Al-Qur’an penuh dengan cerita nabi, dan Muhammad adalah nabi terakhir. Gagasan nubuat tidak mengherankan banyak dibahas di filsafat Islam. Kriteria nubuatan lebih merupakan masalah untuk teologi, tetapi sifat nubuatan adalah filosofis dan berhubungan antara filsafat dan nubuatan. Mereka dianggap menjadi sangat dekat. Dalam tradisi Peripatetik, catatan agama tradisional dari nabi sebagai seseorang yang dipilih oleh Tuhan perlu dimurnikan untuk menyertakan detail yang harus dimiliki nabi tersebut orang yang akan dipilih. Nabi berhubungan dengan intelek aktif, dan kreatif berpikir, karena dia memiliki jenis pikiran yang benar dan asuhan untuk terhubung dengannya.[1]

Pengingkaran terhadap wahyu dari agama Islam sudah timbul sejak masa Nabi Muhammad Saw. Mereka tidak mengakui Nabi Muhammad mendapat wahyu dari langit dan mereka mengingkari kenabian Nabi Muhammad, dan hal ini berlangsung terus seiring dengan perkembangan umat Islam dengan pengaruh tradisi budaya masyarakat plural masa itu.[2]

Tokoh-tokoh filsafat yang paling penting dalam sejarah Islam, yang telah membahas problem kenabian ini, dan telah mendasarkannya pada sifat kognitif jiwa manusia adalah Al-Farabi dan Ibnu Sina. Tetapi, kedua tokoh ini menunjukkan perbedaan-perbedaan tertentu dalam pembahasan mereka mengenai akal.

Filsafat kenabian merupakan pemikiran atau pengetahuan yang membicarakan tentang hakikat Nabi dan kedudukannya dibandingkan dengan manusia lainnya, terutama filosof. Maka filsafat kenabian dapat diartikan sebagai suatu kajian tentang tema kenabian yang menguraikan masalah kenabian dari urgensi kenabian itu sendiri, baik dalam hal peran historis mau pun tujuan adanya para Nabi, karakter Nabi, mukjizat yang dimiliki para Nabi, serta hal lain yang berkaitan tentang kenabian secara mendalam dan bersifat universal.

Menurut Al Farabi, manusia dapat berhubungan dengan Akal Fa’al (Jibril) melalui dua cara, yakni penalaran atau renungan pemikiran dan imajinasi atau inspirasi (ilham). Cara pertama hanya dapat dilakukan para filosof sedangkan cara kedua hanya dapat dilakukan oleh nabi.[3]

Menurut Ibnu Sina, Nabi berada pada puncak keunggulan yang tertinggi dalam lingkungan pada bentuk material. Karena yang unggul berdiri di atas yang rendah serta menguasainya, maka Nabi berdiri di atas semua jenis wujud yang diunggulinya dan menguasainya. Sementara menurut Al Ghazali, dalam buku Al-Munqidzu minad-Dlalal Al-Ghazali menulis bahwa kenabian adalah perkara yang dapat diakui menurut riwayat, dan dapat diterima menurut pertimbangan pikiran. Dari tulisan tersebut terlihat bahwa pemikiran Al-Ghazali senada dengan Al-farabi mengenai gejala kejiwaan. Bahwa melalui tidur ketika bermimpi, bisa jadi dalam mimpi tersebut dapat melihat rahasia yang akan terjadi, baik dengan jelas mau pun dengan perumpamaan.[4]

Dalam Pandangan filsafat, proses komunikasi kewahyuan bisa melalui jalur top down: dari atas (Allah Swt, diperantarai akal aktif dan Jibril) ke bawah (manusia pilihan), mau pun bottom up: dari bawah (manusia cerdas) ke atas (Allah Swt, melalui akal aktif). Dapat digambarkan sebagai berikut:

Keterangan:

