Nietzsche dan Sabda Zarathustra
Sabda Zarathustra

Friedrich Wilhelm Nietzsche (1844-1900), filsuf Jerman, menulis sebuah novel filsafat berjudul Also Sprach Zarathustra (Thus Spake Zarathustra, Sabda Zarathustra). Nietzsche menulis novel ini dengan gaya filsafat aforisme, sejenis pernyataan diri, otonomi intelektual yang berusaha menolak sistem berpikir Barat yang dogmatis, yang menentukan batasan nilai dan agama menurut Nietzsche bukanlah penentu nilai, tetapi manusia ketika dewasa sanggup menemukan sendiri batasan, nilai, dan jati dirinya. Karena itu dengan pendirian filsafat yang khas Nietzsche menyatakan kritik atas Kekristenan dengan memproklamirkan kematian Tuhan (Gott is tot), lalu mengagungkan Übermensch dengan kehendak untuk berkuasa (der Wille zur Macht), dan Nietzsche juga memperkenalkan doktrin tentang kekembalian abdi (eternal return).

Nietzsche lahir di Rocken, 15 Oktober 1844, dari keluarga religius. Ayahnya Carl Ludwig Nietzsche (1813-1849) seorang pendeta Lutheren dan ibunya Franziska Oeler (1826-1897) seorang Lutheren yang taat beribadah dan berasal dari keluarga pendeta juga. Namun latar belakang agama dan tradisi iman Kristen tidak menjadi sintesa filosfis bagi Nietzsche yang menyatakan diri sebagai orang yang tidak bertuhan (gottlos). “Tuhan sudah mati,” demikian klaim Nietzsche. Dengan ini Nietzsche adalah seorang ateis? Tentu tidak karena ia sama sekali tidak mengeliminasi keberadaan Tuhan, tetapi malah mengafirmasi bahwa Tuhan itu ada tetapi dibunuh oleh manusia secara konseptual oleh doktrin dan dogma Kristen. Karena itu manusia harus berjuang dengan segala kreativitasnya menciptakan nilai dan berusaha mencapai tingkat ideal sebagai manusia yang oleh Nietzsche disebut sebagai Übermensch. “Dengar! Aku mengajarkan padamu Adimanusia! Adimanusia adalah arti dari bumi ini. Biarkan kehendakmu berkata: Adimanusia akan menjadi makna dari bumi!”1 Manusia harus menjadi tuan atas dirinya dan bukan budak. Manusia sendirilah raja atas kehidupan. Nietzsche seorang pemikir yang soliter, menikmati hidup dalam derita, melewati musim-musim dingin yang menggelisahkan, dan akhirnya meninggal karena radang paru-paru pada 25 Agustus 1900 di Weimar, Jerman.

Sabda Zarathustra dibagi dalam empat bagian dengan pokok pembicaraan yang berbeda tetapi merupakan satu jalinan ide yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Bagian pertama menyatakan bahwa nasib manusia bergantung pada dirinya sendiri, dan karena itu manusia tidak perlu membutuhkan bantuan Tuhan dan kekuatan supernatural dalam kehidupan ini. Bagian kedua dimulai dengan usaha Nietzsche untuk mewujudkan obsesinya akan Übermensch, sejalan dengan gagasan mengenai kehendak untuk berkuasa. Bagian ketiga mencakup percakapan mengenai eternal return. Bagian keempat mengungkapkan kemungkinan untuk menerima sebagian ajaran Zarathustra.2

Dikisahkan bahwa Zarathustra, seorang nabi, sedang bermeditasi di puncak gunung. Selama sepuluh tahun sang nabi mengasingkan diri dalam refleksi dengan hanya ditemani oleh burung elang dan ularnya. Elang adalah simbol kebanggaan dan ular adalah simbol kebijaksanaan. Ia memutuskan untuk turun gunung dan mengajarkan kebijaksaan yang sudah ia dapatkan. Zarathustra menjumpai seorang suci, beberapa penduduk kota, seorang ahli meniti tali akrobat, dan akhirnya seekor keledai yang disembah oleh sekelompok orang bersahaja yang bimbang. Zarathustra banyak bicara kepada orang-orang yang ada dijumpainya maupun kepada dirinya sendiri. Tetapi, siapa pun yang dijumpainya tampaknya mereka tidak siap dengan ajaran yang ia berikan.3

