Membaca buku Relasionalitas karya Armada Riyanto, CM. dalam sub-bab Aku dan Teks mengandaikan pembaca sebagai subjek sekaligus objek dalam kajian yang menjadi bahasan dalam bab ini. Bab tersebut memaparkan hubungan aku (sebagai pembaca) dengan teks (yang berhadapan dengan pembaca). Teks yang dijelaskan tidak hanya sekadar bacaan dalam buku atau media lain melainkan juga berhubungan dengan keadaan di sekitarnya: keadaan di mana pertemuan antara aku dengan teks memiliki beragam dimensi yang saling berkaitan. Dalam buku ini, relasi Aku dengan Teks merupakan salah satu relasi di antara berbagai relasi lainnya. Tulisan ini bertujuan membedah bagian tersebut karena urgensi untuk menanggapi fenomena saat ini: manusia kerap menuhankan teks.

Aku

Pertama, yang harus ditinjau dalam pertemuan aku dan teks adalah konteks. Konteks dinyatakan sebagai persatuan antara waktu dan tempat yang merangkai peristiwa-peristiwa yang telah, akan, atau sedang terjadi. Pembaca sebagai aku memiliki konteks tersendiri yang terpisah dengan teks. Namun, keterpisahan ini tidak kemudian memisahkan keduanya secara sempurna karena pertemuan aku dan teks memungkinkan persatuan di antara keduanya—hanya saja harus ada proses bernalar yang terwujud di dalamnnya. Konteks aku mengandaikan latar belakang pembaca di mana ia memiliki pendasaran sebelum bertemu dengan teks, yakni pembaca memiliki latar belakang budaya, posisi geografis, sejarah, serta pengetahuan yang ia miliki sebelum bertemu dengan teks. Belum lagi pilihan-pillihan subjektif yang berkaitan dengan kebutuhan pribadi pembaca seperti afirmasi terhadap iman atau kepercayaan tertentu, maupun pilihan ideologi pembaca. Dengan kata lain, konteks merupakan ruang di mana pembaca hidup dalam kesehariannya.

Teks

Teks juga memiliki konteks, terutama berkaitan dengan penciptanya. Tujuan, harapan, latar belakang sosial-budaya, maupun ide-ide yang melatarbelakangi terlahirnya teks menjadi konteks awal dari sebuah teks. Seorang filosof atau sastrawan misalnya, menuliskan karyanya dengan tujuan mencari kebenaran dan menebarkan keindahan. Sementara seorang wartawan mewartakan teks-nya dengan tujuan mengabarkan suatu peristiwa kepada khalayak. Tujuan ketiganya sudah berbeda seturut dengan tujuan dilahirkannya teks. Contoh lain, misalnya seorang kolumnis di sebuah tabloid agamis, ia akan melahirkan teks dalam rangka menyebarkan pemahaman sesuai dengan imannya. Hal serupa juga terjadi pada para jurnalis sebuah zine anarkis atau sosialis. Para jurnalis tersebut akan berusaha mengagitasi pembaca untuk memahami dan mempercayai apa yang dituliskan dalam teks sesuai dengan ideologi tempat mereka berpihak. Konteks memiliki andil besar dalam membentuk tujuan manusia melahirkan teks.

Konteks atau ruang dari pembaca diartikan sebagai pengalaman eksistensial manusia. Dalam artian manusia selama proses hidupnya, baik yang sedang berlangsung atau yang telah lampau, ikut serta mempengaruhi penyikapan aku dalam menghadapi teks. Bahkan, konteks-konteks hidup yang berlangsung tersebut dapat menjadi ruang bagi lahirnya teks-teks baru. Dengan demikian, baik aku dan teks tidak dapat terlepas dari konteks. Perihal konteks pembaca dan yang dibaca menjadikan proses pembacaan bukan saja relasi antara aku dan teks melainkan juga sebuah pertemuan konteks dari keduanya; kelahiran teks dan pertemuan antara aku dan teks selalu berada dalam ruang tersebut. Ruang inilah yang mempengaruhi lahirnya beragam teks misalnya mitologi, ilmu pengetahuan, kepercayaan dan teologi, serta filsafat. Ruang tersebut menyajikan kesempatan bagi nilai-nilai untuk tumbuh, menyuburkan pengetahuan dan lokalitas bagi para aku yang berbudaya.

