fbpx

Menggugat Antroposentrisme

Antroposentrisme merupakan suatu cara pandang umum baik di tataran para saintis,  politisi, dan masyarakat di abad modern.
Lukisan Fritz Ebel
Lukisan Karya Fritz Ebel

Lingkungan hidup merupakan pembahasan yang dapat dikatakan baru dalam dunia filsafat. Tradisi filsafat jika ditinjau dari segi periodisasi, pada umumnya dibagi menjadi empat babak, di antaranya: periode Yunani Kuno, Abad Pertengahan, Modern, dan Kontemporer. Masing-masing babak didasarkan pada ciri-ciri umum yang mendasarinya. Filsafat lingkungan sendiri lahir sebagai antitesis dari sebagian cara pandang filsafat modern yang dianggap gagal dalam memahami dan menjalankan dunia secara utuh, khususnya berkaitan dengan relasi fenomenologis antara manusia dengan dunia. Kritik umum yang paling sering kita dengar dari para filsuf ekologisme ialah abad modern dengan paradigma antroposentrismenya telah memutus keterhubungan manusia dengan alam. Alam dianggap seolah-olah instrumen mati yang difungsikan sebagai sarana untuk mencapai tujuan manusia saja. 

Periode sejarah yang biasa disebut “modern” ditandai dengan runtuhnya otoritas gereja dan menguatnya otoritas sains. Otoritas sains berupaya mengungkapkan segala sesuatu yang pada saat itu telah dipastikan kebenarannya secara ilmiah (Russell, 2007: 645-647). Dari segi teoritis, kita dapat melihat ciri umum pemikiran abad modern ini melalui gaya pemikiran Rene Descartes, Francis Bacon, dan Isaac Newton yang memberi sumbangsih besar atas paradigma mekanistis. Dalam cara pandang mekanistis, alam semesta dipandang sebagai mesin raksasa yang terdiri dari bagian-bagiannya yang terpisah. Sedangkan sains sebagai teknik menciptakan sebuah kecenderungan praktis dalam diri manusia, dan memberi rasa kekuasaan (sense of power). Filsafat-filsafat yang terilhami oleh teknik ilmiah adalah filsafat-filsafat kekuasaan, yang cenderung untuk memandang segala sesuatu non-manusia sebagai sekedar bahan mentah. Tujuan tidak lagi dipertimbangkan; yang dihargai hanyalah kemahiran proses (Russel, 2007: 649).  

Filsafat 

Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani, philosophia, yang berarti cinta akan kebijaksanaan atau cinta akan kebenaran. Istilah itu merujuk pada rasa ingin tahu yang tinggi, yang di dapat melalui proses bertanya, meragu, dan mencari kepastian. Filsafat umumnya dicirikan sebagai cara berpikir yang menyeluruh, mendasar, dan spekulatif (Jujun, 2005:19-33). Beberapa pertanyaan yang sering diajukan dalam filsafat misalnya: Siapakah diri kita? Siapakah manusia? Apa itu alam semesta? Apakah tuhan itu ada? Apakah hidup ini ada tujuannya atau absurd? Apa itu kebahagiaan? Dan sebagainya. Jadi, filsafat adalah upaya terus-menerus dalam menggali kebenaran akan segala hal. Seorang filsuf biasanya mengambil sikap rendah diri dan tidak pernah puas dalam memuaskan rasa ingin tahunya. Sikap ini tercermin dari perkataan dan sikap dari filsuf Yunani Kuno, Socrates, yang mengatakan bahwa “I know nothing”, untuk menegaskan ketidakpuasannya atas semua pengetahuan yang ia temui.

Filsafat meliputi beberapa cabang, di antaranya: ontologi atau metafisika (hakikat dari ‘ada’), epistemologi (apa yang dianggap sebagai pengetahuan sejati), etika (bagaimana manusia seharusnya hidup), estetika (hakikat seni dan keindahan), dan logika (prinsip-prinsip berpikir). Pembagian tersebut bertujuan agar memudahkan kita dalam mempelajari filsafat. Selain pembagian berdasarkan cabang, filsafat bisa kita kategorikan berdasarkan periode historis, mazhab (school), dan filsuf-filsuf secara individual. 