Pada bagian pertama terdapat narasi tentang kursi-kursi pengajaran kebajikan4. Zarathustra sebagai nabi ia memiliki posisi, kursi (Lehrstuhlen atau academic chairs), jabatan kenabian yang memiliki tanggung jawab mengajar. Zarathustra berbicara dengan baik tentang tidur dan kebajikan. “Damai dengan Tuhan dan dengan sesama: demikian yang diinginkan oleh tidur yang nyenyak. Dan juga damai dengan setan dan sesamamu! Jika tidak ia akan menghantauimu pada malam hari.”5 Tidur dianggap sebagai penguasa kebajikan, ia datang “Mengambil diriku begitu saja… mengetuk pintu mataku dan mataku menjadi berat, menyentuh mulutku dan mulutku tetap terbuka… sehingga aku menjadi bisu seperi kursi pengajaran ini.”

Tidur nyenyak adalah perstiwa bebas dari aktivitas mental dan fisik dalam keadaan mata terpejam (tertidur). Tampaknya tidak ada problem, seperi rasa damai yang dalam. Seorang bisa menikmati tidur yang pulas jika batinya tenang dan kondisi fisiknya baik. Karena itu berdamailah sebelum tidur dan “Terberkatilah mereka yang mengantuk: sebab mereka kan segera tertunduk tidur”. Namun tidur yang berkepanjangan menumpulkan kreativitas dan banyak orang memilih tidur karena tidak bisa mendengar dengan baik dan tidak sanggup mengucapkan pikirannya. Karena itu tidur yang nyenyak adalah pelarian dari dilema berat kehidupan. Jadinya manusia malas berpikir, hanya terlena dan berharap penuh kepada agama yang memberinya kedamaian dan tidur yang damai. Zarathustra berkata dalam hatinya, “Kebijakannya berkata: teruslah berjaga supaya bisa tidur nyenyak, jika hidup tidak memiliki artinya dan seandainya aku memilih yang tidak berarti, inilah ketidakberartian yan paling menyenangkan”.6 Bisa dibayangkan bahwa dari kursi-kursi pengajaran kadang datang ajaran yang meninabobokan. Pengajaran tidak memancing pencarian makna, ia sepertinya memberi jawaban final sehingga jejak langkah manusia berhenti pada suatu titik: tidur yang nyenyak. “Sekarang aku tahu apa yang dulu dicari orang ketika mereka mencari pengajar kebajikan. Tidur nyenyaklah yang mereka cari untuk diri mereka dan kebajikan bunga-bunga poppy untuk menimbulkannya! Bagi semua orang bijak terkasih yang duduk di kursi pengajaran, kebijaksanaan itu tidur tanpa mimpi: mereka tidak tahu makna apa lagi yang lebih besar dalam hidup ini.”7

Tidur secara biologis memberi efek bagi kesehatan dan perkembangan tubuh. Namun secara psikologis tidur yang tidak teratur bisa menghambat kreativitas mental manusia, berpikir, merasa, dan berkehendak. Pada saat tidur manusia tidak lagi berpikir dan seolah-olah mati rasa dan ketiadaan untuk berkehendak. Karena itu manusia harus berjaga-jaga dan selalu berdoa untuk tidak jatuh ke dalam pencobaan. Berjaga adalah sikap siap sedia, ikthiar, kondisi penuh pengertian untuk maju dan menghadapi hidup. Dengan ini manusia memperlihatkan kecerdasaannya dan afektivitasnya.

