Sejak zaman modern, kehidupan manusia mengalami perkembangan yang cukup masif. Hal tersebut telah tercatat sejak revolusi industri yang menyeruak di atas permukaan peradaban manusia modern. Penemuan-penemuan science (ilmu pengetahuan) terus ditampilkan untuk mempermudah aktivitas manusia yang begitu kompleks, plural, dan bergerak secara dinamis. Namun, di sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan tersebut justru memunculkan sebuah anomali yang sangat jelas, yakni terdapat praktik ideologisasi yang berusaha menghegemoni masyarakat modern di era mutakhir.
Pertengkaran ideologi yang terus berdialektik hingga hari ini ialah kapitalisme dan komunisme—tentu dengan berbagai bentuk, epistemologi, dan penerapan yang sesuai dengan konteks. Kedua ideologi tersebut beranak-pinak, menyebar, dan terus “bertengkar” tanpa ujung yang jelas. Partai kanan dan partai kiri terus berevolusi dan melahirkan wacana yang tidak akan pernah dapat bersinergi, berdamai, dan “berjabat tangan”. Kendati demikian, keduanya juga menemukan tantangan kritis yang didemonstrasikan oleh para pemikir pasca-modern.
Berbagai kritik dan upaya merekonstruksi khazanah pemikiran modern dilakukan oleh para teoritikus, salah satunya dari Mazhab Frankfurt. Adorno (1903-1969) dan Horkheimer (1895-1973) adalah teoritikus generasi pertama Mazhab Frankfurt, Jerman. Kedua pemikir tersebut memiliki pandangan mengenai kebudayaan yang akan diulas pada tulisan ini. Sebab, dewasa ini fenomena industri budaya (culture industry) semakin banal di berbagai daerah Indonesia. Bahkan, intervensi struktur dan marginalisasi budaya lokal masyarakat dilakukan demi sebuah komoditas yang hanya berorientasi pada keuntungan materiil (Alkhajar, 2011).
Diskursus mengenai industri budaya (culture industry) menjadi pembahasan sentral pada abad ke-19. Salah satu pemikir yang mendefinisikan tentang industri budaya ialah Nicholas Garnham. Ia berpendapat dalam On The Cultural Industries (1997), bahwa industri budaya merupakan institusi-institusi dalam masyarakat yang memproduksi dan menyebarkan simbol-simbol dalam bentuk benda dan jasa budaya sebagai suatu komoditas (Garnham, 1997). Secara eksplisit, dapat diungkapkan bahwa industri budaya adalah produksi benda atau jasa dengan harapan menarik minat publik sebagai konsumen komoditas tersebut.
Sedangkan komoditas adalah objek yang dijual untuk kepentingan segelintir orang agar mendapatkan keuntungan. Hal ini sangat erat dengan cara kerja kapitalisme yang hanya fokus pada profit yang didapatkan. Menurut Marx, kapitalisme merupakan suatu sistem ekonomi yang diberlakukan oleh beberapa individu untuk menguasai sumber daya produksi dengan tujuan meraih keuntungan sebanyak-banyaknya. Kapitalisme sudah menjalar ke berbagai aspek kehidupan seperti sosial, politik, budaya, dan lain sebagainya (Sanderson, 1993). Sehingga, praktik industri budaya tidak lain dari objektifikasi kebudayaan yang mencoba menjadikan sebuah budaya sebagai komoditas belaka.
Tindakan marginalisasi kebudayaan dan intervensi struktur, terutama oleh kapitalisme, merupakan langkah yang menjadi strategi untuk memenuhi kebutuhan yang hanya berfokus pada keuntungan belaka. Dengan kata lain, kebudayaan dijual kepada publik atau orang asing demi mendapatkan keuntungan. Hal ini adalah sebuah ironi yang harus direkonstruksi untuk kelestarian kebudayaan yang kaya akan nilai-nilai, ideologi, dan sakralitas.
