Kita hidup di tengah masyarakat yang menghargai penampilan. Ini bukan fenomena baru. Manusia telah senantiasa mengupayakan panjat sosial dengan menampilkan pesona terbaik mereka. Beberapa abad silam, penampilan dilakukan untuk memikat perhatian institusi berotoritas, seperti kerajaan dan gereja. Atraksi publik kala itu meliputi heroisme, demonstrasi intelektual, duel, hingga klaim mukjizat. Mereka yang beruntung lazimnya beroleh keuntungan sosial, mulai dari ketenaran, materi, jejaring, hingga posisi politis.
Dalam perkembangannya, keruntuhan otoritas kerajaan dan gereja menggeser penampilan ke ranah publik. Tontonan yang dulu ditujukan bagi segelintir kaum elit kini didedikasikan demi khalayak ramai. Peralihan dari tradisi feodal ke kultur modern turut mengubah pesona yang tampil. Berkembangnya kapitalisme membuat kesuksesan moneter lebih diakui daripada kemampuan bertarung dan klaim mukjizat, sebagaimana tercermin dalam populernya konten-konten bertajuk “X memperoleh satu miliar pertama di usia 21 tahun,” “Kiat pensiun dini à la Y,” dan “Strategi cepat kaya Z.” Bila enam abad lalu heroisme memampukan lelaki jelata untuk menggandeng putri kerajaan di pelaminan, sekarang kekayaan material menjadi jaminan lelaki buruk rupa untuk berkencan dengan perempuan jelita di dating apps.
Di tengah populernya penampilan publik, autentisitas muncul sebagai kontrakultur. Motivasi yang melatarbelakanginya beragam: mulai dari kegagalan memperoleh pengakuan masyarakat hingga rasa muak pada kepalsuan yang terus dipuji khalayak ramai. Tumbuhnya rezim sekuler yang menjamin kebebasan berekspresi pun berperan vital bagi perkembangan autentisitas di tengah masyarakat. Pada gilirannya, tak sedikit orang yang memberanikan diri untuk bersikap apa adanya, termasuk mengungkapkan aspek-aspek diri yang dipandang tidak elok oleh publik. “Jangan berpretensi, jadilah dirimu sendiri!” “Jika engkau tak mencintai sifat terburukku, engkau tak layak menerima wujud terbaikku!” Demikianlah seruan pengusung autentisitas terhadap tuntutan sosial. Mereka memilih untuk menjadi eksentrik, sekalipun itu berarti dipinggirkan oleh masyarakat.
Ironisnya, neoliberalisme memiliki kemampuan untuk meretas hampir seluruh aspek kehidupan manusia, tak terkecuali autentisitas. Varian terbaru ekonomi kapitalis ini dengan mudah mengubah perlawanan terhadap ekspektasi sosial menjadi strategi meraup keuntungan. Autentisitas yang berstatus kontrakultur lantas berakhir menjadi bagian dari penampilan publik. Fakta tersebut menimbulkan pertanyaan penting: Bagaimana kita sebaiknya menyikapi autentisitas di tengah rezim yang secara halus menungganginya demi kepentingan pasar?
Tulisan ini mencoba menjawab pertanyaan di atas dengan merefleksikan pemikiran Byung-Chul Han, filsuf Jerman berdarah Korea yang mengkaji kebudayaan kontemporer. Refleksi itu akan tersaji dalam paparan bercabang dua yang bersitegang satu sama lain. Pertama-tama, penulis akan mengkritik pandangan Han tentang autentisitas. Kemudian, penulis akan membalik kritik tersebut dengan mengaitkan pandangan Han tentang autentisitas dan analisisnya atas perekonomian neoliberal. Ketegangan ini akan mengungkapkan dilema dari keberadaan autentisitas di tengah peradaban masa kini. Akhirnya, penulis akan menyikapi dilema tersebut dengan menawarkan etika tanggung jawab Emmanuel Levinas sebagai solusi potensial. Tawaran ini penulis ajukan sebagai kesimpulan inkonklusif, sebuah ajakan bagi para pembaca untuk memikirkan isu autentisitas lebih lanjut.
