Bahasa digunakan oleh manusia sebagai sarana pengungkapan diri dan komunikasi. Bahasa sebagai komunikasi berarti bahasa digunakan oleh manusia untuk mengungkapkan sesuatu kepada yang lain dalam suatu masyarakat. Bahasa memungkinkan manusia untuk saling mengenal satu sama lain. Kendati bahasa merupakan sarana komunikasi dan pengungkapan diri, bahasa seringkali digunakan sebagai alat propaganda penggerak massa (hal ini seringkali disebut sebagai retorika atau gaya bahasa). Ketika bahasa hanya digunakan sebagai sarana propaganda tanpa memperhatikan hal yang esensial, maka bahasa akan kehilangan makna dan hakikatnya.
Seorang filsuf bernama Wittgenstein berusaha untuk mengembalikan hakikat bahasa. Baginya, bahasa bukan merupakan sarana propaganda penggerak masa, melainkan suatu kejelasan. Kejelasan yang dimaksud oleh Wittgenstein adalah kebenaran suatu peristiwa. Ini ditulis oleh Wittgenstein dalam karya keduanya yang berjudul Philosophical Investigation (secara khusus ia jelaskan dalam sebuah teori yang bernama Tata Permainan Bahasa (Language Games)). Kebenaran suatu peristiwa atau ungkapan dilakukan dengan cara klarifikasi. Dalam tulisan ini saya hendak memasukkan teori Tata Permainan Bahasa (Language Games) dalam suatu bentuk klarifikasi.
Tata Permainan Bahasa saya gunakan sebagai alat untuk mengklarifikasi pelbagai bentuk peristiwa atau ungkapan. Suatu ungkapan dapat dikatakan benar apabila sudah diklarifikasi dengan baik. Sebagaimana arti klarifikasi adalah suatu penjernihan dan pengembalian sesuatu kepada ihwalnya.
Riwayat Singkat
Ludwig Josef Johan Wittgenstein lahir di Wina, Austria pada tanggal 26 April 1889. Ia berasal dari sebuah keluarga yang multikultural. Kakek dari pihak ayah adalah seorang Yahudi pedagang wol yang telah memeluk agama Kristen Protestan dan menikahi seorang putri kepala bank dari Viennese. Ayah Wittgenstein, bernama Karl, merupakan seorang insinyur dan juga pimpinan dari sebuah industri baja yang besar pada waktu itu. Karl sangat berbakat bermain musik dan kediaman mereka menjadi semacam pusat musik di Wina. Suasana seperti inilah yang nantinya membentuk kegemaran Wittgenstein terhadap musik.
Pada tahun 1906, Wittgenstein mulai belajar di suatu Sekolah Tinggi Teknik di Berlin. Lalu, pada tahun 1908, dia melanjutkan studi di Universitas Manchester. Di sana ia melakukan riset dalam bidang pesawat terbang, khusus baling-baling pesawat. Karena untuk mengerjakan baling-baling, yang perlu banyak pengetahuan tentang matematika, maka ia belajar dengan tekun soal matematika dan filsafat matematika. Karena pertemuan ia dengan karya Bertrand Russell Principia Mathematica, ia pun semakin tertarik pada matematika dan memutuskan untuk mempelajarinya lebih dalam. Ia pun berkonsultasi pada Frege, seorang ahli matematika dari Jerman. Namun rupanya Frege menyarankannya untuk belajar ke Betrand Russell di Cambridge. Ia mengikuti nasihat Frege, lalu menghabiskan selama beberapa tahun di sana. Pada tahun 1912, ia belajar di Universitas Cambridge dan mempelajari filsafat di bawah bimbingan Russell.
Ketika pecahnya Perang Dunia I, Wittgenstein pulang ke tanah airnya dan masuk tentara Austria sebagai volunter. Ia ditugaskan di pelbagai tempat. Selama masa itu, ia menulis suatu catatan yang ia selesaikan pada bulan Agustus tahun 1918. Pada tahun yang sama ia menjadi tawanan perang oleh tentara Italia. Saat masih di Italia, ia mengirim sebuah kopi naskahnya kepada Russell dan diatur penerbitannya. Pada tahun 1921 buku tersebut muncul di Jerman. Lalu pada tahun 1922, buku itu diterbitkan dalam bahasa Inggris beserta kata pengantar oleh Russell.
