fbpx

Tiktok dan Pesimisme Proyek Pencerahan

Tiktok tentu bisa menjadi wadah dalam usaha emansipasi masyarakat seperti contoh pada konten edukasi yang diniatkan oleh pada sebagian penggunanya, namun tetap besar kemungkinan dengan sifat industri budaya yang kian masif pada akhirnya akan menyapu konten-konten tersebut karena permintaan pasar yang lebih tinggi.
In this photo illustration a Chinese app TikTok logo seen displayed on a smartphone through a magnifying glass. (Photo Illustration by Omar Marques/SOPA Images/LightRocket via Getty Images)

Proyek pencerahan atau Enlightenment lahir didasari oleh kesadaran umat manusia pasca abad pertengahan terhadap kemampuan nalar untuk membebaskan belenggu manusia dari ketidaktahuan. Ketidaktahuan atas unsur-unsur natural yang berada di sekelilingnya yang memunculkan kegelisahan sehingga mereka mengharapkan suatu berkat muncul dari atas langit yang bisa dijadikan alat untuk melepas belenggu ketidaktahuan yang menjadi sumber dari kegelisahan itu. Kesadaran atas nalar disertai dengan cara baru dalam mengakses pengetahuan sekelilingnya melalui metode empiris atau yang dinamakan dengan sains yang terlampau kuat membuat manusia sadar bahwa hal tersebut bisa dijadikan pijakan dari lahirnya kehidupan baru.

Kehidupan yang tidak lagi diiringi oleh kegelisahan akan ketidaktahuan mereka. Bahkan hingga para filsuf kala itu termasuk Immanuel Kant bersegera mengafirmasi keagungan nalar dan potensi metode tersebut yang bahkan mengerahkan tenaganya untuk menciptakan justifikasi moral yang mendasari suatu proyek yang dinamai proyek pencerahan.[1] Proyek ini memiliki motif yang luhur. Namun karena kenaifan manusia yang tergesa-gesa layaknya balita yang menemukan dan memainkan mainan barunya dengan segera, proyek pencerahan ini berubah menjadi suatu jerat yang berbalik mengekang umat manusia.

Kekangan ini, seperti yang disebut pada artikel “Habermas dan Proyek Pencerahan yang Masih Mungkin”, muncul ketika suatu proses bernalar sudah tidak lagi didasari oleh realitas dan tujuan dari diterapkannya penalaran itu.[2] Pada akhirnya kecanggihan proses bernalar telah terlepas menjadi suatu “bentuk” terasingkan yang berdiri sendiri sehingga pada akhirnya tidak lagi menjadi alat untuk memecahkan persoalan konkret umat manusia, tetapi menjadi instrumen yang berdiri sendiri dan menjadi tujuan itu sendiri. Bukan rasionalitas yang menopang manusia, namun manusialah menopang rasionalitas. Konsep ini dinamai dengan rasionalitas instrumental.

Rasionalitas instrumental ini terwujud dan dilambangkan oleh suatu paham yang disebut sebagai positivisme. Suatu paham bahwa kemajuan pengetahuan empiris atau sains akan berimplikasi pada kemajuan nasib umat manusia dan sains adalah satu-satunya bentuk pengetahuan valid dan terlepas dari asumsi-asumsi di luar kemampuan indra manusia (metafisika). Padahal jika ditelusuri secara epistemologis, sains tetap tidak pernah bisa terlepas dari asumsi-asumsi metafisika yang mendasarinya. Kenaifan tersebut menyebabkan sains menjadi alat untuk menjawab semua persoalan manusia di abad modern, namun nyatanya alat ini tidak dapat menjawab tujuan awal dari proyek pencerahan berupa emansipasi manusia dan kedaulatannya terhadap alam, terlebih lagi alat ini digunakan oleh sebagian golongan manusia untuk mengeksploitasi golongan manusia lain atau bahkan umat manusia seluruhnya. Persis seperti apa yang dibahas oleh pelopor teori kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno dalam esai yang berjudul Dialectic of Enlightenment bahwa proyek pencerahan nyatanya berfungsi sebagai alat penipu masal atas harapan untuk berdaulat atas alam atau yang disebut sebagai enlightenment as a mass of deception.[3]

