Santri di Jawa

Islam Jawa atau yang terkadang disebut juga sebagai Islam abangan selalu menjadi subjek bahasan yang menarik bagi antropolog Jawa, terutama para Indonesianis yang berasal dari luar Indonesia. Abangan memiliki dua kemungkinan etimologi, yang pertama diajukan oleh Clifford Geertz di mana kaum abang atau merah ialah kelompok yang mensinkretiskan Islam dengan tradisi Jawa, dan berlawanan dengan kaum putihan atau para alim ortodoks Islam. Kemungkinan kedua adalah sebutan yang diberikan oleh kaum putihan sebagai aba’an (berasal dari bahasa Arab) yang berarti kaum yang tidak taat terhadap ajaran Islam. Aba’an ini kemudian terserap dalam bahasa Jawa dan menjadi abangan. Dalam memahami abangan, banyak term-term lain yang harus dipahami, yang hingga saat ini juga telah banyak mengalami perkembangan.

Kaum abangan dapat didefinisikan sebagai para penduduk Jawa yang mengamini ajaran dan syahadat Islam sekaligus tradisi Jawa yang sebelumnya telah mengakomodir tradisi Hindu-Buddha. Perkembangan asimilasi Islam dan Jawa selanjutnya disebut dengan Islam Jawa, sementara seiring dengan perkembangan definisinya, tentangan terhadap abangan terus saja hadir, terutama dari kalangan ortodoksi agama atau juga yang disebut sebagai putihan. Orang Jawa sendiri telah terbiasa dengan asimilasi budaya dari beberapa agama seperti Hindu, Buddha, atau Buddha-Siwa sehingga tidak mengherankan apabila terlahir tradisi baru seperti abangan dan berbagai kelompok Islam Jawa lainnya. Islam Jawa merupakan nomina yang dapat disebutkan sebagai acuan untuk merujuk pada kebudayaan Jawa yang terpengaruhi tradisi Islam, atau sebaliknya juga, sebagai tradisi Islam yang berpengaruh pada kebudayaan Jawa. Untuk menakar manakah yang lebih banyak mempengaruhi, antara satu sama lain, merupakan pertanyaan yang sukar dipastikan. Namun yang pasti dari sifat Islam Jawa adalah bahwa pendekatan keimanan Islam dilaksanakan melalui kebiasaan-kebiasaan Jawa. Abangan sendiri sebagaimana dinyatakan merupakan bagian dari Islam Jawa yang terlahir dari kalangan petani dan pekerja, bagian dari Islam sinkretis yang kental dengan unsur mistik Jawa.

Percampuran budaya Jawa dan tradisi Islam sendiri memicu banyak perdebatan dalam pewacanaan dunia Islam, terutama karena keberhasilannya melahirkan produk-produk budaya baru semisal kelas sosial priyayi, santri dan abangan serta kesunanan dan kesultanan. Selain itu digunakan juga tafsir Kitab Kuning dalam bahasa Jawa, penggunaan kidung dalam sistem pengajaran nilai-nilai agama, serta lahirnya aksara Pegon. Percampuran yang kental ini berimbas pada minimnya penerimaan masyarakat terhadap Islam Abangan. Abangan menjadi seuatu entitas ‘something in between’ antara ortodoksi Islam, tradisi Jawa dan modernitas.

Dalam penjelasan kali ini penulis mencoba memaparkan jawaban atas pertanyaan: Mengapa tradisi Islam Jawa mudah ditolak di tanahnya sendiri? Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah relativisme Mary Douglas mengenai dirt. Dirt dalam analisis Douglas bukan saja merupakan sebuah kotoran atau lumpur melainkan entitas yang mengalami peyorasi akibat keberadaannya di antara berbagai entitas lain yang lebih besar dan well-known. Dengan demikian pengamatan ini berusaha menambah suatu wacana baru dalam menambah pertimbangan mengenai Islam Jawa sebagai kekayaan tradisi alih-alih pembias ajaran Islam di Indonesia.

