Dalam karyanya yang berjudul Masyarakat Konsumsi, Jean Baudrillard berupaya mengembangkan pemikiran Karl Marx mengenai kondisi modernitas menuju kondisi postmodernitas. Seperti buah pemikiran Marx yang menyatakan, “All that’s solid melt into air,” dikembangkan oleh Baudrillard dengan “All that’s solid melt into simulation”. Baudrillard menggambarkan kondisi masyarakat postmodernisme sebagai kondisi yang bernegasi atau beringkar dengan realitas sebenarnya. Keadaan tersebut digambarkan olehnya melalui sebuah medium yang bernama simulakra, yang berarti sebuah medium realitas, semu, kebenaran, dan kebohongan dileburkan menjadi satu, tanpa bisa membedakan antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam era simulasi sudah tidak lagi mencari “baik atau buruk” melainkan, mencari yang terburuk di antara yang terburuk. Jikalau kita menilik teori Baudrillard tentang masyarakat konsumsi, kapitalisme lanjut berupaya meningkatkan budaya konsumtif dalam diri masyarakat. Kapitalisme lanjut berupaya untuk menarik daya konsumtif masyarakat secara terus-menerus, sebagaimana tujuan mereka adalah menjadikan masyarakat sebagai subjek dan objek konsumsi bagi dirinya sendiri, yaitu individu menjadi subjek untuk barang yang akan mengonsumsi dan objek kapitalisme lanjut untuk mengonsumsi barang yang mereka tawarkan. Dalam prinsip kapitalisme lanjut adalah bagaimana masyarakat agar terus menjadi pribadi yang konsumtif dengan terus mengonsumsi barang yang ditawarkan oleh para kapitalis lanjut.
“I consumed that’s i am” yang mengartikan eksistensi seseorang berada di dalam lingkup konsumsi. Seseorang dikenal atau disimbolkan dengan konsumsi. Konsumsi tidak hanya berarti seorang individu menghabiskan suatu masa pakai suatu barang, akan tetapi selama seseorang tersebut melakukan aktivitas yang menghasilkan keuntungan kepada pihak penawar, hal tersebut dikatakan sebagai konsumsi. Maka, konsumsi merupakan aktivitas individu atau masyarakat untuk menghabiskan objek yang ditawarkan oleh produsen, baik berupa barang, jasa, dan informasi. Dengan semakin banyak barang, jasa, dan informasi yang dikonsumsi oleh masyarakat, maka akan semakin banyak pula produksi yang akan dihasilkan oleh produsen (kapitalis). Dalam masyarakat postmodernisme menghasilkan banyak sebanyak-banyaknya barang, jasa, atau informasi bukan lagi sebagai indikator untuk menghasilkan profit yang maksimal, akan tetapi dengan bagaimana seorang kapitalis dapat menarik minat masyarakat untuk terus mengonsumsi objek yang ditawarkan oleh para kapitalis agar dapat terus berproduksi secara maksimal dengan tujuan keuntungan maksimal.
Teknologi Media Informasi Perpanjangan Tubuh Kapitalis
Media informasi merupakan medium penyebarluasan informasi baik yang bersifat politik, sosial, budaya, ataupun ekonomi. Media Informasi dari masa ke masa mengalami perkembangan, yang berawal dari penemuan mesin cetak yang menginisiasikan terciptanya pamflet dan koran, sampai ke era modern dengan penemuan media informasi elektronik yang berupa radio, televisi, dan smartphone. Dengan semakin menjamurnya media teknologi dan informasi di tengah masyarakat, tentulah membuat masyarakat semakin mudah dalam mendapatkan berbagai informasi di media massa, tanpa perlu mencari berita keluar rumah lagi, bahkan hanya dengan menggenggam smartphone di atas kasur saja, masyarakat sudah mengetahui berbagai informasi dalam lingkup nasional maupun internasional. Dengan semakin mudahnya berbagai informasi didapatkan masyarakat dalam lingkup global, tak pelak hal tersebut semakin memperuncing paradoks kapitalisme. Sebab teknologi dan informasi bukan hanya sebagai perpanjangan tangan manusia, akan tetapi juga merupakan sistem-sistem syaraf manusia itu sendiri. Dalam artian lain, hal tersebut merupakan ranah baru bagi kapitalisme untuk memperluas cakar keuntungannya, dengan menguasai media teknologi dan informasi guna mencapai tujuan untuk menarik minat masyarakat untuk mengonsumsi objek yang ditawarkan kapitalisme lanjut. Kehadiran iklan tak dapat dipungkiri sebagai perpanjangan prinsip praksis komodifikasi: ketika segala sesuatu hanya dipandang sebagai objek eksploitasi kapitalis lanjut.
