Tubuh selalu dipandang secara berbeda dalam setiap zaman, sepanjang sejarah. Diskursus atas tubuh selalu berkembang dan memunculkan suatu gagasan baru. Anthony Synott dalam Tubuh sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat (2003), mengungkapkan pemikiran-pemikiran para filsuf atas tubuh. Pada era filsafat Yunani, pemikiran atas tubuh berkutat pada dualisme tubuh dan jiwa. Sokrates misalnya, beranggapan bahwa tubuh adalah penjara bagi jiwa, kemudian Plato berpendapat tentang dualitas, antara tubuh dan jiwa. Bagi Plato, jiwa lebih unggul dari tubuh, bahwa keindahan absolut terletak pada keindahan jiwa. Meskipun Plato sendiri tidak menolak keindahan tubuh, namun baginya keindahan tubuh adalah jembatan menuju keindahan sejati, ialah keindahan jiwa. Sedangkan Aristoteles, menganggap bahwa tubuh dan jiwa adalah dualitas yang tak terpisahkan.
Berbeda dengan era para filsuf Yunani atau zaman kekristenan awal, perbincangan mengenai tubuh bertumpu pada dogma dan aspek teologi yang mengacu pada kesucian dan spiritualitas. Tubuh dipandang sebagai bait Tuhan, namun kadang juga dapat dipandang sebagai musuh, karena tubuh dapat membawa jiwa pada kenikmatan dunia, dan membawa diri melenceng dari jalan Allah. Dalam era ini, tubuh dialienasikan oleh wacana spiritualitas dan keagamaan, karena tubuh dianggap mampu membawa manusia jatuh ke dalam kubangan dosa dan kenikmatan dunia. Hal yang kemudian akan berubah pada era selanjutnya, ialah era renaisans.
Dalam era selanjutnya, ialah era renaisans, wacana sebelumnya berubah menjadi tubuh mekanis. Hal tersebut salah satunya terlihat dalam pandangan Rene Descartes, yang menganggap bahwa tubuh adalah mesin, yang bekerja secara mekanis. Pandangan Descartes mengenai tubuh, rasio, dan kesubjekkan merupakan salah satu pemicu diskusi yang lebih lanjut mengenai tubuh, salah satunya datang dari Maurice Merleau-Ponty yang pemikirannya akan kita permasalahkan dalam tulisan ini. (Synott, 2003)
Mengenai tubuh, kita selalu dibingungkan dalam dualitas subjek dan objek, hal ini terus-menerus berlanjut bahkan dalam pemikiran postmodern. Gagasan tentang The Death of Subject dalam term postmodern semakin menyudutkan subjek sebagai realitas yang tak sadar akan dunia. Pemikiran Merleau-Ponty beranjak dari kritiknya atas pemikiran Rasionalisme dan Empirisme. Ia memberikan nuansa baru dalam cara pandang kita atas subjek. Bagi Merleau-Ponty, aku adalah tubuhku, tubuh yang mengalami, merasakan, dan menghayati dunianya.
Merleau-Ponty merupakan seorang fenomenologis asal Prancis (1908-1961). Dalam pemikirannya, Merleau-Ponty banyak terpengaruh oleh pemikiran Edmund Husserl, namun bukan berarti Merleau-Ponty tidak memiliki gagasannya sendiri. Pemikiran Merleau-Ponty juga sering disebut sebagai “fenomenologi tubuh”, karena gagasan-gagasan yang Merleau-Ponty banyak melibatkan tubuh sebagai elemen penting dalam wacana kesadaran dan pengalaman. Merleau-Ponty berusaha untuk melihat manusia dalam sebuah kesatuan tubuh, jiwa, dan roh sekaligus, dia menolak pemikiran mengenai tubuh oleh para pemikir sebelumnya, salah satunya ialah pemikiran Descartes yang memisahkan antara tubuh dan kesadaran.
Pemikiran Merleau-Ponty mengenai tubuh banyak terdapat dalam karya-karya yang diterbitkannya, khususnya dalam Phenomenology of Perceptions (1945). Dalam buku ini, Merleau-Ponty menjelaskan secara spesifik gagasannya mengenai tubuh sebagai titik tolak cara “mengada” manusia dalam dunia. Keterarahan hidup dan diri, termasuk tubuh biologis, menunjukkan adanya “Sense” (rasa) tentang dunia. Bagi, Merleau-Ponty pengalaman merupakan sebuah titik tolak untuk mengerti bagaimana memersepsikan hubungan antara tubuh dengan dunia. Dalam mengupas perihal hakikat tubuh, Merleau-Ponty beranggapan bahwa dunia adalah sesuatu yang dialami dan dirasakan oleh tubuh. Merleau-Ponty sendiri menganggap tubuh bukan sekadar objek dalam dunia. Bagi dia, tubuh adalah aku yang sadar akan tubuhku (Tubuh sebagai subjek persepsi). Tubuh adalah sarana berlangsungnya pengalaman perseptual serta dasar bagi eksistensi manusia dalam dunia.
