Quo Vadis Domine?

Ketika kemanusiaan dijunjung tinggi, ketika keadilan mendapatkan tempatnya, ketika perbedaan justru mempersatukan kita, di sanalah Tuhan berada.
St. Thomas Aquinas karya Antonio del Castillo y Saavedra

Sebagai manusia zaman ini, kita melihat beragam chaos yang terjadi di berbagai belahan dunia. Kita merasakan dampak pandemi COVID-19 dalam hidup kita. Banyak nyawa yang terdampak, banyak tulang punggung keluarga yang kehilangan arah karena PHK, banyak pekerja harian yang bingung hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Bagian belahan dunia lain juga mengalami persoalan yang tidak kalah peliknya, ialah demonstrasi masif karena isu rasisme. Belum lagi permasalahan kemiskinan struktural: kondisi di mana orang miskin akan terus terjebak dalam kemiskinannya tanpa ada kesempatan untuk sejahtera; kondisi yang membuat orang kaya semakin kaya dan orang miskin semakin miskin. Saat ini, kita tengah menciptakan dunia yang tidak lazim bagi manusia.

Dalam dunia yang tidak lazim, di mana terjadi situasi terasing, terlemahkan, terjatuh, dan tersingkir, orang sering bertanya, Quo Vadis Domine? Ke manakah Tuhan? Manusia selalu mempertanyakan keberadaan Tuhan ketika menghadapi situasi seperti terhimpit. Hal ini merupakan situasi yang wajar. Situasi di mana yang lemah, membutuhkan bantuan dari Ada yang tertinggi. Ketika mengalami penderitaan akibat pandemi, manusia bertanya di manakah pertolongan Tuhan? Mengapa seolah-olah Tuhan tidak mendengarkan doa-doa kita? Atau barangkali, kitalah yang tidak menyadari campur tanganNya?

Bagaimana Manusia Mengenal Tuhan?

Aristoteles melalui metode analogia entis berusaha mencari eksistensi tertinggi. Eksistensi tersebut begitu agung sehingga pasti menghasilkan produk keindahan. Eksistensi ini melampaui tiap-tiap eksistensi yang ada. Thomas Aquinas memodifikasi konsep ini untuk menguak identitas dari realitas tertinggi. Realitas inilah yang disebut sebagai Tuhan.

Analogia entis mengandaikan pengetahuan awali manusia. Pengetahuan mengenai sesuatu yang biasa dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Pengalaman seperti pemandangan alam, realitas hidup sehari-hari, dan sosietas telah membuka horizon manusia untuk mengenal sesuatu yang mengadakannya.

Melihat indahnya laut membuat akal budi manusia bertanya mengenai asal atau pencipta dari laut yang ia lihat. Kemegahan laut inilah yang membuat manusia berpikir “Bagaimana mungkin keindahan yang begitu megah ini dapat terwujud?” Dari aneka konsep yang ada, pasti ada satu konsep tertinggi yang mendasari ada-ada yang lain. Lewat satu konsep tertinggi inilah realitas mewujud. Contoh lain yang penulis temukan ialah ketika kita berkunjung ke pegunungan yang membentang dengan begitu luasnya. Pengalaman ini membuat kita berpikir mengenai sesuatu yang lebih agung dari pegunungan itu, yakni siapakah yang menciptakan hamparan tanah yang begitu tinggi itu?

Konsep tertinggi yang diungkapkan oleh Aristoteles, kita kenal saat ini dalam berbagai agama sebagai Demiurgos, Zeus, Allah, Gusti, atau Sang Hyang Widi. Tuhan yang dalam berbagai aliran kepercayaan digambarkan dengan aneka gambar diri. Tentu perwujudan dari gambar diri tersebut berasal dari penggunaan konsep analogia entis. Analogia entis dimaksudkan sebagai ungkapan atau cara manusia memahami Tuhan yang tidak pernah habis untuk dipahami. Bahasa itu dapat terwujud sebagai Ada Tertinggi, Sang Pencipta, Batu Karang, Anak Domba Allah, Sang Penyelamat, Sang Cinta, dan segala sesuatu yang mampu dipahami oleh bahasa.