Singkatnya gagalnya rasionalitas instrumental tersebut melahirkan upaya para intelektual modern untuk mencari jalan meneruskan estafet menyelesaikan proyek dari pencerahan. Maka lahirnya aliran seperti Frankfurt School memberikan upaya baru seperti terciptanya teori kritis yang dipelopori oleh Horkheimer, Jürgen Habermas, dan para pemikir lainnya untuk membentuk puzzle yang mengisi kekosongan dan kekurangan dari positivisme dalam menyelesaikan proyek pencerahan. Tokoh-tokoh Mazhab Frankfurt semisal Habermas, mencoba untuk menciptakan terobosan seperti praksisnya yang menggunakan paradigma nalar yang bersifat kritis (rasio kritis) dalam upaya memahami dan menyelesaikan persoalan-persoalan yang pelik di era modern yang tidak mampu diselesaikan oleh instrumen berparadigma positivistik.[4]

Industri Budaya

Usaha itu tentu memberikan suatu harapan baru terhadap upaya melanjutkan proyek pencerahan. Namun apakah proyek pencerahan melalui terobosan barunya seperti yang diajukan oleh para penerus Mazhab Frankfurt memungkinkan untuk meneruskan proyek pencerahan sebagai upaya emansipatoris? Adorno sebagai salah satu pelopor teori kritis memaparkan realitas dari zaman modern melalui tulisannya yang bertemakan Culture Industry.[5] Industri budaya (culture industry) didasari oleh suatu dominasi sistem ekonomi kapitalisme yang menjadi penunjang peradaban pasca revolusi industri. Paradigma rasionalitas instrumental yang telah dijelaskan mendominasi peradaban modern amat erat kaitannya dengan kemunculan sistem ekonomi tersebut.

Rasional instrumental yang terwujud pada pemahaman positivistik menilai kemajuan sains sebagai jalan satu-satunya yang valid untuk menunjang peradaban, dengan demikian perkembangan sains tersebut menjadi tujuan pada peradaban modern. Di sisi lain, kapitalisme menjadikan pertumbuhan sebagai nilai utama yang mendasari sistem ekonomi modern. Dengan demikian hubungan atas pemahaman positivistik bersifat komplementer dengan sistem ekonomi kapitalisme, di mana perkembangan sains yang dituju oleh paham positivisme menjadi alat untuk menunjang pertumbuhan ekonomi, sebaliknya pertumbuhan ekonomi yang terjadi akan memberikan potensi kembali untuk berkembangnya sains, sehingga akan terjadi perputaran siklik yang bersifat kontinu.[6]

Akan tetapi untuk berlangsungnya pertumbuhan berkelanjutan dari kapitalisme, sistem tersebut membutuhkan roda perputaran reproduksi kapital untuk menunjang perluasan skala ekonomi. Keberlanjutan reproduksi tersebut dicapai melalui pengubahan berbagai objek entitas ke dalam bentuk komoditas. Komoditas berarti suatu objek tidak hanya memiliki nilai intrinsik, namun juga memiliki nilai tukar (exchange value) untuk diperjualbelikan di pasar (marketplace).[7] Seperti halnya buah kopi yang tidak memiliki nilai tukar, kapitalisme mengubah buah kopi dengan cara menguliti daging buah tersebut, mengeringkan, dan menyangrai yang pada akhirnya biji kopi tersebut siap dilempar masuk ke dalam roda perputaran pasar karena telah memiliki nilai tukar.

Contoh di atas berupa kopi dan seperti halnya pada gula, beras, tenaga buruh, dan seterusnya merupakan suatu kumpulan entitas yang mudah dibayangkan apabila diubah ke dalam bentuk komoditas. Namun, kapitalisme mengambil jalan ambisius yang tidak hanya mengkomodifikasi hal-hal di atas, tetapi juga dari apa yang dijelaskan dari Culture Industry Adorno yaitu komodifikasi atau penciptaan komoditas sudah menjalar hingga ke ranah produk-produk budaya yang dikonsumsi oleh masyarakat seperti halnya musik, tulisan, film, seni, majalah, koran, dan media digital. [8]

Komoditas seperti bahan pokok berupa beras tentu berbeda dengan komoditas berupa musik. Beras secara sederhana merupakan komoditas yang tidak terikat dengan unsur budaya yang mendasari identitas serta dinamika masyarakat sehingga wajar apabila dalam hal ini yaitu beras adalah sesuatu komoditas yang bisa diamati terproduksi di seluruh budaya di dunia dan proses produksinya dalam tanda kutip tidak melibatkan dinamika budaya dari masyarakat tersebut. Berbeda dengan musik yang merupakan kategori produk budaya. Musik tidak hanya dikonsumsi oleh masyarakat, namun juga yang terpenting adalah musik lahir dari budaya yang melekat dengan masyarakat itu sendiri.[9] Selain musik dikonsumsi masyarakat, musik lahir dari masyarakat itu sendiri. Masyarakat bertindak sebagai agen produsen sekaligus konsumen. Maka musik adalah cerminan dari dinamika budaya masyarakat yang sedang berlangsung.