Nietzsche dalam Sabda Zarathustra bagian pertama menulis juga tentang kesucian dan persahabatan. Kesucian tidak ditemukan dalam hiruk-pikuk keramaian, tetapi dalam kesendirian dunia pertapa. “Aku mencintai hutan. Tidak enak tinggal di keramaian: di sana banyak mereka yang terlalu bernafsu.”10 Mereka yang bernafsu dituduh dari kalangan perempuan. “Tidakkah lebih baik jatuh ke tangan seorang pembunuh daripada ke dalam mimpi seorang wanita yang bernafsu.”11 Dengan ini wanita menjadi penghalang kesucian dan wanita dinilai tidak mampu bersahabat. “Wanita belum mampu bersahabat. Wanita masih seekor kucing dan burung. Atau paling baik, seekor sapi.”12

Tampaknya suatu pandangan yang merendahkan perempuan. Kisah Adam dan Hawa di taman Eden menyatakan perempuan, Hawa menggoda Adam dan Adam terlena dibuai bibir perempuan. “Di dalam cinta wanita ada ketidakadilan dan kemembabibutaan terhadap semua yang tidak dicintainya. Bahkan dalam cinta wanita secara sadar pun masih selalu ada kejutan, kilat dan malam, bersama-sama dengan terang.”13 Dengan ini perempuan adalah penggoda dan penghalang kesucian? Sama sekali tidak. Perempuan bukan penggoda dan bukan penghalang kesucian. Perempuan adalah pemberi hidup dan inspirasi abadi untuk hidup bahagia di bumi. Kadang mata manusia salah memandang perempuan. “Dan lihatlah orang-orang ini: mata mereka mengatakannya – mereka tidak tahu apa yang lebih baik di dunia ini daripada tidur dengan wanita.”14 Pilihan hidup untuk menggapai kesucian hanya dirindukan oleh sedikit orang yang karena Kerajaan Allah memiliki sendiri, tindak kawin dan dikawinkan, dan hidup untuk Allah. “Kesucian adalah kebajikan bagi beberapa orang, sementara bagi banyak orang lain itu adalah beban.”15 Mereka sanggup menontrol diri dari nafsu-nafsu liar seksual dan berjalan dalam kesadaram moral serta semangat hidup rohani yang baik.

Manusia selama hidup memiliki nafsu dan kehendak, gairah dan libido. Karena itu tendensi untuk berdosa selalu mungkin terjadi. Namun bukan tidak mungkin manusia memperbaharui diri dan berani berjuang mengejar kesucian. Dengan ini manusia sanggup memperoleh kesucian karena ia makhluk religius, spriritual. Hidupnya diarahkan pada Allah dan kerinduannya hanya untuk Allah.

Dalam persahabatan pertama manusia harus berdamai dengan diri, menjinakkan tendensi nafsu-nafsu liar dalam diri, dan dalam kontrol diri yang baik bergaul secara sehat. Persahabatan dengan diri selalu diperjuangkan oleh pertapa yang mengejar kesucian hidup. Pertapa meskipun sendiri selalu mengalami keberduaan. “Bagiku, satu orang terlalu banyak. Pertama-tama masih satu  – tapi lama-lama menjadi dua.”

Kerinduan akan persahabat adalah realitas keberadaan manusia. Hal ini tidak bisa dielak lagi. Seorang pertapa merindukan teman. “Ah! Terlalu banyak jurang curam yang menunggu semua pertapa. Karena itulah, mereka menginginkan teman, agar temannya juga dapat terangkat.”16 Setelah memperoleh teman rasa saling percaya mulai dibangun. “Kepercayaan kita kepada orang lain menunjukkan bahwa kita akan senang seandainya memiliki kepercayaan pada diri sendiri. kerinduan kita pada seorang sahabatlah yang menunjukkan ini.”17

Kadang rasa cinta dalam persahabatan dereduksi pada kengininan pribadi dan bukan totalitas serta universalitas. “Seringkali cinta kita adalah piranti bagi kita untuk mengalahkan rasa iri. Dan seringkali kita menyerang dan membuat diri kita menjadi musuh semata untuk menyembunyikan kelemahan-kelemahan diri kita.”18 Kita hendaknya lebih jujur dan tulus dalam mencintai seorang sahabat.

