Konsep Mahiyyah dalam Filsafat Islam

Filsafat Islam atau Hikmah Ilahiyyah atau Ilahiyyat memiliki pemikiran mendasar bahwa dunia eksternal terdiri dari kemandirian wujud atau aktus (al-tahaqquq al-khariji).

Ilustrasi pria bercermin

Filsafat Islam atau Hikmah Ilahiyyah atau Ilahiyyat memiliki pemikiran mendasar bahwa dunia eksternal terdiri dari kemandirian wujud atau aktus (al-tahaqquq al-khariji). Di samping itu, ada keyakinan umum bahwa seseorang mampu untuk memikirkan sesuatu yang mewujud di eksternal. Hasilnya adalah berbagai forma muncul di pikiran dan dikembalikan lagi ke realitas eksternal sebagai referen (mishdaq).1

Di era Mulla Shadra ada upaya untuk mereduksi kejamakan konsep menjadi dua saja: konsep primer dan konsep sekunder. Dua konsep ini, bagi Shadra, harus dipilih lagi sampai kita dapati bahwa salah satunya adalah konsep yang referennya merupakan realitas fundamental. Dengan begitu, terdapat konsep yang kewujudannya tidak bersifat fundamental. Ia terwujud secara aksidental. Artinya, jika realitas fundamental tidak ada, maka mustahil pula kewujudan bagi realitas yang aksidental di realitas eksternal. Pendek kata, para filsuf Islam sejak Shadra hingga saat ini mempertahankan bahwa wujud yang fundamental, sementara mahiyyah terwujud secara aksidental. Kendati demikian, mahiyyah sebagai konsep bisa memiliki ruang pembahasan sendiri, dan tujuan dari ini adalah mendapatkan esensinya, batasan, serta relasinya dengan konsep-konsep lainnya.

Pengertian Mahiyyah

Secara tradisional filsafat Islam telah merumuskan dua pertanyaan penting atas objek pikiran: “apakah sesuatu itu? (ma huwa?)” dan “adakah sesuatu itu? (hal huwa?)”. Pertanyaan pertama mengacu pada mahiyyah sesuatu, sedangkan pertanyaan kedua mau mengonfirmasi bahwa konsep tersebut benar-benar mewujud di eksternal. Dua jenis pertanyaan ini sangat berguna dalam wilayah korespondensi antara konsep dengan realitas eksternal. Ini karena banyak sekali konsep yang diyakini, tapi kewujudannya masih diragukan. Contohnya adalah kuda Pegasus.

Mahiyyah sendiri merupakan kata yang diambil dari pertanyaan “apa itu?”. Maksud utama dari mahiyyah adalah jawaban dari pertanyaan tersebut (ma yuqalu fi jawab ma huwa) (Thabathabai, 2007)(Zunjani, 1982)(Hilli, 1988). Sederhananya ia adalah jawaban, bukan menunjuk pada pertanyaan an sich. Anak kecil yang baru bisa berbicara sering bertanya, “itu apa?”. Nah, jawaban untuk sang anak juga bisa disebut sebagai mahiyyah. Terlebih lagi, jika jawaban itu tersimpan di pikiran sebagai forma pikiran (al-shurah al-dzihniyyah), maka itu akan menjadi salah satu basis pengetahuan atas berbagai benda. Mahiyyah dapat dideskripsikan secara sederhana seperti ini.

Lebih jauh, forma pikiran seperti konsep manusia, batu, kucing, dan lain sebagainya merupakan proses signifikasi dan diferensiasi antara satu dari lainnya: x bukan y, y bukan z. Semua ini berlaku sejauh tiap-tiap benda memiliki kekhususan forma pikiran. Artinya, mahiyyah sendiri secara eksplisit mengacu pada perbedaan yang muncul dari batasan sesuatu (hadd al-sya’i). Hal ini persis seperti ungkapan ahli logika: segala sesuatu diketahui menurut perbedaan-perbedaan antara satu hal dengan hal lainnya (tu’raf al-asya’ bi adhadiha).

Sumber untuk mengabstraksi diferensiasi berbagai mahiyyah terletak pada wujud itu sendiri. Wujud yang dimaksud di sini adalah wujud kontinjen (mumkin) sebagai efek dari kausa prima yang tak terbatas. Banyak filsuf yang mengidentifikasi wujud kontinjen ini sebagai suatu komposisi wujud dan mahiyyah.2 Mahiyyah yang teridentifikasi sebagai batas wujud bukan produksi liar pikiran semata, tapi karena persepsi indra dan intelektual mengafirmasi: di sana banyak wujud, dan setiap wujud memiliki penampakannya yang berbeda-beda. Satu batas wujud berbeda dengan batas wujud lainnya—tidak ada manusia dalam batu, dan sebaliknya.

