Panorama politik pasca Pemilu 2024 menggambarkan suatu kerusakan konstelasi politik yang serius akibat berlangsungnya dinamika politik yang jauh dari nilai-nilai keadaban. Keadaban politik dewasa ini telah tergerus oleh kebiadaban politik yang termanifestasikan melalui praktik kecurangan, saling fitnah, hingga perdebatan emosional yang nir-substantif di ruang publik. Jangan dianggap kebiadaban politik yang menodai nilai-nilai keadaban bangsa hanya dipraktikan oleh para politisi, sebagian besar masyarakat utamanya para pendukung paslon juga turut berkontribusi mempertebal noda kebiadaban politik melalui sikap sentimental yang menjatuhkan harkat dan martabat individu secara amoral dan tidak mendasar.
Residu pahit Pemilu 2024 yang membekas di publik tentu menjadi racun bagi kehidupan demokrasi kedepan. Meskipun banyak pengamat menilai bahwa eskalasi konflik pada Pemilu 2024 di masyarakat relatif rendah dibandingkan Pemilu tahun 2014 dan 2019 (Simanjuntak, 2024), namun kita tidak boleh abai terhadap realitas moral dan etika politik yang semakin memudar baik di kalangan elit maupun masyarakat. Moral dan etika menjadi koreksi penting dalam pelaksanaan Pemilu 2024 lalu. Karena pudarnya moral dan etika, maka sekat yang terbangun antara baik dan buruk dalam politik mulai tercabut sehingga segala cara akan dilegalkan demi memuaskan hasrat politik.
Meningkatkan derajat politik dan demokrasi di Indonesia bukanlah hal yang mudah dan harus dimulai dari membangun kualitas subjek politiknya. Kesadaran moral dan etika politik menjadi kebutuhan primer oleh subjek politik agar mampu membangun tatanan politik yang maslahat dan berkeadaban. Menyangkut persoalan tersebut, Haedar Nashir mengungkapkan bahwa kunci untuk membangun legasi kekuasaan yang “Berkepribadian Indonesia” ialah dengan tiga nilai utama, yaitu Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur bangsa (Nashir, 2022). Oleh karenanya, untuk membangun keadaban politik yang luhur di Indonesia maka ketiga nilai tersebut tidak dapat dilepaskan dari kesadaran setiap subjek politik guna menyokong nilai moral dan etika politik bangsa secara makro.
Islam dan Politik Nilai
Sebagai salah satu dari nilai utama dalam membangun bangsa, agama menjadi sumber nilai penting untuk mengisi kesenjangan moral individu. Pada konteks masyarakat Indonesia yang plural, Islam menjadi agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, sehingga nilai-nilai Islam turut mewarnai wacana politik, pembangunan dan perkembangan sosial. Dalam menyorot agama Islam, Bernard Lewis seorang guru besar di Universitas Princeton, Amerika Serikat mengungkapkan bahwa salah satu ciri yang membedakan agama Islam dengan agama Yahudi dan Kristen ialah sebuah perhatian besar dan keterlibatannya langsung yang ditujukan terhadap tata kelola negara dan pemerintahan, hukum dan perundangan (Lewis, 2009).
Pernyataan Bernard Lewis tersebut menjadi penanda bahwa Islam merupakan agama yang sangat peduli dengan urusan politik dan kenegaraan. Namun yang penting untuk dipahami ialah bahwa Islam tidak menjadikan politik (kekuasaan) sebagai tujuan, melainkan menjadikan kebahagiaan masyarakat baik di dunia maupun di akhirat sebagai tujuan politiknya. Tentu hal tersebut sejalan dengan konsep pemikiran politik Al-Farabi mengenai konsep negara idealnya, bahwa dalam suatu negara harus terdapat kerjasama antara individu yang mutualis, masyarakat yang saling peduli, partisipasi tinggi masyarakat, dan dipimpin oleh seorang bijaksana seperti nabi atau filsuf sehingga menghadirkan kesejahteraan dan kebahagiaan sosial. Konsep itulah yang diistilahkan Al-Farabi dengan Negara Utama atau al-madinah al-fadhilah (Muthhar, 2018).
