Realisme politik dalam sengkarut konflik Laut Natuna

Laut Cina Selatan
Kondisi Laut Cina Selatan pada tahun 2012 | Courtesy The Christian Science Monitor.

Dalam konsep realisme politik, konflik antar negara merupakan bentuk utama dari kondisi alamiah yang terbangun dalam hubungan internasional. Karenanya hukum, sistem birokrasi, serta lembaga antar negara dibentuk dalam upaya untuk meminimalisasi konflik dan kerugian masing-masing pihak. Pun demikian yang terjadi dalam sengkarut konflik di Laut Natuna.

Konflik tak berkesudahan antara Indonesia dan Cina soal Laut Natuna semakin memanas. Keduanya saling mengklaim kepemilikan wilayah di Natuna. Kabar terbaru mengemukakan bahwa Cina menuntut Indonesia untuk menghentikan aktivitas pengeboran migas di Laut Natuna lantaran Cina merasa Laut Natuna merupakan bagian dari wilayah kekuasaannya. Sebagaimana yang diterangkan Anggota Komisi Pertahanan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Muhammad Farhan, tuntutan penghentian aktivitas pengeboran disampaikan Cina melalui beberapa surat yang dikirim kepada Indonesia. Tuntutan tersebut menggunakan dalih keyakinan bahwa wilayah tersebut berada di bawah kekuasaan Cina.

Sayangnya tak dapat diketahui kapan tepatnya surat tersebut dilayangkan. Pasalnya detail mengenai hubungan diplomatik hanya dapat diakses oleh orang-orang yang berkepentingan. Meski demikian Indonesia tidak menyerah dan tetap menegaskan bahwa wilayah Natuna berada di bawah kekuasaan pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia mengirim balasan surat berisi penegasan bahwa aktivitas pengeboran tersebut berada di wilayah landasan kontinen sesuai dengan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) atau Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut.

Jika didasarkan pada realisme politik internasional, interaksi antara Cina dan Indonesia sebagai peristiwa natural. Negara-negara dalam konsep hubungan internasional dapat diibaratkan seperti manusia yang selalu mengejar kekuasaan dan kepentingannya sendiri hingga kemudian menghasilkan agresi. Realisme politik meletakkan kuasa sebagai  permasalahan pokok bagi hubungan antar negara, di mana setiap negara berperan menjadi aktor utama dalam hubungan perebutan kuasa tersebut.

Rentetan Konflik

Setidaknya sejak 1990 Indonesia mengklaim bukan menjadi pihak yang terlibat dalam persengketaan di Laut Cina Selatan. Oleh karena itu sejak tahun 1990 sampai 2000 Indonesia melakukan pertemuan informal untuk mencari solusi klaim tumpang tindih di Laut Cina Selatan, di antara Cina dengan negara anggota ASEAN lain seperti Vietnam, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Filipina. Upaya ini menunjukkan keinginan Indonesia untuk menengahi isu-isu perbatasan maritim di Laut Cina Selatan. Namun pada akhirnya Indonesia terpaksa terlibat dalam persengketaan ini karena pada 2009, Cina mengumumkan kebijakan nine-dash line di Laut Cina Selatan, di mana perairan Natuna masuk di dalamnya. Adapun Indonesia masih menjaga hubungan diplomatik yang tidak mengundang konflik, kebijakan Indonesia selalu membawa penyelesaian perbatasan maritim dalam kerangka UNCLOS meskipun tidak diakui oleh Cina.

Hubungan Cina dan Indonesia pada umumnya tidak dalam kondisi konflik atau permusuhan. Hal itu terlihat dari hubungan diplomatik yang relatif berjalan lancar pada periode 2014-2019. Bahkan jika indikator perdagangan bilateral dijadikan basis dalam penilaian hubungan kedua negara, maka dapat disebut kedua negara melakukan perdagangan yang saling menguntungkan. Demikian juga kunjungan persahabatan berlangsung antara kedua negara, baik dalam domain maritim maupun tidak.

Indonesia menolak keyakinan Cina mengenai nine-dash line lantaran tidak memiliki kekuatan hukum internasional. Sementara UNCLOS yang dijadikan landasan pemerintah Indonesia dalam klaim kepemilikannya memiliki kekuatan hukum internasional dan diakui oleh negara-negara lainnya. Meski demikian Cina tetap gencar melancarkan aksinya. Sejak 2019, kapal-kapal Cina semakin intens memasuki wilayah Laut Natuna. Tak hanya itu, dalam waktu dekat bahkan kapal patroli dan penjaga pantai Cina turut serta memasuki wilayah Laut Natuna. Pemerintah Cina dalam pembelaannya menjelaskan bahwa aktivitas tersebut merupakan patroli normal di perairan di bawah yurisdiksi mereka. Pun hukum internasional dalam UNCLOS telah menolak keyakinan Pemerintah Cina soal nine-dash line karena dinilai tidak memiliki latar sejarah yang jelas.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Asia Maritime Transparency Initiative (AMTI) dan Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), kapal-kapal Cina sering terlihat merapat ke wilayah Laut Natuna dalam beberapa bulan terakhir, tepatnya mendekat di Blok D-Alpha, yakni tempat tersimpannya cadangan minyak dan gas alam yang memiliki nilai 500 miliar dollar AS atau sekitar Rp7,25 kuadriliun. Konflik tak berkesudahan tersebut semakin pelik setelah masuknya sejumlah kapal lain selain Cina di Laut Natuna yakni Kapal Vietnam. Beberapa kali pemerintah Indonesia mendapati aktivitas illegal fishing dilakukan oleh Vietnam.