Dalam Phenomenology of Perceptions, Merleau-Ponty mengungkapkan bahwa, “manusia dibentuk sekaligus membentuk dunia, mempengaruhi dan dipengaruhi pula oleh dunia, serta memaknai bahkan dimaknai oleh dunia.” Merleau-Ponty dalam (Sebastian, 2016) menjelaskan bahwa keberadaan dunia beserta objek-objek di hadapan manusia itu bukan hasil rekonstruksi pikiran atau ide-ide belaka. Dunia beserta objek-objek tersebut dialami sebagai sesuatu yang sangat terkait dengan kesatuan tubuh. Hal ini merupakan bentuk kritiknya atas kaum rasionalisme, yang menganggap bahwa objek adalah rekonstruksi dari akal budi kita. Merleau-Ponty juga berpendapat bahwa persepsi atas objek yang berada di luar atau terpisah dari tubuh kita pada dasarnya dikenai oleh persepsi atas tubuh kita sendiri. Kemudian, setiap persepsi dari objek-objek eksternal tersebut bersinergi dengan persepsi tubuh. “Setiap persepsi eksternal langsung bersinonim dengan persepsi tertentu atas tubuhku, sebagaimana juga setiap persepsi atas tubuhku dibuat eksplisit dalam bahasa persepsi eksternal” (Sebastian, 2016 : 96)
Menurut Merleau-Ponty, tubuh akan memberi bentuk dan makna, tubuh mempersatukan dirinya dengan objek dalam suatu busur intensional yang menciptakan suatu bagan tubuh (corporeal scheme), dengan kata lain, badan menjadi alat dari suatu pengetahuan yang umum dan tersembunyi. Merleau-Ponty berpendapat bahwa dunia bukan sejumlah unsur fisik dan terbatas pada itu, melainkan suatu makna, suatu sistem dari bermacam-macam konteks dan situasi yang bermakna, dan makna itu tidak terbatas pada unsur fisik, melainkan diri manusia sendiri sebagai suatu gejala kebudayaan, sosial, dan biologis, baik dalam tujuan-tujuannya maupun dalam minatnya. (Brouwer, 1986:199)
Dasar pandangan Merleau-Ponty adalah gagasan tubuh sebagai subjek persepsi, yakni diri manusia yang berhubungan dengan dunia. Dalam Phenomenology of Perceptions Merleau-Ponty beranggapan bahwa kontak antara tubuh dan dunia adalah pengalaman manusia dalam dunia melalui dan bersama tubuhnya. Fenomenologi Merleau-Ponty mengungkapkan bahwa pengalaman alamiah manusia di dalam dunia berwujud persepsi. Kemudian mengenai makna sensasi, Merleau-Ponty beranggapan bahwa makna ditemukan sebagai yang terberi dalam sensasi. Dalam kata lain, sensasi itulah yang memiliki makna. Ia menyatakan bahwa makna yang ada bukanlah koleksi sensasi bertubuh, melainkan bahwa tubuh itu memakai bagian-bagiannya sendiri sebagai sistem simbol-simbol bagi dunia. (Sebastian, 2016:104)
Pengalaman akan dunia sebagai satu kesatuan dengan tubuh tidak dapat muncul tanpa pengalaman kebertubuhan. Kesatuan subjek dengan objek dapat dipahami hanya lewat kebertubuhan. Objek akan selalu menyimpan makna, namun tindak persepsi subjek akan memaknai melalui kebertubuhannya. Begitu pun dalam memaknai dunia, untuk dapat membentuk kesadaran eksistensi subjek, caranya hanyalah dengan menggunakan mediasi tubuh. relasi antara tubuh dan objek merupakan relasi pemaknaan (form-giving). Merleau-Ponty pernah menyatakan bahwa tubuh kita menjadi subjek apabila kita merasakannya, mengalaminya, dan hidup serta mengada dengan dunia bersama dengan tubuh, dan tubuh menjadi objek apabila kita mengambil jarak darinya, sehingga tubuh tersebut menjadi tubuh yang tidak mengada (being). (Brouwer, 1986:157)
Dalam Phenomenology of Perceptions bagian dua, Merleau-Ponty (1962, dalam Sebastian, 2016:92) menganalogikan relasi tubuh dengan dunia seperti jantung (heart) dari organisme. Tubuh berada di dalam dunia, seperti jantung yang menjadi pusat serta bagian terpenting dari hidup organisme, tubuh juga yang menjadikan dunia itu hidup, bergerak, dan membentuk sebuah sistem. Dalam hal ini, Merleau-Ponty ingin menekankan bahwa keberadaan dunia beserta objek-objek hadapan manusia itu bukan hasil rekonstruksi pikiran dan ide-ide belaka, sebagaimana diklaim oleh para penganut rasionalisme. Bagi Merleau-Ponty, Dunia beserta objek-objek tersebut dialami sebagai sesuatu yang terkait dengan kesatuan tubuh. Hakikat tubuh yang berkesatuan juga bisa dilihat dari pengalaman rasa dalam ranah kultural. Merleau-Ponty menggambarkan hal ini sebagai pemaknaan objek-objek kultural oleh tubuh. Ia juga menegaskan bahwa tubuh tidak seperti objek di antara objek lainnya, tetapi objek yang sensitif terhadap yang lainnya.
