fbpx

Karl Popper: Memahami Prinsip Falsifikasi Pengetahuan

Popper berargumen bahwa sebuah hipotesis berasal dari penyangkalan terhadap hipotesis sebelumnya, bukan dari pengumpulan bukti-bukti akan sebuah observasi.
Scientists - Marie and Pierre Curie

Berbagai upaya yang mendasari pencarian batas pengetahuan yang benar dalam tradisi keilmuan barat bukan saja menciptakan paradigma baru, tetapi juga menciptakan berbagai metodologi yang diyakini menjadi jaminan kebenaran baru yang diperoleh. Menurut Francis Bacon, pengetahuan yang benar dan ilmiah didapatkan melalui pengaplikasian metode induksi berdasarkan eksperimental serta observasi. 

Pendapat Bacon tersebut bertentangan dengan pendapat rasionalisme Descartes yang meyakini bahwa pengetahuan yang benar didasarkan melalui beberapa prinsip “Cogito Ergo Sum” – yang ditendensikan pada terpenuhinya syarat clear and distinct dari suatu ide hingga ia tidak dapat atau bisa diragukan kembali.

Di sisi lain, juga terdapat anggapan kaum positivisme bahwa kebenaran pengetahuan harus memenuhi beberapa syarat yang meliputi: teramati (observable), terulang (repeatable), terukur (measurable), teruji (testable) dan meramalkan (predictable).

Dalam langkah observasi yang ditemukan kaum positivis inilah, terdapat dominasi yang sering kali dianggap paling logis dalam perkembangan ilmu lebih lanjut. 

Karena pandangan yang mendominasi inilah, muncul mazhab baru bernama Positivisme Logis yang terlingkup dalam kumpulan pemikir yang juga dikenal sebagai Lingkar Wina. Kaum positivis logis ini merupakan para ahli filsafat dan saintis yang mempunyai kecenderungan anti terhadap metafisika spekulatif. 

Fungsi pokok dari filsafat menurut para pemikir Lingkar Wina adalah kajian tentang metodologi ilmu pengetahuan dan penjernihan konsep-konsep ilmiah. Fokus pemikiran lingkaran Wina bertujuan untuk mencari garis pemisah atau demarkasi antara pernyataan bermakna atau meaningfull dan pernyataan yang tidak bermakna atau meaningless dengan landasan yaitu aspek kemungkinan yang bisa diverifikasi. Maksudnya, jika pernyataan dapat diverifikasi, maka suatu pernyataan tersebut mempunyai makna atau bermakna. Jika sebaliknya pernyataan tidak dapat diverifikasi, maka pernyataan tersebut tidak bermakna. 

Dalam prinsip verifikasi ini, ditegaskan bahwa suatu proposisi harus bermakna jika ia dapat diuji dengan pengalaman serta dapat diverifikasi melalui pengamatan “observatif”. Hanya ungkapan yang bermakna inilah yang bisa diverifikasi secara empiris, yang kemudian dianggap oleh kaum positivisme logis sebagai pengetahuan yang benar. 

Pendapat kaum positivisme logis tersebut lebih lanjut dikritik oleh Karl Popper. Popper berpendapat bahwa manusia tidak mungkin mengetahui semesta pengetahuan jika hanya dengan mengandalkan verifikasi empirik. Sebagai contoh kasus angsa putih dan angsa hitam. Semua orang Eropa secara merata selama ratusan tahun percaya bahwa semua angsa berwarna warna putih, karena mungkin dalam pengalaman mereka tidak pernah menemukan angsa selain yang berwarna putih. Kemudian, keyakinan ini runtuh ketika para pelancong Eropa menemukan angsa berwarna hitam di sungai Victoria-Australia pada pertengahan abad ke-17. Dengan penemuan tersebut, keyakinan yang selama ini dipegang oleh orang Eropa terbukti salah. Contoh yang menyerupai kasus tersebut bisa ditemukan pada “Dunia Objektif”. Oleh karena itu, bagi Popper, teori pengetahuan selalu bersifat bergerak, opsional, hipotesis dan konjektural. 