Konsepsi negara utama Al-Farabi menggambarkan kebahagiaan sosial sebagai tujuan penting adanya sebuah negara, yang artinya bahwa untuk merealisasikan kebahagiaan sosial para pemimpin harus mengedepankan kepentingan umum. Apabila dihadapkan dengan realita saat ini, tentu pernyataan tersebut berbanding terbalik. Arus politik liberal menghanyutkan kepentingan umum menuju lubang-lubang oligarki dan menjadikan kepentingan golongan sebagai tujuan utama mereka, sehingga sistem politik saat ini menggeser konsep negara utama menjadi negara kepemilikan (keluarga/kelompok). Dengan demikian, kerusakan sistem politik saat ini membutuhkan upaya reimplementasi nilai-nilai politik keadaban untuk memberikan insentif moral guna memperkecil volume kerusakan sistem politik yang terjadi.
Islam sebagai agama yang mengandung nilai-nilai moral, etika, dan ajaran-ajaran luhur tentu harus dihadapkan dengan fakta politik saat ini yang kian hari mengalami degradasi moral dan etika. Dalam tinjauan profetik, Nabi Muhammad SAW mempraktikkan politik yang berbasis dan berorientasikan nilai. Adapun nilai tersebut ialah amanah, kejujuran, keadilan, kemanusiaan, pertanggungjawaban, kebajikan, dan keluhuran agar menciptakan kebahagiaan bagi seluruh masyarakat. Itulah politik nilai. Politik yang bersandar pada nilai-nilai utama sebagai landasan gerak politik. Di tangan pemimpin seperti Beliaulah politik terlihat mulia dan bukan melahirkan malapetaka.
Fatsun Politik dan Pemilu
Fatsun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan sebagai sopan santun, sehingga fatsun politik memiliki arti etika politik yang santun. Etika politik santun tentu menjadi oase di tengah kegersangan post-truth saat ini. Era post-truth menyumbang problematika budaya politik destruktif dengan semakin bertaburnya bumbu-bumbu emosional dalam perdebatan di ruang publik. Efek dari post-truth ialah kebencian yang diproduksi dari emosi sosial yang dibangun melalui perdebatan-perdebatan kontra-produktif di ruang publik. Efek dari post-truth sangat terasa di tengah kontestasi pemilu, karena para kandidat, politisi, hingga pendukung saling melakukan agitasi dan propaganda untuk mempengaruhi persepsi publik hingga memicu politik adu domba (devide et impera).
Fenomena Pemilu yang sangat dipadati massa digital tentu menjadi ladang bagi politisi yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan manipulasi fakta dan berita sehingga membentuk opini publik dan melahirkan kebenaran ilusif yang berbahaya. Budi Hardiman mengistilahkan fenomena tersebut dengan istilah disrupsi dalam dunia politik yang sangat politis dan berujung pada prahara (Hardiman, 2021). Situasi demokrasi yang gaduh tentu membutuhkan penawar agar suhu konflik dapat mereda. Tentu, fatsun dalam budaya politik harus tumbuh dan dibangun secara masif dan organik untuk meredakan persoalan moral dan etika politik saat ini.
Partai politik sebagai instrumen penting demokrasi harus menjadi ruang tumbuhnya fatsun politik, karena menurut Miriam Budiardjo partai politik memiliki fungsi salah satunya sebagai sarana sosialisasi politik yang di dalamnya terdapat proses penyampaian “budaya politik” kepada masyarakat yang tidak hanya berisikan politik secara konsep dan prosedural, namun juga norma-norma dan nilai-nilai luhur dalam berpolitik. Sehingga partai politik menjadi faktor penting dalam membentuk budaya politik suatu bangsa (Budiardjo, 2003). Dengan demikian, maka kontestasi Pemilu yang damai memerlukan peran lembaga politik yang kokoh secara moral dan etik.
