Herbert Marcuse berbicara di antara mahasiswa Free University of Berlin

Kekalahan partai komunis Jerman memang merupakan fakta sejarah yang sekaligus pukulan terhadap komunisme, terutama para pengikut narasi ataupun ideologi marxisme. Konon, yang menjadi dalang jatuhnya Partai Komunisme Jerman adalah pihak-pihak yang bersikap pragmatis dan korup di waktu itu. Keberhasilan partai Nazi adalah bentuk kritik ideologis marxisme dalam praktiknya yang sebenarnya terkesan belum rampung dan bisa dikatakan parsial dalam praktiknya.

Tidak hanya itu, jauh sebelum itu keadaan pelik melanda Jerman di masa sehabis perang dunia pertama dikarenakan beban kerugian perang menjadi tanggungjawab Jerman atas kesepakatan perjanjian dan reparasi (ganti rugi), negara-negara barat sebagai pemenang memberlakukan perjanjian tersebut yang ditujukan kepada negara-negara yang kalah, terutama blok sentral (Jerman dan Austria-Hungaria, juga disusul Turki Ottoman dan Bulgaria).

Kemenangan Partai NAZI dengan didalangi narasi rasialisme yang digaungkan Adolf Hitler –bahwa kemurnian rasial menjadi pelumas propaganda pada masyarakat Jerman – serta kebangkitan “ras Jerman” atau sebutan “ras arya” sebagaimana yang dipahami bahwa masyarakat Jerman adalah tuan di tanahnya sendiri: Jerman. Namun bukan berarti seluruh masyarakat sepakat akan hal itu. Jerman adalah salah satu negara yang sangat memperhitungkan problem pentingnya pertimbangan kesadaran akan ilmu pengetahuan itu sendiri.

Secara singkat latar belakang yang diterangkan penulis di paragraf sebelumnya, sebenarnya sudah menjadi awal dari musabab genealogi pemantik bara api munculnya Mazhab Frankfurt atau Institut Sosial Frankfurt. Sebagaimana dituliskan oleh Valentinus Saeng dalam bukunya yang berjudul “Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme”, bahwa berdirinya Mazhab Frankfurt tidak terleps dari konteks perang dunia pertama dan kekalahan partai komunis oleh partai Nazi di Jerman pada tahun 1930-an (Valentinus, 2012).

Kelahiran Mazhab Frankfurt

Kelahiran Mazhab Frankfurt tidak bisa lepas dengan pertarungan ideologi; kapitalisme dan marxisme. Keadaan masyarakat Jerman di masa itu ditengarai dengan masyarakat kapitalis, dan seiring berjalannya waktu zaman pun berubah, bahkan kapitalisme pun selalu terus menerus mengupayakan adaptasi pun tak luput juga dari upaya pembaharuan di setiap zaman.

dari itu, gerakan marxisme diwaktu itu bisa dikatakan kalah sejenak sebab sikap dari kapitalisme selalu terbuka akan kritik dan menjadikan kritik sebagai acuan pembaharuan. Lalu marxisme akhirnya diagendakan untuk adanya upaya pembaharuan secara teoretis dalam narasi besarnya, dikarenakan anggapan marxisme bahwa kelas pekerja dan pemodal akhirnya akan terjadi konflik itu tidak pernah terjadi, sebab kapitalisme selalu berlaku layaknya bunglon dengan mengambil pelajaran dari kritik menjadikan sebuah pembaharuan sebagai tanda kesejahteraan seperti yang dituliskan sebelumnya.

Kekhawatiran ini pun mencuat pada para intelek ‘kiri’ yang akhirnya melakukan upaya penyegaran kembali, tentunya gerakan ini tak tiba-tiba begitu hampa lalu terbit. Namun perihal musabab dan siapa yang mendorong gerakan ini, gerakan disokong oleh salah satu tokoh yang sangat jarang kita temui dalam literatur  ialah Felix Weil, seorang anak muda yang kaya raya diwaktu itu juga anak dari kapitalis. Lalu selanjutnya diisi oleh Max Horkheimer, Herbert Marcuse, Theodor W. Adorno, dan Walter Benjamin, hingga selanjutnya di isi oleh para intelektual kiri lainnya seperti Jurgen Habermas.

Ia pun mendorong terbentuknya Mazhab Frankfurt atau intitusi sosial yang berada di Universitas Frankfurt. Sedikit yang bertanya tentang sokongan dana demi kelancaran Mazhab Frankfurt dalam penelitiannya dan upaya pengembangan pengetahuannya, ialah Felix Weil yang mendanai semuanya, sebagai itikad seorang dari keluarga kapital yang marxis di mana memang hampir seluruh intelek kiri di Frankfurt merupakan anggota keluarga kapital di Jerman waktu itu.

