Masalah untuk Utilitarianisme | credit: wireless philosophy

Utilitarianisme merupakan salah satu disiplin etika yang cukup populer. Perintisnya tidak lain adalah Jeremy Bentham dan John Stuart Mill. Secara umum, pendekatakan ini mengusahakan pemecahan beragam persoalan sehari-hari dengan mengukur konsekuensi dari perbuatan atau tindakan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan matang, hingga pada akhirnya kita dapat menemukan kesimpulan konkret. Lebih jauh, etika ini menawarkan sebuah prinsip rasional dengan asas kegunaan dan kebermanfaatan berdasarkan perbuatan, dengan demikianlah kebahagiaan akan dicapai.

Kebahagiaan sendiri tidak berbeda dengan kenikmatan atau kesenangan, sehingga dibutuhkan upaya maksimal mungkin mendekati keadaan yang berimplikasi pada kebahagiaan, dan meminimalisir sebisa mungkin perihal yang menimbulkan rasa sakit. Melalui pertimbangan pada kuantitas inilah seorang utilitarian akan mendasari setiap prinsip moralitasnya. Akan tetapi, suatu teori atau konsep selalu memiliki celah kecil yang dampaknya tidak bisa diremehkan begitu saja, apalagi menyangkut isu HAM. HAM adalah hak kodrati yang telah melekat pada diri subyek. Pada tulisan ini, penulis menemukan bahwa utilitarian dalam situasi tertentu seringkali buntu dalam menyelesaikan persoalan HAM, karenanya HAM seringkali dinihilkan dengan konsep ini. Di samping itu semua, tentu utilitarian juga masih dapat menjadi pandangan yang masih relevan hingga sekarang.

Utilitarianisme sebagai Sebuah Pendekatan Rasional

Permulaan munculnya prinsip moral ini sebenarnya tidaklah murni berasal dari Jeremy Bentham. Adalah David Hume, seorang pemikir empiris yang merumuskannya pertama kali, ataupun hedonisme klasik yang melihat tindakan dasariah manusia atas rasa senang atau nikmat.  Rasa sakit diartikan sebagai perbuatan yang dapat menimbulkan dampak destruktif, sehingga sedapat mungkin seorang subjek berkesadaran akan mencoba untuk menegasikannya. Sedangkan, rasa senang, berarti tindakan yang dapat mengarah pada keadaan konstruktif atau kebaikan bersama, sehingga subjek akan terus-menerus mencarinya tanpa henti. Melalui kedekatan erat kita dengan rasa senang inilah kemudian utilitarianisme meletakkan dasar etisnya.

Dalam etika, para filosof sepakat bahwa yang menjadi puncak kulminasi tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan (eudoinomonia).  Akan tetapi, kebahagiaan ini nampak masih abstrak karena ketidakjelasan dalam indikatornya. Begitulah kritik yang diberikan padanya, terutama pada para penganut Aristotelian. Dan, utilitarianisme lebih memberanikan diri menggunakan pendekatan empiris mengasosiasikan kebahagiaan dengan kenikmatan atau kesenangan. Dengan begitu, kebebasan dan tanggung jawab rasional dapat termanifestasi secara konkret untuk menjawab setiap kebingungan atau doktrin yang umum dalam dimensi sosial, hukum, dan politik.

Jika kita kembali beranjak ke masa lalu, kita akan menemukan bahwa hedonisme klasik juga memfokuskan dirinya pada pencarian rasa nikmat, sebab, kodrat manusia adalah suka terhadap segala bentuk kenikmatan. Setiap manusia terikat dalam intersubjektivitas, sebuah pluralitas, dengan tujuan universal yang sama, yakni kebahagiaan (kenikmatan). Bentham meneruskan pandangan hedonis klasik dalam filsafat moralnya. Jika hedonisme klasik masih bertolak pada individu rasional sehingga dan menyisakan adanya kemungkinan egoistik, maka Bentham bertolak pada visi humanis yang lebih luas, yaitu prinsip utilitas yang berlaku bagi orang banyak. Artinya, semakin banyak subjek yang merasakan secara langsung atau tidak langsung utilitas dari suatu tindakan, serta berlaku dalam jangka waktu yang panjang, maka semakin tinggi juga kuantitas kebahagiaan yang tercipta. Dengan begitu, Bentham menegaskan pandangannya dalam ‘The Principe of Utility: The Greatest Happiness of The Greatest Number’.