Dari penjelasan sederhana ini kita bisa melihat bahwa mahiyyah diabstraksi (intiza’) dari wujud-wujud yang terbatas (al-wujudat al-mahdudah). Batas wujud ini juga sering ditafsirkan sebagai sisi ketiadaan dari wujud (al-amr al-‘adamiy). Bahkan, sisi ketiadaan ini menjadi sumber abstraksi (mansya’ intiza’i) (Fayyadhi, 2015). Akhirnya, mahiyyah yang terhasilkan dari batas ketiadaan ini mengimplikasikan dirinya sebagai sumber keragaman (mansya’ al-katsrah). Inilah salah satu alasan mengapa ia gagal untuk menjadi kandidat realisasi eksternal. Dan predikasi mahiyyah pada wujud eksternal serupa dengan bentuk majazi, yang dekat dengan wahm—sebuah gagasan yang bercita rasa mistis (Fayyadhi, 2015).

Setelah menetapkan mahiyyah sebagai jawaban dari pertanyaan apakah itu, batasan wujud dan sumber keragaman, para filsuf muslim bergerak lebih jauh: menganalisis lebih dalam konsep mahiyyah. Ternyata mahiyyah secara esensial tersusun dari beberapa konsep lainnya. Artinya, ada satu upaya untuk menguraikan atau menganalisis lebih jauh pada suatu konsep mahiyyah. Misalnya, jika seseorang mengatakan bahwa manusia adalah hewan yang berpikir (al-hayawan al-natiq), sesungguhnya orang ini sedang mengatakan mahiyyah manusia. Mahiyyah dari segi analisis konseptual ini sangat umum digunakan dalam perkara-perkara rasional(Hilli, 1988).

Dengan begitu, ada keselarasan dari dua penjelasan di atas: batas wujud menandakan adanya diferensiasi antara mahiyyah manusia dengan mahiyyah lainnya; sehingga, penguraian mahiyyah manusia menghasilkan konsep diferensia dan jenus. Keduanya bisa dipikirkan dari dua sisi: yang pertama terkait dengan pemikiran sehari-hari; dan yang kedua—penguraian secara analitik—adalah pekerjaan sains.

Mahiyyah Bukanlah Apapun kecuali Esensinya Sendiri

Para filsuf Muslim sering menegaskan bahwa perhatian kita atas mahiyyah tak menghasilkan konsep apa pun kecuali mahiyyah itu sendiri.3 Esensi mahiyyah dalam konstruksi mental bisa dipikirkan tanpa mengandaikan adanya aksiden-aksiden eksternal yang terkualifikasi padanya. Di sini, mahiyyah dipikirkan sebagai struktur konseptual yang bisa diandaikan bukan wujud atau bukan non-wujud, karena keduanya bukanlah hasil penguraian analitik dari esensi mahiyyah per se(Thabathabai, 2007). Dari cara sederhana ini dapat dimengerti bahwa: mahiyyah bukanlah apa pun kecuali esensinya sendiri.

Kendati begitu, mahiyyah pada dirinya sendiri memiliki kesempatan untuk dipredikatkan dengan konsep-konsep selain dirinya. Ini mengindikasikan bahwa mahiyyah pada dasarnya memiliki posisi khusus: ia netral di antara wujud dan non-wujud (mutasawiyyah al-nisbah bayna al-wujud wa al-‘adam). Dari cara pandang ini, menambahkan wujud atau non-wujud sebagai predikat mahiyyah membutuhkan dalil. Sebagai contoh: mahiyyah manusia 350.000 tahun yang lalu belum terwujud. Ini adalah pernyataan yang benar terbuktikan. Sebaliknya, mahiyyah manusia mewujud pada 300.000 tahun yang lalu juga terbuktikan, dan benar.