Karl Popper (1902-1994) merupakan seorang filsuf ternama di abad ke-20. Semasa hidupnya, Popper menciptakan karya fenomenal yang tertuang dalam empat bukunya yang berjudul The Logic of Scientific Discovery, The Open Society and Its Enemies, The Poverty of Historicism dan Conjectures and Refutations. Dalam buku-buku tersebut, Popper berupaya memecahkan problematika fundamental dengan keutuhan-keutuhan yang ideal, kejelasan, kesederhanaan, serta orisinalitas yang berimplikasi universal terhadap pertumbuhan filsafat, ilmu pengetahuan, pendidikan, bahkan terhadap seni. 

Popper lahir di Himmelhof-Wina pada 28 Juli 1902. Namun ia lebih banyak menghabiskan hidupnya di Inggris. Ia dimasyhurkan sebagai seorang filsuf ilmu pengetahuan terbesar pada abad ke-20.  Terlahir dari keluarga Protestan, ayahnya yang bernama Simon Carl Siegmund Popper adalah seorang doktor ilmu hukum sekaligus pengacara yang memiliki andil besar bagi filsafat dan ilmu sosial. Sementara ibunya yang bernama Jenny Schiff merupakan seorang yang sangat menggemari musik. 

Popper tumbuh dan berkembang di lingkungan akademik. Ia kemudian memiliki minat pada dunia intelektual semenjak dini. Ketika menginjak usia 16 tahun, Popper memilih keluar dari sekolah karena menurutnya pelajaran-pelajaran di sekolahnya teramat membosankan. Selanjutnya ia memilih untuk menjadi seorang pendengar bebas di Universitas Wina dan pada usia 20, Popper resmi diterima sebagai mahasiswa di Universitas Wina. Selama menempuh pendidikan tersebut, Popper mempelajari berbagai bidang seperti sejarah, filsafat, ilmu kedokteran, kesusastraan, dan psikologi. Kemudian, pada tahun 1928, ia resmi tercatat mempunyai gelar doktor filsafat. 

Pada tahun 1937, Popper mencari pekerjaan ke luar negeri, dan akhirnya mendapatkan posisi di Canterbury University College, Christchurch. Di sela-sela kegiatan di tempat barunya, ia menyelesaikan kedua karyanya Open Society and Its Enemies dan The poverty of Historicism. Setelah usai Perang Dunia II, Popper pindah ke Inggris dan mengajar di London School Of Economics. Di sini, ia terus mengembangkan ketajaman pemikirannya, termasuk menerjemahkan karya-karyanya ke dalam bahasa Jerman ke bahasa Inggris, sehingga pemikirannya dapat begitu berpengaruh di ranah filsafat ilmu pengetahuan abad ke-20. 

Falsifikasi Pengetahuan Popper

Secara historis genealogi pemikiran Popper cenderung berbeda dengan rasionalisme konvensional Descartes yang lebih menekankan bahwa ilmu pengetahuan bersumber kepada rasio. Rasionalisme Popper merupakan pandangan bahwa rasio dapat menemukan kebenaran, akan tetapi rasio juga harus mempunyai keterbukaan untuk mengakui bahwa suatu pengetahuan bisa salah dalam hal mendekati kebenaran. 

Istilah rasionalisme Popper di sini, menunjukkan upaya pemecahan masalah dengan bertendensi pada akal. Tak lain, merupakan pikiran jernih dan pengalaman yang bersandar pada perasaan atau nafsu.

Menurut Popper, pengamatan dan percobaan selalu menekankan ujian terhadap teori. Sesuai dengan prinsip empirisme, yang menyatakan bahwa dalam ilmu hanya mungkin didapat melalui pengamatan dan pengalaman.

Dalam hal ini, Popper senantiasa memperlawankan pendekatan objektivitas dan pendekatan subjektivitas. Sebagaimana pendekatan objektivitas memandang pengetahuan dalam dimensi makro atas suatu problematika. Sedangkan pendekatan subjektivitas di dalamnya terkandung pandangan rasionalistik. Kedua aspek aliran tersebut, membentuk sebuah garis pembeda yang memisahkan pengetahuan subyektif dengan pengetahuan objektif.

