Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pandemi adalah salah satu skenario terburuk yang bisa dibayangkan manusia. Pandemi artinya penyakit menular yang sudah tersebar menembus sekat-sekat negara. Tingkat ketersebarannya berbanding lurus dengan meningkatnya peradaban manusia. Makin pesatnya peradaban manusia, artinya makin banyak kota dan jalanan sebagai penghubung antar kota yang membuat penyebaran virus semakin cepat dan meluas (globalisasi). Malaria, tuberculosis, kusta, influenza, dan cacar adalah contoh pandemi yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu. Covid-19 adalah pandemi terbaru yang berasal dari seekor kelelawar di salah satu pasar Kota Wuhan, China.
Tidak asing lagi di telinga dan mata kita mengenai imbauan-imbauan untuk mematuhi protokol kesehatan sebagai langkah antisipatif pencegahan penularan Covid-19 yang makin masif, misalnya memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, tidak keluar rumah jika tidak ada keperluan mendesak, dan semacamnya. Sebagai manusia, kita telah menyadari langkah antisipatif ini karena semuanya dapat diterima oleh akal sehat (aspek kognitif). Namun faktanya, tetap ditemukan orang-orang yang secara sadar melanggar protokol kesehatan. Misalnya adalah pergi ke luar rumah tanpa menggunakan masker, para pekerja yang kembali pergi ke kantor dengan tidak menjaga jarak, dan lain sebagainya. Tak heran, jumlah kasus baru pandemi Covid-19 terus meningkat.
Mengapa alasan-alasan rasional tidak membuat orang taat pada protokol yang masuk akal atau bisa diterima dengan akal sehat dengan mudahnya? Setelah ada anggota keluarga atau diri kita yang terpapar virus Covid-19, barulah kita sadar parahnya resiko terpapar virus ini. Apakah artinya, selama hal-hal rasional tidak sampai menyentuh pada tataran afeksi manusia, mereka tidak akan tergerak untuk melakukan perubahan. Dapatkah kita mengatakan bahwa apa yang masuk akal tidak mampu mengubah perilaku seseorang? Pertanyaan-pertanyaan ini membawa kita untuk mendalami ketegangan antara afeksi dan kognisi.
Tentang Afeksi
Di tengah pandemi Covid-19, emosi manusia makin bercampur aduk. Berita tentang Covid-19 selalu ada setiap kali kita melihat tayangan televisi, membuka media sosial, membaca koran, mendengar radio. Ditambah lagi proyeksi ahli yang sebegitu menakutkan, saling lempar kritik terkait keganasan virus ini. Dampak tidak langsung dari pandemi ini juga tidak kalah menakutkan dari virusnya itu sendiri, sebut saja jutaan orang kehilangan pekerjaan. Tanggapan afektif orang-orang juga beragam, ada yang cemas, sedih, lesu, cuek, tidak peduli, senang, atau bahkan ada yang menantang eksistensi virus ini. Dalam situasi seperti ini, tampaknya afeksi mendahului aspek kognitif.
Istilah “kognitif” hampir selalu merujuk pada satu dari empat arti ini: (1) proses tingkat tinggi (high level processing), (2) keterlibatan neocortex, (3) diasosiasikan dengan pemecahan masalah, pemikiran, atau konseptualisasi, (4) kurang lebih terjadi secara sadar, berada di bawah kendali. Sedangkan istilah “non-kognitif” hampir selalu merujuk pada arti-arti berikut ini: (1) proses tingkat rendah (low level processing), (2) subcortical (tidak melibatkan neocortex), (3) diasosiasikan dengan respons refleks, bukan dengan pemikiran dan pertimbangan, (4) terjadi cepat dan mendadak, (5) kurang lebih terjadi secara tidak sadar, minim kendali.
Paul E. Griffiths. What Emotions Really Are (Chicago: Chicago University Press, 1997), 24.
Pertama kita akan melihat pihak yang menjelaskan bahwa afeksi mendahului kognisi. Dalam terminologi modern, menurut William James, seorang peneliti ilmu saraf dan psikolog Amerika, afeksi adalah kesadaran perasaan (felt perceptions) pada pergerakan tubuh (bodily change) untuk menanggapi lingkungan sekitar. Menurut Jenefer Robinson, filsuf perempuan asal Amerika, inti dari afeksi adalah penilaian afektif (affective appraisal). Penilaian afektif (affective appraisal) dapat muncul dalam responsnya pada stimuli sederhana, seperti suara nyaring yang tiba-tiba atau gerakan mendadak, serta pada stimuli kognitif kompleks, seperti pertimbangan atau keputusan yang harus diambil untuk menentukan hidup kita ke depan. Penilaian afektif (affective appraisal) merespons stimuli dengan cara yang paling mendasar, artinya ia hanya mengategorikan stimuli pada kategori “yang baik” atau “yang buruk” dan “dikenal” atau “asing”. Penilaian ini berlangsung sangat cepat dan tidak membutuhkan pemahaman atau olahan pemikiran. Sikap kita tergantung pada kepekaan afeksi tersebut.