Kumpulan produk budaya ini memiliki arti penting dan fungsi yang krusial bagi masyarakat. Produk budaya ini bukan hanya diproduksi untuk konsumsi belaka, namun bertindak lebih dari itu yaitu dalam proses konsumsinya menjadi suatu bentuk upaya masyarakat dalam memahami realitas sekelilingnya. Produk budaya memiliki kemampuan dalam menyingkap realitas yang dapat menyadari masyarakat terhadap kondisi mereka. Hal ini dapat menjadi bentuk emansipasi atas kondisi sosial yang sedang terjadi di masyarakat. Penggolongan suatu produk budaya dapat mencerminkan kondisi sosial pada masa itu ketika produk tersebut dibentuk, seperti contoh pada Indonesia saat proses kemelut kemerdekaan yang mana terdapat kumpulan puisi yang digolongkan oleh masyarakat disebut sebagai Puisi Angkatan 45 menunjukkan suatu gambaran bahwa produk budaya, dalam contoh ini puisi, lahir dari cerminan masyarakat dalam memahami realitas sekelilingnya dan upaya untuk mengubah kondisi sosial tersebut, dalam contoh tersebut yaitu mencapai kemerdekaan Indonesia.[10]

Berbeda dengan produk budaya yang ada pada era modern. Kapitalisme hadir untuk menerobos hingga ke dalam segala bentuk dari unsur yang berada di masyarakat tanpa terkecuali termasuk berusaha untuk mengkomodifikasi produk budaya yang beredar di masyarakat. Komodifikasi tentu berimplikasi terhadap kedua hal yang termanifestasi pada produk budaya. Pertama adalah nilai intrinsik dari produk budaya harus diubah menjadi sesuatu yang memiliki nilai tukar atau exchange value.[11] Hal ini sudah dijelaskan sebelumnya berupa prinsip dari komoditas yaitu dengan tujuan menciptakan nilai tukar pada produk budaya tersebut, dengan demikian bisa masuk ke dalam roda perputaran pasar untuk diperjualbelikan, menyebabkan pada akhirnya produk budaya terpaksa tunduk terhadap hukum permintaan pasar.

Kapitalisme akan menyeleksi, membentuk, dan mengolah sedemikian rupa supaya produk tersebut selaras dengan permintaan pasar. Hal inilah yang dimaksud sebagai industri budaya ketika produk budaya akhirnya masuk ke dalam suatu proses standarisasi. Sehingga masuk kepada implikasi kedua yaitu produk budaya sudah tidak lagi melekat dengan nilai-nilai intrinsiknya yang bersifat emansipatoris, suatu bentuk manifestasi yang timbul secara murni dari dinamika masyarakat. Produk budaya, akibat dari industri budaya yang ditegakkan kapitalisme tersebut, pada akhirnya mengangkat jenis serta golongan produk yang nyatanya bernilai tinggi dalam segi nilai tukar dan permintaan pasar yang telah dimanipulasi untuk kepentingan dan tujuan perkembangan ekonomi semata. Produk-produk budaya inilah yang sederhananya bisa juga disebut sebagai budaya populer.[12]

Waktu Luang & Konsumerisme Pasif

Industri budaya mampu menciptakan produk sesuai permintaan pasar dengan standarisasinya tanpa memedulikan nilai intrinsik yang ada pada produk tersebut. Sederhananya produk yang dihasilkan memiliki nilai tukar tinggi dengan nilai intrinsik rendah. Berbeda dengan produk budaya yang lahir dari masyarakat sendiri yang mana memiliki nilai intrinsik tinggi dengan nilai tukar yang rendah. Pada akhirnya pasar akan mengesampingkan produk budaya yang lahir dari masyarakat tersebut dan membuat suatu keadaan di mana masyarakat sudah tidak lagi bertindak sebagai pelaku aktif dalam penciptaan produk budaya yang beredar. Masyarakat hanya bersifat pasif menerima suplai produk-produk budaya, mulai dari menikmati musik, film, buku picisan, majalah, koran, konten digital, dan seterusnya. Suatu kondisi yang disebut Adorno sebagai tindakan konsumerisme pasif (passive consumerism).[13] Sikap konsumerisme yang selalu dikritik nyatanya telah berevolusi ke tingkatan baru yang lebih mutakhir yaitu bernama konsumerisme pasif.