Lingkungan Hidup sebagai Oikos

Pertanyaan fundamental yang perlu dijawab sebelum kita masuk ke persoalan yang lebih dalam ialah; Apa itu lingkungan hidup? Berdasarkan perspektif filsafat lingkungan, pada umumnya lingkungan hidup dipahami sebagai oikos, yang berarti habitat atau rumah yang kita tinggali. Oikos merupakan keseluruhan alam semesta, keterkaitan, dan ketergantungan di dalamnya seperti entitas manusia, non-manusia, dan alam sekitarnya. Alam tidak dilihat sebagai benda mati layaknya mesin yang bergerak secara mekanis, ia tidak juga dipahami sebagai sarana untuk mencapai tujuan manusia saja (antroposentrisme).

“Lingkungan adalah sebuah ekosistem, alam semesta. Tetapi lingkungan itu sekaligus punya kaitan yang tak dapat dipisahkan dengan kehidupan yang ada di dalamnya. Bahkan, lingkungan atau ekosistem itu sendiri mengandung dan berarti kehidupan itu sendiri atau paling kurang yang memungkinkan kehidupan dapat berlangsung di dalamnya. Dengan demikian lingkungan hidup berkaitan dengan kehidupan, dengan hidup (life), karena menunjang kehidupan dan sekaligus adalah kehidupan.”  

Keraf, 2014:43

Berdasarkan asumsi tersebut, kita tahu bahwa manusia dan non-manusia berelasi secara berkelindan. Lalu apa saja yang termasuk ke dalam kategori non-manusia? Apakah hewan dan tumbuhan? Apakah gunung dan sungai? Apakah jembatan dan jalan raya? Mengenai hal tersebut, Denis Owen mengatakan bahwa, “ekologi berurusan dengan hubungan di antara tumbuhan dan hewan dan lingkungan di mana mereka hidup”. Baik makhluk hidup dan elemen abiotik, selain dipengaruhi, juga mempengaruhi perkembangan ekosistem. 

Filsafat lingkungan hidup merupakan sebuah diskursus tentang lingkungan hidup itu sendiri, seputar makna, hakikat, dan sebagainya. Arne Naess, pemikir beraliran “deep ecology”, menyebut diskursus ini sebagai ecosophy, yang artinya bahwa filsafat lingkungan hidup mengandung pengertian kearifan memahami alam sebagai rumah tinggal, sekaligus sebagai sebuah kearifan dalam menata tempat tinggal agar layak didiami dan menjadi penunjang yang memungkinkan perkembangan kehidupan di dalamnya. Ia tidak sekedar sebuah ilmu (science) melainkan sebuah kearifan (wisdom) (Keraf, 2014:46-48). 

Pandangan kritis dari pendekatan filosofis penting demi merefleksikan ulang hubungan manusia dan alam. Terlebih di saat kita dihadapkan dengan ancaman kerusakan alam yang semakin parah, kita membutuhkan perspektif baru untuk mencari jawaban atas akar dari krisis tersebut. 

Menggugat Antroposentrisme

Antroposentrisme merupakan suatu cara pandang umum baik di tataran para saintis,  politisi, dan masyarakat di abad modern. Cara pandang atau paradigma, menurut Thomas Kuhn merupakan sebuah konstelasi konsep, nilai, teknik, dan semacamnya yang dianut bersama oleh sebuah komunitas ilmiah dan digunakan untuk memahami bermacam-macam persoalan serta jawaban. Ia menjelaskan bahwa paradigma bisa saja berubah, ditandai dengan pergantian sepenuhnya (revolutionary breaks) atas paradigma lama. Keraf menggunakan konsep paradigma dari Kuhn untuk melihat bagaimana paradigma atas alam dan ilmu pengetahuan mengalami pergeseran fase

Fase pertama adalah cara pandang organis. Fase ini ditandai dengan lahirnya para filsuf sejak era Yunani Kuno, terkhusus di era Aristoteles sampai abad pertengahan yang memahami alam semesta sebagai kesatuan asasi di antara setiap bagiannya. Aristoteles sendiri sebenarnya menyempurnakan pandangan sebelumnya dari para pemikir pra-sokratik –umumnya istilah pra-sokratik difungsikan untuk membedakannya dengan aliran filsafat sejak Socrates, Plato, Aristoteles dan seterusnya— seperti Tales, Anaximandros, Anaximenes, Heraklitos, Demokritus, dan seterusnya. 