Pemikiran Wittegnstein Periode I
Pada periode pertama, Wittgenstein menulis sebuah buku yang sangat terkenal yaitu Tractatus Logico Philosophicus. Dalam buku tersebut, Wittgenstein sangat dipengaruhi oleh konsep Logika Atomisme yang mana dipelopori oleh Betrand Russell dan George Edward Moore. Dia sejak awal sudah berteman dengan kedua tokoh itu.
Konsep logika atomisme Wittgenstein dikaitkan secara langsung dalam Tractatus. Tractatus ini, sebagaimana dikatakan oleh Rizal Mustansyir, merupakan sebuah karya filsafat yang dirumuskan secara padat dan disusun berdasarkan pelbagai dalil. Ada tujuh dalil utama yang masing-masing dibagi dalam pecahan desimal, kecuali dalil ketujuh dan penutup. Dalil utama ditandai dengan bilangan bulat (1, 2, 3, dan seterusnya) dan diikuti oleh dalil yang ditandai dengan bilangan desimal (1.1, 1.2, 1.11, dan seterusnya). Meskipun karya ini merupakan karya filsafat, Tractatus bukanlah karya tulis yang panjang. Kendatipun tidak panjang, akan tetapi pengaruh yang ditimbulkannya sangat besar dalam arena filsafat, secara khusus filsafat analitik.[2]
Sebagaimana karya filsafat pada umumnya yang lahir karena ada persoalan yang mau dijawab. Hal yang sama terjadi pada Wittgenstein. Dia menulis karya ini disebabkan karena keprihatinannya terhadap pelbagai macam bahasa filsafat yang berkembang pada waktu. Menurutnya, bahasa filsafat yang digunakan oleh para filsuf sebelumnya terlalu mengawang dan sulit dipahami oleh pembaca umum. Para filsuf sebelumnya, dalam membahasakan persoalan, tidak dipahami dan pada akhirnya tidak memberikan jawaban terhadap persoalan.
Menurut Wittgenstein, persoalan di atas disebabkan karena para filsuf tidak mengerti bahasa logika. Di pendahuluan Tractatus, Wittgenstein mengatakan bahwa cara para filsuf sebelumnya terbentur oleh kesalahpahaman mereka mengenai bahasa logika.[3] Oleh karena itu, melalui traktat ini, ia berusaha menjernihkan kesalahpahaman yang diperbuat para pendahulunya. Penjernihan ini, menurut Wittgenstein, tidak berusaha menghakimi atau menganggap pemikiran mereka salah, melainkan lebih kepada bagaimana mereka membahasakan pemikiran filosofis mereka.[4]
Penggunaan bahasa logika yang sempurna, sebagaimana dijelaskan oleh Rizal Mustansyir, mengandaikan pemakaian alat-alat bahasa (kata, kalimat) secara tepat, sehingga setiap kata mempunyai suatu fungsi tertentu saja, dan setiap kalimat hanya mewakili suatu keadaan faktual saja. Suatu bahasa logika yang sempurna mengandung arti sintaksis sehingga mencegah suatu ungkapan menjadi tidak bermakna, dan mempunyai simbol tunggal yang selalu bermakna unik dan terbatas.[5] Oleh karena itu, filsafat bagi Wittgenstein merupakan sarana untuk menunjukkan sesuatu yang tidak dapat dikatakan dengan menghadirkan secara jelas sesuatu yang dikatakan. Maka dari itu filsafat harus mengandung kejelasan.