  1. Akal Fa’al (Akal Aktif) adalah realitas alam yang memperantai antara alam manusia dengan realitas ketuhanan, yang terkadang juga disebut sebagai lauh mahfuz, umul kitab, qalam Al-a’la, dan alam malakut. Karena akal berada pada alam kemalaikatan, maka makhluk Allah yang diberi tugas membawakan wahyu adalah Jibril.[5]
  2. Akal manusia dibagi menjadi 2 jenis :
    • Akal teoritis, akal yang objek pemikirannya bersifat abstrak immateri dan fungsinya untuk menyempurnakan jiwa. Akal teoritis dibagi lagi menjadi tiga tingkatan :
      1. Akal potensial merupakan akal yang berfungsi mengolah data dari akal praktis, atau akal yang berfungsi menyisihkan bentuk-bentuk dari materinya hingga ia menjadi aktif.
      2. Akal aktual merupakan akal yang berfungsi mengolah data yang sifatnya abstrak tetapi belum murni 100% kurang lebih 75% akal ini menjadi aktual setelah memikirkan obyek pemikiran yang bersifat immateri-metafisis.
      3. Akal mustafadz (akal perolehan) merupakan akal yang memikirkan obyek-obyek yang bersifat murni abstrak-konseptuAl-metafisis-ideal dan kini telah mengetahui bentuk-bentuk immateril-metafisis. Perbedaan dua obyek pemikiran ini adalah bahwa obyek-obyek yang abstrak yang menjadi sasaran pemikiran akal aktif berasal dari materi. Sedangkan bentuk immaterial yang menjadi obyek pemikiran akal mustafadz adalah abstrak/ghaib.
    • Akal praktis, akal yang objek pemikirannya bersifat kongkret dan berfungsi mempermudah kehidupan duniawi. Akal inilah yang kemudian melahirkan berbagai ilmu kealaman yang dapat dikaji melalui pengamatan empiris.[6]

Wahyu Intelektual

Nabi adalah seseorang yang memperoleh berkah intelektual yang luar biasa, ‎yang berarti dia mampu mengetahui segala sesuatu dengan sendirinya tanpa bantuan ‎petunjuk dari sumber eksternal. Walau pun Al Farabi dan Ibnu Sina saling menyetujui ‎hal ini, namun Al Farabi menganggap penting bahwa wahyu nabi didahului oleh ‎pemikiran filosofis yang biasa, akal nabi harus melalui tahap-tahap perkembangan ‎yang juga dilalui oleh pikiran umum, dan setelah itu wahyu datang.  Satu-satunya ‎yang dapat membedakan antara orang biasa dan nabi ialah bahwa nabi dapat ‎mengajari dirinya sendiri.

Pemimpin mutlak-pertama (yang baik) adalah orang yang tidak diarahkan oleh orang lain dalam hal apa pun. Sebaliknya, dia benar-benar telah mendapatkan seluruh pengetahuan dan makrifat (dengan sendirinya) dan dia tidak membutuhkan seorang pun untuk mengarahkannya dalam setiap masalah ini hanya bisa terjadi dalam kasus seorang yang dikaruniai kemampuan-kemampuan alamiah yang luar biasa besarnya ketika jiwanya berhasil berhubungan dengan akal aktif. Tahap ini hanya bisa dicapai setelah orang ini mencapai akal aktual dan kemudian akal perolehan. Karena dengan kemampuannya dalam mencapai akal perolehan inilah dia bisa mencapai akal aktif. Orang inilah yang dianggap Raja oleh bangsa-bangsa kuno dan dialah yang dimaksudkan ketika dikatakan bahwa wahyu telah mendatanginya. Wahyu disampaikan pada seseorang jika dia telah mencapai peringkat ini, ialah ‎ketika tidak ada lagi perantara antara dirinya dan akal aktif. Dengan demikian, akal ‎aktual seperti zat dan substratum sampai akal perolehan sebagaimana zat dan ‎substratum sampai akal aktif.

Tiga hal yang dikemukakan oleh Al-Farabi: ‎

  1. ‎Nabi tidak seperti manusia biasa, dikaruniai dengan bakat intelektual yang luar ‎biasa.
  2. ‎Akal nabi berbeda dengan pikiran filosofis dan mistis yang biasa, artinya tidak ‎membutuhkan pelatihan dari luar melainkan mengembangkan sendiri dengan ‎bantuan kekuatan Ilahi.
  3. ‎Pada akhir perkembangan ini akal nabi berhasil menjalin hubungan dengan akal ‎aktif dari mana ia menerima kemampuan nubuwwat yang istimewa.‎[7]