Pada fase ini juga, terkhusus di Eropa, manusia mulai mencari tahu apa makna alam semesta secara rasional dan meninggalkan cara pandang mitologis. Dengan demikian, manusia hidup dalam komunitas kecil dan mengalami alam dalam relasi yang bersifat organis. Selanjutnya, di abad pertengahan, pemikiran Aristoteles, Thomas Aquinas, dan Gereja, alam dipahami dari kemampuan akal budi, spiritual, dan moral untuk memungkinkan pemahaman atas kehidupan dan alam semesta. Perlu dicatat bahwa pada fase ini, paradigma yang hampir sama juga dialami di beberapa belahan dunia lain seperti di Timur, misalnya Taoisme dan Budhisme yang juga banyak menjadi rujukan dalam paradigma filsafat lingkungan di era kontemporer.

Fase kedua, disebut paradigma antroposentrisme. Fase ini dimulai sejak Era Pencerahan di Eropa. Alam dipahami secara mekanistis, terjadi pemisahan antara bagian dan keseluruhan, di mana tubuh dan alam direduksi menjadi bagian-bagian yang terpisah. Alam juga dapat diprediksi, dan dijelaskan hanya berdasarkan hukum-hukum kausalitas, hukum sebab akibat. Implikasi ontologisnya adalah berubahnya cara pandang terhadap alam dari paradigma sebelumnya yang melihat alam secara organis dan memiliki segi spiritual ke cara pandang baru yang mengasumsikan bahwa alam tidak lebih dari sebuah mesin raksasa. Para pemikir ekologisme mempercayai bahwa asal muasal cara pandang ini bermula dari filsuf-filsuf abad modern seperti Descartes, Bacon, dan Newton, kemudian selanjutnya diteruskan oleh Lingkaran Wina dengan fondasi positivismenya. 

Bacon menginginkan kemajuan peradaban manusia melalui ilmu pengetahuan. “ipsa scientia potestas” atau “knowledge is power”, ialah adagium yang terkenal dari Bacon. Hanya dengan memahami hukum-hukum alam, mempelajari sifat-sifat universalnya maka manusia akan berkembang secara progresif (Muslih, 2016: 41-42). Konsekuensi etis dari cara pandang ini ialah kehadiran alam hanya dianggap sebagai instrumen pemuas kebutuhan manusia. 

Selanjutnya Rene Descartes dengan metode kesangsian dan konsep dualismenya membuat pembagian antara tubuh dan jiwa. Hakikat manusia adalah jiwa (akal budi) yang menandai eksistensinya sebagai makhluk yang rasional. Karena itu ia menyatakan bahwa “aku berpikir maka aku ada”. Adapun tubuh tidak lebih dari sekedar materi yang derajatnya lebih rendah dari jiwa. Sama halnya dengan kehidupan lain seperti organisme dan alam pada umumnya hanya dilihat sebagai materi yang hanya dipahami melalui kemampuan analisis akal budi dari manusia. 

“…hanya manusia yang dapat meragukan dirinya. Melalui akalnya, ia mampu menyadari bahwa dirinya bereksistensi. Kemampuan cogitans menjadi keistimewaan bagi manusia. Atas dasar alasan itu seluruh fondasi antroposentrik dibentuk.”

Saras, 2015:21

Fase ketiga, ekosentrisme. Paradigma ini hendak melahirkan kembali cara melihat alam yang  seolah kering, kosong, dan statis  ke paradigma lama (organis) dengan memberikan nilai estetis, etis, spiritual, kualitas, jiwa, dan roh ke dalamnya. Terkhusus di bidang etika, pandangan ini hendak memperdalam dan mengekstensi nilai etis ke dalam dunia alam. Memproduksi pemikiran etika yang melibatkan alam—memberi nilai pada alam itu sendiri— dengan melihat relasi dan interaksi yang sifatnya setara antara alam dan manusia. Paradigma ini dikenal sebagai paradigma sistemik, organik, holistis, dan ekologis.  