Metode lain dalam mengenal Tuhan diungkapkan kembali oleh Aristoteles. Lewat istilah necesarium, ia berusaha untuk memahami “ada pertama” yang tidak menjadi produk dari “ada-ada yang lain” atau contigens. Kalau kita memikirkan eksistensi kita, maka kita akan memahami bahwa kita dapat bereksistensi dan dapat kehilangan eksistensi tersebut. Hal ini juga dialami oleh para pendahulu kita. Mereka pernah bereksistensi dan sekarang sudah tidak bereksistensi lagi. Tentu lewat konsep ini kita akan bertanya mengenai eksistensi pertama yang tidak diciptakan dan tidak dapat kehilangan eksistensinya. Konsep inilah yang oleh Aquinas disebut sebagai Tuhan.

Dalam filsafat Immanuel Kant, pengalaman bukanlah inti dari segala-galanya. Akal budi manusialah yang membuat manusia pertama-tama mengerti sesuatu. Akal budi manusia memiliki struktur awali. Sehingga saat berbicara mengenai Tuhan, tidak memerlukan pengalaman perjumpaan dengan-Nya. Lewat pengetahuan awali manusia, kita mampu memercayai bahwa Tuhan tentu bereksistensi.

Kerinduan akan Allah adalah semangat yang membakar hati manusia untuk selalu bertanya mengenai diri-Nya. Aneka penyangkalan tentang Allah pada dasarnya adalah bentuk kerinduan manusia pada Allah. Namun permasalahannya ialah bahwa mereka tidak dapat mengartikan dengan tepat perasaan rindu itu.

Relasi Tuhan dengan manusia

Relasi berarti bagaimana Aku berada dalam hubungan dengan Liyan. Dalam hal ini berarti bagaimana Aku harus menjalin hubungan dengan Tuhan. Di sini penulis tidak bermaksud memberlakukan Tuhan sebagai Liyan atau orang yang tersingkirkan. Liyan dalam hal ini bermakna sesuatu di luar diri. Dalam sudut pandang yang Liyan ini, hubungan dimaksudkan sebagai cara Aku harus menjalin hubungan dengan orang lain. Arti dari berrelasi ialah orang harus menjalin hubungan dengan sesuatu di luar dirinya. Ia harus keluar dari dunianya sendiri. Ia harus menjadi seorang manusia, manusia yang berrelasi.

Pengenalan manusia mengenai metode analogia entis Aristotelian memiliki konsekuensi pada caranya memandang sesama. Ketika ia memahami Tuhan lewat ciptaan, ia akan memperlakukan ciptaan dengan sebaik-baiknya. Mengapa? Karena ia sadar bahwa lewat sesamanyalah ia mampu merasakan kehadiran Tuhan. Lewat Liyan ia mampu mengenal Aku yang lain. Artinya, Aku dan Liyan adalah cara mengenal dan merasakan keberadaan Tuhan. Ketika relasi antara Aku dengan Liyan pudar, maka pudar pulalah relasi antara Aku dengan Tuhan.

Dalam falsafah Jawa terdapat istilah Manunggaling Kawula Gusti, yang artinya kesatuan antara Aku dengan Tuhan. Lalu bagaimana seseorang mampu bersatu dengan Tuhan jika ia tidak mampu mengenal sesamanya? Jawabannya tentu tidak mungkin. Satu-satunya cara untuk dapat mengerti Tuhan adalah dengan semakin mengenal sesama manusia. Tuhan adalah eksistensi yang tidak akan pernah habis kita selami. Setiap usaha menyelami-Nya perlu melalui konsep sehari-hari yang kita alami, yakni lewat saudara, tetangga, dan sosietas kita. Lewat orang-orang inilah kehadiran Tuhan menjadi semakin nyata dalam dunia ini.

