Sejauh ingatan penulis selama bersekolah, 1 Oktober menjadi peringatan hari Kesaktian Pancasila yang peringatannya berdampingan dengan peristiwa G30S. Bagi masyarakat yang berbangga dengan peristiwa berurutan tersebut, hari itu dianggap menjadi peringatan atas wafat beberapa sosok negara dalam mempertahankan landasan negara. Namun hari ini menjadi berbeda bagi beberapa warga Malang dan beberapa penggemar bola lainnya. Tahun 2022 membawa kami pada kesedihan yang sama dengan keluarga atau sanak para jenderal di tahun 1965. Pertandingan yang biasanya kami rayakan dengan kekecewaan atau tawa berubah menjadi perasaan kosong dan kehilangan di 1 Oktober 2022.
Tepat beberapa jam sebelum tragedi yang terjadi di GOR Kanjuruhan, penulis mengikuti kelas pengantar filsafat di mana salah satu kelas membahas mengenai 12 sifat keutamaan Aristoteles yang dituliskan dalam buku Nicomachean Ethics. Nicomachea sendiri diduga merupakan anak dari Aristoteles. Dalam 12 usulan filsuf raksasa itu, terdapat beberapa poin yang menjadi bahan perdebatan kami. Nilai-nilai tersebut di antaranya adalah keberanian, kesederhanaan, kemurahhatian, keindahan, kebanggaan, ambisi, temperamen teratur, keramahan, kebenaran, kesiapan menghadapi apa pun, keadilan, dan kebijaksanaan. Beberapa poin kami diskusikan dengan sangat serius, beberapa poin yang lain kami diskusikan dengan cara yang lebih jenaka. Penulis masih ingat, bahwa pada sesi terakhir diskusi dalam tema tersebut, seorang teman belajar mempertanyakan mengenai apa perbedaan antara kebanggaan dan kesombongan. Dan hasil catatan mengingatkan penulis bahwa kebanggaan menurut Aristoteles merupakan sikap menghargai hal substansial dan partikular yang tertempel pada seorang individu, sementara kesombongan merupakan perihal yang sama tanpa adanya takaran distributif, apakah seseorang layak atau tidak memberikan porsi yang besar pada hal-hal yang ia banggakan?
Diskusi berakhir dengan jam istirahat di mana teman saya tersebut, mempertanyakan mengenai bagaimana kebanggaan para Bonek dan Arema dipandang melalui keadilan distributif Aristoteles. Tentu saja teman penulis itu memiliki kegelisahan mengingat ia sedang menuntut ilmu di Kota Malang, tempat para Arema membanggakan dua tim sepak bola kebanggaan daerah. Sementara dirinya (penulis tidak tahu pasti dari mana ia berasal) memiliki kendaraan dengan plat nomor L yang identik dengan Kota Surabaya. Bagi teman tersebut, bila terdapat pertandingan bola Arema melawan Persebaya, ia menjadi was-was dan sedikit takut berkendara keliling Kota Malang. Ia takut akan ada prahara yang dapat mengikutsertakan dirinya. Tentu saja penulis yang telah lebih dari 20 tahun tinggal di Kota Malang merasa kekhawatirannya tidak berlandaskan hal yang masuk akal. Teman baru yang lain kemudian memberitahukan bahwa malam ini (30 September) kebetulan Arema FC dan Persebaya akan bertanding di GOR Kanjuruhan. Teman kedua tersebut menggoda dan mengajak teman pertama (yang kendaraannya berplat L) untuk ikut melihat pertandingan di GOR berhubung ia sudah memesan tiket dan akan berangkat ke Kanjuruhan apabila kelas filsafat LSF Discourse tidak berakhir terlambat.