Tesis: Problem Belokan Ritual
Han mengusung pandangan negatif tentang autentisitas. Pandangan ini tertuang secara gamblang dalam karyanya, The disappearance of rituals (2020). Ia mula-mula mengacu pada Charles Taylor untuk mendefinisikan autentisitas sebagai upaya manusia mewujudkan keunikannya. Menurut Taylor, autentisitas memiliki bentukdan konten. Bentuk autentisitas lazimnya berwatak egosentris, seperti pemenuhan atau pencarian jati diri. Namun, kontennya ialah relasi antara suatu individu dan orang lain di sekitarnya. Taylor pun menulis, “Autentisitas bukanlah musuh bagi tuntutan yang datang dari luar diri; ia mensyaratkan tuntutan semacam ini” (Han, hlm. 17). Tanggung jawab pada komunitas niscaya bagi pembentukan identitas setiap orang.
Sayangnya, Han mendapati bahwa definisi autentisitas Taylor bertolak belakang dengan kehidupan masa kini. Alih-alih relasional, autentisitas kontemporer bersifat narsistik. Pembentukan identitas telah menjadi ajang produksi yang mengatasnamakan kebebasan berekspresi. Di bawah ilusi pemenuhan jati diri, anggota masyarakat mengeksploitasi kehidupan mereka secara sukarela. Mereka mengonsumsi komoditas yang mencerminkan keunikan mereka sambil menjual gaya hidup dan kisah mereka melalui internet.
Han menilai bahwa merebaknya autentisitas sebagai kontrakultur menandai kemunduran peradaban. Ia meletakkan penilaian ini di atas dua argumen, yang satu menyoroti hilangnya permainan dalam masyarakat dan yang lain membahas de-simbolisasi seni. Argumen pertama lebih menyita perhatiannya. Mengacu pada Johan Huizinga dan Richard Sennett, Han membandingkan autentisitas masa kini dengan kultur ritualistik Eropa abad ke-18.
Kehidupan publik di Eropa abad ke-18 masih sarat akan permainan teatrikal. Perilaku sosial dan selera mode saat itu—mulai dari sopan santun, desain wig, gaya potongan rambut (coiffure), hingga penempatan tahi lalat (mouche)—mencerminkan kemampuan anggota masyarakat untuk memanipulasi emosi melalui tampak fisik. Penampilan adalah norma sosial mereka, sedangkan keaslian tersembunyi dalam momen-momen intim di lingkup privat. Secara kontras, masyarakat autentik masa kini mengutuki kultur teatrikal ini. Berkat pengaruh mereka, kehidupan publik saat ini menjadi sarat akan transparansi. Tak hanya lekuk tubuh, orang-orang juga menampilkan keaslian yang semula terselubung dalam ruang privat. Masyarakat menjadi semakin “pornografik” seraya anggotanya tercerai-berai dan terisolasi.
Selain itu, autentisitas juga membuat seni mengalami kematian perlahan. Transparansi menganulir ambiguitas yang memperkaya makna seni rupa sembari mengangkat derajat diskursus. Han menyebut fenomena ini sebagai de-simbolisasi seni; dan, mengutip Robert Pfaller, ia menjuluki de-simbolisasi seni sebagai “Protestantisasi masyarakat.” Layaknya umat Protestan yang menyingkirkan atribut-atribut sakral gereja demi menjunjung keutamaan Alkitab, peradaban sekarang lebih memilih untuk berkubang dalam tulisan dan ucapan ketimbang memelihara simbol-simbolnya.
Setelah membingkai autentisitas sebagai isu kebudayaan yang mendesak, Han lantas menawarkan solusi berupa belokan ritual.