Menurut Bentham, kuantitas adalah yang terpenting karena bisa diukur, sedangkan kualitas adalah sama dalam beragam bentuk rasa senang tersebut. Gagasan Bentham ini dikenal sebagai Hedonisme Calculus. Berbeda dengan Bentham, John Stuart Mill yang melanjutkan gagasan Bentham dengan menjelaskan bahwa kuantitas dan kualitas memiliki urgensi yang sama. Dalam setiap tingkatan kuantitas memiliki tingkat kualitas yang juga berbeda. Hal ini ditujukan sebagai syarat pembeda antara rasa senang yang diperoleh binatang dengan manusia yang memiliki kesadaran dalam perbuatannya, untuk diri terlebih lingkungannya. Menurutnya, kebahagiaan yang berorientasi pada orang banyak dalam suatu kejadian akan bermutu lebih tinggi dibandingkan kepentingan perseorangan. Setiap orang adalah setara meskipun secara struktur sosial memiliki status yang berbeda. Ia tidak berhak mendiskreditkan hak orang banyak hanya demi kebahagiaan diri belaka. Dengan begitu, tidak heran jika Mill terkenal melalui diktum terkenalnya, “Everybody to count for one, nobody to count for more than one”.

Utilitarianisme Perbuatan dan Aturan

Filsafat moral ini menolak fondasi purna dari budaya, tradisi, atau konvensi yang sudah mapan. Menurutnya, hanya jika kita melihat implikasi dari tindakan yang relevan pada konteks yang menyangkut kuantitas kesenangan atau kebahagiaan, maka hal demikian adalah cara pembacaan yang konkret. Dalam perkembangannya, etika ini dibedakan menjadi dua, yakni utilitarianisme perbuatan dan aturan.

Utilitarianisme aturan muncul untuk menjawab permasalahan-permasalahan prinsip yang tidak bisa terjawab oleh utilitarianisme tindakan. Utilitarianisme aturan menyanggah bahwa orientasi kebahagiaan dapat diukur berdasarkan pertimbangan konsekuensi dan rasio orang terbanyak. Oleh karena itu, perlu hadir aturan-aturan moral universal untuk menjustifikasi suatu tindakan, artinya ada social trust sehingga hak individu tidak ternihilkan. Misalnya, seorang dokter yang lebih memilih menyelamatkan empat pasien dan mengorbankan satu pasien untuk diambil organ dalamnya. Tindakan ini memang berimplikasi pada kuantitas kebahagiaan yang lebih besar. Namun secara etika, tindakan ini berbenturan dengan pengertian HAM universal, bahwa setiap manusia memiliki hak dan kebebasan yang sama di manapun individu tersebut berasal.

Lebih jauh, pendekatan Utilitarianisme Aturan tidak begitu saja menengahi kontradiksi HAM dan Utilitarianisme. Dalam situasi tertentu, jika dihadapkan dengan dua prinsip moral yang berbeda, misalnya; seorang nenek yang terpaksa mencuri uang demi cucunya yang sedang sakit. Di sini, si nenek dihadapkan dengan dua aturan moral, ialah mencuri dan membiarkan cucunya semakin mendekati kritis, yang mana keduanya adalah berlandaskan aturan moral. Maka, dalam situasi ini, konteks kejadian akan dipertimbangkan kembali, di mana si nenek diperbolehkan untuk mencuri karena dalam keadaan terdesak. Artinya bahwa, pendekatan ini akhirnya akan kembali lagi pada Utilitarianisme Perbuatan.

HAM sebagai Prinsip Kebebasan Universal

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan prinsip yang memegang teguh hak yang dimiliki oleh seorang subjek. Hak yang dimaksud bersifat dasariah atau kodrati, sehingga subjek lain memiliki tanggung jawab untuk tidak melihat individu sebagai objek yang tidak berkesadaran layaknya benda-benda. Adalah The Universal Declaration of Human Right (UDHR) yang lahir dari dokumen organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), yang melalui resolusi 217 tahun 1948 yang mempopulerkan hak asasi ini untuk dipatuhi secara universal oleh setiap aktor negara, maupun non-negara. Deklarasi tersebut secara umum berisi bahwa semua manusia terlahir dalam keadaan bebas dan setara serta memiliki hak untuk hidup bebas dan memperoleh keamanan (artikel 1 dan 2). Prinsip universal HAM menyangkut berbagai ranah kehidupan, sosial, ekonomi, dan politik. Negara sebagai lokus utama yang berperan menjaga keamanan dan kesejahteraan masyarakatnya  tidak boleh menihilkan hak-hak dasar tersebut. Selain itu, di mata hukum, deklarasi HAM ini bersifat egaliter. Artinya, tidak memandang status selama itu menyangkut hak kodrati, maka hukum yang berangkat dari HAM akan turut berbicara.

