Perjalanan seseorang dalam mempelajari filsafat adalah sebuah penjelajahan yang sangat panjang. Pada saat memulai perjalanannya, tidak sedikit orang yang kemudian tersesat. Tersesat sejak awal perjalanan mungkin akan membawa seseorang tersebut sampai pada tujuan akhir yang salah. Analogi tersebut cukup untuk menggambarkan bagaimana seseorang yang telah mempelajari filsafat dengan cara yang salah dapat menghasilkan kesimpulan yang salah seperti filsafat mengakibatkan iman manusia goyah atau filsafat mengakibatkan seseorang menjadi ateis.
Pengenalan pada filsafat
Rumusan ahli filsafat = ateis mudah dibantah dengan memberi contoh bahwa banyak tokoh agama terkemuka justru memberikan kontribusi pemikiran dalam perkembangan. Contohnya, Thomas Aquinas dengan gagasannya mengenai Essentia dan Exentia yang menjelaskan hakikat dan keberadaan Tuhan. Namun membantah rumusan di atas tidaklah cukup dengan memberikan contoh nama seorang filsuf religius atau gagasannya. Akan tetapi, perlu juga adanya pengenalan terhadap kata “filsafat” itu sendiri.
Filsafat berasal dari dua kata Yunani yakni Philein atau Philo dan Sophia. Philein berarti cinta atau mencintai dan sophia yang berarti kebijaksanaan, intelegensi, atau keterampilan. Dengan demikian, secara etimologis, ditemukan bahwa filsafat berarti “cinta kepada kebijaksanaan”. Sedangkan secara terminologis, filsafat dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari dengan sungguh-sungguh hakikat kebenaran dari segala sesuatu. Filsafat dapat disimpulkan sebagai ilmu yang mencari tahu hakikat dari ilmu. Dengan “mempelajari sungguh-sungguh hakikat dari segala sesuatu”, hal yang tidak dapat dipisahkan dari aktivitas filsafat ialah “mempertanyakan sesuatu”.
Aspek historis filsafat
Filsafat zaman ini lahir dan dibentuk dari pemikiran-pemikiran lampau, pada zaman sebelum Masehi. Bagaimana filsafat lahir pada zaman itu? Bagaimana muncul pemikiran-pemikiran anti-mainstream pada zaman tersebut? Jawabannya ialah aktivitas “mempertanyakan”. Filsafat muncul karena ada pertanyaan, dan itulah yang memang dilakukan oleh para filsuf peradaban dunia kuno. Kondisi religi-budaya masyarakat pada zaman itu umumnya ialah politeistik. Mereka percaya kepada dewa-dewi sebagai pengendali alam. Ambil saja contoh, Poseidon sang dewa laut. Masyarakat Yunani kuno percaya bahwa apabila terjadi badai atau bencana lain di laut, pastilah Poseidon sedang marah, sehingga mereka harus memberikan sesajian pada laut (Poseidon), mereka juga berdoa, dan memuja-muji Poseidon dengan harapan bahwa dewa tersebut akan senang sehingga laut menjadi tenang. Lalu, hal yang dipikirkan filsuf mengenai fenomena ini adalah, apakah memang benar fenomena alam adalah akibat dari dewa yang sedang marah?
filsafat mula-mula bukanlah mengenai pemikiran yang rumit. Pemikir seperti Thales, Parmenides, dan filsuf Milesian lain berangkat dari anggapan bahwa suatu objek terbentuk dari unsur alam (seperti air, angin, atau tanah). Apa yang dihasilkan oleh pemikir tersebut belum tentu merupakan hal yang tepat apabila ditinjau dengan pengetahuan modern. Akan tetapi yang perlu digarisbawahi adalah upaya dari filsuf-filsuf tersebut untuk menjelaskan fenomena alam secara ilmiah, tidak mendasar pada kepercayaan masyarakat terhadap dewa-dewi. Dengan demikian, apa yang diupayakan oleh pemikir-pemikir tersebut adalah jalan keluar terhadap kepercayaan buta kepada sesuatu yang jelas terjadi oleh hal ilmiah
Filsafat dan agama: apakah masalah kesetimbangan?
Membaca awal kisah filsafat mungkin akan memunculkan dugaan bahwa filsafat merupakan exit door atas agama. Seolah benar bahwa ‘exit door’ ini mencoba mengkritisi kepercayaan masyarakat dan mencoba mencari penyebab secara ilmiah mengapa suatu hal bisa terjadi. Di titik inilah kebanyakan orang menganggap jika filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi ateis, karena banyak pertanyaan yang dalam aspek religius tidak perlu dipertanyakan lagi. Tetapi, bila dilihat dari tujuannya, filsafat dan agama sangat berhubungan. Keduanya bertujuan untuk mengejar kebenaran baik secara pikiran maupun perilaku. Menurut Ibnu Rusyd, agama dan filsafat merupakan sesuatu yang berhubungan. Dalam mengungkap kebenaran, diperlukan pemikiran secara filsafat atau yang mengandalkan akal.
Permasalahan antara agama dan filsafat disebabkan oleh disekuilibrium antara keduanya. Dengan mempelajari filsafat, kemungkinan pertama, seseorang dapat lebih dalam menyelami dan memahami kepercayaannya. Kemungkinan kedua, seseorang akan menemukan alasan untuk menyimpang dari kepercayaannya. Sama halnya dengan memperdalam agama, kemungkinan yang akan didapat adalah lebih bijak dan taat pada kepercayaannya, atau seseorang bisa saja dibutakan oleh kepercayaan tersebut sehingga menimbulkan fanatisme.
Agama dan filsafat dapat diibaratkan sebagai adik dan kakak yang hidup rukun dan saling membantu. Pernyataan bahwa filsafat menyebabkan seseorang menjadi ateis bisa jadi benar namun mungkin pula salah. Krisis identitas ataupun krisis kepercayaan seperti menjadi ateis merupakan hal yang wajar dialami ketika seseorang sedang berproses mempelajari filsafat. Namun seiring berjalannya waktu, seorang pembelajar akan menemukan kebenaran. Berpikir merupakan salah satu karunia yang diberikan oleh yang Maha Kuasa kepada manusia dan dengan berfilsafat, manusia dapat melatih keterampilan berpikirnya untuk mengungkap kebenaran
Rujukan
http://digilib.iain-jember.ac.id/447/1/Membuka%20gerbang%20filsafat.pdf
https://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/13787/pdf
Michael Hans
Michael Hans adalah seorang mahasiswa program studi Ekonomi Pembangunan di Universitas Brawijaya Malang