Persembahan politik adalah hasil rangkaian sekumpulan asumsi. Karenanya, pentas dan pertunjukan politik selalu ditunggu-tunggu dalam upaya meraih dan mempertahankan kekuatan bagi mereka yang mempunyai berbagai kepentingan. Demikian, politik menjadi medium yang dapat digunakan sebagai transaksi pikiran yang masih terus berlangsung, selama manusia yang memegang kendali sebagai penentu penalaran.
Jika mengidentifikasi perpolitikan Indonesia menuju tahun 2024 mendatang. Apa yang ada dalam benak pembaca perihal politik di Indonesia? Mungkin pendapat akan berkisar di antara kesan membosankan, menggiurkan, atau bahkan menjengkelkan; karena, gagasan dan figur yang nampak hanya itu-itu saja?
Mengambil cakupan politik di Indonesia, pada 2024, Indonesia akan menggelar kontestasi politik. Perbincangannya kian mulai mencuat misalnya nama salah seorang bakal calon baru saja diusung secara resmi sebagai kandidat oleh partai Nasional Demokrat (Tempo, 2022). Berita ini menjadi semakin intensif sepanjang akomodasi politik di Indonesia, bahwa politik akan segera berkelindan dalam relatif ramai.
Hannah Arendt, seorang filsuf politik dalam bukunya yang berjudul The Human Condition (1958) beranggapan bahwa politik merupakan tempat bermukimnya segala bentuk penampakan, perjumpaan, dan bahkan aspirasi. Hal tersebut menjadikan politik bukan sekedar memiliki sifat natural seperti yang dikatakan Aristoteles, ataupun kertas kosong seperti yang dirumuskan oleh John Locke. Namun bagi Arendt, politik melampaui itu semua karena dalam politik akan muncul juga sebuah aspek yaitu aspek kultural.
Hasrat untuk meraih kekuasaan memang menerbitkan kesengitan pertarungan pikiran. Tidak jarang mereka yang mengusung para kandidat — misalnya dalam Pilpres mendatang adalah sekumpulan orangorang yang berpengetahuan namun terkadang lalai dalam berpikir — sehingga menerbitkan banalitas seperti yang diutarakan Arendt.
Polarisasi di tahun 2024, sepertinya akan mengalami segregasi kembali seperti di Pemilu 2019. Betapa tidak, Indonesia dengan keragamannya terdistingtif, hal ini dibuktikan dengan penggunaan istilah cebong dan kampret untuk menuding dan menghina sesama warga yang memiliki sosok idaman berbeda. Telah jelas bagi masyarakat Indonesia saat ini bahwa cebong adalah sebutan bagi pendukung Joko Widodo dan kampret bagi pendukung Prabowo. Penyematan tersebut menjadi indikasi yang penuh tendensius. Imbasnya, terjadi kelelahan anggota kelompok penyelenggara pemungutan suara (KPPS) dalam pemilu tersebut. Distingsi ini perlu menjadi contoh di mana situasi politik di 2019 memang begitu ketat dan sangat membekas hingga layak untuk direfleksikan. Merujuk pada Vita Comtemplativa, Arendt berpendapat bahwa politik sesungguhnya dapat menjadi alat untuk memutuskan sesuatu agar semakin komprehensif.
Sangat disayangkan bahwa dengan adanya distingsi pada fenomena yang telah lalu, momen Pilpres hanya menjadi ajang bagi unjuk eksistensi para pemilih, pendukung, peserta tertentu saja. Tidak semua orang dapat mengemukakan aspirasinya sebagai upaya untuk menghasilkan aktivitas politik Indonesia yang bersifat eksegesis. Ditambah lagi, isu Presidential Threshold menjadi sorotan yang begitu bergemuruh dalam menyambut tahun 2024 mendatang.
Kelangsungan Politik
Dalam pengantar buku Arendt yang berjudul, The Human Condition (ditulis oleh Margaret Canovan), dinyatakan bahwa yang mengekspresikan dan mendasarkan spektrum politik manusia adalah tindakan mereka. Apa artinya? Yang dimaksud sebagai spektrum politik berdasarkan tindakan adalah politik yang tidak merupakan bagian dari sifat bawaan dan niscaya dari manusia. Politik bersifat buatan dan kontingen. Penjelasan ini mempertegas kembali konsep Vita Activa Arendt, ialah kerja, karya, dan tindakan.
