“Manusia artinya sang penilai.”
Ungkapan itu didapatkan dari buku ternama; Thus Spoke Zarathustra. Meskipun tidak satu pun di tulisan ini yang akan membahas buku tersebut, atau filsuf besar di baliknya, namun sepatah kalimat itu memberi satu pengertian utuh terkait apa arti kehadiran manusia. Satu pengertian yang tak kurang dan tak lebih adalah tentang arti dari manusia sebagai makhluk berakal yang sejauh ini diketahui hanya ada satu-satunya di alam semesta.
Manusia artinya sang penilai. Terlepas dari apa peranan kita, dalam bidang apa kita hidup dan menghidupi. Penilaian adalah karya yang senantiasa dibubuhkan oleh manusia sepanjang sejarahnya. Kita melihat, mengolah penglihatan kita, dan menghasilkan penilaian. Yang lantas dipertimbangkan, diperdebatkan, dibuktikan, untuk menghasilkan nilai-nilai yang lebih benar atau lebih baik.
Cara kerja semesta manusia, terkesan seperti pabrik dari penilaian-penilaian. Ada penilaian yang diproduksi, didistribusi, dikonsumsi, dan juga dibuang, itu adalah sirkulasi tanpa akhir manusia, ialah makhluk penilai.
Dalam perdebatan alamiah maupun sosial, nilai berarti penting bagi manusia karena ia adalah sumber dari putusan. Nilai setara halnya dengan makanan dan minuman yang menjadi sumber daya bagi tubuh manusia. Penilaian dibutuhkan untuk menggerakkan kehendak, dan kehendak bergerak sesuai dengan apa (nilai) yang dikehendakinya. Karena itu, satu langkah mundur untuk menilai arti nilai mungkin dibutuhkan. Suatu refleksi agar kita bisa memilah dengan lebih jelas penilaian macam apa yang terintegrasi sesuai kehendak kita. Untuk itu mari kita coba menilai arti nilai melalui dua aspek penting, yaitu ruang dan waktu; yang pada aspek pertama menjadi wadah di mana suatu nilai tersebut berlaku, dan seberapa lama suatu nilai dapat berlaku.
Jangka waktu berlakunya suatu nilai
“Tidak ada yang tetap, semuanya berubah. Yang ada hanya ketetapan perubahan, atau perubahan ketetapan.”
Tan Malaka
Dualisme terkait penilaian, pertama-tama terbagi kepada dua kubu kontra, yaitu yang bernilai positif dan negatif. Itulah basis dualisme di seluruh alam semesta.
Nilai positif dan negatif tersebut bisa diartikulasikan dalam ucapan yang berbeda-beda, tergantung bidang apa yang sedang dinilai, apakah itu seni sehingga diartikulasikan sebagai indah dan buruk, apakah itu eksak sehingga diartikulasikan sebagai benar dan salah, ataukah itu ranah moral, sehingga diartikulasikan sebagai baik dan jahat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa kita memiliki dua cetakan baku, yaitu positif dan negatif, sebagai penentu untuk memutuskan suatu penilaian. Suatu hal, apa pun itu, harus bisa masuk ke salah satu di antara keduanya untuk memperoleh nilai. Kita sebagai makhluk penilai, selalu memasukkan hal-hal ke dalam cetakan penentu tersebut sepanjang kita berkehendak, supaya kita mendapat penilaian. Kita senantiasa melakukan itu setiap harinya untuk membuat keputusan, namun dalam aktivitas tersebut kita sering kali hanya fokus pada hasilnya, pada apakah itu benar, salah, baik, buruk, tapi bagaimana dengan cetakannya itu sendiri?
Cetakan penilaian sering terabaikan, setidaknya karena cetakan tersebut sudah kita anggap tetap, suatu yang baku, tidak berubah, mutlak. Kita menghasilkan penilaian dari cetakkan yang sama, dan tidak ada sesuatu yang salah terjadi dengan itu, itu sebabnya kita mengabaikannya. Tapi yang harus kita ingat, tidak ada satu pun hal yang tetap di dunia ini, karena kita memiliki waktu.
Waktu adalah konsekuensi dari perubahan, atau suatu satuan untuk mengukur evolusi apapun itu, dan termasuk evolusi dari cetakan nilai-nilai di dalamnya. Sebagai contoh mari kita coba menilai bentuk bumi. Klaim bumi berbentuk bulat, segitiga, ataupun lonjong, dapat ditentukan sebagaimana nyatanya bumi tersebut berbentuk. Kita tentu saja telah mencapai era di mana teknologi mampu mengungkap fakta observasi terkait bentuk bumi secara tangible, yang mana bentuk bumi adalah bulat tidak sempurna (oval) dan dibaptislah ia sebagai cetakan penilaian.
Lantas dari banyaknya klaim, teori, atau postulat seputar bentuk bumi. Semua yang sesuai dengan fakta observasi adalah benar, dan sisanya salah, itulah fatwa tentang nilai benar dan salah terkait bentuk bumi. Namun, apakah bumi itu sendiri sebagai sang pencetak nilai, selalu berbentuk oval?