Upaya yang dilakukan oleh Wittgenstein untuk membuat jelas suatu ungkapan ditentukan melalui kesesuaian antara struktur bahasa dengan struktur realitas. Pandangan ini lebih dikenal dengan teori gambar (Picture Theory) atau seringkali disebut sebagai teori tentang makna.[6] Teori gambar mengungkapkan bahwa bahasa menggambarkan realitas dan makna itu tidak lain daripada penggambaran suatu keadaan faktual dalam realitas melalui bahasa.
Pemikiran Wittgenstein dalam mengungkapkan realitas dunia sebagaimana ditulis oleh Kaelan terumuskan dalam suatu proposisi sehingga dengan demikian terdapat suatu kesesuaian logis antara struktur bahasa dengan struktur realitas dunia. Oleh karena proposisi itu terungkapkan melalui bahasa, maka bahasa pada hakikatnya merupakan suatu gambaran dunia.[7] Hal ini ditulis oleh Wittgenstein dalam bukunya:
“A preposition is a picture of reality: for if i understand a preosition, i know the situation that it represents. And i understand the preposition without having had its sense explained to me. A preposition show its sense. A preposition shows how things stand if it it is true. And says that they do so stand.”[8]
Fungsi teori gambar sebagaimana dijelaskan oleh G.H. Von Wright terletak pada kesesuaian antara unsur-unsur gambar dengan unsur-unsur dalam realitas. Hal itulah yang sangat ditekankan oleh Wittgenstein, sehingga kita dapat saja membalik arti kiasannya dengan mengatakan bahwa proposisi itu berfungsi seperti sebuah gambar karena ada hubungan yang sesuai antara unsur-unsur gambar itu dengan dunia fakta. Cara itu dilakukan dengan menggabungkan bagian-bagian proposisi. Struktur proposisi menggambarkan kemungkinan bagi kombinasi unsur-unsur dalam realitas, yaitu kemungkinan mengenai keadaan faktual atau suatu bentuk peristiwa.[9]
Itulah yang ditekankan oleh Wittgenstein dalam bukunya yang pertama ini. Wittgenstein melihat bahwa filsafat tidak dapat dipahami oleh masyarakat pada umumnya sehingga, menurut Wittgenstein, ketidaktahuan masyarakat terhadap pemikiran para filsuf terletak pada penggunaan bahasa yang digunakan oleh para filsuf itu sendiri. Mereka tidak mengerti penggunaan logika bahasa dalam berfilsafat. Karena itu, filsafat bagi Wittgenstein tidak sekadar mengandung pembahasan mengenai suatu persoalan, tetapi juga mengenai kejelasan.
Pemikiran Wittgenstein Periode II
Pada periode kedua ini, dalam buku Philosophical Investigation , Wittgenstein berusaha mendobrak kembali apa yang diyakininya pada periode pertama. Akan tetapi sebetulnya ia tidak menolak pemikirannya yang pertama. Ia berusaha memperbaiki apa yang ia tulis. Sehingga, dalam pengantar ia menginginkan agar kedua tulisannya ditampilkan secara bersamaan dengan cara yang lebih terang berdasarkan penentangan terhadap latar belakang pemikirannya yang terdahulu.[10]
Dari ungkapan di atas mengandaikan ada hubungan yang sangat erat di antaranya, kendati ada perubahan yang cukup mendalam. Hal ini disampaikan oleh Charlesworth, adalah seorang komentator filsafat analitik. Charlesworth memberikan penafsiran yang cukup jelas tentang hubungan yang ada di antara kedua buku tersebut. Charlesworth mengatakan bahwa suatu cara yang terbaik untuk menggambarkan hubungan di antara kedua karya Wittgenstein itu adalah dengan mengatakan bahwa PI (Philosophical Investigation) merupakan pengembangan dari Tractatus. Sehingga apa yang dikatakan dengan bahasa secara umum dalam Tractatus merupakan bagian dari apa yang dinamakan “tata permainan bahasa” yang seluruhnya dijelaskan dalam PI.[11]