Pengetahuan subyektif merupakan disposisi mental, sedangkan pengetahuan objektif merupakan pengetahuan yang dipandang dari dirinya sendiri, terpisah dari subjek pendukungnya (knowledge without knowing subject). Popper mencoba menjembatani keduanya dan memberikan solusi terbaik untuk mempraktikkan sikap rasional dengan menerima aspek kritik.

Hal yang paling menonjol selanjutnya adalah ketidaksetujuan Popper mengenai gagasan Lingkar Wina dalam masalah keilmuan terkait dengan tiga ide kategorial, yakni, induksi, demarkasi, dan dunia ketiga. 

Problematika Induksi

Dalam problematika induksi, misalnya, Popper sangat tidak sependapat dengan pengaplikasian keabsahan-generalisasi yang ditendensikan pada prinsip induksi belaka. Sebagaimana contoh, apabila sejumlah besaran Y telah diobservasi pada variasi kondisi luas, dan apabila semua Y yang diobservasi tanpa terkecuali memiliki sifat N, maka semua Y memiliki Sifat N, tak lain Y adalah N.

Prosesi induksi tersebut inilah yang dipandang oleh para kaum positivisme logis sebagai prinsip pembentukan ilmu yang real atau pengetahuan yang real. Prosesi induksi ini pula yang dijadikan patokan untuk memastikan hukum umum dan sebagai kemutlakan akan dasar kriteria kebermaknaan (meaningfull) dan ketidakbermaknaan (meaningless). Kebenaran akan teori umum itulah yang bagi kaum positivisme logis ditentukan dan dibuktikan melalui prinsip verifikasi makna dan ketidakbermaknaannya. Keduanya ditendensikan berdasarkan kriteria bisa atau tidaknya pembenaran secara empiris.

Kemudian, Popper mengajukan metode falsifikasi empirik untuk menggantikan metode verifikasi empirik. Meskipun, falsifikasi Popper dilakukan melalui pengujian yang sifatnya empiris (dan empirisme Popper tidak seperti hubungan kausal yang menyertakan sebab-akibat dan bukan dari partikular menuju ke universal). Prinsip empirisme Popper terlahir dari pengetahuan apriori yang digali dari pengetahuan apriori Kant. Popper mencoba melanjutkan ide Kant dengan menambahkan prinsip falsifikasi. 

Tujuannya adalah mencoba melihat bukti dari sebuah fakta empirik yang lebih kuat, di mana teori pengetahuan yang lama secara otomatis bisa terbukti salah. Namun, jika ada bukti empirik baru yang ternyata dinilai lemah, maka teori pengetahuan yang lama justru semakin dikuatkan (corroborated) oleh bukti empirik yang baru. Berdasarkan prinsip inilah pengetahuan, menurut Popper, bisa berkembang dan terhindar dari pembakuan yang membuat ilmu pengetahuan jatuh dan menjadi mitos.

Popper menegaskan bahwa setiap teori ilmiah hanya mempunyai sifat hipotesis, yang mana merupakan sebuah dugaan sementara, atau tidak ada kebenaran yang mutlak. Upaya ini ia sebut dengan the thesis of refutability. Ia mengatakan bila suatu hipotesis atau proposisi dikatakan ilmiah, maka secara prinsip harus memiliki kemungkinan untuk bisa disangkal (refutability). 

Untuk mencapai kebenaran logis, Popper memberikan pandangan tersebut dalam kasus angsa. Dengan meninjau terhadap angsa-angsa putih, berapa pun besar dalam jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada konklusi bahwa semua angsa di dunia ini berwarna putih, tetapi hanya dengan satu kali tinjauan terhadap angsa hitam, maka konklusi mengenai angsa putih telah menerima penyangkalan. Dengan contoh ini, hukum-hukum ilmiah yang sudah berlaku bukannya dapat dibenarkan melainkan juga dapat dibuktikan salah. 