Aku, Kamu, dan Kita

Lewat pandangan yang tepat mengenai Aku, kamu, dan kita, manusia mampu melihat sesamanya sebagai caranya melihat Tuhan. Ia akan mampu melihat pencipta secara lebih jelas. Ia akan melihat sesamanya sebagai sebuah keindahan. Ia akan belajar bersyukur untuk semua itu. Lewat pengalaman inilah ia mampu melihat kekuatan kosmis tertinggi yang melatarbelakangi semua pemahamannya. Dari situlah ia akan semakin mencintai relasi dengan sesama manusia. Relasi antara Tuhan dengan saya mewujud dalam relasi-ku dengan sesama.

Ketika manusia menjadi fokus utama dalam masyarakat, orang yang telah menyadari relas tidak lagi melihat perbedaan sebagai sebuah jurang pemisah. Orang akan belajar menghargai eksistensi pribadi lain. Zona-zona pemisah akan mulai bergeser menjadi sarana kompleksitas manusia yang di dalamnya terkandung suatu keanekaragaman yang indah. Dalam proses menilai sesuatu, orang tidak lagi melihat suku, agama, dan kekayaan, melainkan sisi terdalam dari suatu pribadi yakni ke”Aku”an-nya yang unik.

Kesadaran bahwa orang lain adalah bagian lain dari diriku, membawa manusia pada proses belajar menilai dengan akal budinya. Hal yang dinilai adalah hidup bersama; Ia tentu tidak akan diam saja melihat penderitaan orang-orang yang mengalami PHK; Ia akan berusaha mengakhiri aneka bentuk kemiskinan struktural; Ia akan melihat manusia secara utuh dan unik tanpa pernah melihat warna kulitnya; Ia akan terbuka pada dialog intereligius demi kebaikan hidup bersama dan bukan pada perdebatan dogmatis yang tidak akan pernah menemukan titik temu; Ia akan berusaha menciptakan dunia yang lebih ideal bagi hidup manusia.

Manusia tidak lagi diam dalam zona nyamannya. Ia akan selalu berpikir bagaimana saya dan anda dapat membuat masyarakat yang lebih sejahtera. Akan berupaya agar situasi pandemi ini dapat segera berakhir. Memikirkan bagaimana hidup beragama harus diimani. Ia akan akan selalu berpikir bagaimana kemanunggalan antara saya dengan engkau menjadi hal yang tidak lagi mustahil. Dan akan berusaha keluar dari rumahnya, menjumpai orang–orang yang disisihkannya dan bercengkerama dengan mereka tanpa memandang adanya sekat pemisah.

Dunia yang tidak lazim terjadi karena kita, manusia yang menjadikannya demikian. Saat proses ini terbentuk kita meminta bantuan dari Tuhan, namun merasa kecewa karena tidak melihat jawaban dari-Nya. Ke manakah Engkau Tuhan? Kita bertanya tanpa pernah melihat bahwa Tuhan bekerja lewat orang-orang di sekitar kita. Kita seolah-olah dibutakan dengan mengharapkan kehadiran fisik Tuhan yang menyelamatkan hingga saatnya muncul dialog dan kesadaran bahwa kita semua adalah manusia yang sederajat. Melalui kehadiran relawan dan pertolongan para tenaga medis kita menemui penyelamatan, ialah melalui aneka bentuk kemanusiaan itu Tuhan hadir secara nyata.

Pertanyaan kita mengenai keberadaan Tuhan dalam dunia yang tidak lazim ini seharusnya menantang kita untuk berani berbuat sesuatu bagi sosietas. Sebagaimana kita melihat orang lain sebagai cara mengenal Tuhan, maka kita pula adalah cara orang lain melihat Tuhan. Ketika kemanusiaan dijunjung tinggi, ketika keadilan mendapatkan tempatnya, ketika perbedaan justru mempersatukan kita, di sanalah Tuhan berada. Pertanyaan Quo Vadis Domine? harusnya berarti, sudahkah kita menjadi secercah harapan bagi orang lain? Adanya pertanyaan mengenai keberadaan Tuhan adalah sebuah cermin agar manusia mampu menjawab permasalahan melalui tindakan kebaikan di tengah dunia yang tidak lazim ini.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content