Antara Feminisme dan Misandri: Membaca Ulang Narasi Gender Di Indonesia

Masyarakat Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkal. Laki-laki sering kali diberikan keistimewaan sosial dalam berbagai bidang, mulai dari kepemimpinan, ekonomi, hingga keputusan domestik.

Aksi Pekerja Memperjuangkan Pekerja Wanita

Dalam beberapa tahun terakhir, ruang-ruang digital di Indonesia dipenuhi diskusi intens tentang relasi gender. Gerakan perempuan yang menyuarakan kesetaraan dan keadilan mendapatkan perhatian luas, tetapi bersamaan dengan itu muncul pula fenomena yang tak kalah kontroversial: kebencian terhadap laki-laki. Istilah ini dalam kajian gender dikenal sebagai misandri, yaitu sikap atau pandangan yang membenci, meremehkan, atau mendiskriminasi laki-laki sebagai kelompok sosial.

Di media sosial, fenomena ini muncul dalam bentuk pernyataan-pernyataan yang bersifat generalisasi: “semua laki-laki itu sama saja,” atau “laki-laki tidak bisa dipercaya.” Meskipun sering muncul sebagai respons emosional atas pengalaman pribadi maupun kolektif perempuan dalam sistem sosial yang patriarkal, kecenderungan ini memunculkan pertanyaan penting: sejauh mana narasi ini membahayakan upaya membangun kesetaraan yang adil bagi semua gender?

Misandri Dan Misogini: Dua Sisi Yang Berbeda

Secara etimologis, misandri berasal dari kata Yunani misos (kebencian) dan anēr/andros (laki-laki), sementara misogini berarti kebencian terhadap perempuan. Misogini telah lama menjadi perhatian utama dalam studi feminis karena menjadi bagian dari struktur dominasi patriarki. Sebaliknya, misandri jarang dibahas secara sistematis karena sering dianggap sebagai respons terhadap penindasan sistemik.

Namun, dalam praktik sosial, baik misogini maupun misandri sama-sama berisiko memperkuat polarisasi dan memperburuk relasi antargender. Keduanya menyederhanakan kompleksitas individu hanya berdasarkan identitas biologis atau sosialnya, tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti pengalaman hidup, nilai, dan konteks budaya.

Konteks Indonesia: Antara Patriarki dan Resistensi

Masyarakat Indonesia masih sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai patriarkal. Laki-laki sering kali diberikan keistimewaan sosial dalam berbagai bidang, mulai dari kepemimpinan, ekonomi, hingga keputusan domestik. Dalam sistem ini, perempuan kerap mengalami subordinasi, kekerasan berbasis gender, hingga ketidakadilan struktural. Tak heran bila muncul respons-respons emosional dari kelompok perempuan terhadap dominasi ini.

Di era digital, respons tersebut kadang muncul dalam bentuk resistensi yang emosional, bahkan ekstrem. Di media sosial, tidak sedikit konten yang memosisikan laki-laki sebagai “musuh” atau pihak yang selalu salah. Fenomena seperti tagar #MenAreTrash atau komentar sarkastik terhadap laki-laki menjadi bentuk perlawanan yang viral- meskipun banyak juga yang menilainya sebagai bentuk misandri terselubung.

Namun, penting disadari bahwa resistensi semacam ini sering lahir dari pengalaman kolektif ketidakadilan, bukan semata-mata kebencian individual. Ia merupakan gejala sosial yang mencerminkan luka struktural yang belum terselesaikan.

Feminisme: Disalahpahami Sebagai Misandri

Salah satu dampak dari munculnya ekspresi misandri adalah salah kaprah terhadap feminisme. Di masyarakat Indonesia, feminisme sering dicurigai sebagai gerakan yang ingin “menggantikan dominasi laki-laki” atau bahkan “membenci laki-laki.” Padahal, esensi feminisme adalah menuntut kesetaraan gender, bukan dominasi satu gender atas yang lain.