Walaupun terdapat kesinambungan dari kedua karya tersebut, namun terdapat semangat pembaharuan yang terkandung dalam filsafatnya yang kedua ini. Perbedaan yang hakiki di antara kedua periode tersebut tampak sekali dalam penolakannya terhadap tiga hal yang dulu diandaikan begitu saja, yaitu pertama, bahwa bahasa dipakai hanya untuk satu tujuan saja, yakni menetapkan states of affairs. Kedua adalah bahwa kalimat-kalimat mendapat maknanya dengan satu cara saja, yakni menggambarkan satu keadaan faktual. Ketiga adalah bahwa setiap jenis bahasa dapat dirumuskan dalam bahasa logika sempurna, biarpun pada pandangan pertama barangkali sukar untuk dilihat.[12]
Ketiga hal tersebut ditolak oleh Wittgenstein dalam filsafatnya yang kedua ini. Ia berusaha melihat kembali apa yang pernah ditulisnya itu. Agar lebih jelas untuk melihat perbedaan tersebut, ia membuat sebuah pemikiran baru yaitu ‘Tata Permainan Bahasa (Language Games)’. Dalam pemikirannya yang kedua ini, ia berusaha menjelaskan hakikat bahasa dan penggunaannya dalam kehidupan sehari-hari. Apa yang diterangkan dalam pemikirannya yang pertama mengenai hakikat bahasa nampaknya tidak terlalu jelas dalam bahasa sehari-hari. Wittgenstein lupa bahwa dalam kehidupan sehari-hari terdapat pelbagai macam bahasa, dan bahasa memiliki aturan mainnya.
Bahasa sebagaimana ditulis oleh Wittgenstein dalam PI mempunyai suatu aturan. Sebagaimana halnya dalam sebuah permainan. Di dalam permainan terdapat suatu aturan yang mengatur jalannya permainan tersebut. Seorang pemain tidak serta merta bermain tanpa mengetahui aturan mainnya, begitupula halnya bahasa. Kata dalam sebuah kalimat mempunyai aturan dalam penggunaannya. Misalkan penggunaan kata “buku” dalam sebuah kalimat. Kata “buku” mempunyai banyak arti tergantung konteks pemakaiannya. Misalkan, Agus adalah seorang kutu buku dan buku ini milik saya. Penggunaan kata buku terdapat dalam kedua kalimat tersebut memiliki arti yang sangat berbeda. Itulah yang hendak dikatakan oleh Wittgenstein dalam konsepnya mengenai “Tata Permainan Bahasa”.
Konsep ini tentunya oleh Wittgenstein didasarkan pada realitas kehidupan yang beranekaragam. Wittgenstein menyadari bahwa dalam kehidupan terdapat pelbagai keanekaragaman bahasa yang dijumpai. Keanekaragaman bahasa yang dimaksud Wittgenstein sebagaimana dijelaskan oleh Rizal bukanlah pelbagai macam bahasa seperti bahasa Inggris, Indonesia, Latin, dan sebagainya, dan bukan pula bahasa ilmu pengetahuan, seperti bahasa susastera, kedokteran, filsafat, dan sebagainya, melainkan keanekaragaman bahasa yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari (ordinary language).[13]
Menurut Wittgenstein bahasa harus dimengerti sesuai konteks penggunaannya dalam sebuah kalimat. Kata atau kalimat mempunyai makna apabila kata tersebut dapat digunakan sesuai konteksnya. Bahasa ilmiah tidak bisa dicampuradukkan dengan bahasa santai atau cangkrukan di warung kopi. Sebab bahasa ilmiah memiliki aturannya sendiri, begitupun dengan bahasa santai. Menurut Wittgenstein kekacauan suatu bahasa muncul manakala kita menerapkan aturan permainan bahasa yang satu ke dalam bentuk permainan bahasa lainnya. Sehingga menurutnya sangat mustahil bilamana kita menentukan suatu permainan bahasa yang bersifat umum yang berlaku dalam pelbagai macam konteks bahasa kehidupan manusia. Hal ini diungkapkan oleh Wittgenstein dalam PI:
Makna sebuah kata bergantung pada penggunaan dalam sebuah kalimat, makna kalimat bergantung pada penggunaan dalam bahasa, sementara bahasa bergantung penggunaannya dalam hidup.[14]
Oleh karena itu pemaknaan suatu bahasa bergantung konteks penggunaanya dalam kehidupannya sehari. Kita sebagai manusia tidak serta merta menggunakan suatu kata tanpa mengetahui penggunaan kata tersebut dalam sebuah kalimat. Kekacuan bahasa seringkali disebabkan kurang paham aturan permainan suatu bahasa.
