Filsafat merupakan pergulatan antara ide-ide dan pengetahuan manusia untuk mencari kebenaran. Data dan pertanyaan dapat terkumpul dari apa yang didapat secara inderawi (empiris) dan diolah oleh nalar (rasio). Obyek yang menjadi pergulatan manusia dapat berupa suatu keadaan nyata, jelas, pasti yaitu realitas dan sebaliknya. Ketiadaan dari suatu kenyataan, kejelasan dan kepastian dapat dikatakan sebagai absurditas. Dalam dunia modern, manusia telah melakukan banyak reduksi pengertian, bahwa hal itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak definitif, atau dengan kata lain merupakan hal yang tidak dapat dipahami oleh nalar sederhana. Albert Camus dalam Mitos Sisifus mencoba merumuskan absurditas yang menjadi pergulatan manusia selama ini. Bagaimana bentuk ke-absurditas-an? Apa yang menjadi dasar dari suatu absurditas? Ataukah, ke-absurditas-an tidak memiliki dasar dalam kehidupan manusia?
Satu yang pasti dari absurditas itu sendiri bahwa ia dilahirkan. Dalam buku terbaiknya, Mite Sisifus (1999), Camus menyodok tentang Absurditas, bahwa absutditas ada karena terdapat konfrontasi di antara beberapa hal. Absurditas berada tepat di tengah jalinan kontradiksi. Ia akan tampak saat kontradiksi terus diolah oleh nalar dan ketika nalar tidak dapat menyatukan atau menyusun hal–hal tersebut menjadi satu pemahaman logis atau terstruktur. Dalam banyak kejadian, manusia memutuskan nilai dari suatu hal akibat dari yang ditimbulkan. Namun, saat akibat dari kontradiksi tersebut belum dapat diolah oleh nalar maka absurditas lahir tepat di antaranya. Absurditas mustahil berada di luar manusia dan dunianya. Ia mengikat manusia dengan dunianya. Mari kita gambarkan dengan sebuah contoh, ketika manusia menghadapi kondisi dimana realitas dan patokan idealisme sedang bertabrakan. Pada tahap awal manusia adalah ia yang mencari kebenaran atau kesalahan dari kondisi tersebut. Manusia akan mencari kepentingan yang terlihat ditawarkan oleh suatu kenyataan. Apabila nalar belum menemukan jawaban, maka manusia itu mengambil tambahan data melalui akibat yang muncul dari kondisi tersebut. Di saat jawaban belum ditemukan, absurditas tercipta.
Absurditas merupakan sesuatu yang ada karena nalar tidak berhenti untuk berjalan, sementara itu keberadaan tidak akan pernah habis untuk ditaklukkan oleh nalar. Hilangnya salah satu dari pembanding justru akan menghilangkan ke-absurditas-an. Ia hanya akan ada apabila kedua komponen yang berkontradiksi ada, hilangnya salah satu komponen melahirkan kepastian — tidak adanya kemungkinan — sehingga absurditas hilang. Absurditas bukan lagi masalah benar atau salah. Ia merupakan titik yang tidak pernah habis dicapai oleh nalar. Keberadaannya merupakan penyebab sekaligus tujuan dari berjalannya nalar. Ia pun tumbuh dan semakin membesar apabila terdapat perbedaan yang semakin luas di antara pembanding-pembandingnya.
Namun, absurditas bukan merupakan suatu kesia-siaan seperti tampaknya. Ia bersifat tidak terhingga. Camus menggambarkan kondisi ini menggunakan pendekatan mythe tetang Sisifus. Sisifus digambarkan oleh Homer sebagai raja bijak dari Korintus. Oleh karena kebijaksanaannya, ia memberitahukan kepada Asofus bahwa putrinya telah diculik oleh Zeus. Zeus yang marah atas pengaduan Sisifus, mengutuk Sisifus untuk mengangkat batu hingga ke puncak gunung. Namun ketika Sisifus telah sampai di puncak gunung, batu tersebut terjatuh. Sisifus kembali harus membawa bongkahan batu ke puncak gunung hingga tiada henti. Demikian terjadi secara berulang selamanya. Bila dinilai dalam bingkai fungsi, apa yang dilakukan Sisifus nampaklah sebagai suatu kesia–siaan.