Dari percakapan sore itu penulis dan teman-teman mendiskusikan mengenai bagaimana kebanggaan yang berlebih, yang disebut sebagai kesombongan memiliki beragam taraf dan ciri. Pada taraf yang pertama, seseorang dapat menyombongkan klub favoritnya tanpa merasa perlu melakukan pengorbanan apapun. Ia cukup melihat pertandingan di warung kopi bersama teman-teman atau mengikuti judi kecil-kecilan. Taraf yang kedua adalah seseorang yang sangat menggemari para pemain dalam klub tertentu dan dapat menangis ketika tim tersebut kalah dalam pertandingan. Hal ini pernah penulis alami dua kali ketika SMP saat Arema kalah melawan Persib pada pertandingan di tahun 2014 dan saat Arsenal kalah melawan klub yang profilnya tidak terlalu penulis ketahui yaitu Stoke City di tahun yang sama. Kesedihan di masa SMP bisa jadi merupakan kesombongan yang jatuh dalam taraf yang kedua. Penulis menyukai kedua tim tersebut namun tetap berusaha memahami bahwa para pemain hanya manusia biasa yang dapat dikalahkan. Taraf yang ketiga kurang lebih dapat disebut sebagai fanatisme di mana para penggemar mengikuti seluruh kabar sebuah klub bola, mengikuti pertandingan ke mana pun mereka dapat jangkau, atau mengoleksi banyak merchandise yang berhubungan dengan klub tersebut. Ingatan penulis terbang ke masa SMA di mana teman-teman masih gemar bepergian tanpa surat kendaraan ke kabupaten hanya untuk melihat Arema bermain. Penulis pernah sekali mengikuti mereka dengan perasaan was-was. Mungkin itu yang disebut pemateri kelas filsafat LSF Discourse dengan moral imperatif.
Kenyataan berkata berbeda dari kehendak, penulis tidak menemukan banyak kesimpulan dari diskusi selama istirahat kelas filsafat dasar dan teman baru saya tidak jadi berangkat ke GOR Kanjuruhan karena kelas berakhir sekitar pukul 19.00 lebih. Penulis dan mungkin para panitia kelas atau teman kelas baru mungkin istirahat dan menunggu hasil pertandingan seru Arema FC versus Persebaya hari itu. Namun naas bagi kami, setidaknya bagi penulis dan banyak pendukung Arema lainnya, bahwa selain tim kebanggaan kami kalah dalam pertandingan, terjadi kerusuhan di GOR Kanjuruhan yang menewaskan lebih dari 120 orang. Jumlah korban jiwa yang tepat masih sulit untuk ditelusuri, grup media komunikasi seperti Whatsapp dan Line dipenuhi dengan kabar dari kawan SMA atau keluarga yang memberitakan peristiwa naas tersebut. Kengerian terlintas dalam benak saya, dan saya rasa teman diskusi saya di hari sebelumnya juga merasakan hal yang sama. Dari rangkaian peristiwa yang saya alami tersebut saya bertanya-tanya, apakah yang menyebabkan peristiwa tersebut? Dalam berita yang beredar, polisi banyak dipersalahkan karena menembakkan gas air mata. Selain itu dalam salah satu video yang disebar oleh teman-teman di media Whatsapp, permasalahan dimulai saat seorang (hingga ratusan) Arema turun untuk ke lapangan sesaat setelah pertandingan selesai.
Kesedihan tidak dapat dijawab hanya dengan menemukan siapa yang bersalah atau bagaimana menghapuskan kesedihan tersebut. Bagi penulis, hal yang perlu dicari adalah pertanyaan mengapa kebanggaan dapat berakhir dengan kekecewaan yang menyebabkan ratusan manusia meninggal dunia. Kebanggaan sendiri bagi Aristoteles merupakan Mahkota dari segala keutamaan. Artinya perasaan yang terbangun karena hal yang kita terima sebagai bagian dari kita telah sampai pada titik yang maksimal. Ketika kebanggaan ini tidak tercapai, kemungkinannya dapat menjadi dua; yang pertama seseorang bisa saja merasakan hal yang partikular atau yang kedua seseorang tengah berada pada kesedihan atau kejatuhan dari dirinya atau hal-hal yang terikat padanya.