Wahyu Teknis atau Wahyu Imajinatif

Pada level intelektual, ada keidentikan antara nabi, filosof dan mistikus. Hanya saja nabi ‎dibedakan dari yang lainnya, karena memiliki kemampuan imajinatif yang kuat. ‎kemampuan imajinasi kenabian inilah yang menjadi dasar penjelasan para filosof muslim mengenai psikologis dari wahyu. Bagi kaum filosof, imajinatif menyuguhkan suatu kebenaran dalam bentuk citra-citra bermakna yang khusus dan ‎mode-mode verbal, kebenaran sederhana yang universal, serta yang ditangkap oleh akal ‎para nabi. [8]

Dalam hal manusia biasa penarikan diri jiwa itu hanya terjadi dalam ‎mimpi, maka dalam hal manusia-manusia langka yang hanya sedikit jumlahnya, yang ‎dikaruniai jiwa yang murni, dan imajinasi yang kuat, hal itu dapat terjadi dalam ‎keadaan jaga. Dalam hal ini, Al Farabi menulis:

Manakala kemampuan imajinatif sangat kuat dan sempurna  dalam ‎diri seseorang baik sensasi yang berasal dari dunia eksternal atau pelayanannya ‎pada jiwa rasional, tidak menguasainya pada tingkat mampu mengikat ‎sepenuhnya-sebaliknya, meski pun diikat, ia memiliki kekuatan yang sangat besar ‎yang memungkinnya untuk menjalankan fungsinya. Kondisi dengan segala ‎keterikatannya dalam kehidupan ketika bangun adalah seperti kondisi ketika mereka ‎terbebas dalam tidur. Keadaan semacam itu jiwa imajinatif memfigurkan ma’qul-‎ma’qul yang dikaruniakan kepadanya oleh akal aktif. Citra figuratif ini ‎mengesankan diri mereka pada kemampuan perseptual.‎[9]

Pokok-pokok yang muncul sejauh ini adalah:

  • Nabi dikaruniai dengan kekuatan imajinasi yang sangat kuat sehingga dia dapat menangkap kembali kebenaran intelektual melalui figurasi dalam lambang-lambang visual dan akustik dalam keadaan jaga.
  • Meski pun lambang-lambang ini mungkin bersifat pribadi dan tidak umum, fakta ini tidak mempengaruhi validitas obyektif mereka.                                                                                                          

Mukjizat

Menurut Ibnu Rusyd, mukjizat yang dimiliki Nabi seperti mengubah tongkat menjadi ular, dapat membelah laut dan sebagainya hanya merupakan sesuatu yang digunakan untuk mengalahkan orang-orang yang menentangnya. Alquran bukanlah mukjizat yang dimiliki Nabi Muhammad melainkan wahyu Tuhan dan sebagai firman yang disampaikan melalui Nabi Muhammad.

Mukjizat dalam pandangan Ibnu Rusyd ada dua macam. Pertama, mukjizat luaran (alkarammi) ialah mukjizat yang sesuai dengan sifat para Nabi seperti membelah lautan. Mukjizat ini hanya menjadi tanda penguat tentang adanya kerasulan sebagai tanda jalan keimanan orang awam terhadap kenabian. Kedua, mukjizat yang sesuai (al immasib) dengan sifat kenabian tersebut maka peraturan yang dibawanya untuk kebahagian manusia. Mukjizat ini merupakan tanda kerasulan yang sebenarnya, sekaligus sebagai jalan keimanan bagi para ulama dan orang awam dengan kadar kemampuan yang dimilikinya.[10] Menurutnya, mukjizat kedua inilah yang dijadikan pegangan dalam mengakui kerasulan.

Risalah dan Hukum (Da’wah dan Syari’ah)‎

Fungsi integral dalam kedudukan nabi bahwa dia harus mendatangi ‎rakyatnya atau ummat manusia pada umumnya. Dengan membawa misi religio-‎sosial dan membuat hukum. Karena nabi bukan semata-mata seorang ahli fikir atau ‎ahli mistik melainkan seorang aktor yang mencetak sejarah nyata dalam suatu pola ‎tertentu.‎

Hukum harus dibangun oleh seorang nabi karena fungsi hukum adalah ‎mengawasi kepentingan diri yang berlebihan dari masyarakat dengan cara yang ‎mendidikan menuntun mereka atau orang-orang yang lebih berbakat dari kalangan ‎mereka dengan tujuan pembuat hukum visi akan kebenaran yang akan lebih ‎tinggi. Oleh karena itu, adalah penting bagi pembuat hukum itu bahwa dia sendiri ‎memiliki kebenaran religio-filosofis dan, lebih jauh, bahwa dia mampu ‎mengungkapkan dirinya dalam pengertian dan doktrin-dokrin hukum dan formal ‎yang dapat mengatasi dan dapat diterima oleh tingkat kecerdasan biasa. Nah, ‎seperti yang dikemukan sebelumnya hanya seorang nabi dengan ketajaman ‎akalnya, dan kekuatan imajinasinya, mampu melakukan ini.‎