Menurut Camus, apa yang dilakukan oleh Sisifus merupakan suatu bentuk absurditas nyata. Sebagai seorang raja yang bijak, Sisifus bersedia menerima kutukannya karena ia mengetahui esensi dari tindakannya: sebuah ke-absurditas-an. Namun, Sisifus dapat menggambarkan suatu bentuk absurditas mengenai usaha manusia ketika hidup di bumi. Apapun manfaat, fungsi dan akibat dari kehidupan seorang manusia, ia akan bertemu dengan kematian, yang membuktikan bahwa kehidupan manusia pada akhirnya menyimpulkan sebuah ke-absurditas-an.
Camus tidak memandang kisah Sisifus sebagai kesia-siaan tanpa nilai. Bahkan, ia mengajak kita untuk melihat Sisifus yang bahagia, yang mengisi hatinya dengan perjalanan menuju puncak gunung. Batu adalah dunia tak terbatas yang tidak dapat habis dijelajahi oleh manusia. Sisifus kembali mengambil batu, hal ini sama artinya dengan manusia yang melihat kembali kepada dunianya. Sisifus yang mengangkat batu adalah saat di mana manusia melakukan proses konfrontasi. Sisifus dan manusia sama-sama bahagia dalam segala pencariannya. Konfrontasi, kesedihan, perjuangan, kerinduan dan pemberontakan menjadi hal yang membuat manusia hidup. Proses ini menjadikan Sisifus bukan hanya sebagai raja dan orang terkutuk, namun sekaligus menjadi legenda. Kesakitan dan nilai utama dari kesakitan tersebut yang dimaksud Michaelangelo sebagai agony dan ecstasy.
Absurditas dapat menjadi jelas saat kita mengalami proses penciptaan dan penghancuran, penyatuan dan pemisahan. Ketika melakukan sebuah penciptaan, absurditas dapat disamakan dengan seni dan akan berakhir saat terjadi penghancuran. Nietzsche mengatakan bahwa kita memiliki seni agar tidak mati, karena dengan itu kita mengenal kebenaran. Itu artinya kebenaran merupakan suatu hal yang berada di tengah kesenian dan kematian. Mengenal kebenaran dapat membawa manusia terhadap kematian dan kesimpulan akhir. Sementara untuk mencegah hal tersebut, manusia harus tetap memiliki seni dan melakukan proses penciptaan. Rangkaian ini tidak boleh memperhitungkan takdir, tidak juga memperhatikan hari esok. Manusia dalam pemahaman dasarnya telah mengerti bahwa satu–satunya akhir dari penciptaan adalah penghancuran. Hal ini terdengar kental dengan unsur manikeistis, namun rangkaian kejadian inilah yang disebut Camus sebagai proses manusia menjadi manusia yang absurd.
Dalam titik absurditas ini, nalar seringkali menggerakkan dan menghidupkan manusia melebihi apa yang dapat dilakukan oleh imajinasi. Ia dapat dikatakan sebagai hal yang membuat manusia merindukan, mencari-cari dan kemudian berfilsafat. Camus menggambarkan absurditas manusia melalui beberapa karya Molina, Doestoyevski, Shakespeare, dan Kafka. Camus melihat kesamaan garis besar dalam kisah Don Juan, Le Cheteau, Le Proces, Les Possedes, Karamazov, Hamlet dan King Lear yaitu absurditas sebagai obyek utama ceritanya. Karya-karya tersebut merupakan karya yang membahas tentang keabsurditasan, sehingga dapat disamakan dengan esai Camus sendiri. Karya-karya tersebut dapat menjadi rujukan ketika seorang manusia berusaha untuk menemukan makna hidupnya.
Pendiri LSF Discourse dan saat ini menjadi penasihat lembaga. Pimpinan Redaksi lsfdiscourse.org dan penerbit Discourse Book. Mengajar di Universitas Bina Nusantara Malang.
- 30/03/2018
- 08/09/2020
- 24/09/2020
- 10/10/2020
satu Respon