Terbaru, Agustus 2021 lalu dua kapal Vietnam didapati melakukan illegal fishing di Laut Natuna menggunakan metode Pair Trawl. Menurut Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP, Laksamana Muda TNI Adin Nurawaluddin, metode tersebut sangat merusak dan dapat berdampak buruk pada ekosistem perairan Laut Natuna. Lantaran, metode tersebut dilakukan secara aktif dan menangkap ikan-ikan dengan tingkat seleksi yang sangat rendah.

Aktivitas ilegal tersebut berdasarkan prinsip realisme yang dikemukakan oleh Hans Morgenthau—seorang pendiri mazhab realisme politik Amerika—di mana setiap tindakan interaksi internasional tidak dapat dilepaskan dari kepentingan ekonomi. Dalam kerangka berpikir tersebut, bersikap baik berada di atas kepentingan ekonomi sehingga kebijakan suatu negara tetap harus berlandaskan moral.

Kekayaan Alam

Berdasarkan paparan konflik tersebut, dapat disimpulkan bahwa Laut Natuna merupakan wilayah yang memiliki kekayaan alam melimpah, baik berupa gas alam maupun hasil laut. Kekayaan alam ini tak diimbangi dengan pengelolaan dan penjagaan yang ketat, sehingga menjadi celah bagi negara asing untuk melancarkan aksi curangnya.

Kabar mengenai kekayaan sumber daya alam Laut Natuna dikonfirmasi Pemerintah dalam Putusan Menteri Kelautan dan Perikanan RI No. 47 Tahun 2016. Putusan tersebut menyebut bahwa Laut Natuna dipenuhi berbagai macam binatang laut dengan harga jual tinggi, seperti ikan Pelagis kecil, ikan Karang, ikan Demersal, lobster, udang Penaeid, kepiting, rajungan, hingga cumi-cumi.

Tak hanya itu, kekayaan gas alam yang terdapat di Block East Natuna juga terkonfirmasi dalam catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebanyak 222 triliun kaki kubik (tcf) kandungan volume gas di tempat (Initial Gas in Place/IGIP), masih ditambah dengan cadangan sebesar 46 tcf. Sementara, potensi minyak di blok tersebut diperkirakan mencapai 36 juta barel minyak. Namun baru dimanfaatkan sekitar 25 ribu barel minyak.

Kekayaan tersebut menjadi salah satu alasan wilayah Laut Natuna banyak diperebutkan dan dicuri potensinya oleh warga asing. Sebagaimana yang diterangkan Morgenthau, kenyataan yang terjadi dalam hubungan internasional adalah pertempuran untuk mencari kekuasaan dan keberuntungan karena kekuasaan adalah kekuatan. Maka demi mendapat kekuasaan tersebut sesekali menghasilkan konflik dan sengketa. Pendapat tersebut sejalan dengan yang dilakukan Cina terhadap Indonesia. Meski Cina mengetahui klaimnya atas Laut Natuna dengan dasar konsep nine-dash line tidak diakui Hukum Internasional, mereka tetap getol melancarkan aksinya.

Respons Pemerintah

Bahwasanya pihak yang menilai pemerintah kurang tegas dalam merespons konflik tak berkesudahan tersebut. Padahal konflik tersebut dengan sangat jelas menginjak-injak kedaulatan Indonesia. Bahkan, Menteri Pertahanan, Prabowo Subianto pada 2020 silam meminta masyarakat dan semua pihak untuk tetap santai menghadapi konflik dengan Cina. Didukung oleh Menko Maritim dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan yang meminta konflik tersebut agar tidak dibesar-besarkan.

Respons tersebut berbanding terbalik dengan kondisi masyarakat Natuna yang tingkat perekonomiannya masih rendah. Padahal kekayaan bahari sebanyak itu semestinya dapat menjadi peluang besar untuk dimanfaatkan demi perbaikan ekonomi masyarakat. Sebagaimana yang diterangkan Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla) Laksdya TNI Aan Kurnia, kekayaan Laut Natuna masih minim dinikmati masyarakat Natuna sendiri, pasalnya masyarakat Natuna masih belum memiliki perlengkapan yang memadai untuk berlayar di Laut Natuna dengan maksimal.

Hingga kini Pemerintah Indonesia terus menegaskan kepemilikannya atas Laut Natuna namun tidak melakukan tindakan lanjutan apa pun. Menjadi pertanyaan besar bagi banyak orang, ada apa sebenarnya di Laut Natuna?

Yohana Keraf

Mahasiswa Pasca Sarjana Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara dan Bekerja di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.