Relativitas dalam “Purity and Danger” karya Mary Douglas

Douglas memulai penelitiannya mengenai sistem sosial melalui pengamatannya atas kotoran (dirt). Kotoran sebagaimana dimengerti secara umum adalah hal yang harus dibersihkan, hal yang memperburuk kondisi, merugikan dan tidak seharusnya. Douglas melakukan perenungan atas kotoran hingga muncul kesimpulan bahwa kotoran biasa dipahami sebagai apa yang berada tidak pada tempatnya. Tanah yang berada di kemeja misalnya, berbeda nilai dengan tanah yang ada di dalam pot. Demikian pula kertas yang berserakan di jalan berbeda nilainya dengan kertas yang berada di lemari file. Sebaliknya, konsep kehigienisan merupakan usaha untuk melegitimasi kesucian atau kuasa yang ada dalam pengetahuan manusia. Mengenai konsep atas kotoran, Douglas mengutarakan,“Our idea of dirt is compounded of two things, care for hygiene and respect for conventions. The rules of hygiene change, of course, with changes in our state of knowledge.”

Pembagian ini merupakan pembagian yang sangat dualis di mana terdapat proposisi bagi yang kotor dan yang suci, yang kudus dan yang bernoda, yang haram dan yang halal dan seterusnya. Kecenderungan struktur dan makna sosial ini dijelaskan Douglas atas dua sebab yaitu: Yang pertama bahwa otak manusia memungkinkan kinerja impuls yang biner, sehingga konsep baik-buruk, benar-salah, laki-perempuan menjadi hal yang seharusnya. Yang kedua adalah bahwa manusia sebagai makhluk sosial memiliki pemahaman mengenai: Siapa yang menyerupaiku, atau siapa yang bersamaku, dan siapa yang tidak. Kedua alasan tersebut kemudian disimbolkan dengan konsep kotor bagi yang buruk dan yang tidak berada ditempat subjek penilai. Sementara itu konsep bersih mengalami penggembangan makna seperti ‘yang suci’ atau ‘sakral’, dan biasanya berada di posisi subjek penilai atau penentu. Sekali lagi perbedaan tersebut bergantung dari lokasi di mana suatu keberadaan diafirmasi oleh subjek penilai. Penilai yang memiliki legitimasi terhadap bidang tersebut menetaapkan apa yang sakral, haram, suci atau tidak suci sebagai penekanan atas legalitasnya sebagai yang melampaui yang baik, yang dapat menentukan apa yang baik dan tidak.

Pembeda tersebut kemudian membentuk tatanan moral dengan legitimasi sistem sosial atau sistem kepercayaan. Aturan, batasan, kategori dan berbagai kognisi atas klasifikasi moral menyebabkan pembagian yang tegas pada berbagai kelompok sosial. Degradasi dualisme yang seharusnya seimbang, kemudian berkembang menjadi satu tatanan hierarkis lahir atas kecenderungan manusia mencari kambing hitam. Hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh keterbatasan manusia dalam memahami hubungan harmonis antara kotor dan bersih, berkah dan bencana alam, kebaikan dan kejahatan dan sebagainya. Salah satu bagian dari dualisme biasanya dituding sebagai ‘the guilty’. Douglas mengungkit sejarah gelap peradaban Eropa atas rangkaian pembakaran penyihir perempuan sebagai usaha masyarakat dalam mencari kambing hitam atas bencana penyakit Black Death yang terjadi.

Bagi Douglas, lokasi atau proposisi menjadi pertimbangan penting dalam suatu entitas. Misalnya pada hukum Musa, hewan yang hidup di dua dunia diartikan sebagai hewan yang haram dikonsumsi karena diasumsikan bahwa ia tidak memiliki tempat tinggal yang benar dan mutlat. Hal yang hampir serupa terjadi pada pemahaman atas polusi. Polusi pada saat ini menjadi musuh bersama, dan bahwa polusi harus diatasi bersama, menjadi musuh bagi semua manusia. Polusi seakan baru terjadi hari ini, sementara sebenarnya ribuan kapal selama berabad-abad pernah tenggelam di lautan, berbagai sampah dan asap peperangan mengotori lingkungan. Namun polusi menjadi konsep musuh baru bagi manusia saat ini, bagi Douglas, bukan muncul dari keprihatinan atas kotornya lingkungan melainkan karena fungsi alam kini telah merugikan manusia. Polusi menjadi simbol atas  mitos kotornya kehidupan manusia, dan mengarahkan sistem sosial pada kondisi yang dianggap lebih baik dengan misalnya: diet plastik dan mengurangi konsumerisme.