Capra mengatakan bahwa sistem kehidupan memiliki sifat yang lentur dan dinamis sehingga setiap organisme mampu mengatur dirinya sendiri (self-organizing system). Setiap organisme itu tidaklah statis dan deterministis, yang ada mereka justru berinteraksi, berkembang, dan beradaptasi dengan organisme lain dan lingkungan sekitarnya. Dengan kata lain, alam bersifat otonom dan dinamis. Otonom artinya ia memiliki kemampuan untuk menentukan dan merealisasikan dirinya, sedangkan dinamis artinya sifat terbuka pada perubahan dan interaksi. Baik sifat otonom dan dinamis terikat sebagai satu kesatuan, di mana alam dan organisme saling mempengaruhi sebagai sistem kehidupan. 

Salah satu pendekatan yang dikenal sebagai filsafat lingkungan adalah “deep ecology” (ekologi dalam) oleh Naess. Bagi Naess, alam adalah kesatuan cybernetic, yaitu memiliki sistem keseimbangan yang swa-kendali (self-regulating). Bumi tidak dipandang sebagai sesuatu yang mati atau tempat bagi manusia untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam demi kebutuhannya. Bumi memiliki sistem keseimbangan yang sangat penting untuk kelangsungan spesies di dalamnya. Selain itu, Naess juga mengkritisi pemikiran modern yang terjebak dengan pembagian antara manusia dan alam. Seperti dalam dualisme Cartesian, misalnya, yang membagi antara tubuh dan pikiran dalam membaca kenyataan. 

Pemilahan itu menyebabkan pikiran manusia diskriminatif ketika melihat bumi sebagai sesuatu yang lain, hal di luar manusia. Naess berupaya mendamaikan relasi subjek-objek antara manusia dan alam dengan mengasumsikan pendekatan emosional terhadap alam. Baginya, kemampuan emotif merupakan salah satu cara manusia menjalin dirinya dengan dunia luarnya. Jadi tindak itu tidak sebatas pada memikirkan, tetapi juga koneksi yang dijalin (Saras, 2015:8-10).

The Limit to Growth, Pembangunan, dan Ekonomi Berkelanjutan

Masa modern salah satunya ditandai dengan kemajuan yang cukup pesat di bidang teknologi dan industri. Perkembangan itu memang membawa dampak baik bagi peradaban manusia, namun kita tidak bisa mengabaikan kemungkinan-kemungkinan kerusakan yang juga dapat ditimbulkannya.  Ulrich Beck menyebut masyarakat modern “baru” –yang sedang kita alami sekarang— sebagai situasi “masyarakat risiko”. Masyarakat risiko diartikan sebagai kemungkinan-kemungkinan kerusakan fisik (mental dan sosial) yang diakibatkan oleh perubahan di dalam masyarakat oleh pengaruh industrialisasi, modernisasi, dan pembangunan. Masyarakat risiko sendiri dibagi menjadi empat macam: risiko kesehatan, risiko sosial, risiko ekonomi, dan risiko ekologi. 

Konsepsi masyarakat risiko menganjurkan adanya kesadaran terhadap bencana yang bisa datang kapan saja tanpa diduga. Sebagai contoh risiko bencana dan krisis lingkungan, yang terjadi akibat tindak manusia yang tidak bisa mengontrol diri untuk terus-menerus bergantung pada eksploitasi sumber daya alam yang jumlahnya terbatas. 

The limit to growth atau batas-batas pertumbuhan menjelaskan mengenai naiknya tingkat produksi, konsumsi, dan populasi manusia yang tidak diikuti dengan kapasitas sumber daya alam yang terbatas. Beragam perspektif lahir sebagai respons terhadap batas-batas pertumbuhan, mulai dari pendekatan yang bersifat lunak sampai radikal. Pendekatan yang bersifat lunak percaya bahwa sustainability terutama di bidang teknologi dapat menjadi solusi. Misalnya H. Meadow yang sangat optimis pada kemampuan manusia untuk mengadakan perubahan. Apabila tren populasi dunia, industrialisasi, polusi, produksi pangan, dan penipisan sumber daya alam tetap sama, kita akan melewati batas-batas pertumbuhan planet untuk waktu seratus tahun mendatang. Karena itu tren pertumbuhan perlu diubah dengan menetapkan stabilitas ekologi dan ekonomi yang berkelanjutan dengan tidak mengorbankan alam dan terpenuhinya kebutuhan manusia. 