Kultus autentisitas narsistik membuat kita buta pada kekuatan simbolis bentuk yang memberi pengaruh substansial atas emosi dan pikiran. Kita bisa membayangkan belokan ritual yang menegakkan kembali prioritas bentuk. Ia akan membalik relasi antara aspek internal dan eksternal, jiwa dan tubuh. Tubuh menggerakkan jiwa, bukan sebaliknya. Tubuh tidak mengikuti jiwa, melainkan jiwa mengikuti tubuh. Kita juga bisa berkata: medium memproduksi pesan. Inilah kekuatan ritual. Bentuk eksternal menimbulkan perubahan internal. Alhasil, ritus sopan santun memiliki efek mental. Upaya untuk menyerupai keindahan menghasilkan jiwa yang indah, bukan sebaliknya. (hlm. 21-22)
Han menulis bahwa ritual mengandung gestur seolah-olah (as-if gestures) yang lebih ampuh dalam menjaga stabilitas peradaban ketimbang narsisme autentisitas. Bila autentisitas menantang penampilan secara umum, Han menantang autentisitas dengan penampilan yang lebih kuno. Ia mengisyaratkan bahwa penampilan yang dilakukan secara berulang hingga menjadi keaslian lebih baik daripada keaslian itu sendiri.
Namun, solusi ini problematik setidaknya karena tiga alasan.
Pertama, ia bertentangan dengan pernyataan Han sendiri bahwa tulisannya “tak digerakkan oleh hasrat untuk kembali ke ritual” (hlm. vi). Dengan menempatkan belokan ritual sebagai solusi bagi autentisitas, Han telah mensinyalir sebentuk nostalgia. Ia mengangkat ritual sebagai kebudayaan ideal yang berbanding terbalik dengan kondisi masa kini. Tenggelam dalam favoritisme, Han juga tidak mempertimbangkan bahwa ritual menggerakkan situs-situs terkelam dalam sejarah manusia, seperti rezim totaliter dan kelompok teroris. Padahal, keduanya beroperasi secara organik menurut ideologi yang tertanam lewat pengulangan ritualistik, seperti semboyan, gestur, busana, dan lencana.
Kedua, belokan ritual mengandaikan bahwa peradaban yang dibangun di atas penampilan lebih baik daripada yang berdiri di atas keaslian. Padahal, penampilan menggiatkan kemunafikan dan tipu daya, terlebih bila ia menyandang status normatif. Perhatikan bahwa tendensi manipulatif yang kini menjadi bagian dari rubrik dark triad memperoleh namanya dari politikus amoral yang hidup dalam kultur ritualistik yang mengedepankan penampilan, Niccolò Machiavelli (Koehn, dkk., 2020; Mansfield, 1998). Selain itu, tidak semua orang bisa melakonkan ritual hingga mencapai keaslian. Indonesia merupakan salah satu negara paling ritualistik sekaligus paling korup di dunia. Skor Corruption Perception Index (Transparency International, 2024) Indonesia tak pernah melampaui 40 dalam sepuluh tahun terakhir, sekalipun warganya berulang kali menampilkan sopan santun dan budi pekerti dalam lingkup publik. Kesenjangan antara penampilan ritualistik dan keaslian kian nyata di negeri ini.
Ketiga, implementasi belokan ritual dalam masyarakat masa kini bisa menimbulkan dampak psikologis yang destruktif. Untuk memahami konsekuensi ini, kita perlu meletakkannya dalam kerangka psikoanalisis Freudian (Solms, 2023; Homayonpour, 2023). Sigmund Freud dan para pengikutnya menemukan bahwa jiwa manusia memiliki elemen yang berfungsi sebagai kompas moral. Elemen yang mereka sebut “superego” ini bekerja menurut prinsip perintah ganda: mengidealkan emosi tertentu sembari menjelekkan yang lain berdasarkan ekspektasi sosial. Aktivitasnya terpaut dengan “id” (sirkuit emosi)dan “ego”(sirkuit atensi dan pertahanan diri), masing-masing terletak di batang otak dan korteks prefrontal. Ego menyaring emosi yang bergejolak dalam id berdasarkan kriteria superego. Pada gilirannya, emosi yang sesuai dengan idealisme superego terpancar keluar, sedangkan yang tak sesuai tertekan ke dalam ketidaksadaran.