Hal yang sama juga bisa diterapkan pada kuda Pegasus. Ia memiliki kesempatan untuk wujud atau tidak wujud. Tapi persoalan utama di sini adalah netralnya mahiyyah jika dihadapkan pada wujud dan non-wujud. Ibn Sina dalam Al-Isyarat wa al-Tanbihat: “Anda mengerti makna segitiga. Tapi Anda ragu apakah segitiga ini disifati dengan wujud atau tidak dalam realitas eksternal ini. Anda telah menggambarkannya di pikiran bahwa segitiga terdiri dari garis dan permukaan, tapi kewujudannya di alam eksternal belum terbayangkan bagi Anda”(Sina, 2014). Al-Thusi, sebagai komentatornya, turut menambahkan: Beliau ingin menjelaskan perbedaan esensi sesuatu (dzat al-sya’i) dengan kewujudannya di eksternal(Sina, 2014).

Dari situ, wujud maupun non-wujud bukanlah struktur dasar dan esensial bagi mahiyyah. Oleh karena itu, memikirkan mahiyyah-pada-dirinya-sendiri tidak serta merta memberikan afirmasi bahwa ia wujud atau selamanya non-wujud. Ide semacam ini juga tak luput dari perhatian al-Farabi: “jika mahiyyah manusia mengandung kewujudannya, maka pada saat yang sama persepsi (tashawwur) kita juga mengarah pada wujudnya¼ sehingga, setiap persepsi atas mahiyyah mengharuskan suatu penghukuman (tashdiq)¼ dan, karenanya, mustahil untuk mengandaikan mahiyyah tanpa menanggalkan wujud darinya”(Farabi, 2002).

Salah satu argumentasi tambahan yang bisa memperkuat bahwa mahiyyah-pada-dirinya bukanlah apa pun adalah ini: jika esensi mahiyyah memiliki kesatuan dengan salah satu konsep sekunder filosofis ataupun logis, maka mengganti satu predikat dengan predikat lainnya adalah upaya untuk menegasikan sesuatu dari dirinya sendiri. Dan ini adalah mustahil. Singkatnya, mahiyyah bersifat pada selainnya. Pada sisi ini pula para filsuf pendukung fundamentalitas wujud—kepositifan wujud sebagai aktus—mengajukan alasan lain mengapa mahiyyah tak mungkin ditetapkan sebagai realitas eksternal yang fundamental.

Dari beberapa pengertian yang telah dijabarkan, mungkin kita akan bertanya-tanya apa yang tersisa dari mahiyyah. Seperti telah disinggung, komponen yang tersisa dari mahiyyah—setelah dinegasikan segala aksiden-aksiden eksternal—adalah unsur-unsur konstitutifnya (dzatiyyat). Untuk dipahami dengan mudah: unsur konstitutif ini adalah apa yang dipikirkan dari batas-batas mahiyyah)(Thabathabai, 2007). Sudut pandang ini dapat dianalogikan dengan kombinasi dua atom hidrogen dan satu atom oksigen yang membentuk H20, yaitu senyawa air.

Tak syak lagi, jika unsur konstitutif ini tidak ada, mahiyyah juga tidak ada. Pengertian paling dasar mengenai unsur konstitutif ini adalah sesuatu yang jelas (bayyinat al-tsubut) dalam hubungannya dengan esensi (al-dzat)(Thabathabai, 2007). Kemelekatan unsur berpikir dengan mahiyyah manusia adalah sesuatu yang jelas, sesuatu yang langsung menjadi batas mahiyyah manusia dan diferensi manusia dari hewan lain. Kejelasan di sini juga mengindikasikan bahwa “berpikir” dan “hewan” dapat dikatakan tanpa memerlukan demonstrasi rasional. Kehadiran unsur konstitutif ini bersifat niscaya (dharuriy), yang jika kita menanggalkannya akan melenyapkan mahiyyah yang utuh. Dengan menanggalkan wujud maupun non-wujud, mahiyyah manusia tetaplah manusia yang tersusun dari unsur konstitutifnya.

Dalam pembahasan mahiyyah semacam ini, tampak jelas bahwa para filsuf membatasi diri mereka pada bahasan mahiyyah komprehensif (al-mahiyyah al-tammah). Mahiyyah jenis ini disepadankan dengan spesies (nau’), mahiyyah yang tersusun dari jenus (jins) dan diferensia (fashl). Diferensia sendiri, menurut banyak filsuf, berfungsi dengan cara determinatif pada jenus: ia mengerucutkan dan menopang mahiyyah samar (al-mahiyyah al-mubhamah) untuk terdeterminasi. Mahiyyah manusia, misalnya, terhasilkan dari mahiyyah hewan absolut dan, karena berpikir sebagai diferensianya, menjadi berbeda secara totalitas dari seluruh hewan non-manusia.