Secara garis besar, kotoran menjadi entitas yang sering kali dipandang buruk atau tidak diterima oleh masyarakat umum karena beberapa sebab. Yang pertama, karena entitas tersebut dipahami sebagai sesuatu yang tidak berada pada tempatnya, atau tidak memiliki tempat yang pasti. Yang kedua, karena entitas tersebut tidak berfungsi sesuai dengan idealitas atas dirinya. Dan yang ketiga, entitas tersebut dimaknai secara konvensional sebagai yang kotor apapun latar belakang yang membangun opini tersebut. Seluruh sebab di atas dilakukan berdasarkan ortodoksi ajaran atau kebiasaan yang terbakukan. Penerimaan entitas ‘something in between’  – yang barang kali pada suatu saat tidak perlu lagi dijuluki demikian— ini merupakan tugas dari ilmu budaya dalam memaknai entitas yang baru atau yang ‘lain’ sebagai keberadaan unik yang dapat diterima. Hal ini berlaku pula pada penelitian Douglas mengenai fajar dan petang. Senja bagi beberapa komunitas tertentu dianggap berbahaya. Dalam tradisi Jawa misalnya, senja dianggap saat-saat di mana dunia manusia dan dunia jin menjadi satu. Bagi Douglas, hal ini terjadi karena senja yang merupakan bagian dari perganian hari yang susah didefinisikan. Berikut ia menyatakan “Danger lies in transtional states; simply because transition is neither one tate to the next, it is undefineable.”[1] Seturut teori Douglas ini maka entitas yang berada di tengah memang cenderung dimaknai secara peyoratif.

Mengenai analisis kelompok sosial, Douglas melakukan pendasaran relativitas komunitas atau kebudayaan baru yang berkembang menurut kode linguistik, ritual, dan kesatuan sosialnya, Douglas memiliki dua proposisi yaitu:

“Proposisi 1 yaitu bahwa semakin tinggi tingkat solidaritas suatu masyarakat, maka kode linguistiknya lebih terbatas dan dengan demikian ritualnya semakin homogen. Sementara proposisi 2 yaitu bahwa semakin rendah tingkat solidaritas suatu masyarakat, maka kode linguistiknya lebih mudah terelaborasi dan dengan demikian ritualnya semakin heterogen.”[2]

Baik kebudayaan yang berkembang, serta kebudayaan yang lahir dari pertemuan dua tradisi besar seperti Islam jawa berada pada proposisi yang kedua. Pembahasan mengenai proposisi tersebut dapat diuraikan di bab berikutnya. Bagi Douglas, berkembangnya sebuah kelompok bergantung pada perkembangan manusia-manusia yang menjadi anggota di dalamnya pula. Douglas mengajukan sebuah bagan yang dinamakan Group and Grid. Group menentukan locus yang ditentukan oleh seberapa kuat suatu entitas melakukan ikatan kelompoknya, semakin besar nilai Group yang dimilikinya. Group menyatakan tolak ukur apakah suatu tata nilai merupakan tatanan yang tertutup dan telah terumuskan, atau berkembang melalui hasil elaborasi[3]. Sementara itu Grid menujukkan tolak ukur apakah suatu kelompok  (atau Douglas merujuknya sbegai individu) memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan secara koheren apa yang ada dalam dirinya. Semakin kecil nilai grid menunjukkan bahwa seseorang atau sekelompok tertentu berkembang seturut dengan hegemoni dari individu atau kelompok lain namun semakin besar nilai grid maka kelompok atau individu tersebut memiliki keleluasaan untuk mengartikulasikan dirinya sendiri. Berikut bagan Group and Grid Douglas:

Bagan 1. Grid and Group menurut Mary Douglas di mana Grid terbentang antara sistem klafisikasi terbagi menuju sistem klasifikasi privat sementara Group terbentang antara ego yang terbebas dari tekanan orang lain menuju ego terkontrol oleh tekanan orang lain.