Tata Permainan Bahasa suatu Bentuk Klarifikasi
Tata Permainan Bahasa sebagaimana dijelaskan sebelumnya merupakan sarana bagi manusia dalam mengungkapkan pikiran dan konsepnya mengenai sesuatu dengan bahasa yang sederhana, yang umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Sebagaimana diungkapkan oleh Wittgenstein bahwa kekacauan bahasa seringkali terjadi apabila bahasa yang digunakan tidak seturut bahasa manusia dalam konteks kesehariannya. Selain itu kekacauan bahasa juga seringkali terjadi karena digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok.
Selama ini, sekiranya, berita bohong (hoaks) dan penyelewengan makna kata bukanlah berita asing bagi kita. Kebohongan dan penyelewengan makna kata menjadi trend di media masa dan digunakan oleh beberapa orang untuk kepentingan mencari kekuasaan, ketenaran, sensasi dan lain-lain. Mereka mengorbankan kebenaran demi popularitas. Untuk mencapai semua itu bahasa dan makna dari sebuah kata diselewengkan dan maknanya diubah sedemikian rupa dengan bertopeng logika yang tidak masuk diakal.
Sekiranya bertolak dari pemikiran Wittgenstein mengenai Tata Permainan Bahasa dapat menjadi landasan dasar untuk mengenalisis penggunaan bahasa yang digunakan oleh segelintir orang dalam ruang publik selama ini. Dan, menurut pengamatan saya dan bersadasarkan realitas, Tata Permainan Bahasa merupakan suatu bentuk klarifikasi terhadap pelbagai macam bentuk peristiwa, ungkapan, pemaknaan kata dan lain-lain.
Klarifikasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penjernihan atau kejelasan, dan pengembalian kepada apa yang sebenarnya.[15] Kita perlu membedakan antara penjelasan dan kejelasan. Penjelasan adalah suatu definisi sementara kejelasan adalah pengungkapan kejelasan suatu keadaan atau bisa dikatakan sebagai ungkapan kebenaran.[16]
Menurut pandangan beberapa ahli, karfikikasi adalah sebuah cara atau sikap untuk memberi penjelasan tentang hal yang sebenarnya (kejelasan), dari infomasi yang sedikit keliru dan sudah terlanjur beredar. Klarifikasi melibatkan minimal dua orang atau lebih dimana salah satunya adalah sumber informasi, atau pakar (ilmiah) sementara yang lain adalah orang kedua, yang menginginkan hal sebenarnya agar sesuatu yang diketahuinya menjadi jelas adanya.[17]
Dari definisi di atas, saya melihat bahwa Tata Permainan Bahasa adalah suatu bentuk klarifikasi. Dikatakan sebagi bentuk klarifikasi karena dalam suatu Tata Permainan Bahasa dituntut kejelasan dari suatu ungkapan dan peristiwa. Seseorang tidak serta merta berbicara begitu saja tanpa memperhatikan aturan-aturan dalam sebuah bahasa. Sebagaimna diungkapkan oleh Wittgenstein bahwa bahasa memiliki aturannya. Orang tidak serta merta menggunakan menggunakan ungkapan yang sama dalam konteks yang berbeda. Di sini kebohongan dan penipuan yang sungguh luar biasa terhadap makna kata adalah ketika suatu kata dipakai di semua tempat tanpa memperhatikan konteks atau aturan pemakaiannya.