HAM dan Prinsip Utilitarianisme

Melalui beragam konsepsi yang terkandung, serta kelebihannya, kenyataannya jika kita menggali secara lebih mendalam, maka kita akan menemukan fenomena yang sulit untuk dijamah oleh kaum utilitarian. Meskipun peletakkan dasar-dasar etika dijadikan landasan kalkulasi konkret dalam membaca realitas sosial yang dinamis, kerap kali pendekatan ini menemui jalan buntu dalam menyelesaikan tugasnya. Begitu juga dengan permasalahan yang berkorelasi dengan HAM. Misalnya, mari kita mulai dengan contoh sederhana; sekelompok orang yang merasa senang dengan perbuatan sadistik melukai subjek lain dalam situasi tertentu. Apabila kita meninjau dari jumlah masa dan rasa senang yang terakumulasi, berdasarkan utilitarianisme, maka tindakan sadistik ini bisa dibenarkan, karena kebermanfaatan pada massa banyak (kuantitas) harus diutamakan. Akhirnya, dalam situasi ini, korban yang menerima rasa sakit atau dilanggar haknya hanya bisa merelakan kemerdekaannya tercederai.

Secara politik, suatu konstitusi atau kebijakan yang berasal dari perhitungan utilitas juga tak lepas dari pertanyaan yang tidak mudah terjawab. Bagaimana jika kebahagiaan ini diukur hanya dari kuantitas masyarakat yang merasakan implikasi kebaikannya? Bagaimana dengan sekelompok minoritas yang termaginalkan oleh kebijakan tersebut? Tentu akan ada korban yang tergeletak dan mau tidak mau harus dipinggirkan dalam keputusan ini.

Nah, apakah secara prinsip moral hal ini bisa dibenarkan? Seorang utilitarian tidak dapat menerapkan konsepsinya jika tidak memilih salah satu dari pilihan untuk dinegasikan karena utilitarian tidak mengenal jalan tengah yang konsekuensinya tidak dapat ditimban secara logis. Dalam keadaan mendesak, pertimbangan-pertimbangan konkret dan rasional seperti ini memang sangat dibutuhkan dan pelanggaran atas HAM tetap mengandung prinsip moral karena kebahagiaan orang banyak sudah mewakili kebahagiaan yang individu.

Di samping kekurangan, tentu kita harus melihat juga kelebihannya, di mana seorang pemimpin, politisi, atau kaum menengah atas haruslah mengutamakan kebaikan umum daripada memenuhi kebutuhan materilnya saja. Misalnya, dengan penerapan pajak yang lebih tinggi sesuai taraf ekonomi. Pun juga para politisi yang berperan mengurangi angka kemiskinan masyarakat harus fokus dengan tupoksinya, bukan kekuasaan dan kekayaan. Maka, sifat egoistik jika dipinggirkan akan lebih bernilai etis apabila ia benar-benar memahami tanggung jawab moralnya. Sehingga, menurut penulis, dalam pandangan ini, menerima realitas dan berpasrah padanya akan memaksimalkan kebahagiaan kita sebagai individu.

Singkatnya, terdapat tiga objektifitas yang terdapat pada disiplin ini yang mengalami ambivalensi dalam menerjemahkan suatu fenomena, yakni ketidakmampuan untuk menaruh hormat pada individu atau hak minoritas, dan adanya ketidakmungkinan untuk memberikan agregat untuk semua nilai, serta kebaikan yang diterjemahkan ke dalam materi. Di samping itu, kita tidak dapat menegasikan bahwa pengaruh disiplin ini masih relevan dalam hukum dan politik terutama dalam menentukan sebuah keputusan di saat kritis.


Suseno, Franz Magnis. 2010. Etika Dasar: Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyagarta: Kanisisus

K. Bertens. 2011. Etika. Jakarta: PT Gramedia

Hadirman, Budi. F. 2004. Filsafat Modern dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Jakarta: PT Gramedia

Alexander, Amanda. 2003. Bentham, Rights and Humanity: A Fight in Three Rounds. College of Law: Australian National University. Diakses dalam http://discovery.ucl.ac.uk/654/2/006_Alexander_2003.pdf

United Nations. 1948. The Universal Declaration of Human Rights.

2 Responses

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.