Ruang Pertemuan

Sementara itu, pertemuan antara aku dan teks juga menimbulkan pemahaman baru, pilihan baru, penyikapan baru bahkan kelahiran teks-teks­ baru. Pertemuan ini, dengan kata lain, menjadi salah satu proses di mana terdapat kesadaran baru seorang aku atas kehadirannya, sebuah pengalaman eksistensial baru yang membuatnya bergerak dan berjuang dalam perjalanan hidup seorang manusia. Di dalam proses ini juga lahir aspek-aspek penting bagi manusia seperti agama, kepercayaan, sistem sosial dan budaya. Konteks, dengan kata lain, menjadi apa yang disebut Riyanto sebagai lifeworld bagi seorang manusia; ruang di mana ia berusaha untuk memahami hal-hal yang pernah terjadi, memandang kembali sejarah yang ada di hidupnya, atau menerawang kemungkinan yang akan hadir, serta mendalami apa yang sedang berlangsung pada saat ini dalam kehidupannya. Manusia yang mau menerima pertemuannya dengan teks secara langsung sedang menjalani pemahaman mengenai posisinya dalam dunia. Manusia yang mau menerima pertemuannya dengan teks berarti juga mau menerima kenyataan atau realitas dalam hidupnya. Dengan demikian, ia akan menghadapi penerimaan dan penolakan, kedamaian atau konflik dalam kehidupannya. Oleh sebab itu, manusia yang mau mengakui pertemuan itu mengandaikan manusia yang tidak naif, manusia yang tidak menyepelekan kehidupan, manusia yang peduli atas kehidupan dan tidak take it for granted atas realitas.

Problem Relasi

Namun, pertemuan aku dan teks bukan merupakan proses yang selalu berjalan lancar. Pada bab dua di dalam Relasionalitas dijelaskan mengenai permasalahan-permasalahan yang tidak terhindarkan saat aku dan teks bertemu. Permasalahan tersebut justru akan menjadi suatu nilai lebih bagi manusia terutama apabila dihadapi dan diselesaikan dengan baik. Permasalahan tersebut ada dengan sendirinya, dapat dikatakan sebagai kodrat yang muncul sebagai konsekuensi dari hubungan aku dan teks. Permasalahan tersebut terletak pada jarak antara aku dan teks, posisi otoritas dalam hubungan aku dan teks, serta pemutusan sikap dalam hubungan aku dan teks. Ketiganya menjadi tantangan tersendiri bagi manusia sebelum pertemuan aku dan teks menjadi bernilai bagi hidupnya.

Teks menyembunyikan kebenaran melalui parafrase. Ia bukan menghapus atau meniadakan nilai awali, melainkan menyamarkannya melalui cara teks mengemas pesan. Dengan kata lain, kebenaran ada di dalam teks dan hanya dapat digapai apabila aku berusaha memaknai teks dengan baik. Pencapaian tersebut tidaklah mudah karena jarak yang niscaya antara aku dan teks. Aku memiliki subjektifitas tersendiri. Selain konteks yang telah dijelaskan di awal pembahasan bab kedua dalam Relasionalitas, subjektifitas aku mempengaruhi penyikapan dan jarak antara aku dan teks. Keterbukaan dan penggunaan rasionalitas manusia membantu pemutusan sikap ini. Sebuah discerment yang benar dibutuhkan dalam tahap ini. Pemutusan akan mana yang baik dan yang benar bagi manusia harus seturut dengan kebenaran yang diciptakan oleh sang Pencipta, dan bukan atas kemauan atau kebutuhan hasrat semata. Apapun teks yang dihadapi oleh aku harus mendapatkan perlakuan yang bijak. Oleh karena itu, teks yang berjarak ini tidak boleh digunakan hanya untuk memperkuat opini pribadi. Teks justru harus menegur, menggelisahkan dan mentransformasi manusia sehingga menggugahnya dari kesadaran yang lelap.

Selain discerment yang tepat, manusia juga akan mengalami proses imajinasi di mana ia mengalami berbagai makna yang kaya atas pertemuan dengan teks. Hal ini tidak hanya ditemui pada saat manusia bertemu dengan karya sastra saja, karya ilmiah, filosofis dan teologis-pun berlaku serupa. Imajinasi manusia sebagai subjek yang mengenal dan memaknai teks dapat menjadi salah satu jalan awal perkembangan teks untuk melahirkan teks-teks baru. Namun pemaknaan yang lahir dalam imajinasi ini belum tentu baik dan benar. Subjektivitas terkadang menyesatkan manusia dan akhirnya juga melahirkan teks-teks sesat yang lainnya. Discerment sekali lagi dibutuhkan saat ini.