Robinson tidak menolak aktivitas kognitif, tetapi menganggap bahwa aktivitas kognitif merupakan bagian dari aktivitas afektif. Bagian kognitif muncul mendahului dan mengakihiri bagian afektif, atau yang disebutnya cognitive monitoring atau cognitive reappraisal. Contohnya, saya sedang tidur siang, kemudian mendengar telepon dari keluarga yang memberi kabar bahwa paman saya meninggal karena Covid-19. Hal ini akan langsung membangkitkan stimuli rasa sedih. Dalam keadaan sedih, saya memikirkan bagaimana proses pemakamannya atau bagaimana saya mengucapkan salam perpisahan padanya. Saya juga berpikir untuk lebih menjaga kesehatan tubuh saya dan menaati protokol kesehatan dengan lebih disiplin. Saya memikirkan juga orang-orang yang berinteraksi dengannya. Pikiran-pikiran yang mengikuti peristiwa kehilangan paman karena virus Covid-19 adalah contoh cognitive monitoring. Namun, cognitive monitoring ini tidak menghalangi saya untuk mengalami perasaan sedih karena kehilangan, dan ranah kognitif ini hanya terjadi setelah saya merasa sedih. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa aktivitas kognitif tidak akan berperan jika tidak didahului oleh aktivitas afektif. Dengan kata lain, afeksi (affective appraisal) sebenarnya membuat kita berpikir dan mengubah perilaku kita. Oleh karena itu, sisi afektif manusia perlu dididik.
Bagian afeksi perlu dilatih melalui pembiasaan (habitus) sehingga terbentuk karakter dan pada akhirnya kita memiliki kendalinya. Pembiasaan atau pendidikan afeksi harus dimulai sejak masa kanak-kanak, dengan mempersiapkan bagian afektif jiwa anak-anak sehingga terbuka pada perintah rasio. Didikannya tidak bisa terlalu abstrak, karena konsep-konsep atau sesuatu yang abstrak belum bisa diterima. Maka, orang dewasa (orang tua) harus memberikan contoh-contoh: dengan simpati dan empati kepada orang yang membutuhkan bantuan.
Saat kita menangisi kerabat yang meninggal karena virus Covid-19, tangisan kita tidak disebabkan oleh hal-hal yang masuk akal, misalnya dia menyepelekan protokol kesehatan, tetapi karena hal-hal yang menyentuh sisi afeksi kita, misal semasa hidup, ia adalah orang yang sangat menyayangi kita. Meskipun kita tidak ingin menangis, air mata tetap akan keluar. Dalam kehidupan sehari-hari, gerakan afeksi di dalam diri begitu kuat sehingga (kadang) akal budi tidak mampu lagi mengendalikannya. Dengan kata lain, gerakan emosional (impuls) adalah penyebab afeksi yang bisa menggerakkan tindakan manusia. Tindakan yang keliru muncul dari afeksi yang keliru.
Kita bisa meyakini bahwa afeksi memengaruhi pemikiran, perilaku, kehidupan sosial, dan moral manusia. Dipertentangkan dengan kognisi tidak lantas berarti afeksi menjadi sesuatu yang rendah. Afeksi ini memiliki makna yang khas karena berkaitan dengan pengalaman tubuh dan tidak dapat direduksi menjadi pikiran saja. Afeksi dan kognisi memang dua hal berbeda, tetapi keduanya berada dalam satu manusia yang sama dan saling berelasi. Setiap manusia memiliki gradasi afeksi dan kognisi yang berbeda-beda.
Dengan menyadari betul bahwa afeksi tidak sepenuhnya bisa dikendalikan, kita tetap bisa mengapresiasi kodrat afeksi. Makin kita rileks pada afeksi makin kita memiliki kendali atasnya. Saat rasa sedih mengenai diri, kubiarkan saja perasaan itu hadir, nikmati dan terima, dengan begitu kita justru bisa mengatasi rasa sedih. Begitu juga semakin perasaan gembira dipikirkan, semakin tidak gembira jadinya. Dengan kata lain, jika kita bisa mengatakan iya pada ketidakpastian, ketidakpastian itu sendiri akan membantu kita mengendalikan afeksi.
Namun afeksi dapat dilatih atau dididik. Bukan hanya sebagai pendidikan mana yang benar dan salah, melainkan juga pendidikan yang berisi latihan dan pembiasaan bersimpati dan berempati terhadap keadaan yang ada di sekitar kita. Pendidikan afeksi dan pembiasaan ini dapat dimulai di masa kanak-kanak ketika belum dipengaruhi banyak pertimbangan.
Dalam konteks pandemi Covid-19, kita harus menyadari bahwa pengalaman afektif memengaruhi perilaku, pemikiran, dan nilai-nilai manusia. Dengan pendidikan afeksi yang konsisten dan serius, kita tidak harus menjadi penderita atau melihat adanya kerabat yang meninggal dulu untuk menaati protokol kesehatan. Karena jika afeksinya terdidik, kita sudah bisa merasakan kepedihan orang lain tanpa mengalaminya sendiri. Dengan begitu, kita akan menjaga diri.
Daftar Pustaka
Coplan, Amy. Feeling Without Thinking: Lesson from the Ancients on Emotions and
Virtue-Acquisition. Metaphilosophy, January 2010, Vol. 41, No. 1-2, SPECIAL ISSUE: VIRTUE AND VICE, MORAL AND EPISTEMIC (January 2010), pp. 132-151. Publish by: Blackwell Publishing Ltd. http://www.jstor.com/stable/24439878.
Galen. de Placitis Hippocratis et Piatonis: Corpus Medicorum Graecorum. Trans and
Edited by: Phillip de Lacy. Berlin: Akademie-Verlag, 1981.
Griffiths, Paul E. What Emotions Really Are. Chicago: Chicago University Press, 1997.
Plato, Phaedrus. Trans by. Robin Waterfield. Oxford: Oxford University Press, 2002.
Sorabji, Richard, Emotion and Peace of Mind: from Stoic Agitation Tempation, The Gifford
Lectures. Oxford: Oxford University Press, 2000.
Yohanes Theo
Mahasiswa Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
- 04/09/2020
- 17/11/2021