Dua hal tersebut dapat hadir dalam fanatisme gila, namun dalam fanatisme gila, keduanya dibumbui dengan kesombongan. “Tim favorit-ku harus menang.” Atau “Kemenangan harus diperoleh dengan cara apa pun.” – kata-kata semacam ini bisa dengan mudah lahir dari fanatisme gila. Fanatisme yang ada pada para penggemar klub bola bisa jadi tidak dianggap hanya sebagai kebanggaan, lebih dari itu bisa saja para pendukung klub bola merasa cinta atau kegirangan dengan tim favorit mereka. Bagi beberapa orang yang saya kenal, mendukung klub bola daerah bahkan menjadi bagian dari tanggung jawab. Keharusan mendukung, mendoakan, hingga kecewa apabila menemui kekalahan menjadi bagian dari tanggung jawab “moral” seorang penggemar pada klub bola favorit mereka. Tidak ada yang hendak saya persalahkan di dalam tulisan ini, mengingat teman-teman saya adalah mereka yang juga duduk lemas dan mungkin menangis di bangku GOR Kanjuruhan saat Arema FC kalah di akhir pekan lalu.
Ketika seseorang menaiki pagar pembatas, melompati batas lapangan, berlari dan hendak memukul para pemain atau official yang ada, kiranya tindakan tersebut dilakukan seorang penggemar ketika ia telah kehilangan kesadarannya yang penuh. Ia tidak memedulikan lagi keselamatan atau kehormatan dirinya. Atau bahkan, justru seseorang tersebut turun lapangan karena kesombongan bahwa jika ia turun lapangan maka perolehan pertandingan dapat berbalik menjadi 3-2 bagi Arema FC versus Persebaya. Kegagalan seseorang yang diikuti oleh banyak orang lainnya melahirkan huru-hara yang merugikan diri sendiri dan ribuan orang lainnya.
Di sini penulis melihat bahwa permasalahan utama terletak pada bagaimana kekecewaan berlebih (yang terdiri dari kebanggaan ditambah kesombongan berlebih) diekspresikan melalui sikap turun ke lapangan. Ekspresi ini bagi beberapa orang, termasuk netizen dan wartawan dianggap sebagai sikap vandal atau anarki. Bagi panitia pertandingan, sikap ini dianggap sebagai pelanggaran penonton. Namun bagi penulis, sikap ini merupakan sebuah “pertunjukan” yang memiliki dua komponen yaitu inferabilitas dan inkompabilitas. Inferabilitas adalah alasan dasar, sementara inkompabilitas merupakan alasan yang berlawanan. Sikap turun ke lapangan menjadi presentasi ekspresi dari seorang pendukung klub di mana inferabilitasnya adalah untuk menyatakan kekecewaan dan inkompabilitasnya adalah kenyataan kebanggaannya yang hancur sesaat. Karena mengandung dua hal tersebut, ekspresi seseorang yang turun ke lapangan bisa menjadi kontradiktif sekaligus sesuai. Kontradiktif karena hal tersebut bertentangan dengan norma yang disepakati oleh penyelenggara acara, sementara sesuai karena ekspresi tersebut memuat kedua syarat dari hal yang mendasari sebuah ekspresi. Teori ini umum digunakan dalam sosiologi dan bahasa. Namun dalam hal ini saya melihat kesamaan pemilihan kata para sastrawan untuk mengekspresikan maksud mereka dengan sikap turun ke lapangan. Bukan berarti bahwa penulis setuju dengan tindakan tersebut (walau ada pemakluman bagi beberapa kejadian di mana para penggemar turun ke lapangan untuk mengutarakan perasaannya pada para pemain) namun rasanya kita perlu memahami bagaimana seorang yang memiliki kebanggaan (berlebih) memutuskan untuk membahayakan dirinya di lapangan.
