Saya pernah berdiri di sebuah ruangan yang terasa asing. Ruang seminar itu dinginnya menusuk, berbau kertas lama dan pendingin udara yang bekerja terlalu keras. Di podium, seseorang dengan suara yang licin melontarkan kata-kata. Kata-kata itu seperti batu kerikil yang dilempar ke kolam tenang pikiran saya. Diskursus. Hegemoni. Epistemologi. Riaknya aneh, tak membentuk gelombang yang saya kenal. Perut saya terasa sedikit mulas. Bukan, ini bukan rasa kagum. Ini rasa terlempar. Tiba-tiba ada dinding kaca yang tumbuh di antara saya dan mereka yang mengangguk-angguk paham. Jarak. Ya, itu dia. Dan saya sadar, saya datang ke arena ini dengan kamus yang salah.
Kita tumbuh dengan gagasan bahwa bahasa adalah jembatan. Sebuah alat bening untuk bertukar pikiran, menamai benda, merangkai cerita. Gagasan yang indah, dan juga naif. Sebab bahasa tak pernah sejernih itu. Ia lebih mirip sebuah peta tua, yang digambar oleh para pemenang. Mereka yang menentukan nama-nama jalan, batas-batas wilayah, dan mana area yang dianggap “aman” atau “berbahaya”. Kita semua belajar membaca peta yang sama, dan perlahan lupa untuk bertanya: siapa yang pertama kali menggambarnya?
Bayangkan sebuah rapat warga di balai desa. Udara pengap, dipenuhi asap rokok kretek dan aroma kopi. Di satu sisi, duduk seorang sarjana muda, baru pulang dari kota, berbicara dengan lancar tentang “partisipasi publik” dan “pemberdayaan masyarakat”. Kalimatnya terstruktur, argumennya runut. Di sisi lain, di bangku paling belakang, duduk seorang petani tua. Tangannya kapalan, kulitnya legam terbakar matahari. Ia tahu persis kapan musim kemarau akan jadi bencana, di mana saja sumber air yang tersisa, dan berapa banyak tetangganya yang mulai berutang pada tengkulak. Pengetahuannya adalah daging, adalah hidup itu sendiri. Tapi ia lebih banyak diam. Sesekali ia berdehem, ingin menyela, tapi kalimat yang sudah tersusun di kepalanya terasa janggal, terasa tak akan pas dengan alur diskusi yang “teratur” itu. Ia akhirnya hanya mengangguk, menyimpan pengetahuannya yang berharga itu dalam diam.
Keheningan sang petani itulah arena kerja kekuasaan yang paling subtil. Ludwig Wittgenstein mengatakan makna sebuah kata ada pada pemakaiannya, dalam “permainan bahasa”. Sang sarjana muda dan sang petani seolah sedang memainkan dua permainan yang berbeda di satu lapangan yang sama. Lalu tulisan Pierre Bourdieu memberi nama pada fenomena ini: kekerasan simbolik. Sebuah kekerasan yang tak meninggalkan lebam. Ia bekerja dengan menanamkan rasa “tidak pantas”, rasa “canggung”, rasa “tahu diri”. Sang petani tadi tidak dilarang bicara. Ia hanya dibuat merasa bahwa suaranya, dengan caranya bertutur yang mungkin melompat-lompat dan sarat emosi, tak akan dianggap “sah” di panggung itu.
Lalu saya lihat mekanisme ini bekerja lebih brutal di dunia digital. Ada kurator agung di sana, tapi wujudnya bukan manusia. Ia mesin. Algoritma. Sebuah mesin lapar yang tak pernah kenyang, yang tak peduli pada gagasan yang dalam. Makannya cuma satu: keterlibatan. Klik, suka, bagikan. Maka bahasa yang disajikannya adalah yang paling gampang dikunyah, yang paling memancing reaksi. Yang rumit dan penuh nuansa? Dibiarkannya tenggelam, jadi fosil di dasar banjir informasi. Di permukaan, yang berenang hanya stempel-stempel kasar: ‘antek asing’, ‘pejuang rakyat’. Dan percakapan pun mati sebelum sempat bernapas.
Yang paling mencemaskan barangkali bukan lagi sensor dari luar. Melainkan yang tumbuh diam-diam di dalam kepala. Pagar-pagar bahasa yang kita bangun sendiri, tanpa sadar, dari serpihan iklan, pidato, jargon, diksi-diksi yang katanya lebih tepat. Lalu kita mulai meragukan isi kepala sendiri. Hanya karena tak ada kosakata yang tampak keren. Aksen kita terlalu kampungan. Atau pikiran kita terlalu sentimentil. Lama-lama, kita jadi penjaga bagi diri sendiri. Menyunting kalimat sebelum sempat diucapkan. Membungkam pengalaman, sekadar agar tak terlihat bodoh di mata orang yang entah siapa.
Apa yang hilang dari itu? Satu hal yang barangkali sederhana. Glosarium yang kaya, nyaris tak terhingga. Istilah yang hidup di ladang, tentang tanah yang basah, padi yang menguning. Kata-kata yang dibisikkan nelayan sebelum berangkat melawan angin. Atau rumus-rumus rapuh tentang ketahanan dari dapur kecil yang tak pernah masuk berita. Semua itu tersangkut di luar pagar. Kita mengira dunia ini riuh. Tapi sebenarnya cuma gema. Gema dari nada yang sama, berulang, sampai sunyi.
Kebebasan bicara terasa seperti sebuah mitos yang indah. Kita boleh bersuara, selama kita menggunakan bahasa para penguasa panggung. Kita boleh berdebat, selama kita memakai istilah-istilah yang sudah mereka tetapkan. Ini adalah ilusi partisipasi. Sebab kenyataan tidak dibentuk oleh apa yang kita lihat, melainkan oleh bahasa apa yang kita pinjam untuk bercerita.
Zuhdi Ilham Nadjir
Mahasiswa Jurusan Komunikasi di Universitas Ichsan Gorontalo











Berikan komentar