Kesucian dan persahabatan adalah dinamika hidup manusia yang lemah dan berdosa, tetapi sanggup membaharui diri. Manusia merindukan kesucian dan persahabatan. Manusia menjadi suci sejauh dia mengontrol diri secara baik, mengakui kelemahan dan dosa dan menciptakan persahabatan dengan diri dan sesama secara baik dan benar.

Kecerdikan manusia19merupakan salah satu gagasan kreatif Nietzsche yang ditempatkan pada bagia kedua Sabda Zarathusrta. Kecerdikan pertama adalah membiarkan diriku ditipu supaya aku tidak awas kepada para penipu. “Aku duduk di gerbang menantikan setiap bajingan dan bertanya: siapa yang berniat menipuku?”20 Kecerdikan berikutnya adalah bertenggang rasa terhadap mereka yang angkuh daripada mereka yang bangga. “Tidakkah keangkuhan yang terluka adalah ibu dari segala tragedi? Tapi di mana kebanggan terluka, di sana bangkitlah sesuatu yang lebih baik daripada kebanggan itu.”21 Kecerdikan yang terakhir, “aku pun akan berpakian dan duduk di antar kalian, supaya aku dapat mengenali siapa kalian dan siapa aku”.22

Kecerdikian adalah kreativitas akal untuk memahami dan menerima yang paradoks – membiarkan diri ditipu, bertenggang rasa pada yang angkuh, dan berpakian seperti orang lain dan ada bersama mereka, sehingga lebih memahami situasi hidup dan tantangannya. Kecerdikian berarti menempatkan diri pada posisi di luar diri dalam segala kemungkinnanya untuk kemudian memperoleh pemahaman yang baik tentang peristiwa hidup yang sedang dialami. “Bukan ketinggian, melainkan kecuramanlah yang mengerikan – kecuraman, di mana pandangan terjun ke bawah sementara tangan mengapai ke atas. Di sana hati menjadi keluh karena kehendak gandanya – inilah, inilah kecurman dan bahayaku, pandangannya melesat ke ketinggian sementara tanganku menahan dan ingin mencengkram – pada kedalaman.”23

Kecerdikan bisa menghantar manusia pada kehilangan identitas karena lebih sanggup memahami yang lain daripada diri sendiri. Manusia cerdik adalah aktor yang piwai memainkan perannya. “Supaya hidup kita enak untuk ditonton, pertunjukan harus dimainkan dengan baik: untuk itu diperlukan aktor-aktor yang baik – kudapati mereka yang angkuh adalah aktor yang baik: mereka bermain dan ingin agar orang-orang senang menonton mereka – seluruh roh mereka ada di dalam kehendak – mereka bermain, mereka menciptakan peran bagi dirinya sendiri: di dekat mereka aku tinggal suapay dapat menonton kehidupan – sebab itu dapat menyembuhkan beban kemuaraman.”24 Di atas panggung seorang aktor adalah kreator yang mencipta peran, mencipta dari kecerdikannya.

Manusia harus seperti elang dengan segala kebangaan dan seperti ular dengan segala kecerdikan. Manusia memiliki kreativitas dan kehendak untuk menjadi tidak hanya aktor yang diperintah oleh sutradara, tetapi harus menjadi tuan sekaligus aktor dalam lakon kehidupan. Sendiri menentukan arah dan tujuan hidup, sendiri menetapkan nilai dan memperjuangkannya. Manusia harus melampauinya dirinya – bebas dari keterikatan pada kolektivitas primodial. Namun manusia hidup di dalam waktu dengan suatu siklus yang datang sili berganti. Kadang merasa bahagia, tetapi sekaligus sukacita. Hidup manusia berada dalam kenyataan eternal return.