Seperti yang penulis singgung dalam Pendahuluan, manusia telah senantiasa menggunakan penampilan untuk melakukan panjat sosial. Konsekuensi dari kecenderungan yang lestari selama ribuan tahun ini adalah penampilan—terutama yang berstatus normatif, seperti ritual—menjadi rujukan utama bagi kriteria superego kita. Berdasarkan sopan santun, budi pekerti, dan peran gender, ego kita menekan emosi yang tergolong lancang dan biadab. Namun, emosi yang tertekan ini tidak hilang begitu saja. Ia bersembunyi dalam ketidaksadaran dan bermutasi menjadi lebih buruk seiring waktu berlalu. Dalam konteks inilah ruang privat berperan penting. Ruang privat menjadi zona aman untuk memproses emosi terpendam yang bisa membuat kita diasingkan oleh masyarakat bila muncul di ruang publik.
Munculnya autentisitas sebagai kontrakultur bagi penampilan menandai perubahan signifikan dalam kejiwaan kita. Keaslian yang semula berkonotasi buruk kini menjadi ideal. Emosi yang terepresi karena tergolong lancang dan biadab menurut norma sosial dapat diekspresikan tanpa rasa sungkan. Ibarat saluran air yang bebas dari kebuntuan, autentisitas menimbulkan dampak emansipatif, khususnya bagi mereka yang selama ini terpinggirkan oleh masyarakat, seperti komunitas LGBTIQ+. Parade pride month yang berlangsung setiap pertengahan tahun dalam dekade terakhir adalah bukti nyata bagi emansipasi tersebut, sekalipun Han sendiri tidak mengakuinya (lih. hlm. vi: “saya tidak menginterpretasikan redupnya ritual sebagai sebuah proses emansipatoris”).
Mengembalikan ritual di tengah masyarakat saat ini setara dengan menyumbat paksa saluran air yang lancar itu. Kumpulan emosi yang kini dilindungi oleh autentisitas lantas harus kembali ditekan dengan alasan mencegah “kehancuran elemen peradaban” (Han, hlm. 22). Ironisnya, penekanan paksa ini berisiko bagi peradaban kita. Masyarakat masa kini telah terbiasa dengan garis dasar kenikmatan yang ditetapkan oleh autentisitas, dan mereka akan mengalami kejutan budaya yang parah ketika belokan ritual diberlakukan. Rasa sakit yang timbul dari kejutan tersebut tak hanya bisa menimbulkan sakit jiwa, tetapi juga pemberontakan.
Dari paparan di atas, terlihat bahwa tawaran Han untuk merestorasi ritual bukanlah solusi ideal bagi autentisitas masa kini. Namun, ini tidak berarti menyingkirkan Han sembari melanggengkan status quo adalah pilihan terbaik. Sebagaimana akan terlihat dalam bagian selanjutnya, autentisitas sendiri membawa dampak sosio-kultural dan psikologis yang tidak kalah problematik. Dalam diagnosis atas dampak inilah kejeniusan Han muncul ke permukaan.
Antitesis: Problem Autentisitas
Pandangan negatif Han tentang autentisitas sebenarnya tidak berdiri di atas favoritisme pada ritual saja. Kendatipun tersirat, Han telah mencurigai autentisitas tiga tahun sebelum menulis The disappearance of rituals. Kecurigaan tersebut termuat dalam Psychopolitics (2017), karyanya yang menelaah cara kerja dan dampak neoliberalisme di tengah masyarakat. Han mengamati bahwa, berbeda dengan kapitalisme alami, neoliberalisme bekerja secara lebih halus dan cerdik. Kontras tersebut ia demonstrasikan dengan membandingkan cara kerja masyarakat disipliner dan masyarakat kontemporer.