Selanjutnya, Felix Weil dan para intelektual kiri Frankfurt menerka bahwa marxisme di masa itu sudah menjadi dogma bagi para pengikutnya atau bisa juga dikatakan fanatis terhadap marxisme itu sendiri.

Pun perlu dipahami, bahwa gerakan Marxisme di waktu itu terbagi dua: yang pertama adalah marxisme ortodoks yang mempertahankan nilai-nilai lama sebagai dogma gerakan seperti yang kita kenal dengan gaungan “revolusi”, dan yang kedua adalah Neo-marxisme yang mendorong gerakan upaya pembaharuan. Pada titik inilah Mazhab Frankfurt bergelut.

Keakraban kapitalisme dan totalitarian pada masa itu cukup menggambarkan betapa kuatnya tenaga yang dibangun oleh partai Nazi, itulah yang menandakan awal tumbuhnya bibit rezim kekuasaan fasis yang dibuktikan melalui pembantaian darah kaum Yahudi yang dibuktikan oleh holocaust.

Lahirlah Mazhab Frankfurt juga di tahun 1930-an yang dibangun oleh para marxis muda Jerman, kajian dalam kelompok ini sebenarnya berusaha mengembalikan tahta manusiawi dan alam sebagaimana baiknya, nilai-nilai kemanusiaan menjadi rohnya, penindasan  yang memupuk semangatnya untuk terus menerus megabdi pada ilmu pengetahuan untuk mengkritisi segala hal yang berkembang, sikapnya yang terbuka, tidak anti-kritik, menolak adanya dogmatisme dalam ilmu pengetahuan dan metode absolut yang  diberikan pada manusia. Coraknya yang begitu analitik dan metodologis dalam upaya mendialektikakan ilmu pengetahuan.

Mazhab Frankfurt dan Filsafat Kritis

Sebagaimana yang diketahui bahwa Mazhab Frankfurt ingin melakukan analisis kritis atau menginterupsi marxisme – diadakan tinjauan ulang mengenai pemikiran marxisme – sebab kekalahan partai telah menandakan ada yang rapuh di masa itu. Mazhab Frankfurt juga tak lepas dari kebencian marxisme ortodoks yang selalu menginginkan revolusi, namun para intelektual Mazhab Frankfurt berkata lain; bahwa gerakan marxisme akan mati jika itu dijadikan  dogma gerakan dan tidak mengandung upaya analisis kritis yang diulang sebagai upaya dialektika zaman untuk tetap relevan.

Corak yang dibangun Mazhab Frankfurt mulai dari memadukan pemikiran Karl Marx dengan kajian yang lain yang sifatnya multidisipliner (Valentinus, 2012). Inilah yang mengawali kritikan pemikiran Marx bahwa determinasi ekonomi yang dimaksudkannya tidak selamanya sebagaimana yang dipikirkan. Mazhab Frankfurt mulai dengan memadukan pendasaran suprastruktur yang dalam hal ini dilaksanakan melalui pendekatan psikoanalisa dari Sigmund Freud, juga dengan sosiolog yang lain seperti Max Weber dan lain sebagainya.

Mazhab Frankfurt mengkritisi segala hal, sebagaimana dirinya sendiri, terutama mengenai modernisme, positivisme, mekanisasi, dan teknologisasi. Rasionalitas dan subjektifitas yang dibangun modernitas menjadi wacana yang dikritisi dengan lahap oleh Frankfurt, bahwa ke-akuan yang dibangun Rene Descartes dengan latar belakang skeptisisme menimbulkan rasionalitas yang total. Konsep ini bahkan menjadikan alam sebagai objek yang utuh, yang akhirnya menyebabkan eksploitasi secara masif. Belum lagi soal kapitalisme global membangun kesadaran palsu melalui media, gaya hidup yang begitu mekanistik dan hampir tidak ada bedanya dengan robot.

Dari sinilah kita dapat memandang bahwa secara garis besar Mazhab Frankfurt merupakan institusi sosial yang dibangun dan sangat aktif di masanya. Kelompok ini merupakan perhiasan ilmu pengetahuan yang menggambarkan upaya pengembangan ilmu pengetahuan sebagai yang tidak bersifat mono melainkan dialektis dan terus menerus diadakan sebagai upaya kritis.

Referensi

Saeng, Valentinus, (2012). Herbert Marcuse: Perang Semesta Melawan Kapitalisme Global, Jakarta: PT Gramedia Purtaka Utama

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.