Tuduhan bahwa feminisme identik dengan misandri melemahkan gerakan perempuan, karena mengaburkan substansi perjuangannya. Padahal, feminisme yang sehat justru mengajak laki-laki untuk terlibat sebagai sekutu dalam menciptakan struktur sosial yang lebih adil dan manusiawi.

Batas Antara Kritik Dan Kebencian

Fenomena misandri di Indonesia perlu dibaca secara kritis. Di satu sisi, ia bisa dilihat sebagai bentuk ekspresi atas trauma, frustrasi, atau pengalaman kekerasan yang dialami perempuan. Di sisi lain, ketika kebencian terhadap laki-laki menjadi narasi dominan, hal ini bisa merusak ruang dialog dan memperkuat prasangka.

Penting untuk membedakan antara:

  • Kritik terhadap sistem patriarki, yang merupakan kritik struktural dan sah.
  • Kebencian terhadap laki-laki sebagai kelompok, yang merupakan bentuk generalisasi berbahaya.

Sama seperti tidak adil menyebut semua perempuan lemah, tidak adil pula menyebut semua laki-laki berwatak buruk. Sikap semacam ini bukan hanya tidak produktif, tetapi juga bisa menjadi bentuk baru dari kekerasan simbolik.

Membangun Kesetaraan Tanpa Kebencian

Kesetaraan gender tidak dapat dibangun di atas fondasi kebencian. Baik misandri maupun misogini adalah bentuk ekstremisme gender yang perlu dihindari. Perjuangan keadilan gender harus dilandasi oleh semangat dialog, empati, dan kesadaran kritis. Indonesia membutuhkan pendidikan gender yang tidak hanya mengangkat suara perempuan, tetapi juga mendorong laki-laki untuk bertransformasi secara positif. Dalam dunia yang semakin saling terhubung, narasi yang menyatukan lebih dibutuhkan daripada yang memecah. Karena pada akhirnya, kesetaraan bukan tentang siapa yang menang, tetapi tentang bagaimana kita hidup berdampingan secara adil.

Referensi

Hooks, bell. (2000). Feminism is for Everybody: Passionate Politics. South End Press.

Mansbridge, Jane. (1995). What is Feminism? The American Political Science Review, 89(1), 1-24.

Nathanson, Paul & Young, Katherine K. (2001). Spreading Misandry: The Teaching of Contempt for Men in Popular Culture. McGill-Queen’s University Press.

Connell, R. W. (2005). Masculinities (2nd ed.). University of California Press.

Suryakusuma, Julia. (2004). Sex, Power and Nation: An Anthology of Writings 1979–2003. Metafor Publishing.

Robinson, Kathryn. (2009). Gender, Islam and Democracy in Indonesia. Routledge.

Nurmila, Nina. (2009). Women, Islam and Everyday Life: Renegotiating Polygamy in Indonesia. Routledge.

Utomo, A. J. (2016). Gender in the Midst of Reforms: Attitudes to Work and Family Roles Among University Students in Urban Indonesia. Gender, Place & Culture, 23(12), 1669–1685. https://doi.org/10.1080/0966369X.2016.1250525

Prabasmoro, A. Y. (2006). Becoming White: Representasi Ras, Kelas, Femininitas dan Globalisasi dalam Iklan Televisi Indonesia. Jalasutra.

Wieringa, Saskia. (2003). Sexual Politics in Indonesia. Palgrave Macmillan.

Siregar, R. H. (2019). “Feminisme dan Stigma Anti-Laki-laki: Refleksi Sosial Media di Indonesia.” Jurnal Komunikasi dan Gender, 7(1), 45–58.

Riza, M. (2020). “Narasi Misandri dan Budaya Digital di Kalangan Perempuan Muda.” Jurnal Sosioteknologi, 19(1), 112–123. https://doi.org/10.5614/sostek.v19i1.1187

Faruk. (2012). Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni dan Resistensi dalam Sastra Indonesia. Pustaka Pelajar.

BMKG Gender Analysis Unit. (2021). Laporan Analisis Gender dalam Isu Sosial Media dan Isu Gender Terkini. Jakarta: Kementerian PPPA.

Yandi Syaputra Hasibuan

Comments

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Baca Juga