Kondisi dan Determinasi Mahiyyah

Mahiyyah pada dasarnya bisa direfleksikan dari berbagai sisi. Artinya, sifat relatifnya dimungkinkan untuk berada dalam kondisi yang membuatnya terdeterminasi: dari kesamaran menuju keterikatan. Kondisi yang dimaksud di sini adalah syarat (syarth) yang merupakan sesuatu selain esensi mahiyyah. Dalam sejarah filsafat Islam, kajian khusus ini ditemukan dalam karya Muhaqqiq al-Thusi(Hilli, 1988), Tajrid al-I’tiqad, sementara Ibn Sina tidak membahasnya secara khusus(Rifa’i, 2001).

Kajian ini pada dasarnya hanya bersifat konseptual semata. Sebab, sifat relatif mahiyyah yang terkadang terwujud secara aksidental di realitas eksternal bisa juga diasumsikan menjadi mahiyyah yang kosong melompong dari aksiden apa pun. Sehingga, ketakwujudannya meniscayakan seseorang mengasumsikannya dalam ranah konseptual semata. Sekalipun dipahami bahwa kewujudannya mungkin sebagai wujud mental (al-wujud al-dzihni), tetap saja apa yang dicari adalah posisinya yang netral dari wujud dan non-wujud, serta relatif bagi banyak sifat aksidental.

Pemikiran atas mahiyyah ini menghasilkan keterbagian mahiyyah. Semuanya tergantung pada cara bagaimana pikiran mengambil kondisi dan melihat determinasi yang terjadi pada mahiyyah. Kondisi yang mungkin untuk dipikirkan dalam kaitannya dengan mahiyyah, setidaknya ada tiga: terkondisikan oleh sesuatu (bi syarthi sya’i), terkondisikan secara negatif (bi syarthi la), dan tanpa kondisi apa pun (la bisyarthi sya’i).

Untuk tiap-tiap kondisi dan determinasi pada mahiyyah bisa dilihat seperti ini:

  1. Terkondisikan oleh sesuatu. Bayangkan sebuah bahan yang telah menjadi kemeja, kaos, jaket, dan lain sebagainya. Tiap-tiap jenis pakaian ini memiliki spesifikasi lainnya seperti ukuran dan warna. Dalam hal ini, bahan telah tercampur dengan spesifikasi tambahan. Bahan yang sebelumnya tunggal menjadi berbeda-beda karena individuasi. Hal yang sama berlaku untuk mahiyyah, terkondisikan dan tercampur dengan wujud. Sebagai contoh, mahiyyah manusia terindividuasi (mutasyakhis) dengan wujud, sehingga bisa dikatakan sebagai mahiyyah eksternal. Dalam pengkondisian ini, mahiyyah terdeterminasi (muqayyad) sedemikian rupa: dari bukan apa pun menjadi individuasi eksternal. Di sini, sering juga dikatakan bahwa mahiyyah menjadi terikat (makhluthah) dengan wujud. Mahiyyah yang terkondisikan dengan non-wujud juga bisa digolongkan pada bagian ini. Dalam filsafat Shadrian mahiyyah mewujud dengan wujud, bukan karena aksiden-aksiden seperti warna, posisi, kualitas, dan lain sebagainya.
  2. Terkondisikan secara negatif. Terkadang kita bisa memikirkan sebuah bahan dengan syarat menegasikan forma dan berbagai atribut lainnya. Dengan mengacu pada kasus bahan, maka hasil determinasinya adalah ini: bahan qua bahan dengan mengharuskan adanya negasi dan/atau pengecualian. Atribut dan bentuk yang dinisbahkan padanya hanyalah merupakan tambahan, bukan bagian konstitutif. Dari situ, mahiyyah dalam skalanya yang murni bisa diperoleh pikiran. Mahiyyah yang dikondisikan secara negatif disebut sebagai mahiyyah abstrak atau murni (mujarradah). Ini karena konsep-konsep seperti wujud dan non-ketiadaan, universal dan partikular, umum dan khusus, dinegasikan dari mahiyyah—suatu pengertian literal atas negasi sebagai kondisi. Satu-satunya cara untuk memikirkan ini adalah melalui unsur konsitutifnya semata. Patut dicatat bahwa tinjauan dengan kondisi negatif hanya berlaku di pikiran, bukan di eksternal. Ini karena realitas eksternal merupakan individuasi (mutasyakhis), sehingga tak bisa dijadikan sebagai hal abstrak(Hilli, 1988). Kondisi dalam bagian ini adalah menegasikan tambahan, kondisi, atau determinasi tertentu pada mahiyyah.
  3. Tanpa Kondisi. Sesuai nama tinjauan ini, mahiyyah dipikirkan tanpa harus mensyaratkan atribut, kondisi, atau determinasi yang menyertainya; atau harus mensyaratkan tiadanya atribut , kondisi, atau determinasi yang menyertainya. Atau, mahiyyah tanpa kondisi berarti tak terikat pada segala bentuk kondisi, baik secara positif maupun negatif. Dalam arti sederhana, wujud dan non-wujud tidak harus menjadi kondisi bagi mahiyyah dalam bagian ini. Dilihat dari kasus bahan di atas, seseorang bisa memikirkan bahan tanpa harus memedulikan apakah ia sudah berupa kaos, kemeja; memiliki ukuran demikian dan berwarna demikian. Bahkan, ketiadaan determinasi pun berlaku dalam tinjauan ini. Beberapa filsuf menyebut tinjauan ini seperti x qua x (mahiyyah bima hiya hiya). Tiadanya kekhususan kondisi dan determinasi mendasari bahwa mahiyyah dari sisi ini adalah mahiyyah absolut (muthlaqah). Secara sederhana apa yang dikatakan sebagai absolut adalah ini: sesuatu yang terlepas kondisi apakah ia harus dikualifikasikan oleh wujud (positif) ataupun non-wujud (negatif).

