Menyembuhkan Filsafat dari Hyper-Intelektualisasi

Kita membutuhkan filsafat yang berpusat pada perasaan dan mengenalinya sebagai aspek sentral dari apa artinya menjadi manusia.
Alan Watts sedang menghisap cangklong

Penyembahan terhadap intelektualitas telah menjadi patologis. Minat masyarakat terhadap filsafat kian menurun. Tetapi bagaimana mungkin? Apakah kita tidak lagi mencintai kebijaksanaan? padahal Ilmu Pengetahuan adalah hal yang abadi dan tidak terhindarkan. Jadi, apa yang terjadi dengan kita? Apa yang terjadi dengan kita yang memungkinkan terjadinya penurunan minat terhadap filsafat?

Filsafat pasti sedang sakit. Ada penyakit yang menyebar di antara manusia—pandemi intelektual: penyakit pikiran, budaya, dan masyarakat. Inilah yang menjelaskan ketidakpedulian kita terhadap kebijaksanaan dan penurunan cinta kita terhadap esensi diri kita. Kita butuh dokter, seperti lagu Ku Butuh Dokter Cinta. Galen, bapak kedokteran Yunani, mengatakan, “Dokter terbaik adalah juga seorang filsuf.” Mungkin kedokteran bisa membantu, tapi kedokteran juga sedang sakit. Dokter di barat banyak yang bunuh diri, mengalami kelelahan, dan menderita. Mungkin pandemi intelektual juga mempengaruhi mereka?

Dari pengalaman pribadi, saya menemukan bahwa kedokteran membutuhkan filsafat untuk sembuh. Namun, filsafat juga membutuhkan kedokteran untuk pulih dari penurunannya. Keduanya saling membutuhkan dan bisa saling membantu. Filsuf terbaik adalah juga seorang dokter—seseorang yang sebut saja memahami gangguan pikiran dan apa yang baik bagi manusia. Kemanusiaan membutuhkan keduanya untuk bekerja sama menyembuhkan kebijaksanaan kita, menyelamatkan filsafat, kedokteran, dan dunia kita.

Penyembuhan pertama-tama membutuhkan diagnosis, pemahaman menyeluruh tentang penyakit sebelum pengobatan yang tepat dapat diterapkan. Saat lelah dan pemulihan, saya membuat diagnosis seperti itu. Diagnosis ini lahir dari pengamatan sederhana bahwa dengan menjadi emosional – bukan marah marah yah tapi lebih berperasaan peka dan empati, saya menjadi lebih baik. Selanjutnya pertanyaan muncul, apa itu perasaan? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu tak terelakkan mengarah pada pertanyaan tentang pengetahuan – pertanyaan filosofis yang abadi. Mereka tidak hanya mengarahkan pada diagnosis terhadap diri sendiri, namun mereka juga mengarahkan pada diagnosis penyakit filsafat dan kemundurannya.

Hyper-intelektualisasi adalah penyakit pikiran yang sangat abstrak dan terpisah dari perasaan kita. Proses mental yang sadar dan logis ini mengabaikan proses emosi yang instingtual dan spontan. Keseimbangan antara pikiran dan perasaan penting untuk kesehatan mental. Filsafat modern sering kali mengabaikan perasaan dan fokus pada intelektualitas. Filsafat dan budaya kita perlu kembali meninjau perasaan untuk mendapatkan kembali kebijaksanaan dan kesehatan kolektif kita.

Ataraksia adalah kondisi ideal Stoik tentang ketenangan pikiran yang tidak terganggu. Namun bagi saya, ataraksia adalah penyakit hyper-intelektualisasi, keterasingan yang ekstrem dari hasrat kita. Ini adalah keadaan mental yang sangat terabstraksi, objektivitas yang tidak kenal kompromi, dan kurangnya kepekaan. Gejalanya adalah ketenangan pikiran yang tidak terganggu, nihilisme yang tidak tergerak oleh peristiwa, dan tersesat dalam kebosanan pengetahuan. Secara alami ini adalah penyakit etis dan epistemologis.

Untuk memahami sifat dari penyakit semacam itu, kita harus memahami pikiran manusia, serta gangguan dalam formulasi dominannya saat ini dalam budaya terkait intelektualitas dan emosi-perasaan, dan bagaimana masing-masing berkontribusi pada pengetahuan.

Intelektualitas manusia berevolusi untuk menyelesaikan masalah. Ini melibatkan proses mental yang disengaja, lambat, metodis, reduksionis, abstrak, dan dirancang untuk menghasilkan pengetahuan objektif yang memungkinkan seseorang mengendalikan masa depan; dengan kata lain, merencanakan. Proses ini umumnya disebut sebagai “berpikir”. Proses mental semacam itu menganggap kebalikannya – emosi atau perasaan – sebagai hal yang aneh, sebuah proses mental yang dijalankan secara naluriah yang bersifat bawah sadar, spontan, cepat, holistik, relasional, dan dirancang untuk secara intuitif menghasilkan pengetahuan berharga. Proses ini umumnya disebut sebagai “merasakan”.