Islam Jawa: yang Dicintai dan Dibenci

Yang membedakan kebudayaan Islam Jawa dengan budaya Islam-Arab adalah penerimaan tradisi lokal Jawa yang telah ada sebelumnya. Tradisi yang diterima utamanya merupakan tradisi rakyat misalnya seputar pola slametan, pola penanggalan, kesenian (Wayang, Tayub, Ledek, Jaranan, dan Janggrung), dan kepercayaan mistik lain di luar tradisi Islam-Arab. Sebagaimana kemampuan masyarakat Jawa menerima agama apapun di tanah mereka Islampun diterima dengan baik selama tidak memiliki pertentangan besar dengan tradisinya. Fenomena yang kerap ditemui sekarang misalnya seorang bapak yang bepergian menggunakan jubah putih dan surban di sekitaran Kota Malang diidealkan sebagai seorang warga keturunan Arab yang kokoh melestarikan tradisi nenek moyangnya (di luar pertimbangan apakah kondisi alam memungkinkan atau tidak). Namun apabila sosok bapak tadi merupakan seorang beretnis Jawa, maka pada umumnya ia akan mendapat penilaian ”Jawa tapi ora jawa”. Yang dimaksudkan oleh frase itu adalah bahwa bapak tersebut hanya beretniskan Jawa saja namun personalitas, gaya hidup, dan jati dirinya sudah bukan lagi Jawa.

Islam Jawa menghindari asimilasi yang kurang tepat sebagaimana dicontohkan di atas. Islam Jawa mengambil intisari dari ajaran Islam dan menyesuaikannya dengan tradisi yang telah mendarah daging dalam kebiasaan Jawa. Pada contohnya penggunaan sarung atau peci dalam peribadatan alih-alih sorban yang tidak sesuai dengan kondisi iklim di Jawa. Islam yang dipercayai oleh Abangan membuka kesempatan bagi umatnya untuk melaksanakan percampuran tradisi yang berbeda. Pewayangan pada malam Satu Sura atau tahun baru Jawa (1 Muharram) dianggap bentuk kemawasan dan ucapan syukur atas berlangsungnya waktu yang telah lalu. Tradisi yang dimulai semenjak pemerintahan Sultan Agung di Jawa Tengah ini menjadi produk asimilasi yang memperkaya tradisi Jawa. Pada titik ini Islam Jawa menjadi salah satu karakter kebudayaan kuat yang ada di Jawa. Islam Jawa yang terlahir dari wajah masyarakat kelas bawah (petani dan pekerja kasar) serta intelektual kaum wali dan santrinya mewarnai wajah Jawa. Islam Jawa sebagaimana disebutkan Ricklef merupakan agama Islam bagi masyarakat yang menolak gerakan ‘pemurnian’ Islam. Islam Jawa yang berkembang dengan variannya seperti abangan dan Islam Nusantara mendasari kepercayaan Islam yang sesuai dengan kepribadian masyarakatnya.

Dalam trikotomi Clifford Geertz, kaum abangan dibatasi hanya pada masyarakat kelas bawah (pekerja kasar) yang ke-Islaman-nya dipengaruhi oleh animisme sementara kaum santri merupakan mereka yang menjadi murid-murid dalam pendidikan agama Islam. Pelestarian abangan sangat mungkin hadir atas pengaruh kehidupan santri sebagai masyarakat biasa sekaligus pemuda-pemudi yang terdidik. Yang ketiga adalah priyayi yang bagi Gertz merupakan para bangsawan yang masih terpengaruhi tradisi Hindu-Buda. Ricklefs menambahkan bahwa selanjutnya terdapat kaum putihan, yang cenderung menolak kebudayaan setempat dan mengarah pada ortodoksi agama. Kaum putihan ini kiranya banyak didapati di sekitar komunitas Arab dan kini berkembang di antara gerakan pelajar perguruan tinggi.