Adorno, Horkheimer, dan Industri Budaya
Dalam tulisan The Culture Industry Enlightenment as Mass Deception yang termuat di dalam buku Dialectic of Enlightenment (1972), Adorno dan Horkheimer menandaskan kritiknya terhadap industri budaya. Sebagai pemikir kritis, mereka melihat bahwa kebudayaan modern didominasi berbagai komoditas yang diproduksi oleh industri budaya. Kebudayaan dipertontonkan kepada khalayak untuk mendapatkan keuntungan dengan tanpa menitikberatkan pada nilai-nilai intrinsik yang terkandung di dalamnya.
Adorno dan Horkheimer menilai dalam kebudayaan modern, kapitalisme menyediakan industrialisasi terhadap segala aspek dalam kehidupan manusia. Hal ini khususnya terjadi pada budaya masyarakat yang sebelumnya belum pernah terjamah oleh sekelompok elite kapitalisme. Sehingga, bagi mereka (kapitalis), kebudayaan tak lebih dari komoditas yang memiliki nilai jual tinggi untuk mendapatkan keuntungan (Alkhajar, 2011). Kebudayaan hanya digunakan sebagai komoditas, konsumen publik, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan semata—tanpa menghiraukan nilai-nilai luhur pada kebudayaan tersebut.
Tradisi intelektual Mazhab Frankfurt tidak terlepas dari pemikiran Marx. Secara epistemologis, konsep pemikiran Marx direkonstruksi dan dikritik untuk memberikan wacana pembebasan yang sesuai dengan konteks sejarah. Salah satunya ialah tentang industri kebudayaan. Adorno dan Horkheimer—sebagai Mazhab Frankfurt generasi pertama—menganalisis sistem kapitalisme dalam aspek kehidupan, yakni kebudayaan. Mereka berdua mengelaborasi industri budaya secara empirik dan teoritik. Dalam konsep industri budaya, Adorno dan Horkheimer mengacu pada bagaimana hiburan dan media massa menjadi industri pasca Perang Dunia (PD) II, terutama tindakan manipulatif terhadap kesadaran manusia.
Teori Kritis (Critical Theory) berusaha mengoreksi gagasan dengan konstruksi atas kebenaran dan kepalsuan, kenyataan dan ilusi, dengan mempertahankan konsep representasi objektif. Lebih spesifik, Teori Kritis membahas tentang “Kapitalisme Posmodern”. Sehingga, Adorno dan Horkheimer memberikan pendekatan analitis dan teoritis yang seringkali disebut Cultural Studies (Kajian Budaya). Secara umum, analisis Adorno dan Horkheimer dalam memandang industri budaya bersifat pesimistis. Budaya pop misalnya, kebudayaan pop dipandang inferior dan telah terkontaminasi oleh unsur-unsur politis.
Jika epistemologi Marxian lebih berfokus pada determinasi ekonomi, Mazhab Frankfurt memfokuskan objek kajian pada level kultural, yakni kebudayaan sebagai realitas masyarakat kapitalisme modern atau yang disebut sebagai industri budaya. Sebuah kebudayaan yang dikendalikan, diatur, dan dikomersialisasikan sehingga menghasilkan kebudayaan massa yang irasional (Sholahudin, 2020). Menurut Adorno, kebudayaan massa merupakan produk dari cara berpikir mekanistis, instrumental, dan fasis dari pencerahan semu kapitalisme. Secara lebih radikal, Adorno memandang kapitalisme sebagai suatu bentuk penipuan massa (Mass Deception)—ia menciptakan kebutuhan masyarakat yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Masyarakat tersebut, meminjam istilah Baudrillard, merupakan masyarakat konsumer.
Menurut Adorno, komodifikasi tidak hanya bertendensi pada barang-barang yang dibutuhkan oleh masyarakat konsumer, namun telah merambah kepada wilayah seni dan kebudayaan secara umum. Masyarakat kapitalisme membuat kebudayaan patuh terhadap hukum komoditi yang diberlakukan oleh kaum kapitalis. Sehingga, masyarakat tersebut menghasilkan industri budaya (culture industry) yang ditujukan untuk massa dan produksinya disesuaikan pada mekanisme kekuasaan produser dalam penentuan gaya, bentuk, dan makna (Piliang, 2003).