Terlebih lagi di era modern kegiatan yang bersifat penciptaan produk budaya dari masyarakat sudah semakin menjadi suatu hal yang terlampau istimewa. Hal itu dikarenakan munculnya industrialisasi menyebabkan pembagian kelompok kerja atau division of labor, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Karl Marx dalam analisis kritisnya, menyebabkan masyarakat sudah tidak bisa menjalani aktivitas memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari secara mandiri sehingga masyarakat terpaksa melemparkan pemenuhan kebutuhan mereka kepada pasar.[14] Dalam memenuhi kebutuhan tersebut mau tidak mau masyarakat mesti tunduk menyerahkan diri, dalam hal ini adalah menyerahkan tenaga dan waktunya, ke dalam bagian skema kerja yang dibentuk oleh pasar dengan tujuan memperoleh upah yang berfungsi sebagai nilai tukar untuk kebutuhan mereka yang tersedia pada pasar.

Skema kerja yang dibentuk oleh pasar terpaku pada pola dan standardisasi yang kaku. Hal tersebut memberikan dampak terhadap pola masyarakat dalam menjalani kegiatan di luar pekerjaan (skema kerja) seperti menciptakan karya yang termanifestasi pada produk-produk budaya. Padahal proses dalam kegiatan budaya tersebut, menurut Herbert Marcuse, merupakan wadah dari terealisasinya kebutuhan psikologis manusia yaitu pemenuhan hasrat terhadap kreativitas, memunculkan sense of freedom, serta menciptakan kebahagiaan.[15] Skema kerja dan standarisasi tersebut tentu pada akhirnya merenggut pemenuhan hasrat psikologis masyarakat, Marx menyebut ini sebagai alienasi.[16] Alienasi tersebut mempengaruhi kinerja dari masyarakat sebagai salah satu penopang berjalannya sistem kapitalisme. Berbeda dengan mesin yang memiliki kapasitas tanpa henti untuk menggerakkan roda perputaran industri, manusia memerlukan pemulihan dari dampak alienasi dalam proses kerja. Oleh karena itu, sistem kapitalisme dengan rigiditasnya tentu sudah menyediakan waktu untuk pemulihan tersebut. Waktu ini merupakan waktu luang (free time) yang disediakan oleh skema kerja sebagai wadah pemulihan manusia sebagai penggerak roda perputaran industri.

Namun demikian, adanya waktu luang tersebut nyatanya bukan merupakan niat baik dari kapitalisme untuk memberikan kesempatan masyarakat memenuhi kebutuhan psikologis akibat alienasi. Kapitalisme sama sekali tidak ingin memberikan kompensasi masyarakat untuk keluar dari skema kerja yang menunjang agenda pertumbuhan ekonomi kapitalisme. Di sinilah, menurut Adorno, tempat industri budaya masuk ke dalam panggung memainkan perannya. Waktu luang tersebut digunakan oleh industri budaya menjadi wadah untuk pemenuhan psikologis dari alienasi yang ditimbulkan dalam pasar. Masyarakat dengan sikap konsumerisme pasifnya menikmati suplai produk budaya yang telah ditentukan oleh industri budaya.[17] Alih-alih waktu luang tersebut bisa dijadikan tempat untuk terjadinya emansipasi, masyarakat justru masuk ke dalam jurang dari skema roda perputaran pasar secara totalitas.

Kombinasi antara waktu luang yang ditetapkan oleh skema kerja dan sikap konsumerisme pasif inilah yang bisa diamati dengan seksama pada kebiasaan masyarakat era digital dalam menjalani keseharian dan waktu luang mereka seperti melalui gadget, game mobile, Netflix, Youtube, media-media sosial, dan bentuk produk digital lainnya. Demikian pula yang bisa diamati pada fenomena Tiktok sebagai pelambangan dari bentuk industri budaya yang canggih. Dengan standarisasi fitur dan template yang disediakan oleh developer, user dapat dengan mudah menggunakan aplikasi tersebut. Standarisasi yang merupakan bagian dari industri budaya tersebut juga menjadi alasan mengapa tidak ada bedanya video Tiktok di Indonesia, Cina, maupun belahan negara lainnya. Produk budaya sudah bukan lagi merepresentasikan identitas yang dimiliki oleh suatu masyarakat.