Trikotomi Geertz tidak dapat diterima mentah-mentah mengingat banyaknya perubahan zaman terutama modernitas dan globalisasi. Abangan menghadapi dua masalah terkait perkembangan modernitas dan globalisasi. Yang pertama, bahwa melalui modernitas, kecenderungan masyarakat untuk menjauh terhadap mistisisme akan semakin besar. Hal ini dapat tergantikan dengan pembodohan oleh narasi-narasi mengenai apa yang ‘rasional’ dan ‘saintifik’ serta apa yang bukan. Melalui modernitas, mistisisme abangan dikesampingkan oleh panji-panji legalitas saintifik. Selain itu melalui globalisasi, ajaran Islam berkarakter Arab lebih mudah tersebar. Globalisasi tidak hanya menjadikan masyarakat (dalam studi ini yaitu masyarakat Jawa) sebagai pasar komoditas, melainkan juga sebagai lahan penjajahan ideologis. Hal ini dicontohkan misalnya dari bentuk kerudung penutup kepala yang mulanya hanya menutupi sebagian pundak dan aurat sekitar kepala, kini berkat pasar bebas yang dipengaruhi tren Arab maka kerudung berubah menjadi gamis dan burqo. Perempuan Jawa melupakan kemben dan kerudungnya, digantikan dengan baju berukuran lebar yang dilabeli syariat agama. Globalisasi juga menyerang tradisi abangan melalui ideologi yang dihantarkan melalui gerakan Ikhwanul Muslimin yang menyarankan ortodoksi agama demi pencapaian cita-cita politis kaum tersebut. Terhadap tradisi abangan, sering dilontarkan berbagai tuduhan syirik, haram dan murtad.

Selain para ortodoks agama, cendekian Islam Indonesia dan Indonesianis-pun meletakkan pemahaman Islam Jawa pada tataran yang bias. Demikian Afifi menyebutkan bahwa misalnnya Harun Hadiwiyono menyebut Islam hanya sebagai “lapisan tipis” yang menyelimuti masyarakat Jawa secara keseluruhan. Sebagaimana Hamka menyebutnya sebgai  bagalu putu  yang dapat dimaknai sebagai kesamaran atau ketidakjelasan, dn Rasidi yang meletakkannya pada sufisme Jawa sehingga bertentangan dengan ajaran Islam. Geertz pula menyebut Islam Jawa sebagai sinkretis seturut peyorasi makna yang dikandungnya. Peyorasi yang nampak tersistem sedemikian lama ini merupakan bagian dai rancangan besar kolonial Belanda dalam menghadapi munculnya gerakan reformasi orang Jawa Islam dari kalangan santri dan kasunanan. Islam dituding sebagai kepercayaan yang mempengaruhi pembangkangan tersebut, terlepas dari kepentingan pedagang dari negara lain untuk melakukan transaksi ekonomi di Jawa. Kolonial kemudian mendiktekan ketidaksesuaian ajaran Islam dan tradisi Jawa, di sisi lain hal ini berpengaruh terhadap penceraiberaian masyarakat Jawa dan penganut Islam di Jawa. Namun mengapa baik masyarakat biasa dan kaum terdidik dengan mudah dapat menerima landasan peyorasi dari Islam Jawa? Hal kiranya dipahami melalui sudut pandang relativisme Douglas sebagai berikut.

Analisa Islam Jawa menurut Relativisme Mary Douglas

Sebagaimana analisis Douglas, Islam Jawa terlahir dari dua kebudayaan besar yaitu budaya kepercayaan Jawa dan budaya Islam Timur Tengah. Perpaduan antara dua budaya ini melahirkan Islam Jawa yang membuatnya juga disebut oleh Geerzt sebagai sinkretisme. Namun di atas semua proses asimilasi ini Islam Jawa telah menjadi satu entitas yang baru yang berbeda dengan kebudayaan Jawa dan kebudayaan Islam Timur-Tengah. Entitas ini kemudian berada pada posisi tengah di antara dua budaya besar tersebut dan membuat Islam Jawa menjadi entitas something in between. Posisi ini juga menempatkan Islam Jawa sebagai sesuatu yang tidak berada pada posisi benar, ia dengan mudah dianggap tidak murni atau suci oleh sebagian kaum putihan karena sebagian besar orang akan menyatakan bahwa bila A ≠ A’, maka A’ bukan A. Di sinilah relativisme Douglas berlaku, bahwa apa yang merupakan sebagian dari suatu keseluruhan entitas tertentu belum tentu merupakan bukan merupakan entitas tersebut. Hal ini serupa dengan penilaian orang mengenai botol minuman yang kosong. Hanya karena botol tersebut kosong dan tidak berisi air minum, bukan berarti ia bukan botol minum. Kembali kepada Islam Jawa, karena posisinya terletak pada percampuran dua entitas besar maka dengan mudah orang akan menilai bahwa Islam Jawa merupakan apa yang bukan Islam dan apa yang bukan Jawa. Entitas yang berada pada posisi tengah, yang tidak dalam posisi yang tegas dan tepat akan dengan mudah mengalami peyorasi makna.