Rujukan utama Han dalam melakukan perbandingannya adalah Karl Marx. Dari pembacaannya atas sejarah peradaban, Marx mendeteksi sebuah ketegangan sosial yang telah berlangsung sejak manusia menjalankan sistem perbudakan. Ketegangan ini terjadi di antara dua kutub: kekuatan produksi (pekerja, sumber daya, teknologi) dan relasi produksi (kepemilikan, struktur feodal, dominasi). Kontradiksi antara dua kutub inilah yang mencirikan cara kerja top–down dari masyarakat disipliner. Para pemilik kekuatan produksi adalah “tuan” yang menaklukkan para pekerja dan sumber daya mereka melalui pemaksaan. Sebaliknya, para pekerja adalah “hamba” yang terpaksa merelakan hak dan kebebasan mereka pada para pemilik kekuatan produksi demi kelangsungan hidup.
Kendatipun tersembunyi pada mulanya, perkembangan konstan dari kekuatan produksi menyebabkan kontradiksi antara tuan dan hamba ini makin terlihat seiring waktu berlalu. Di abad ke-19, krisis sosial berupa pemberontakan pekerja mulai merebak akibat ketidakpuasan para pekerja pada cara kerja masyarakat yang berkarakter top-down itu. Berdasarkan situasi ini, Marx memperkirakan bahwa ketegangan sosial peradaban kita akan memuncak dalam perseteruan antara kelas borjuis sebagai tuan dan kelas proletariat sebagai hamba. Perseteruan itulah yang gilirannya akan mengantarkan kita menuju masyarakat komunis.
Sayangnya, Han menilai bahwa Marx tidak memperhitungkan kontradiksi inheren dari kapitalisme, ideologi yang memotori ketegangan sosial di era modern. Menurut Han, kapitalisme sebenarnya mengusung perbudakan dan kebebasan sekaligus. Namun, nosi kebebasan kapitalisme bertolak belakang dengan etimologinya. “Kebebasan (freedom) dan persahabatan (friendship) memiliki akar kata yang sama dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa” (hlm. 2). Pautan linguistik ini menunjukkan bahwa kebebasan sejati tidak bisa dipisahkan dari—dan hanya dapat ditemukan dalam—relasi interpersonal. Ironisnya, kapitalisme malah menawarkan kebebasanindividual yang menjamin keleluasaan pemuasan hasrat belaka. Bermula sebagai basis moral bagi persaingan bebas antara para pemilik kekuatan produksi, nosi kebebasan ini berkembang menjadi faktor kunci bagi keberhasilan kapitalisme dalam melampaui ekonomi sosialis pasca-Perang Dunia yang sempat meruntuhkannya.
Han melanjutkan bahwa evolusi kapitalisme menjadi neoliberalisme menandai transisi dari masyarakat disipliner ke masyarakat kontemporer. Neoliberalisme membuang cara kerja top-down dalam ketegangan tuan-hamba dan memberlakukan kebebasan individual bagi semua kalangan. Alhasil, semua anggota masyarakat kontemporer terbebas dari segala bentuk pemaksaan dan kekangan eksternal. Namun, pembebasan itu datang bersama satu ironi besar: ketegangan tuan-hamba kini terinternalisasidalam setiap anggota masyarakat. Bila semula ketegangan sosial mewujud dalam perseteruan antara kekuatan produksi dan pemiliknya, sekarang setiap orang adalah kekuatan produksi sekaligus pemilik kekuatan produksi itu sendiri. Jika agresi mereka yang tertindas semula terarah ke para penindas, kini setiap orang menindas diri mereka sendiri.