Mengenai kontak tubuh dengan dunia, Merleau-Ponty menggunakan ilustrasi lomba memasak yang dia uraikan dalam bukunya. Selanjutnya mengenai pengalaman rasa, ia menjelaskannya dengan lomba memasak sebagai contohnya. Dalam perlombaan memasak, mereka sering melakukan improvisasi terhadap resep yang ada. Bahwa dalam memasak, suatu hal yang dibutuhkan adalah feeling atau ketepatan rasa yang tidak bisa diuraikan dalam penjelasan akurat. Kepekaan lidah, penciuman aroma masakan, dan pengiraan takaran bumbu. Pengalaman seseorang dalam memasak juga memiliki pengaruh yang cukup besar, salah satunya ialah lama pengalaman memasak juru masak. Ilustrasi di atas memperlihatkan bahwa rasa merupakan salah satu wujud persepsi. Hasil masakan dari olahan bahan dan dengan penampilan tertentu menghasilkan persepsi yang tertentu pula. Dengan kata lain, terdapat kualitas rasa tertentu. Penilaian terhadap “rasa” menunjukkan adanya makna kualitas rasa itu. Tampaknya penilaian rasa menunjukkan suatu relativisme atau subjektivisme tentang rasa, namun gagasan Merleau-Ponty tentang pengalaman rasa justru mengemukakan bahwa hakikat sebuah objek sesungguhnya mengandalkan keterlibatan tubuh dengannya. (Sebastian, 2016)
Tanpa kita sadari, kita selalu abai atas tubuh sebagai elemen dasar dalam kehidupan kita di dunia. Tubuh adalah tempat kita mengada (being) di dunia, tubuh adalah tempat merasakan, mengalami, dan menghayati dunia. Gagasan Merleau-Ponty tentang tubuh merupakan bentuk pemikiran yang menjadikan tubuh sebagai titik tolak dalam kehidupan dunia. Hal ini jelas bertentangan dengan berbagai pemikiran yang mengalienasikan tubuh. Misalnya, wacana tubuh kaum fundamentalisme, yang menyatakan bahwa dunia adalah kehidupan sementara, dan tubuh hanyalah wadah dalam kehidupan yang fana ini, dan jiwalah yang abadi, yang akan hidup dalam kehidupan abadi setelah dunia ini. Apa yang bisa kita refleksikan dalam pemikiran Merleau-Ponty adalah bahwa kehidupan di dunia akan selalu melibatkan tubuh sebagai cara mengada manusia di dunia. Gagasan Merleau-Ponty seolah-olah mengajak manusia untuk lebih mengapresiasi tubuhnya, bahwa dirinya adalah tubuhnya dan tubuhnya adalah dirinya, oleh sebab itu bentuk ekspresi tubuh adalah hal yang wajar, sejauh kita mampu merasakan dan menghayatinya.
Referensi
Brouwer, M. A. W. (1986). Badan manusia dalam cahaya psikologi fenomenologis. PT. Gramedia, Jakarta.
Hasbiansyah, O. (2008). Pendekatan fenomenologi: Pengantar praktik penelitian dalam Ilmu Sosial dan Komunikasi. Mediator: Jurnal Komunikasi, 9(1), 163-180.
Kurniawan, K. (2019). Masokhisme dalam Perspektif Fenomenologi Tubuh-Subjek Merleau-Ponty. MOZAIK HUMANIORA, 19(1), 48-62.
Sebastian, T. (2016). Mengenal Fenomenologi Persepsi Merleau-Ponty tentang Pengalaman Rasa. MELINTAS, 32(1), 94-115.
satu Respon