Fatsun politik tentu harus dipraktikan dan disosialisasikan oleh partai politik secara massif, walaupun pada faktanya seringkali hanya terhenti menjadi wacana belaka. Karena partai politik juga sebagai kendaraan politik para pemimpin bangsa untuk mencapai podium kekuasaan, maka fatsun politik harus dipelihara dengan baik utamanya oleh segenap pengurus partai politik agar para calon pemimpin yang diusung, kader partai maupun partisan tidak menodai pelaksanaan pemilu dengan praktik politik biadab yang berpotensi mengguncang stabilitas politik dan keutuhan bangsa.
Budaya Politik Machiavelli
Tantangan terbesar mengenai implementasi nilai Islam dan fatsun politik sebagaimana diuraikan di atas ialah budaya politik Machiavelli yang saat ini banyak dihirup dan dihembuskan oleh politisi Indonesia. Secara historis perjuangan politik merupakan perjuangan yang mulia, sebagaimana yang diajarkan oleh trio ikonik filsuf Yunani Kuno yaitu Socrates, Plato, dan Aristoteles bahwa politik merupakan perkara perjalanan peradaban sosialitas manusia (Riyanto, 2020). Pergeseran paradigma politik kekuasaan bermula pada pemikiran Machiavelli yang disampaikan dalam bukunya Il Principe yang memuat strategi politik kotor dengan pemisahan antara dimensi moralitas dan kekuasaan.
Sebagai peletak dasar politik kekuasaan, Machiavelli banyak mempengaruhi pemikiran pemimpin dunia untuk memicu naluri pemimpin diktator dengan menyodorkan strategi licik agar meraih tujuan kekuasaan serta mempertahankannya kendatipun cara tersebut terkesan bengis dan kejam. Bahkan seorang astrofisikawan asal Amerika Michael H. Hart mengungkapkan bahwa karya Machiavelli yang berjudul Il Principe merupakan buku “pedoman untuk para diktator”, karena banyak pemimpin diktator dunia seperti Mussolini, Hitler, Stalin, Lenin, dan Marcus Wolf mengonsumsi ajaran politik Machiavelli dalam mempertahankan kekuasaannya.
Dalam lanskap politik Indonesia, praktik politik Machiavelli tentu banyak dipergunakan oleh politisi untuk meraih dan melanggengkan kekuasaan. Salah satu contoh faktualnya ialah terkait rekayasa hukum untuk melanggengkan kekuasaan. Fenomena tersebut tergambar dalam ungkapan Machiavelli yang termaktub dalam bukunya Il Principe bahwa “apabila hukum menghambat jalan kekuasaanmu, maka ubahlah hukum tersebut” (Machiavelli, 2005). Praktik tersebut dapat kita lihat dalam Putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 dan Putusan MA No.23 P/HUM/2024 yang keduanya memuat aturan batas usia pencalonan. Putusan tersebut dinilai oleh sebagian pakar Hukum Tata Negara menguntungkan pihak tertentu yaitu kedua putra Presiden Jokowi dalam kontestasi Pilpres dan Pilkada. Dengan demikian, esensi negara hukum berganti menjadi negara kekuasaan.
Selain itu, dalam pandangan politik Machiavelli bahwa “yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan”. Pernyataan tersebut mengandung makna kontroversial bahwa dalam politik tidak ada baik dan buruk, melainkan semua kebaikan ialah apa yang menguntungkan kekuasaan. Salah satu praktik tersebut tercermin pada Partai politik yang kalah dalam Pilpres dan rela masuk kubu Pemerintahan dengan kedok “demi persatuan bangsa” hanya karena tergiur oleh kemilau kekuasaan. Mereka mengabaikan berjuta-juta suara yang telah mendukungnya. Padahal, gemuknya kekuasaan hanya akan memperkecil volume oposisi dalam negara demokrasi. Tentu hal itu dilakukan karena tersentuh nasihat Machiavelli, bahwa “yang baik adalah apa saja yang memperkuat kekuasaan”.