Keberhasilan inilah yang menyebabkan Han menjuluki neoliberalisme sebagai “smart power” (hlm. 13). Berbeda dengan kapitalisme klasik yang beroperasi melalui pemaksaan (should), ekonomi neoliberal menggerakkan para hambanya dengan pemberdayaan (can). Sambil mengkomodifikasi setiap sendi kehidupan manusia, neoliberalisme menjebak masyarakat kontemporer dalam ilusi bahwa mereka bisa menjadi apapun yang mereka inginkan. Ilusi inilah yang gilirannya mendorong orang-orang untuk secara sukarela memperlakukan kehidupan mereka layaknya sebuah proyek ekonomi. Atas dasar itu, Han menjuluki anggota masyarakat kontemporer sebagai “hamba absolut.” Mereka “mengeksploitasi diri mereka sendiri tanpa paksaan sang tuan” (hlm. 2).
Lantas, apa kaitan semua ini dengan autentisitas?
Terdapat dua keselarasan penting antara paparan dalam Psychopolitics dan The disappearance of rituals. Pertama, definisi etimologis kebebasan dalam bahasa-bahasa Indo-Eropa bersesuaian dengan definisi autentisitas Taylor. Artinya, bila autentisitas memerlukan jaminan kebebasan berekspresi, maka kebebasan itu idealnya berbasis pada relasi interpersonal dan penerimaan pada mereka yang berbeda. Kedua, nosi kebebasan individual dalam kapitalisme bersesuaian dengan narsisme autentisitas. Dengan kata lain, autentisitas yang berkembang saat ini telah kehilangan dimensi relasionalnya akibat manipulasi rezim neoliberal.
Kesadaran inilah yang mendasari pandangan negatif Han tentang autentisitas. Seturut dengan itu, penulis juga menemukan dua masalah yang ditimbulkan oleh kontrakultur ini.
Pertama, autentisitas yang beroperasi di bawah ekonomi neoliberal mengaburkan batas antara keaslian dan penampilan. Ia sekilas terlihat emansipatif, tetapi nyatanya ia tidak lebih dari penampilan publik yang ditunggangi oleh kepentingan pasar. Tidak perlu waktu lama bagi kaum terpinggir yang terbebas karena autentisitas untuk memperhamba diri mereka sendiri. Dengan mempertontonkan kisah dan gaya hidup mereka ke khalayak ramai, kaum marginal seperti komunitas LGBTIQ+ telah mengizinkan pasar untuk mengkomersialisasi ketelanjangan mereka. Merek-merek global lantas berlomba memasang logo pelangi sebagai bentuk solidaritas setiap bulan Juni; sebuah gestur yang tak lebih dari upaya mengamankan reputasi sembari menciptakan tren yang mendongkrak keuntungan mereka.
Kaburnya batas antara keaslian dan penampilan ini membuat para oknum panjat sosial bisa berpura-pura autentik demi keuntungan individual mereka. Akan ada dari mereka yang mengaku homoseksual atau menderita disabilitas tertentu demi mendapatkan beasiswa atau hak istimewa di kantor. Akan ada pula yang mengunggah konten bertajuk “Day in My Life” yang sekilas tampak kasual, tetapi sebenarnya sudah disunting besar-besaran demi beroleh engagement di media sosial. Terlepas dari bentuknya, terbukanya ruang untuk menampilkan autentisitas meruntuhkan statusnya sebagai kontrakultur. Autentisitas kini tak lebih dari salah satu penampilan publik yang mencuri atensi masyarakat demi keuntungan sosial.
Kedua, penyebarluasan autentisitas di era neoliberal juga membawa dampak psikologis yang tidak remeh-temeh. Ingat kembali bahwa superego manusia membuat perintah ganda dengan mengacu stimulus yang datang dari luar diri, terutama ekspektasi sosial. Perintah ganda itu mungkin bertentangan dengan sebagian emosi kita. Namun, setidaknya pertentangan ini terdefinisikan dengan jelas, sebagaimana ketegangan tuan-hamba tampak gamblang dalam masyarakat disipliner.