Problematika Demarkasi

Problematika isu sentral yang menjadi perhatian besar Popper adalah upaya untuk mengoreksi gagasan dasar dari Lingkaran Wina, guna untuk merumuskan apa yang disebut “prinsip verifikasi”, prinsip yang membedakan batas antara empiris dan metafisik, atau membedakan sains (yang ilmiah) dengan pseudosains (yang tidak ilmiah). Tinjauan Popper terhadap beberapa kelemahan dalam verifikasi Lingkungan Wina, ialah : 1) Prinsip verifikasi tidak pernah mungkin digunakan untuk diaplikasikan kedalam aspek hukum umum. Maka, hukum-hukum umum dalam ilmu pengetahuan tersebut tidak pernah bisa diverifikasi. Seperti halnya metafisika yang keseluruhannya telah diakui ilmu pengetahuan, akan tetapi di dalam ilmu pengetahuan alam merupakan sebuah ketidakmaknaan. 2) Berlandaskan prinsip verifikasi, metafisika dianggap tidak bermakna sama sekali, akan tetapi dalam historis bahwa banyaknya ilmu pengetahuan telah lahir dari pandangan metafisika atau bahkan mistis dunia. Suatu ungkapan ide kreatif dari metafisika bukan saja bisa bermakna tetapi juga bisa saja salah, meskipun untuk menjadi ilmiah kalau sudah sudah dilakukan uji dan tes. 3) Untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ungkapan ataupun teori, hal itu terlebih dulu harus bisa dimengerti. 

Kemudian, Popper memberikan pendapat mengenai problem demarkasi tersebut (the problem of demarcation) dengan menarik garis pemisah antara bidang ilmiah dan non ilmiah. Menurut Popper, dalam prinsip falsibilitas bahwa suatu teori atau ucapan bersifat ilmiah, kalau terdapat probabilitas atau kemungkinan prinsipil untuk menyatakan salahnya. Suatu teori, secara prinsipil mengeksklusifkan untuk mengucapkan suatu fakta yang menyatakan salahnya teori tersebut, alih-alih menurut Popper tidak bersifat ilmiah.

Sebuah fakta empiris atau ilmiah hanya bila dapat diuji dengan pengalaman. Pertimbangan tersebut menyiratkan bahwa bukan verifiability, melainkan falibilitas suatu sistem yang harus dianggap sebagai kriteria demarkasi. Dalam pengistilahan, Popper memberikan pengertian antara falsibilitas harus dibedakan dengan falsifikasi. Dalam istilah tersebut, falsibiltas merupakan kriteria bagi sifat-sifat empiris suatu sistem pernyatan. Sedangkan istilah falsifikasi dalam pelaksanaannya menuntut adanya metodologi atau aturan-aturan khusus guna menentukan dalam kondisi bagaimana sistem telah mengalami falsifikasi. 

Demarkasi sains (demarcation of science) atau yang disebut juga dengan pembeda garis antara sains (yang ilmiah) dengan pseudosains (yang tidak ilmiah). Pendapat popper, kunci perbedaan antara keduanya, sains dan pseudo ialah bahwa teori pseudo murni tidak dapat disangkal, sedangkan dalam teori sains harus mempunyai sifat keterbukaan terhadap segala bentuk penyangkalan empirik. Maka, sains dalam substansinya memang harus mencari falsifikasi (because science are testable), sedangkan dalam pseudosains hanya cukup mencari sebuah konfirmasi atau verifikasi (because pseudosains are not testable). Pseudosains disini dianggap sebagai sesuatu yang kebal atas kesalahan, sehingga tidak mempunyai sifat ilmiah. Quid facti berseberangan dengan quid iuris, yang artinya kebenaran faktual memerlukan segala pengujian kritis serta falsifikasi dan falsibilitas yang menjadi kriteria dalam demarkasi. Maka, ilmu alam dan metafisika mempunyai opsi yang setara untuk benar. Meskipun notabenenya metafisika bersifat nonsense, tetapi ia termaktub mempunyai makna (meaningfull). Maka, ilmu pengetahuan berorientasi kepada pemecahan masalah, sehingga objek ilmu pengetahuan ditentukan oleh sebuah hubungan intersubjektivitas, bukan hanya proses justifikasi. 