Asosiasi kerja selalu dapat dikonsolidasikan. Dengan bekerja, seseorang dapat memenuhi keperluan hidupnya dan orang lain. Ketika kebutuhan utama sudah terpenuhi, barulah seseorang beranjak ke taraf karya. Dengan karya, manusia dapat mengemukakan apa yang hendak dirumuskan bersama, dan setelahnya barulah bertindak sebagaimana kesesuaian mufakat.
Di sini telah dituangkan sebuah ide bahwa posisi politik Arendt bergulat dengan sandaran dialog. Aspek intersubjektif yang menempatkan berbagai latar kepentingan di atas meja bundar adalah upaya untuk melangsungkan dialog. Dialog adalah hal-hal yang dapat memicu munculnya pengertian seorang dengan yang lainnya.
Bagi Arendt, kelangsungan dan polarisasi dalam politik dapat menjadi alat untuk dengan mudah menentukan mana yang A ataupun B. Sehingga proses ini seolah-olah dapat dengan mudah mendegradasi persoalan yang kompleks. Arendt menyingkap persoalan politik dapat muncul ketika ruang publik berubah menjadi ruang privat. Mereka yang tidak memiliki keterampilan dalam wicara (ruang privat), justru akan tersingkir dari meja (ruang publik). Ketika meja sudah diprivatisasi oleh mereka yang mahir dalam wicara, maka ruangan (ruang publik) akan menjadi lahan pembungkaman.
Di Indonesia sering pembungkaman itu terjadi dan mencuat. Ia diberitakan di mana-mana. Dan semakin intensif, ketika semakin mendekati momentum Pemilu.
Pembungkaman di ruang publik sering dianggap sebagai sikap insureksioner. Padahal, mutu dalam demokrasi terletak pada wicara. Mereka yang memiliki pengalaman atas keresahan dari kebijakan publik menjadi tempat empuk untuk direpresi. Ini adalah langkah pertama untuk mengeliminasi hambatan “politik”. Urgennya lagi, terkadang tindakan ini justru diakui oleh kalangan intelektual pro pemerintah yang sedang berjalan sebagai penegasan bagi konsep kegiatan bernegara. Hal ini sebagaimana telah diungkapkan oleh Noam Chomsky, merupakan tindakan represif sekaligus bagian dari propaganda yang menindas.
Bagi Arendt, untuk melangsungkan politik — khususnya merefleksikan kondisi politik Indonesia — konsep pluralitas menjadi penting dan perlu ditelaah sebagai bentuk dari eksistensi utama manusia. Hal tersebut adalah landasan untuk melangsungkan politik, agar setiap manusia dapat menerbitkan suatu pengakuan bersama. Dalam kondisi yang penuh tekanan hal ini tidak dapat berlangsung. Pengakuan yang dimaksud adalah pengakuan atas dunia yang dihidupi bersama. Bahwasanya dunia itu adalah tempat yang sedang dihidupi bersama, tanpa terkecuali. Dunia adalah meja yang ditempatkan di antara mereka yang duduk mengitarinya. Jika meja itu hilang, hilanglah kebersamaan tersebut (Human Condition, 52). Perumpamaan ini mengisyaratkan bahwa polarisasi terjadi karena ia memang dibentuk. Namun, jika pembentukan itu menyebabkan hubungan antar manusia tidak harmonis, apapun yang terdapat di atas meja itu akan berakhir kacau. Bahkan, meja itu daoat hancur dan manusia tidak akan sanggup lagi menahan resonansi gagasan-gagasan politik apapun yang akan muncul di kemudian hari.
Pembungkaman pada masyarakat yang gelisah dengan kebijakan publik terkadang dilakukan justru oleh kaum intelektual, sebuah fenomena yang disebut Chomsky sebagai represi sekaligus propaganda.