Ketika neoliberalisme meretas autentisitas, ia memperluas pengaruhnya ke ranah kejiwaan. Di bawah manipulasinya, orang-orang tidak hanya menjadi tuan sekaligus hamba, tetapi juga pelaksana sekaligus acuan dari superegonya sendiri. Dengan menimbulkan ketegangan psikologis, autentisitas memicu kedatangan orang-orang yang melampaui moralitas konvensional. Hanya saja, mereka sama sekali bukanlah Übermensch dalam pengertian Nietzschean. Melanie Shepherd (2022) menulis bahwa konsep Übermensch “pertama-tama menyoal keputusan untuk berelasi dengan manusia, pertanyaan tentang cara terbaik untuk berelasi dengan manusia, dan penolakan rasa kasihan (pity) sebagai relasi yang pantas” (hlm. 49). Secara kontras, narsisme yang dibawa oleh autentisitas di era neoliberal mengabaikan relasi antarmanusia. Alih-alih menghadirkan Übermensch, ketegangan psikologis yang ditimbulkan oleh autentisitas hanya akan mendatangkan anarki. Setiap individu akan menggagas moralnya sendiri semata-mata demi memuaskan hasratnya untuk berkuasa. Peradaban pun berisiko untuk terdegradasi menjadi hutan rimba.
Belokan ritual memang bukan solusi ideal bagi autentisitas. Akan tetapi, ia setidaknya memiliki alasan pendukung yang kuat. Kendatipun tidak utopis, prioritas penampilan ritual di ruang publik setidaknya akan mencegah ketegangan psikologis yang menimbulkan anarki dengan memulihkan acuan eksternal dari superego manusia. Kejutan budaya mungkin akan terjadi, tetapi setidaknya efek sampingnya tidak bersifat final. Dalam rentang satu atau dua generasi, masyarakat mungkin akan mencapai homeostasis dan membuat garis dasar kenikmatan yang baru.
Sublasi: Antara Ritual dan Autentisitas
Filsafat Hegelian menawarkan sebuah konsep yang menjelaskan kompleksitas ketegangan dua kutub atau dialektika, yaitu sublasi (Krahn, 2014). Bila dialektika mewujud dalam oposisi biner, sublasi menandaskan bahwa kedua kutub yang bersitegang itu bisa bersatu tanpa kehilangan perbedaannya. Alhasil, dialektika bukanlah proses menuju titik final, melainkan siklus yang dinamis dan berkelanjutan. Tak satupun produk sublasi bersifat stabil secara total. Ia selalu terbuka bagi kemunculan kutub lain yang kemudian tersublasi lagi, demikian seterusnya ad infinitum.
Seluruh refleksi di atas disusun menurut kerangka berpikir Hegelian tersebut. Ketegangan di dalamnya mengunugkapkan bahwa peradaban kita sedang terjebak dalam sebuah dilema yang berpusat pada autentisitas. Di satu sisi, autentisitas menghadirkan dampak emansipatif yang membuatnya tidak dapat dihapuskan begitu saja. Di sisi lain, rezim neoliberal telah sukses mendegradasi autentisitas menjadi salah satu penampilan publik yang mengeksploitasi manusia demi melayani pasar. Kehadiran belokan ritual sebagai alternatif pun terasimilasi ke dalam dilema tersebut. Di satu sisi, pemulihan ritual di tengah masyarakat kontemporer adalah solusi yang tidak sempurna. Ia problematik secara konseptual dan bisa menimbulkan efek samping yang destruktif bagi masyarakat. Namun di sisi lain, pengaburan batas keaslian-penampilan dan ketegangan psikologis yang ditimbulkan oleh autentisitas membuat belokan ritual mendesak.
Terdapat godaan untuk menjadikan belokan ritual sebagai titik henti dari refleksi ini, entah karena kemalasan atau keyakinan bahwa tindak lanjut yang lebih baik akan muncul seiring implementasinya berlangsung. Namun, seturut spirit Hegelian yang terbuka pada kompleksitas dialektika, penulis menolak untuk terburu-buru menerima tawaran yang sudah ada itu. Lebih baik bagi kita untuk mempertimbangkan sintesis alternatif, dan lebih baik lagi bila para pembaca menawarkan sintesis yang lebih sempurna dibandingkan apa yang akan penulis tawarkan di sini.