Oleh karena itu, kejelasan dari sebuah ungkapan, peristiwa, dan pemaknaan kata-kata harus dianalisis. Kita tidak bisa serta merta menyampaikan ungkapan, peristiwa, dan makna kata tanpa memperhatikan aturan penggunaan bahasa. Kekacauan suatu terjadi bahasa apabila bahasa atau kata diungkapkan tidak sesuai konteks dan aturan penggunaanya.
Daftar Pustaka
Bertens, K. (1981). Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: Gramedia
Kaelan (2003). Filsafat Bahasa. Realitas Bahasa, Logika Bahasa, Hermeneutika dan Postmodernisme. Yogyakarta: Paradigma.
Mustansyir, Rizal (1995). Filsafat Analitik. Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Wittgenstein, Ludwig (1974). Tractatus Logico Philosophicus (D. F. Pears & B. F. McGuinnes, Penerjemah). London: Routledge.
_________________(1983). Philosophical Investigation (G. E. M. Anscombe, Penerjemah.). Oxford: Basil Blackwell
www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-klarifikasi/ diakses 09 Mei 2019
https://kbbi.web.id/klarifikasi
diakses tanggal 09 Mei 2019
[1] Atomisme Logik merupakan paham atau ajaran yang berpandangan bahwa bahasa itu dapat dipecah menjadi proposisi-proposisi atomik atau proposisi elementer, melalui teknik analisa logik atau analisa bahasa.
[2] Rizal Mustansyir. (1995). Filsafat Analitik. Sejarah, Perkembangan, dan Peranan Para Tokohnya. Jakarta: RajaGrafindo Persada. hlm. 51.
[3] Ludwig Wittgenstein, Tractaatus Logico-Philosophicus. (D. F. Pears & B. F. McGuinnes, Penerjemah.). London: Routledge.hlm. 3.
[4] Ibid.
[5] Rizal Mustansyir. Op. Cit., hlm. 53.
[6] merupakan suatu konsep yang menganggap adanya hubungan mutlak antara bahasa dengan realitas.
[7] Kaelan. (2003). Filsafat Bahasa, Realitas Bahasa, Logika Bahasa, Hermeneutika dan Postmodernisme. Yogyakarta: Paradigma. Hlm.
[8] Wittgenstein, Op. Cit., 4.021-4022.
[9] Rizal Mustansyir. Op. Cit., hml. 55-56.
[10] Wittgenstein. (1983). Philosophical Investigations, (D. F. Pears & B. F. McGuinnes. Penerjemah). London: Routledge. Hlm. Viii.
[11] Rizal Mustansyir. Op. Cit., hlm. 56.
[12] Bertens. (1981). Filsafat Barat dalam Abad XX. Jakarta: Gramedia. Hlm. 48.
[13] Rizal Mustansyir. Op. Cit., hlm. 83.
[14] Kaelan. Op. Cit., hlm. 149.
[15] https://kbbi.web.id/klarifikasi diakses tanggal 09 Mei 2019.
[16] https://kbbi.web.id/klarifikasidiakses tanggal 09 Mei 2019.
[17] www.definisimenurutparaahli.com/pengertian-klarifikasi/ diakses 09 Mei 2019
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widya Sasana Malang
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.
3 Responses
Saya masih agak mengganjal, hubungan “bahasa sesuai konteks”-yg mnjdi pemikiran keduanya-dengan klarifikasi tampaknya sedikit berbeda. Jika klarifikasi (tabayun) itu cakupannya sudah lebih dari sekedar pemenuhan bahasa/kalimat sesuai dgn konteks, jadi sudah menjadi pembahasan itu sendiri.
Saya masih agak mengganjal, hubungan “bahasa sesuai konteks”-yg mnjd pemikiran periode keduanya-dengan klarifikasi agak kurang nyambung, jika klarifikasi (tabayun) sepertinya cakupannya lebih luas, artinya tidak sebatas pemenuhan konteks suatu bahasa (kalimat), tp sudah menjadi sebuah pembahasan itu sendiri.
Wah cukup menarik ya semangat terus menulisnya Bung Vant