Lebih jauh lagi, bahwa ilmu tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh sebuah ilmu hanya berusaha mendekati kebenaran dan kedudukan kritik terhadap suatu teori atau proposisi ilmu bisa terbilang keniscayaan. Keberadaan kritik tersebut tak lain merupakan realisasi prinsip refutasi atau penyangkalan terhadap suatu teori. Dengan begitu, keberadaan kritik akan menciptakan “eror elimination” (eliminasi terhadap kemungkinan kekeliruan atau kesalahan yang terkandung dalam teori). Begitupun, jika keberadaan eror elimination ini berlangsung, maka semakin bermunculan juga teori-teori yang baru. Berangkat dari sinilah, menurut Popper bahwa keberadaan ilmu pengetahuan akan terus berkembang dan berlanjut.

Persoalan dunia ketiga

Selain persoalan induksi atau demarkasi, Popper juga menawarkan metodologi pemecah masalah yang biasa disebut konsep tiga dunia. Dunia pertama disebut dengan realitas, yang artinya sebuah kenyataan fisik dunia. Dunia kedua berupa kejadian dan kenyataan yang termaktub dalam dunia psikis manusia, dan dunia ketiga yang merupakan segala hipotesis, hukum, dan teori yang dihasilkan dari ciptaan manusia, yang digabungkan dari dunia pertama dan dunia kedua, seperti dalam bidang kebudayaan, seni, agama, dan lain-lain. 

Dunia ketiga mempunyai sifat otonom dan objektif, sehingga bisa disebut sebagai substansi dunia ilmu pengetahuan. Dunia ketiga merupakan dunia obyektif pemikiran, atau dunia keberadaan formal. Menurut Popper dunia ketiga di sini sangat berbeda dengan apa yang telah dinisbatkan Plato mengenai dunia, karena dunia ketiga merupakan hasil dari kreativitas serta aktivitas manusiawi. Oleh karena itu, dunia ketiga memberikan perspektif baru di bidang epistemologi dan ilmu pengetahuan, karena dinilai mampu melepaskan sifat subyektifitas pengetahuan. Adapun dunia ketiga secara prinsipnya selalu terbuka terhadap semua aspek perubahan, karena memunculkan gagasan bahkan penemuan baru yang membawa kemajuan.

Teori falsifikasi Popper berkontribusi banyak bagi perkembangan ilmu pengetahuan, walau masih terdapat sejumlah kelemahan dari teori tersebut. Falsifikasi sebuah teori, menggugurkan teori namun, falsifikasi tidak membuktikan batalnya suatu keseluruhan teori kompleks dan tidak menunjukkan gugurnya teori lain (baik yang lama atau pun dengan teori yang difalsifikasi). Dengan kata lain, falsifikasi hanya terbatas pada satu teori, tanpa meninjau hubungan teori satu dengan teori lain. 

Problema lain dari klaim Popper cenderung mengingkari realitas, bahwa hipotesis dihasilkan dari sebuah akumulasi bukti observasi.  Popper berargumen bahwa sebuah hipotesis berasal dari penyangkalan terhadap hipotesis sebelumnya, bukan dari pengumpulan bukti-bukti akan sebuah observasi.

 

Daftar Pustaka

  1. Popper, K.R. The Logic of Scientific Discovery. London: Routledge, 2002.
  2. Shea, B. “Karl Popper: Philosophy of Science.” Dipublikasi pada 22 Juni 2016.  Http://www.iep.utm.edu/.
  3. Sulhatul habibah. “Paradigma Popperian: Meninjau Rasionalisme Kritis Karl Raimund Popper.” http://e-jurnal.unisda.ac.id/index.php/dar/article/view/1726.
  4. Muhammad Yuslih. “Epistemologi pemikiran Karl R. Popper dan relevansinya dengan pemikiran Islam. Journal Scientific of Mandalika (jsm). Vol-2, no-9, September 2021.
  5. Inggrid Tania. “Popper dan Teori Falsifikasinya”. Driyarkara, Jurnal Filsafat. Tahun 2018, No.3.
  6. Maydi Aula Riski. “Teori Falsifikasi Karl Raimund Popper: Urgensi Pemikirannya dalam Dunia Akademik. Jurnal Filsafat Indonesia, vol 4, No 3, tahun 2021.
  7. Rangga Kala Mahaswa. “Dari Kritik Positivisme menuju Penalaran Metadisipliner. Cogito: Jurnal Mahasiswa Filsafat, vol. 3, No. 2, 188.
Fengki Zainal

Mahasiswa Filsafat di UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content