Selanjutnya Islam Jawa juga dapat mengalami peyorasi makna karena didukung oleh konteks historis yang tidak berpihak. Studi mengenai Jawa atau Javanologi yang dibentuk oleh koloni Belanda merupakan bagian dari usaha menemukan nilai-nilai murni yang terkandung dalam ajaran Jawa tanpa pengaruh dari ajaran Islam. Usaha ini juga ditujukan untuk mereduksi peran Islam di Indonesia yang disinyalir merupakan salah satu pemicu gerakan kemerdekaan di Indoensia. Di sisi lain kaum putihan terus menggencarkan pemurnian tradisi Islam yang mengacu pada budaya Timur Tengah. Sementara itu ketika studi antropologi belum berkembang di tataran pelajar Indonesia, catatan mengenai Islam Jawa dituliskan oleh para peneliti asing seperti Christiaan Snouck Hurgonje. Selanjutnya merujuk pada penelitian antropologi dekolonial, peneliti asing dari Amerika Serikat atau Australia memberi perhatian yang besar terhadap Islam Jawa seperti Geertz, Ricklefs, Anderson, dan Woodward. Pendasaran yang dibentuk oleh orang-orang asing, atau orang-orang yang bukan merupakan bagian dari Islam Jawa membangun catatan yang objektif namun tidak otentik. Hal ini membuat pemahaman umum atau wacana mengenai Islam Jawa didikte oleh pihak lain.

Pembentukan wacana ini membentuk pemahaman yang buram mengenai Islam Jawa sehingga mendorong pertimbangan negatif atasnya. Pada contohnya penggunaan pewayangan atau ajaran Suryo Mentaram untuk pengajaran hakikat keimanan. Penjelasannya memerlukan studi yang ketat sehingga tidak mudah untuk dipahami oleh setiap orang. Hal ini tidak dapat diterima dengan mudah oleh kaum putihan yang selalu menekankan proses keimanan pada tingkat syarikat. Kesulitan ini menyebabkan Islam Jawa mudah dipahami sebagai sesuatu yang bias dan tidak murni. Beruntung pada tahun 2015 Nahdlatul Ulama menggalakan gerakan Islam Nusantara untuk merumuskan kekhasan Islam di Jawa dan berbagai daerah lainnya sehingga menghasilkan studi yang organik serta menguatkan legalitasnya sebagai entitas otonom dan otentik.

Sebagaimana hasil penyatuan dua tradisi besar, Islam Jawa dilahirkan melalui keterbukaan masyarakat Jawa terhadap berbagai tradisi kepercayaan. Masyarakat Jawa sendiri memiliki rangkaian sejarah penting mengenai pluralisme agama seperti pembangunan Candi Borobudur dan Prambanan untuk menghormati pemeluk agama Buddha dan Hindu di satu wilayah yang sama. Pula kementrian agama pada masa Mojopahit yang terdiri dari Dharmmadyaksa ring Kasiwan (kementrian agama Hindu)dan Dharmmadyaksa ring Kasogatan (kementrian agama Buddha) dalam satu masa pemerintahan. Masyarakat Jawa memiliki kemampuan menerima kebudayaan dan mengolahnya bersamaan dengan kebudayaan yang telah ada sebelumnya. Hal ini menyebabkan penggunaan tembang, wayang, tosan aji, dan wewangen sebagai media ritus keimanan. Dengan demikian maka Islam Jawa terletak dalam proposisi Douglas yang kedua yaitu bahwa Islam Jawa memiliki tingkat solidaritas yang rendah, dalam artian tidak mengikat seseorang dengan satu pakem yang ketat selama keimanannya dilakukan dengan baik. Dengan demikian maka kode linguistiknya lebih mudah terelaborasi dan ritualnya semakin heterogen, berkembang lebih beragam dibandingkan ritual tradisi Islam Arab, hal ini dicontohkan dari munculnya penggunaan ayat sebagai jimat, kaligrafi bermodel gambar dan aksara Pegon.