Lebih jauh, hukum itu harus sedemikian rupa sehingga ia dapat terus ‎diterima oleh masyarakat setelah pembuat hukum meninggal. Sesungguhnya, ‎inilah sebabnya mengapa hukum dan kehadiran para nabi di dunia itu penting. Sebab jika para nabi sering datang ke ‎dunia, dan karena kekuasaan mereka lebih besar dari hukum, maka hukum akan ‎diubah sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan zaman. Hukum-hukum yang telah ‎ditetapkan oleh pembuat hukum (sebelumnya) harus dicatat dan diterima oleh ‎Negara sesuai dengan hukum-hukum tersebut.[11]

Oleh karena itu, adalah penting bahwa nabi harus melembagakan undang-‎undang tertentu yang mewajibkannya untuk melaksanakan oleh masyarakatnya ‎secara terus-menerus sehingga mereka selalu ingat (akan tujuan hukum itu) ‎Undang-undang ini harus sedemikian rupa sehingga masyarakat akan tetap ‎menyimpan dalam hatinya ingatan akan Tuhan Yang Maha Mulia dan tentang ‎akhirat, sebab kalau tidak usaha itu tidak akan ada gunanya. Nah, “sarana-sarana ‎pangingat” itu dapat berupa kata-kata yang diucapkan atau niat yang dicanangkan ‎dalam pikiran seseorang harus dikatakan pada masyarakat.[12] ‎Ini hanya bisa dilakukan oleh seorang nabi, penerima wahyu agama-berkat imajinasinya yang kuat.[13]

Daftar Pustaka

Mustofa, A. 2004. Filsafat Kenabian. Bandung: Pustaka Setia.

Hasan Mustofa, 2015. Sejarah Filsafat Islam. Bandung : Pustaka Setia

Imam Kanafi, 2019. Filsafat Islam, Pendekatan Tema dan Konteks. Pekalongan : PT NEM

Rahman Fazlur, 2003. Kontroversi Kenabian Dalam Islam : Antara Filsafat dan Ortodoksi. Bandung : Mizan

Rahman Fazlur, 2003. Kenabian dalam Islam. Bandung : Pustaka

S. Groff Peter, 2007. Islamic Philosophy A–Z. Edinburgh : Edinburgh University Press

Ya’qub Hamzah, 1992. Filsafat Agama (Titik Temu Akal Dengan Wahyu). Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya

Zar Sirajuddin, 2019. Filsafat Islam. Depok : PT.Raja Grafindo Persada


[1] Peter S. Groff, Islamic Philosophy A–Z (Edinburgh: Edinburgh University Press 2007) hal. 300

[2].Imam Kanafi, Filsafat Islam, Pendekatan Tema dan Konteks (Pekalongan : PT NEM 2019) Cet. I hal. 73

[3] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam (Depok : PT RajaGrafindo Persada 2019) Cet. 8 hal. 80-81 

[4] Hamzah Ya’qub, Filsafat Agama (Titik Temu Akal Dengan Wahyu), (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya 1992) hal 141.

[5] Imam Kanafi, Filsafat Islam. hal. 64

[6] Imam Kanafi, Filsafat Islam. hal. 65

[7] Fazlur Rahman, Kenabian dalam Islam (Bandung: Pustaka 2003) Cet. I hal. 22

[8] Fazlur Rahman, Kontroversi Kenabian Dalam Islam : Antara Filsafat dan Ortodoksi (Bandung : Mizan 2003) hal 56

[9] Fazlur Rahman, Kenabian dalam Islam…hal. 30

[10] A. Mustofa, Filsafat Kenabian, (Bandung: Pustaka Setia 2004)hal 306.

[11] Fazlur rahman, Kenabian dalam Islam. hal. 51

[12] Fazlur Rahman, Kenabian dalam Islam. hal. 57

[13] Fazlur Rahman, Kontroversi kenabian dalam Islam. hal. 77

Syazna Maulida

Mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam di pascasarjana UIN Sunan Ampel Surabaya

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.