Kisah lain pada bagian tiga ditulis dengan judul lemping-lemping baru dan lama25. “Di sini aku duduk dan menunggu, sementara lemping-lemping lama yang telah pecah berserakan di sekelilingku bersama lemping-lemping baru yang baru separoh terisi. Kapankah datangnnya masaku? – masa untuk turun, menuju ke bawah: sebab masih sekali lagi aku akan turun kepada manusia.”26

Adimanusia akan turun ke bumi untuk membawa pembaharuan. Seperti Yesus memberikan Roh Kudus untuk para murid dan para murid menjadi pewarta Injil yang hebat. Adimanusia menghantar manusia kepada suatu kesadaran ego bahwa setiap invidu sanggup menetukan dirinya sendiri, dan tidak bergantung pada tradisi berpikir Plato, tradisi filsafat Barat dengan dominasi agama Kristen. “Ketika aku datang kepada manusia, kudapati mereka sedang bersandar pada sebuah kesenangan kuno: mereka semua mengira bahwa mereka sudah sejak lama tahu mana yang baik dan mana yang buruk bagi manusia.”27 Baik buruk tidak bisa ditentukan oleh moral universal dengan otoritas agama, karena cenderung berat sebelah. Pihak elitis Gereja menjadi penentu. Nah, hal ini tidak bisa dibenarkan begitu saja. Pribadi individu memiliki otonomi diri dan tentu bebas menentukan hidupnya sendiri dengan dasar rasionlitas yang universal.

Adimanusia percaya akan kehendaknya sendiri. “Wahai kehendakku! Kau mengubah segala kebutuhan, kau keharusanku! Jauhkan akau dari kemenangan-kemenangan kecil! – semoga matahari dan kehendak matahari yang tak tergoyakan, siap untuk kehancuran dalam kemenangan.”28 Kekuatan kehendak dari Adimanusia dapat memngbongkar kemapanan lama dan manusia menjadi tuan atas hidupnya sendiri. Kemenangan milik manusia dan mereka bergembira. Sukacita manusia adalah keabadian, kebadian yang dalam. “Bergembiralah! Wahai manusia-manusia luhur, nyanyikanlah lagu bersambungkku!”29

Akhirnya Zarathustra bersabda, “Tanda itu telah datang30 dan hari tiba. “Inilah pagiku, hariku telah dimulai: bangkit, bangkitlah sekarang, wahai tengan hari yang agung!”31 Adimanusia telah menyatakan keunggulan dirinya. Namun sayang ia datang terlalu dini. Banyak orang belum siap menerima ajarannya.

Nietzsche menulis Sabda Zarathustra sebagai afirmasi diri atas pengalaman hidup dalam dunia. Berada dalam dunia berarti berada dalam keterbatasan, tidak ada kebenaran mutlak sehingga pernyataan diri Nietzsche menyentuh seluruh keberadaan dirinya, sebuah realitas eksistensialisme dan nihilisme. Agama telah membawa manusia pada kenyamanan janji keselamatan dan pengampunan dosa dan ilmu pengatahuan mengagungkan rasionalitas. Berhadapan dengan kenyataan ini Nietzsche menyatakan kehendak untuk berkuasa dari manusia untuk menciptakan dan memimpin kehidupannya sendiri. Manusia harus menjadi tuan atas hidupnya. Manusia harus melampau dirinya. Pelampauan ini dimaksudkan untuk keluar dari kolektivitas primodial, dari perbondongan (Herde), floating mass. Manusia harus beralih dari citra perbudakan sebagai unta yang memilkul beban moral universal menjadi singa yang memiliki kehendak kuat untuk berkuasa (Will zur Macht) lalu menjadi seorang anak dengan imajinasi tanpa batas menciptakan nilai-nilainya sendiri. Selamat beralih dan selamat menjadi Übermensch.

Nietzsche. 2000. Sabda Zarathustra. Penerj. Sudarmaji dan Ahmad Santoso, penyunt. Kamdani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Garvey, James. 2010. 20 Karya Filsafat Terbesar. Penerj. CB. Mulyanto, Pr.Yogyakarta: Kanisius.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.