiksa, sehingga koneksi dan fiturnya harus diwakili. Hal ini mendorong semua bahasa sejati memiliki kecenderungan alami menuju pertumbuhan dan perkembangan, yang tampaknya hampir seperti kehidupan manusia sendiri. Bahasa tidak ditemukan; mereka tumbuh dengan kebutuhan kita untuk berekspresi.

Sebaliknya, “ucapan” binatang tidak pernah memiliki struktur. Hal tersebut hanyalah tanggapan emosional. Kera mungkin menyambut jatah ubi mereka dengan teriakan “Nga!” Tapi mereka tidak mengatakan “Nga!” di antara waktu makan. Jika mereka bisa berbicara tentang ubi mereka alih-alih menyambut ubi-ubi tersebut, mereka akan menjadi manusia paling primitif dibanding menjadi binatang yang paling antropoid. Mereka akan memiliki ide, dan saling menceritakan hal-hal yang benar dan salah, yang rasional atau irasional; mereka akan membuat rencana, menciptakan hukum serta menyanyikan pujian mereka sendiri, seperti yang dilakukan manusia.

Tentang penulis

Susanne K. Langer lahir di New York City pada tahun 1895 dan berkuliah di Radcliffe College. Di sana ia mempelajari filsafat, minat yang ia pertahankan hingga wafatnya pada tahun 1985. Ia tinggal di Cambridge-Massachusetts sebagai pengajar di Universitas Harvard dari tahun 1927 hingga 1942. Langer kemudian mengajar di Universitas Delaware, Universitas Columbia, dan Connecticut College, di mana ia tetap mengajar dari tahun 1954 hingga akhir profesi mengajarnya yang terhormat. Buku-bukunya termasuk Philosophy in a New Key: A Study of the Symbolism of Reason, Rite, and Art (1942), Feeling and Form (1953), dan Mind: An Essay in Hu man Feeling (1967).  Dalam esai berikut, yang awalnya terbit di Ms. Magazine, Langer mengeksplorasi cara bahasa memisahkan manusia dari kerajaan animalia lainnya. Dia berpendapat bahwa penggunaan simbol – selain penggunaan tanda yang juga digunakan oleh binatang – membebaskan manusia, tidak hanya untuk bereaksi terhadap lingkungan mereka tetapi juga untuk memikirkannya. Selain itu, simbol memungkinkan manusia untuk menciptakan citra dan ide yang tidak terkait langsung dengan dunia nyata, sehingga manusia dapat merencanakan, membayangkan, dan mengomunikasikan abstraksi – dengan melakukan, pada dasarnya, adalah hal-hal yang menjadikan kita manusia.


Artikel ditulis oleh Susanne K . Langer dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Krisna Pradipta.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content