Nyatanya tidak, bentuk bumi seperti ini hanya diperkirakan sejak 4.5 miliar tahun lalu. Jadi jika kita ke masa lalu yang lebih jauh, kita akan mengetahui bahwa bumi terbentuk dari nebula (awan gas dan debu) yang sama dengan pembentuk matahari. Jadi bentuk bumi dalam miliaran tahun lampau adalah sebaran debu luar angkasa dan tidak oval seperti ini. Artinya jika kita mengklaim bentuk bumi adalah oval pada lebih dari 5 miliar tahun lalu klaim tersebut akan bernilai salah.
Jadi benar dan salah selalu tergantung pada waktunya. Sebagaimana cetakan dari nilai senantiasa berubah seiring waktu, sebagaimana ketetapan dari nilai akan berlaku seiring waktu, sebagaimana waktu itu sendiri ialah konsekuensi dari perubahan.
Ruang berlakunya suatu nilai
Selain waktu, hal penting yang lain yang menjadi penentu cetakan penilaian adalah ruang, atau letak. Cetakan dari suatu nilai akan fluktuatif berdasarkan letaknya, dalam ranah eksak itulah apa yang disebut energi potensial, yaitu energi yang nilainya bergantung pada letak kedudukannya di medan gaya.
Sebagaimana kedudukan suatu lempengan besi akan mempengaruhi seberapa mungkin ia tertarik oleh medan magnet, sehingga kesimpulan apakah magnet bisa menarik besi atau tidak bergantung pada letaknya, yaitu tergantung seberapa jauh besi dan magnet tersebut berada.
Cetakan dari penilaian akan berubah-ubah bergantung di mana itu berlaku. Dalam konteks sosial pun jelas sekali, bahwa norma, hukum atau moralitas, hanya berlaku secara partikular di suatu wilayah, entah itu negara, kota, agama, atau kebudayaan. Sebagaimana apa yang baik dan jahat di suatu wilayah belum tentu sama dengan di wilayah lainnya.
Dan ada satu hal yang menarik terkait lingkup nilai moralitas secara sosial. Bukan bicara soal perbedaan baik dan buruk antar wilayah kultural, tapi sesuatu yang pertentangannya lebih tajam, yaitu pertentangan moral antara berpihak pada diri atau komunitas (hal di luar diri), karena seringkali diperlukan pengorbanan pada salah satu dari kedua sisi itu, tergantung di mana kita mau berkorban. Kita bisa bisa melakukan sesuatu yang secara sekaligus dapat dinilai baik untuk lingkup diri kita namun buruk untuk orang lain, ataupun sebaliknya.
Jika ada seseorang yang mengorbankan hidupnya untuk orang lain. Nilai tindakan tersebut jika kita nilai secara awam, pasti akan dinilai baik sampai tingkatan mulia. Tapi sebetulnya kebaikan tersebut berlaku hanya jika kita tidak berpihak pada individualitas orang yang berkorban tersebut, karena jika kita berpihak padanya kita akan menilai itu sebagai tindakan yang merugikan diri yang karenanya tindakan tersebut buruk. Jadi mau berpihak pada diri atau orang lain, adalah yang harus ditentukan lebih dahulu sebelum mengklaim suatu hal baik atau buruk.
Semua bergantung pada sudut pandang. Begitu pun dalam menilai suatu identitas, letaknya dan letak si penilai, waktu saat kita menilai, akan sangat berpengaruh dalam membuat penilaian. Sebagaimana saya adalah individu, jika Anda memangkas jarak pandang Anda hanya pada skala individual, tapi saya adalah bagian dari masyarakat jika Anda melihat dari sudut pandang seluas suatu kota atau negara, begitu pun atom di tubuh saya hanyalah atom dari sudut pandang yang hanya mencakup atom, dan seterusnya.
Dan tentu saja, identitas sesuatu ditentukan tidak hanya oleh sudut pandang penilainya namun juga waktu. Dalam waktu tertentu manusia hanyalah fraksi dari 2 sel yang terpencar yaitu sperma dan sel telur, dan jika kita menarik garis jauh sepanjang waktu, identitas diri kita akan sangat beragam lagi, hingga mencapai identitas muasal kita pada 13,8 miliar tahun lalu, yaitu titik singularitas semesta.
Dari itu semua dapat kita simpulkan dengan jelas, bahwa cetakan dari penilaian tidak baku. Ia dapat berubah jika kita pindah letaknya, atau jika kita tunggu sampai waktu tertentu. Sehingga dalam membuat penilaian sebagai dasar keputusan, kita harus — tidak hanya terpaku untuk memasukkan variabel ke dalam mesin penentu nilai — peduli terhadap mesin apa, atau cetakan apa yang perlu kita gunakan dalam membuat penilaian di ruang waktu ini.
Tiara Arsya Salsabila
Siswi di SMK Multimedia
- Penulis ini tidak memiliki artikel lain.