Imajinasi akan teks sebaiknya diarahkan pada inklusivitas. Hal ini berarti bahwa imajinasi pembaca terbuka atas kemungkinan baru atas munculnya berbagai pemahaman. Inklusivitas dalam hal ini mensyaratkan keterkaitan dalam segala kemungkinan, sehingga tidak ada yang tersingkirkan. Dengan demikian, baik subjektivitas manusia, realitas, hubungan-hubungan antar konteks, dan makna-makna baru saling berkait sehingga terdapat proses dialogal dalam pertemuan aku dan teks. Pemaknaan tidak akan timpang sebelah; pemaknaan akan kaya nilai dan akan menjadi baik bagi semua (semua yang dimaksud di sini adalah siapapun yang berkaitan dengan konteks aku dan konteks teks).

Proses dialogal ini akan semakin berwarna dengan adanya edisi-edisi yang hadir dalam teks. Edisi yang dimaksud bukan hanya berkaitan dengan proses editorial melainkan juga konteks. Suatu teks lahir dan dapat berkembang dalam rupa yang nyaris sama misalnya melalui proses translasi atau penulisan ulang. Edisi juga akan bertambah dengan adanya usaha-usaha manusia menafsirkan secara ketat sebuah teks. Edisi yang tepat yang dapat digunakan untuk memperkaya imajinasi inklusif adalah yang dilahirkan melalui sebuah metodologi yang logis dan rasional. Edisi teks yang lahir tanpa melalui proses tersebut patut dicurigai karena dapat menyebabkan ketimpangan dan pemaksaan sehingga proses dialogal tidak berjalan dengan baik. Di sinilah aku menemui kesulitan baru karena jarak yang ada antara dia dan teks. Kesulitan yang harus dilalui manusia dalam perjalanannya menemukan kebenaran.

Dalam memecahkan kesulitan ini Relasionalitas mengungkapkan hal yang patut diingat dan ditanamkan dalam-dalam, yaitu bahwa “Teks-teks suci memiliki natura membangun peradaban persahabatan.” Kata “suci” dapat dimaknai bukan saja pada kitab suci agama-agama tertentu melainkan juga segala teks sains, filsafat, sejarah dan yang lainnya. Teks suci adalah pedoman bagi hidup manusia dalam aspek apapun baik berupa kehidupan rohani, kehidupan sosial, maupun perkembangan teknologi dan sebagainya. Penekanan pesan dalam buku Relasionalitas atas teks suci ini dapat menjadi tolok ukur pemaknaan dan bahan pertimbangan utama dalam discerment manusia menghadapi teks. Pengetahuan dan pemaknaan yang baik dari teks adalah apa yang berguna bagi rekatnya persahabatan.

Permasalahan lain yang dihadapi dalam proses pertemuan aku dan teks adalah ortodoksi, terutama ketika berkaitan dengan teks suci. Peperangan atau kebencian dapat tumbuh dalam ortodoksi atas teks. Suatu penyikapan yang menyimpang dari natura sebuah teks suci. Teks dapat diposisikan sebagai pembenaran suatu kepentingan tertentu, didewakan dan pada saat yang sama diklaim sebagai pembatas tegas antara apa yang benar dan yang salah, sesuai dengan kepentingan atau intensi pihak tertentu. Contoh hari ini adalah politisasi agama berlandaskan teks kitab suci tertentu dan politisasi akal sehat berdasarkan pendekatan—yang seakan—filsafat. Teks yang dilampirkan digunakan hanya untuk mengunggulkan diri, menjatuhkan orang lain, mem-bully pihak yang berseberangan.

Tidak ada persahabatan di sana. Tidak ada proses dialogal di sana. Di saat seperti itulah otoritas teks ada pada titik terendahnya. Otoritas teks sebenarnya lahir dari tradisi sehingga ia dapat hidup bersama dengan manusia melalui pemaknaan yang baik. Kekayaan konteks hidup manusia memungkinkan posibilitas makna dari teks suci, dan hal inilah yang harus dipertahankan. Teks suci tidak dapat digunakan untuk mematikan kekayaan konteks manusia. Apabila teks tersebut digunakan untuk memangkas manusia dan konteksnya, maka subjek yang melalukannya telah mendesakralisasikan makna teks. Ia tidak sedang mensucikan teks tersebut dan justru menghancurkan diri melalui perusakan hubungan-nya dengan teks tersebut. Manusia yang merusak hubungan aku dan teks tidak lain adalah suatu pengrusakan atas konteksnya sendiri, dan dengan kata lain merusak kemanusiaannya sendiri.

satu Respon

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.