Melalui iklan, misalnya, dikonstruksikan keinginan yang tidak dapat dipenuhi (sebuah dunia mimpi yang dalam realitas tidak dapat dipenuhi). Sementara itu, apa yang disebut sebagai “hasrat” untuk selalu mengonsumsi objek yang dikendalikan oleh iklan tersebut disebut sebagai “logika hawa nafsu”. Menurut Baudrillard, era post modernisme sebagai era kemenangan imamologi. Dalam era tersebut produsen budaya citra, termasuk iklan merupakan produsen realitas sekaligus mimpi. Secara halus iklan telah mendikte masyarakat masuk ke dalam dunia simulasi yang dirancang secara sistematis melalui homogenisasi kebudayaan ke dalam budaya simulasi yang di mana kehidupan manusia hanyalah sebatas objektifikasi melalui media-media internet maupun konvensional dengan menciptakan realitas semu: standardisasi kecantikan, norma-norma keindahan tubuh, masa depan yang cerah, cita-cita kesuksesan, masa depan yang cerah, keluarga bahagia, dll. Yang secara langsung mendoktrin pemikiran masyarakat dengan tujuan objektifikasi melalui iklan-iklan postmodernisme yang membuat masyarakat berkhayal akan sebuah mimpi yang pada dirinya hanyalah khayalan.
Dengan demikian, iklan postmodernis merupakan perpaduan cerdas pelbagai kepentingan: komoditas, seni, dan ideologi dalam bentuk yang memikat dan menggoda masyarakat untuk terus mengonsumsi. Kita dibuat terpukau olehnya, dengan godaan iklan yang selalu menyerbu “beli lebih banyak,” memiliki lebih banyak berarti mendapatkan kenikmatan yang lebih banyak. Mitos-mitos kontemporer dalam kehidupan masyarakat, yang dikonstruksikan oleh iklan, memberikan makna-makna atau nilai-nilai baru dalam kehidupan masyarakat, termasuk ke dalam standardisasi-standardisasi yang ada dan merupakan buah konstruksi daripada kapitalisme lanjut. Status yang tergambar pada tingkat narsis melalui iklan ini, memiliki aspek lain yang sama-sama nyata. Dengan tujuan untuk terciptanya perempuan dan laki-laki, tanpa pembedaan dalam mengonsumsi objek-objek baik barang, jasa, informasi secara homogen. Dengan digambarkan oleh tingkat kepuasan manipulatif yang direpresentasikan dengan objek-objek tanda, simbol, kode, dan gaya yang didapatkan melalui prestise individual.
Signifiers Value dan Signified Value dalam Eksistensialisme Satre
Membeli dan mengonsumsi nilai-nilai tanda pada masyarakat merupakan pembahasan yang menarik untuk ditilik lebih lanjut. Dalam pandangan Baudrillard, use value dan exchange value bukan lagi tujuan utama masyarakat untuk mengonsumsi, sebab nilai-nilai tersebut telah tergantikan oleh signifiers value dan signified value yang merupakan representasi dari nilai simbolis yang menunjukkan citra atau prestise seseorang jikalau ia mengonsumsi barang tersebut. Dengan kata lain, masyarakat saat ini mengonsumsi suatu barang tidak lagi berdasarkan kepada nilai guna (use value) dan nilai tukar (exchange value), melainkan berdasarkan bertujuan untuk “perjuangan untuk pengakuan” di lingkungan masyarakat sebagai penanda individu yang menggambarkan status, prestise, dsb. Contoh konkretnya ketika seseorang membeli mobil bukan semata-mata sebagai transportasi yang dipergunakan untuk bepergian sehari-hari atau sebagai nilai jual (saleability), melainkan membeli mobil demi tujuan pengakuan akan status dan identitas dalam masyarakat (Soedjatmiko, 2007). Ada pun, permainan nilai tanda yang dipermainkan yang coba dijelaskan oleh Baudrillard, yaitu signified value, yang dikatakan sebagai pengganti dari use value dengan artian signified value merupakan nilai yang memang murni atau sudah tertanam di dalam suatu objek konsumsi. Berbanding terbalik dengan signified value, signifiers value digambarkan sebagai nilai yang sengaja disusupkan oleh kapitalisme lanjut di dalam objek konsumsi guna menarik perhatian masyarakat untuk mengonsumsi barang, jasa, atau informasi yang ditawarkan guna mendapatkan nilai-nilai simbol yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan masyarakat secara prestise. Pada kenyataannya yang dikonsumsi oleh masyarakat bukan merupakan objek atau komoditas itu sendiri, melainkan nilai-nilai simbol yang tersirat dalam sebuah objek konsumsi. Konsumsi pada era postmodern ini sejatinya merupakan representasi prestise seseorang dalam mengonsumsi objek tertentu, yang menandakan orang tersebut memiliki kedudukan yang setara yang mengonsumsi objek tersebut. Hal tersebut menjadi bukti, bahwa yang dikonsumsi masyarakat sebenarnya merupakan nilai penanda dan petanda, bukan lagi nilai guna dan nilai tukar dari suatu barang yang dikonsumsinya (Suyanto,2013).