Sedangkan pendekatan radikal justru skeptis dengan langkah-langkah sustainability semacam itu. Tiga aspek prinsip yang diajukan oleh posisi radikal ini ialah (1) solusi teknologi (ekonomi, politik, sosial) tidak bisa memberikan sustainable society: (2) laju pertumbuhan cepat oleh masyarakat industri memiliki karakter eksponensial: (3) interaksi masalah itu tidak dapat ditangani secara terpisah (Dobson, 2007: 53-55). Seorang ahli ekonomi ekologis, Herman Daly, mengemukakan “Teorema Ketidakmungkinan”, ialah pertumbuhan ekonomi tidak mungkin bisa tumbuh secara tak terbatas dalam lingkungan yang terbatas. Apalagi di tengah kondisi masyarakat konsumerisme seperti sekarang, sepertinya wacana ekologis masih belum bisa terlaksana secara maksimal.

Fred Magdoff dan John Belammy Foster mencoba menyampaikan kritik tajam atas fenomena industrialisasi di bawah sistem kapitalisme dalam bukunya berjudul Lingkungan Hidup dan Kapitalisme. Mereka ragu dan pesimis dengan beragam tawaran dari kapitalisme atas persoalan lingkungan hidup: seakan-akan pertumbuhan lebih lanjut pasar modal, konsumsi ramah lingkungan, teknologi baru bisa menyediakan kita jalan keluar dari dilema ekologi global. Salah satu perkembangan terkini oleh ilmuan-ilmuan terkemuka mengungkapkan bahwa planet yang kita huni memiliki setidaknya sembilan “ambang batas”. Ambang batas sistem dari planet itu meliputi: (1) perubahan iklim; (2) pengasaman air laut; (3) penipisan lapisan ozon di stratosfer; (4) batas aliran biokimia; (5) penggunaan air bersih global; (6) perubahan pemanfaatan lahan; (8) pelepasan aerosol ke atmosfer; dan (9) polusi kimia. Kini, setidaknya ada tiga ambang batas yang telah terlewati, ialah perubahan iklim, keberagaman hayati, dan campur tangan manusia dalam siklus nitrogen. 

“Kapitalisme menyebabkan hilangnya hubungan dengan alam, sesama manusia, dan masyarakat. Budaya konsumsi dan mementingkan diri sendiri yang ditumbuhkan oleh sistem ini membuat orang-orang kehilangan hubungan dengan alam—yang dipandang terutama sebagai sumber material untuk perluasan eksploitasi atas manusia dan masyarakat lainnya.”

Magdof dan Foster, 2018: 87

Terputusnya hubungan manusia dan alam nampaknya disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri. Keinginan rakus untuk mengeksploitasi sumber daya alam terus-menerus tidak pernah habis, ditandai dengan kesadaran masyarakat yang masih sedikit untuk bergerak secara kolektif. Ekologisme menawarkan sebuah perubahan radikal di masyarakat. Tentu saja perubahan kesadaran itu secara perlahan ada. Kita bisa lihat melalui beragam kajian, gerakan lingkungan, dan kebijakan pemerintah dalam mengembangkan masyarakat berkelanjutan. Selain itu, memahami berbagai diskursus dalam filsafat lingkungan merupakan modal yang bisa dijadikan dasar untuk perlahan mulai memupuk kesadaran akan pentingnya menata cara pandang terhadap alam, mengubah gaya hidup, mendukung gerakan-gerakan oleh komunitas, memberi kritik atas kebijakan yang menegasikan kehadiran alam, hingga tindakan secara langsung. 

Referensi

  • Dobson, Andrew. 2017. Green Political Thought: Fourth Edition. Taylor and Farancis Group. 
  • Dewi, Saras. 2015. Ekofenomenologi: Mengurai Disekuilibrium relasi manusia dengan alam. Tangerang Selatan: Margin Kiri.
  • Magdoff, Fred dan J.B. Foster. 2018. Lingkungan Hidup dan Kapitalisme. Tangerang Selatan: Margin kiri.
  • Keraf, Sonny. 2014. Filsafat Lingkungan Hidup: Alam sebagai Sebuah Sistem Kehidupan. Yogyakarta: PT Kanisius.
  • Russell, Bertrand. 2007. Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno hingga Sekarang. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
  • Winarno, Budi. Dinamika Isu-Isu Global Kontemporer. 2014. Yogyakarta: Caps.

Anggota Lingkar Studi Filsafat Discourse

Berikan komentar

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Skip to content