Keleluasaan atau ketidakeratan ikatan solidaritas Islam Jawa terhadap ke-Islaman dan ke-Jawaan ini berkonsekuensi pada penjabaran wacana mengenai Islam Jawa menjadi luas dan dengan cepat berkembang sehingga tidak terdefinisikan dengan baku. Definisi yang belum terbakukan mengundang kesempatan kaum putihan untuk menyatakannya sebagai hal yang buruk. Berikut bagan analisa Group and Grid pemetaan Islam Jawa dan posisinya dalam perkembangan tatanannya.

Bagan 2. Analisa Islam Jawa berdasarkan Grid and Group Mary Douglas

Melalui Group dapat terlihat bahwa Islam Jawa merupakan tradisi yang inklusif di mana ikatan yang ada di dalam komunitasnya terjalin secara hierarkis sebagaimana tatanan kepemimpinan imam dalam ajaran iman namun tetap terbuka bagi kemungkinan penggunaan ajaran-ajaran para cendikia mistisme Jawa seperti Ronggowarsito dan Surya Mentaram. Selain itu Islam Jawa juga menghormati kesultanan sama seperti kesunanan karena keduanya memiliki pegangan iman yang sama. Dalam skala Group (-1, 0 , dan 1) Islam Jawa berada pada titik 1. Selanjutnya dalam  Grid, Islam Jawa merupakan tatanan komunitas yang terbebas dari tekanan orang kelompok lain walaupun pemahaman mengenainya didikte oleh inteletual asing dan penilaian mengenainya buruk, terutama oleh kaum putihan. Gerakan Islam Nusantara merupakan bukti nyata bahwa Islam Jawa merupakan produk masyarakat yang otonom terbebas dari penentuan pihak lain sehingga ia memiliki skala 1 dalam Grid.

Islam Jawa merupakan entitas something in between bagi sebagian besar orang. Kepercayaan ini memadukan tradisi Jawa dan Islam yang bagi sebagian orang dianggap tidak murni. Penilai ketidaksesuaian ini dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya yang pertama adalah bahwa terdapat kecenderungan manusia untuk menilai secara biner segala hal, yaitu antara yang sesuai dan tidak sesuai atau yang murni atau tidak murni. Selain itu faktor yang kedua adalah kepenilaian ketidaksesuaian Islam Jawa yang dipengaruhi oleh penelitian awal mengenainya yang dilakukan oleh orang luar.  Apa yang menjadi idealitas global atas Islam adalah kebudayaan yang mengacu pada sifat ke-Timur-Tengah-an. Idealitas global ini muncul dari para peneliti atau pemeluk keimanan di luar keimanan Jawa Islam. Faktor ketiga mengapa Islam Jawa menjadi sulit untuk dinilai karena definisinya berkembang dengan cepat. Islam Jawa berada pada proposisi kedua dari dua proposisi relativitas Douglas yaitu bahwa Islam Jawa memiliki tingkat solidaritas yang rendah, dalam artian tidak mengikat seseorang dengan satu pakem yang ketat selama keimanannya dilakukan dengan baik. Dengan demikian maka kode linguistiknya lebih mudah terelaborasi dan ritualnya semakin heterogen, berkembang lebih beragam dibandingkan ritual tradisi Islam Arab. Posisi Islam Jawa dalam Group and Grid terletak pada Grid positif dan Group positif sehingga dapat disimpulkan bahwa Islam Jawa merupakan tradisi keimanan yang inklusif karena terbuka atas beberapa rangkaian tradisi yang berkembang sesuai dengan kondisi masyarakatnya.


[1] Douglas. Pure and Danger,  97.

[2] Wuthnow, 106.

[3] Douglas. Natural Symbols, 58.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.