Dalam mengkaji paradoks ‘eksistensi’ seorang individu dalam mengonsumsi suatu objek konsumsi yang bertujuan untuk mendapatkan pengakuan atau perhatian dari lingkungan sekitarnya, akan lebih baik jikalau kita sedikit membicarakan filsafat eksistensialisme milik Jean Paul Sartre. Sartre dalam filsafat eksistensialisme miliknya menyebutkan ada dua penyebab yang menjadikan eksistensialisme tersebut, yaitu l’autre (yang lain/orang lain) dan le’regard (penglihatan), dengan artian bahwa dua hal tersebut yang menghadirkan eksistensi kita, akan tetapi hal tersebut pula yang membuat pandangan “baik atau buruk” pada diri kita. Dalam masyarakat konsumsi terdapat suatu upaya menghomogen-kan dengan tujuan pengobjektifikasian pandangan setiap individu sesuai dengan doktrin yang di-agitimasi oleh kapitalis. Dalam pandangan Sartre, ia berupaya menjabarkan untuk masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan pasivitas dan menerima objektivikasi atau menolak pasivitas dan menghancurkan objektifikasi tersebut. Objektifikasi yang dilakukan oleh kapitalisme lanjut, seakan-akan eksistensi seseorang hanya sebatas bagaimana mereka mengonsumsi suatu objek konsumsi dan berupaya untuk menjadikan sifat subjektifitas individu-individu yang ada menjadi suatu common-sense dengan artian lain, yaitu terciptanya intersubjektifitas dalam diri masyarakat baik dalam cara fesyen, standardisasi good looking, jurusan kuliah yang relevan, dll. Eksistensialisme Satre ini mirip dengan Signified value dan signifiers value yang ia jabarkan dalam ”being in itself” (ada dalam diri) dan “being for itself” ( ada untuk diri). Being in itself merupakan gambaran diri yang berada dalam diri orang tersebut ( berekuivalensi dengan signified value yang merupakan gambaran asli yang terdapat di dalam suatu objek konsumsi) dan being in itself tidak memiliki relasi dengan being for itself. Being for itself merupakan gambaran luar dari karakter diri yang dalam menolak dan menindak hal-hal guna memaui eksistensi diri, being for itself ini memiliki relasi kepada being in itself dapat mengebor masuk ke dalam diri seseorang. Dengan kata lain, being for itself ini memiliki arti yang sama dengan signifiers value dalam teori masyarakat konsumsi, sebab sama-sama nilai yang ditanamkan terhadap suatu objek. Dengan kata lain, pengobjektifikasian ini merupakan langkah yang coba ditanamkan ke dalam suatu objek yang tanpa disadari bertujuan untuk adanya homogenisasi di dalam pemikiran masyarakat saat ini. Hal tersebut merupakan akibat wacana yang dibuat oleh kapitalisme lanjut dengan mengonstruksikan postmodernitas sesuai dengan kehendak mereka, yang kemudian akan berakibat dengan kondisi sosial maupun budaya yang berada di lingkungan masyarakat terkontaminasi dengan ideologis-ideologis wacana kapitalis.
Daftar Pustaka
Baudrillard, Jean.(2004). Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Kencana.
Hidayat, O Medhy Aginta. (2016). Menggugat Modernisme: Mengenali Rentang Pemikiran Postmodernisme Jean Baudrillard. Yogyakarta: Jalasutra
Foucault, Michel.(2019). Arkeologi Pengetahuan. Yogyakarta: Basa Basi.
Khusnul, Nurul.(2017). Jean Paul Satre Filsuf Eksistensialisme Imajinatif. Bantul: Sociality.
Departemen Kajian dan Aksi Strategis BEM Gama FIB Unpad 2021. (2021).‘Gender dalam Tempurung Kapitalisme’ Gender dalam Ranah Pekerjaan dan Representasi Media. Bandung.
Fitriana, Ovita. (2020). Membeli Status Melalui Konsumsi Nilai Simbolik (Studi Mengenai Konsumsi Pada Masyarakat Kelas Menengah Di Kabupaten Gresik). Skripsi thesis, UNIVERSITAS AIRLANGGA.
Bemfibunpad. (2021). Ruang Konpro: Melirik Fenomena McD BTS. https://www.instagram.com/p/CQ5nxXGM5ei/