Ditambah lagi dengan sifat kemudahan membuat video dan kepraktisan inovasi dalam menyebarkan video, hal tersebut memberikan nilai komodifikasi serta nilai tukar yang tinggi dalam setiap produk budaya, dalam hal ini video singkat yang terdapat dalam aplikasi tersebut. Masyarakat dengan sikap konsumerisme pasifnya menikmati kemudahan karena nilai komodifikasi tersebut sehingga waktu luang yang dimiliki mereka bisa digunakan untuk mengonsumsi produk-produk tersebut dengan ilusi untuk memenuhi kebutuhan psikologis mereka. Maka bukanlah suatu hal yang wajar apabila dalam sehari semisal pada pengguna Indonesia mampu menikmati hingga 100 video Tiktok per hari, dengan 30 miliar tontonan per bulan.[18]

Tiktok tentu bisa menjadi wadah dalam usaha emansipasi masyarakat seperti contoh pada konten edukasi yang diniatkan oleh pada sebagian penggunanya, namun tetap besar kemungkinan dengan sifat industri budaya yang kian masif pada akhirnya akan menyapu konten-konten tersebut karena permintaan pasar yang lebih tinggi. Hal ini dengan konkret bisa dilihat bagaimana produk seperti joget Tiktok, meme, hiburan, skandal, kejadian viral yang bersifat trivial akan mengungguli konten seperti edukasi, jurnalistik, atau bentuk murni lainnya yang timbul dari dinamika dan identitas spesifik pada suatu masyarakat tertentu.

Sehingga untuk menutup artikel ini sekaligus menjawab pertanyaan di atas adalah mungkin saja bahwa rasio kritis menjadi kunci untuk meneruskan proyek pencerahan. Adapun apabila dalam prosesnya praksis tersebut diterapkan, kehadiran industri budaya akan terus mengucilkan upaya untuk mengimplementasikan konsep-konsep tersebut secara konkret sehingga rasionalitas instrumental (positivisme) akan tetap berkibar dengan hegemoninya, didukung oleh perkembangan teknologi yang kian masif dan ekonomi kapitalistik yang selalu menidurkan masyarakat lewat konsumerisme pasifnya memberikan pesimisme akan skala probabilitas yang terlampau kecil dalam usaha pencapaiannya. Apabila usaha tersebut mencapai suatu progres untuk menuju realisasi, besar kemungkinan di tengah jalan bombardir produk industri budaya membungkam semua usaha-usaha itu.

Daftar Pustaka

  1. Dudley, W. Engelhard, K. (2014) Immanuel Kant: Key Concepts. New York: Acumen Publishers.
  2. Lingkar Studi Filsafat Cogito. (2020). Habermas dan Proyek Pencerahan yang Masih Mungkin. Retrieved May 12, 2021, from http://lsfcogito.org/habermas-dan-proyek-pencerahan-yang-masih-mungkin/
  3. Horkheimer, M. Adorno, T. (2002) Dialectic of Enlightenment: Philosophical Fragments. California: Stanford University Press.
  4. Bronner, S. (2011). Critical Theory: A Very Short Introduction. New York: Oxford University Press.
  5. Adorno, T. (2001). The Culture Industry: The Enlightenment as Mass Deception. London & New York: Routledge.
  6. Perelman, M. (2000). The Invention of Capitalism. London: Duke University Press Books.
  7. Ibid[6].
  8. Ibid[5].
  9. Ibid[5].
  10. Nasional Kompas. (2020). Periode Sastra Angkatan 45. Retrieved May 12, 2021, from https://www.kompas.com/skola/read/2020/12/17/175838769/periode-sastra-angkatan-45
  11. Ibid[6].
  12. Ibid[5].
  13. Ibid[5].
  14. Seed, J. (2010). Marx: A Guide for the Perplexed. London: Continuum International Publishing Group.
  15. Marcuse, H. (1996). Eros and Civilization: A Philosophical Inquiry into Freud. Massachusetts: Beacon Press.
  16. Ibid[14].
  17. Ibid[5].
  18. Gizmologi. (2020). Indonesian TikTok Users Watch 100 Videos Daily, 30 Billion Views Monthly. Retrieved May 12, 2021, from https://gizmologi.com/news/indonesian-tiktok-users-watch-100-videos-daily-30-billion-views-monthly/
Dzulkarnaen Aziz
Dzulkarnaen Aziz
 | Website

Mahasiswa koas di FKUI-RSCM. Berfilsafat di waktu luang serta mendalami teknologi dan teori kritis.

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content