Hubungan dialektis antara otoritas dan oposisi masyarakat

The Victors of the Bastile karya Paul Delaroche
The Victors of the Bastile karya Paul Delaroche

Konflik di masyarakat seringkali dimaknai secara negatif oleh publik. Konotasi yang sampai ke telinga kita ketika mendengar kata konflik selalu terdengar suram, tragis, atau sinis. Hal itu wajar karena konflik bernegasikan dengan keseimbangan atau ketenteraman masyarakat. Yang artinya konflik seringkali membuat orang-orang resah. Demikian, konflik menjadi musuh besar bagi para otoritas. Otoritas sebagai tokoh protagonis, adalah salah satu tugasnya untuk membuat masyarakat teratur. Sebaliknya, para oposisi sebagai tokoh antagonis, konflik merupakan aparatusnya untuk melucuti otoritas agar bisa lepas dari kekuasaan.

Protagonis dan antagonis di sini tidak diartikan sebagai antara yang baik dan yang jahat, seperti orang-orang lakukan. Otoritas sebagai protagonis maksudnya adalah kelompok yang mempunyai peran utama dalam menguasai dan mengatur masyarakat. Sedangkan oposisi sebagai antagonis bermaksud sebuah kelompok yang berposisi sebagai kontradiktoris pada otonomi otoritas. 

Oposisi yang mempunyai perbedaan ideologi dengan otoritas, menginginkan kelompoknya untuk mendaki hirarki sebagai kelompok otoritas. Sementara itu kelompok otoritas mempunyai kepentingan menjaga konformitas struktur dan sistem yang sudah dibuatnya. Pendek kata, otoritas ingin menjaga status quo-nya; oposisi ingin mengubahnya. 

Kelompok oposisi akan memandang konformitas itu sebagai suatu sistem yang penuh serba kekurangan atau tidak ideal. Hal itulah yang membuat oposisi ingin menjadi pengganti dari otoritas yang ada. Jika, pada akhirnya para oposisi berhasil meraih kemenangan, maka yang mulanya sebuah kelompok alternatif, menjadi sebuah kelompok yang berjalan di arus utama.

Hubungan otoritas-oposisi ini secara tidak langsung menjadi sebuah pengada perubahan sosial. Karena ketika suatu oposisi berhasil berganti status menjadi otoritas, maka apa yang terjadi di masyarakat pun berubah. Lantaran, perancang masyarakatnya-pun berubah.

Berhubung manusia adalah subjek, maka kebenaran yang dipegangnya pun akan beririsan atau berkaitan dengan subjektivitasnya. Alhasil, antar kelompok itu akan ada yang mempunyai paradigma berbeda, dalam mengidealisasikan realitas kehidupan masyarakat. Yang menghasilkannya kelompok-kelompok yang terus berseberangan. Antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis.

Subjektivitas dalam suatu sistem dihasilkan dari perbedaan pandangan subjeknya (manusia). Sebuah sistem masyarakat yang objektif mutlak-final tidak mungkin tercipta karena perbedaan paradigma manusia selalu ada di mana manusia akan melihat suatu sistem dengan tiap kacamata yang berbeda. Kelompok kapitalis akan melihat gagasan komunis sebagai pemikiran yang merampas kemerdekaan manusia sebagai individu untuk berkorban menjadi seorang altruistik, dan para komunis akan melihat kapitalisme sebagai bentuk manifestasi pemenuhan hasrat individual yang egoistik; Ada kelompok yang ingin menciptakan masyarakat komunal, ada pula kelompok yang ingin menciptakan masyarakat individualis; Ada seorang yang memegang nilai-nilai kemajuan; ada pula yang memegang nilai-nilai lama. Macam perbedaan-perbedaan yang serba dualitas itu yang akan membuat perubahan masyarakat berproses terus secara kontinu.

Pergantian posisi atau status otoritas-oposisi ini menjadi siklus berkelanjutan yang dinamis dan nonlinear. Artinya, siklus ini bersifat progresif sekaligus regresif. Kemajuan (progresif) berarti masyarakat mengalami sebuah kemakmuran, kesejahteraan, maupun keadilan dibanding dari keadaan sebelumnya. Kemunduran (regresif) berarti semua hal itu terbalik menjadi lebih buruk. Perkembangan yang terjadi pun berarti tidak selalu terus naik secara vertikal, namun dapat naik-turun.

Relasi antara otoritas dan oposisi ini pada akhirnya menjadi sebuah hubungan dialektis yang berfungsi mengembangkan suatu sistem dalam masyarakat menjadi terus lebih mutakhir. Otoritas dan oposisi akan terus saling bergilir statusnya; kekuasaan akan silih berganti; suatu sistem akan terus direvisi.

Di sini perlu sedikit ditekankan, bahwasannya proses dialektika antara otoritas dan oposisi ini, beserta konflik yang menyertainya merupakan gejala alamiah sosial. Yang artinya, kita tidak bisa membiarkan, mewajarkan, dan memasrahkan diri terhadap segala konflik yang terjadi antara otoritas dan oposisi demi kepentingan sebuah visi ‘pembaruan masyarakat’. Karena konflik tetap saja sebuah konflik. Bisa menjadi destruktif terhadap eksistensi masyarakat. Kita harus tetap was-was terhadap konflik yang bermunculan.

Robhi Jauhar

Mahasiswa Sosiologi

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.