Seperti telah disinggung dalam Pendahuluan, penulis mengusulkan etika tanggung jawabEmmanuel Levinas (1969; Burggraeve, 1999) sebagai solusi bagi dilema autentisitas. Usulan ini penulis ajukan karena mengembalikan aspek relasional dari autentisitas relatif lebih mudah untuk dilakukan ketimbang memulihkan peran ritual di tengah masyarakat masa kini yang semakin sekuler. Dengan membingkai penerimaan atas keunikan orang lain sebagai tanggung jawab eksistensial, Levinas telah membangun ruang aman bagi autentisitas tanpa memutus hubungan setiap individu dengan orang lain di sekitarnya. Kendatipun tidak tergolong ideal, autentisitas berbasis etika tanggung jawab setidaknya bisa mengurangi komersialisasi kehidupan yang kini masih berlangsung. Relasionalitas juga mampu memitigasi ketegangan psikologis dan anarki yang berpotensi timbul dari narsisme autentisitas yang berkepanjangan.
Akan tetapi, usulan penulis memiliki satu kelemahan vital: ia tidak memikat hasrat layaknya autentisitas neoliberal yang berbasis pada kebebasan individual. Autentisitas berbasis tanggung jawab mungkin tidak akan berdampak signifikan bagi masyarakat masa kini karena ia minim peminat. Tawaran yang memperhitungkan hasrat manusia lantas menjadi penting, dan karenanya penulis merekomendasikan arah ini bagi pembaca yang hendak melampaui tawarannya.
Referensi
Burggraeve, R. (1999). Violence and the vulnerable face of the other: The vision of
Emmanuel Levinas on moral evil and our responsibility. Journal of social philosophy 30 (1): 29-45.
Han, B-C. (2017). Psychopolitics: Neoliberalism and new technologies of power,
diterjemahkan oleh E. Butler. Verso.
Han, B-C. (2020). The disappearance of rituals: A topology of the present, diterjemahkan
oleh D. Steuer. Polity.
Homayounpour, G. (2023). The ego and the id and . . . the superego. Dalam The ego and the
id: 100 years later, disunting oleh F. Busch dan N. Delgado. Routledge.
Koehn, M. A., C. Okan, P. K. Jonason. (2020). A primer on the Dark Triad traits. Australian
journal of psychology 71 (1). Doi: 10.1111/ajpy.12198.
Krahn, R. (2014). The sublation of dialectics: Hegel and the logic of Aufhebung [Doctoral
dissertation, The University of Guelph]. https://atrium.lib.uoguelph.ca/server/api/core/bitstreams/b5b4a073-6f64-430a-9b25-895c3d35032c/content
Levinas, E. (1969). Totality and infinity: An essay on exteriority, diterjemahkan oleh
A. Lingis. Duquesne University Press.
Mansfield, H. (1998, July 20). Niccolò Machiavelli: Italian statesman and writer.
Encyclopaedia Britannica. https://www.britannica.com/biography/Niccolo-Machiavelli
Shepherd, M. (2022). Nietzsche’s Übermensch: From shared suffering to shared joy. Dalam
Joy and laughter in Nietzsche’s philosophy, disunting oleh M. J. McNeal dan P. E. Kirkland. Bloomsbury Publishing.
Solms, M. (2023). Freud’s error. Dalam The ego and the id: 100 years later, disunting oleh F.
Busch dan N. Delgado. Routledge.
Transparency International. (2024, n.d.). Corruption perception index (CPI): Indonesia.
Transparency International. https://www.transparency.org/en/cpi/2024/index/idn
Kornelius Lumbanbatu
Seorang penulis amatir yang menggeluti persimpangan antara filsafat dan teologi. Topik-topik yang ia minati meliputi eksistensialisme, teori politik, metafisika tradisional (terutama dalam era patristik), dan kritik budaya.










Berikan komentar