Lepas dari ekspresi seorang yang turun ke lapangan, para penonton lain kiranya tidak banyak yang menyepakati tindakan tersebut. Bagi mereka hal itu merupakan pelanggaran yang dapat menyebabkan hukuman bagi klub dan tim penonton. Teriakan umpatan yang tidak asing bagi warga yang tinggal di Malang digaungkan untuk meminta para penonton yang turun ke jalan agar kembali ke tribun. Bagi para penonton yang tidak ingin teman-temannya menyebabkan masalah, hal ini merupakan sikap menjaga harga diri dan menjaga agar kebanggaan mereka tidak lebih terluka setelah kekalahan yang dialami. Bagi para Arema yang hadir di Kanjuruhan, sikap tersebut tidak hanya merusak kebanggaan atas klub melainkan kebanggaan atas kesatuan persahabatan Arema.
Persahabatan yang dikemukakan oleh Aristoteles adalah mengenai jalinan afeksi beberapa orang dalam upaya mereka mencapai kebahagiaan bersama, hal tersebut tidak terjadi apabila sebagian dari sahabat melakukan hal yang memalukan dengan mengikutsertakan kesatuan persahabatan mereka. Aremania merupakan sebuah ikatan persahabatan, setidaknya itulah yang saya alami bersama teman-teman saya. Namun persahabatan juga memiliki kekurangan di mana tidak semua sahabat dapat memahami perasaan atau jenis kebanggaan sahabat yang lain. Bagi kami, Aremania, persahabatan lebih dari sekedar menggunakan kaos yang sama, bernyanyi sekeras-kerasnya, menikmati flare yang dibeli dengan uang bersama, berbagi kesedihan ketika klub kalah, makan bersama di lalapan Purnama dini hari di depan GOR, atau melakukan konvoi bersama di Pakisaji sepanjang perjalanan pulang. Kebahagiaan dari persahabatan adalah emosi yang muncul ketika dalam kemenangan atau kekalahan Arema, kami dapat memastikan bahwa pertandingan esok akan dirayakan dengan cara yang sama, di mana semua sahabat masih dalam keadaan hidup dan sehat.
Kesedihan tentu saja tidak cukup dirumuskan dalam satu dua diskusi atau menuliskan teori filosofis. Seluruh tetangga, keluarga, dan teman-teman yang ditinggalkan korban tidak akan dimudahkan hanya dengan ucapan belasungkawa atau tangisan. Bila mungkin pertandingan di masa depan boleh dilaksanakan, beberapa teman akan mengingat kembali kehilangan besar yang terjadi pada pekan lalu. Hal ini tidak juga dapat digantikan dengan belajar filsafat atau mengajukan pada mereka buku-buku tentang bola atau persahabatan. Namun penulis yakin bahwa Malang yang penulis kenal dan penulis cintai tidak akan membiarkan warganya jatuh dalam kesedihan atau dalam kesombongan diri. Malang yang saya kenal dihuni oleh para pemberani yang akan menghadapi kesedihan dan kebahagiaan dengan ingatan atas saudara-saudara yang telah pergi. Malang akan membuat warganya kembali sadar atas seluruh nilai keutamaan Aristoteles tanpa perlu membuka buku atau berdiskusi perihal filsafat. Dan peristiwa kehilangan besar ini akan membuat kami berupaya untuk terus saling menjaga di hari-hari esok. Penulis rasa hal ini bukan pula merupakan primordialitas kedaerahan, karena penulis percaya para pembaca di daerahnya masing-masing juga berharap bahwa saudara, tetangga, dan para sahabat dapat saling menjaga untuk hidup penuh kebanggaan dan kebahagiaan.
Referensi
Austin, Michael W., Joe Posnanski. Football and Philosophy: Going Deep. Serial The Philosophy of Popular Culture. The University Press of Kentucky: 2008.
Koreň, Ladislav, Hans Bernhard S., Preston S., dan Leo Townsend. Between Inferentialism
and Collective Intentionality dalam Groups, Norms, and Practices: Essays on Inferentialism and Collective Intentionality. Springer International Publishing: 2021.
Naufal Kiki Haris
Petani Kebun Jeruk di Kota Malang
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.