Contoh hyper-intelektualisasi banyak ditemukan dalam filsafat, Democritus, filsuf pra-Sokratik yang disebut oleh beberapa orang sebagai bapak ilmu pengetahuan modern karena teorinya tentang atom yang berbasis pengamatan, menganggap pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman sensual sebagai “pengetahuan bajingan” yang secara inheren salah, dan pengetahuan yang diperoleh melalui penerapan intelek murni sebagai “sah”. Zeno, pendiri Stoisisme, mengangkat pikiran dalam istilah Stoik klasik: “Perasaan yang buruk adalah gangguan pikiran yang bertentangan dengan nalar, dan bertentangan dengan alam.” Jauh kemudian, pergulatan René Descartes dengan pengetahuan berakhir dengan pemikirannya yang terkenal, “Aku berpikir maka aku ada” – sebuah kesimpulan yang secara mencolok mengecualikan ‘merasakan’ (seperti dalam “Aku merasa maka aku ada”) dari ranah kebenaran yang jelas mendefinisikan keberadaan kita. Namun mungkin Baruch Spinoza yang paling tegas dalam pernyataannya tentang keutamaan intelek, dalam bukunya yang terbit tahun 1677, Ethics.

Filsafat modern juga tidak banyak bersikap baik terhadap perasaan. Friedrich Nietzsche, yang nihilismenya sangat berpengaruh dalam post-modern, mengekspresikan penolakan terhadap perasaan dengan cara menolak moralitas, dengan menyatakan bahwa moralitas adalah “hanya bahasa isyarat dari afeksi”. Ronald De Sousa, dalam bukunya The Rationality of Emotion (1987), juga berpendapat melawan kognisi emosional dengan menyatakan bahwa “emosi bukanlah keyakinan” dan dengan demikian tidak dapat dibenarkan atau benar dan karenanya tidak dapat menjadi bagian dari pengetahuan.

Dominasi intelektual tidak hanya tetap terbatas dalam pikiran kita, tetapi telah mengalir keluar untuk mendominasi budaya kita. Kemanusiaan sangat mengidentifikasi dirinya dengan intelektualitas, dengan memandang dirinya sendiri melalui lensa reduksionis dan mekanistis. Ilmu pengetahuan adalah sebuah proses paradigmatik pada intelektual, direkrut untuk menjawab hampir semua pertanyaan modern. Kita hidup di zaman intelek, dan terbenam dalam produk-produk teknologinya. Miliaran manusia saat ini diberi makan dengan makanan yang dikelola oleh teknologi pertanian; diperlengkapi dengan pakaian yang diproduksi oleh teknologi manufaktur; disimpan dalam rumah yang dibangun dengan teknologi arsitektur; diangkut dengan teknologi transportasi; dihubungkan satu sama lain dengan teknologi informasi; dihibur oleh teknologi media. Teknologi telah mencapai supremasi total. Semua itu adalah produk intelektualitas  yang tak terkendali.

Ketika manusia menemukan dirinya semakin berbenam dengan intelektualitas, kita juga menemukan diri kita semakin terputus dari emosi perasaan kita, dan dari tubuh kita – sebuah fenomena yang dengan fasih diungkapkan oleh Alan Watts yang menjelaskan bahwa manusia saat ini menderita dari ‘ilusi besar’ bahwa manusia adalah pikiran yang terpisah dari tubuh. Pemisahan seperti itu, menurut banyak orang, menyebabkan tidak hanya kehancuran emosional tetapi juga krisis ekologi planet ini. Ekosida berkelanjutan di bawah pengawasan manusia yang tersesat dalam nalar tetapi telah kehilangan kebijaksanaan. Untuk menjaga planet tetap hijau, pertama-tama kita harus menanamkan kembali pepohonan kebijaksanaan di dalam diri kita.

Namun emosi tidak berdiam diri, dan nalar yang tidak seimbang akan menyebabkan penderitaan mental. Gangguan kecemasan terus meningkat di dunia modern, mengarah pada situasi bahwa gangguan kesehatan mental adalah beban utama penyakit global, dan dengan cepat semakin bertambah seiring berjalannya waktu. Mungkin kesehatan mental yang buruk sebagian disebabkan oleh hyper-intelektualisasi dari nalar yang tidak seimbang ini – mungkin tidak hanya secara temporer di kalangan manusia, tetapi lebih eksistensial dalam nalar itu sendiri.

Untuk menyembuhkan dari hyper-intelektualisasi, kita harus menerima aspek emosional dari pikiran kita. Filsafat perlu menjadi lebih berperasaan. Ini adalah langkah penting agar filsafat bisa sembuh dan berkembang kembali. Penurunan filsafat tidak terletak pada kesalahan rasionalitas, tetapi pada alienasinya dari pengalaman manusia yang utuh melalui hyper-intelektualisasi. Jika filsafat ingin sembuh, ia harus memiliki keberanian untuk keluar dari batasan intelektual yang sempit dan menyatu dengan dunia nyata yang penuh emosi dan konflik. Hanya dengan cara ini, filsafat bisa bertahan dan berkembang.

Kita membutuhkan filsafat yang berpusat pada perasaan dan mengenalinya sebagai aspek sentral dari apa artinya menjadi manusia. Kita membutuhkan filsafat yang merangkul kebijaksanaan intuisi dan keintiman, dan yang melibatkan aspek-aspek kehidupan ini sebagai jalan menuju pengetahuan yang lebih baik, menuju hidup yang lebih baik, dan menuju perawatan yang lebih baik.

Dan mungkin, yang paling mendasar, kita membutuhkan filsafat yang mengajarkan bahwa kebijaksanaan tidak hanya terletak pada pikiran, tetapi juga pada hati.

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.

Skip to content