Selanjutnya, pandangan masyhur dari Machiavelli ialah tentang hubungan antara politik dan moralitas. Dalam pandangan politik Machiavelli bahwa seorang penguasa tidak perlu memperhatikan pertimbangan-pertimbangan moral (Hardiman, 2004). Machiavelli mengilustrasikan bahwa politisi harus sanggup menjadi rubah dan singa. Rubah disimbolkan sebagai kelicikan dan kecurangan, sedangkan singa disimbolkan sebagai tampil kuat dan menakutkan. Banyak politisi yang tampil berani dan tangkas di publik dengan retorikanya yang ganas bak singa padahal hanya untuk menutup kebohongannya. Banyak politisi yang melakukan kelicikan bak rubah dengan mengumbar janji manis dan mengakali konstitusi demi meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Hubungan antara Islam, fatsun politik, dengan budaya politik Machiavelli dewasa ini tentu sangat erat. Pasalnya, selain contoh-contoh di atas masih banyak praktik gaya politik Machiavelli yang digunakan penguasa maupun politisi untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan dengan strategi licik dan kotor. Penulis berpandangan bahwa nilai-nilai Islam dan fatsun politik menjadi ramuan untuk mengobati budaya politik Machiavelli yang masih meracuni para politisi. Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam bukunya Islam dan Politik mengungkapkan bahwa “gerakan sosio-moral Islam memerlukan kekuasaan politik, sebab tanpa itu, pembumian pesan-pesan kemanusiaan akan mengawang. Perlu dicatat bahwa politik dalam Islam semata untuk menegakkan prinsip moral yang dibangun bersama” (Ma’arif, 2018).
Ali bin Abi Thalib R.A suatu ketika pernah berkata bahwa “kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir”. Tentu kalimat tersebut memicu untuk melakukan perjuangan politik dengan berasaskan nilai-nilai keadaban agar kejahatan yang dilakukan oleh para politisi hipokrit yang mencari suaka dalam kuasa dapat tertandingi. Walaupun di tengah kondisi politik yang porak-poranda saat ini, sangat sulit untuk meruntuhkan budaya politik Machiavelli sehingga timbul ungkapan “sekalipun malaikat masuk ke dalam sistem akan menjadi iblis”. Namun sebagai pribadi yang memiliki semangat perubahan, optimis menjadi satu-satunya teropong untuk menatap konstelasi politik di masa depan.
Referensi
Budiardjo, M. (2003). Dasar-dasar ilmu politik. Gramedia pustaka utama.
Hardiman, F. B. (2004). Filsafat modern: dari Machiavelli sampai Nietzsche. Gramedia Pustaka Utama.
Hardiman, F. B. (2021). Aku Klik maka Aku Ada: Manusia dalam Revolusi Digital. PT Kanisius.
Lewis, B. (2009). The Religion and The People. Pearson.
Ma’arif, A. S. (2018). Islam dan Politik: Upaya Membingkai Peradaban. IRCiSoD.
Machiavelli, N. (2005). Il Principe. Oxford University Press.
Muthhar, M. A. (2018). The Ideal State: Perspektif Al-Farabi tentang Konsep Negara Ideal. IRCiSoD.
Nashir, H. (2022). Indonesia: Ideologi dan Martabat Bangsa. Republika.
Riyanto, E. A. (2020). Berfilsafat Politik. Kanisius.
Simanjuntak, R. A. (2024). Pengamat Politik Nilai Situasi Usai Pemilu 2024 Cukup Kondusif. Nasional.Sindonews.Com. https://nasional.sindonews.com/read/1345649/12/pengamat-politik-nilai-situasi-usai-pemilu-2024-cukup-kondusif-1711101789