Industri kebudayaan merupakan satu bentuk dehumanisasi melalui kebudayaan. Segala bentuk komoditas dan rasionalisasi yang dihadirkan adalah buatan kaum kapitalis. Masyarakat tidak memiliki kebebasan untuk memilih, sebab semua produk dan barang sudah ditentukan lebih dulu oleh produsen. Atau, sebenarnya yang terjadi ialah masyarakat memilih kebutuhan dan kebahagiaan palsu. Karena, semuanya telah diatur dan diproduksi oleh kaum kapitalis. Kekuatan produksi dikonstruksi bukan untuk menggali nilai utilitas atau nilai guna (use value), melainkan untuk mencari nilai-lebih (profit) dari nilai-tukar (exchange value). Secara simplistik, industri budaya memanipulasi massa, mengubah masyarakat menjadi subjek pasif dan keberadaannya tersubordinasi. Hal ini membuat mereka kehilangan kebebasan dalam memilih sesuatu yang menjadi kebutuhan mereka secara hakiki.
Adorno dan Horkheimer menganggap pencerahan—dalam bentuk murni—sebagai suatu bentuk pembebasan. Sesuai perkataan kedua pemikir tersebut:
“Dalam pengertian pemikiran progresif yang sangat umum, pencerahan selalu ditujukan untuk membebaskan manusia dari rasa takut dan membangun kekuasaannya. Namun, bumi yang sepenuhnya dicerahkan, memancarkan kekuasaan yang menimbulkan bencana. Program pencerahan menjadi program kekecewaan; penghancuran mitos-mitos; dan penukaran pengetahuan dengan imajinasi ringan”.
(Adorno & Horkheimer, 2014)
Masyarakat yang telah terhegemoni oleh industri budaya seperti yang dijelaskan di atas, merupakan subjek pasif yang hanya menerima realitas buatan—atau palsu—yang sebenarnya mensubordinasi, mendiskreditkan, dan membatasi mereka dalam bertindak. Apalagi, intervensi struktur kekuasaan yang mengabaikan nilai-nilai luhur masyarakat demi mendapatkan keuntungan sesaat. Tentu, hal ini adalah fenomena yang sudah menjadi banal di tengah problematika masyarakat kontemporer.
Referensi
Adorno, T. W., & Horkheimer, Ma. (2014). Dialektika Pencerahan. IRCiSoD.
Alkhajar, E. N. S. (2011). Menguak Mitos Dan Legenda Dalam Balutan Industri Budaya. Komunikasi Massa, 4(2), 1–7.
Garnham, N. (1997). On The Cultural Industries. Edinburg University Press.
Sanderson, S. K. (1993). Sosiologi Makro: Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial. Rajawali.
Sholahudin, U. (2020). Membedah Teori Kritis Mazhab Frankfurt : Sejarah, Asumsi, Dan Kontribusinya Terhadap Perkembangan Teori Ilmu Sosial. Journal of Urban Sociology, 3(2), 71. https://doi.org/10.30742/jus.v3i2.1246
satu Respon
Bagaimana dengan pariwisata berbasis budaya yang digalakkan didaerah pedesaan. Kalau diperhatikan budaya dijadikan komoditas untuk menggarap keuntungan walaupun secara laten menghilangkan kesakralan budaya itu sendiri. Dengan selogan “pelestarian budaya” seakan-akan masyarakat menutup mata dengan implikasi dari kegiatan itu. Budaya dijadikan mainan untuk menarik hati konsumen sehingga dimensi manusia dari sisi (animal ludens) bersenang-senang dan bermain-main dengan suguhan tradisi atau kearifan lokal itu. Ada komersialisasi budaya yang merelakan esensi atau nilai sakralnya tergusur.