Tiga bagian kondisi dan determinasi mahiyyah ini, menurut para filsuf, berasal dari dasar klasifikasi (maqsam) yang satu—seperti totalitas bahan yang sama sekali belum diklasifikasikan oleh apa pun. Dasar klasifikasi ini bernama mahiyyah tanpa kondisi sebagai induk klasifikasi (al-mahiyyah al-la bi syarth al-maqsami). Ia selalu hadir dalam tiap-tiap bagiannya yang sudah terdeterminasi. Jika dasar klasifikasi ini tidak berada dalam satu bagian, dapat dipastikan bahwa bagian ini bukanlah hasil divisi dari yang klasifikasi yang satu. Pada saat yang sama, semua bagian mengacu pada eksistensi dasar klasifikasi.

Dari situ, mahiyyah tanpa kondisi sebagai dasar klasifikasi berbeda dengan mahiyyah tanpa kondisi sebagai bagian (al-mahiyyah al-la bisyarth qismi) (Muzafar, 2006). Secara sederhana perbedaannya dapat dipikirkan seperti ini: posisi mahiyyah tanpa syarat sebagai bagian merupakan batasan atau ikatan bagi dirinya sendiri. Terlebih lagi, predikat absolut merupakan kondisi dan determinasinya. Sedangkan, mahiyyah tanpa syarat sebagai dasar klasifikasi terlepas dari segala posisi yang mengikatnya; atau bebas dari kondisi keabsolutan yang menjadi determinasinya. Mahiyyah tanpa kondisi sebagai dasar klasifikasi adalah mahiyyah begitu saja, tanpa embel-embel apa pun (Dinani, 2007).

Terakhir, mahiyyah tanpa syarat sebagai dasar klasifikasi sering disebut sebagai universal alami (al-kulli al-thabi’i). Formulasi dasar untuk memikirkan universal alami adalah pemusatan perhatian pada subjek tanpa predikat universal. Sebagai contoh: pernyataan “manusia universal” (al-insan kulliyun). Dari sini, seseorang bisa memusatkan perhatiannya pada: (a) subjek manusia; (b) predikat universal; (c) keseluruhan proposisi. Jika perhatian terfokus pada subjek manusia semata, hasil darinya adalah manusia qua manusia. Sebaliknya, perhatian yang terfokus pada predikat universal semata akan menghasilkan konsep universalitas qua universalitas. Lebih jauh, perhatian yang mengarah pada keseluruhan proposisi akan menghasilkan bahwa subjek tersebut menyandang sifat universal dan, karenanya, bisa dipredikatkan pada banyak entitas(Muzafar, 2006).

Subjek manusia qua manusia identik dengan universal alami. Konsep universal qua universal menghasilkan universal logis (kulli mantiqi). Terakhir, perhatian pada keseluruhan proposisi atas yang disifati dan sifat itu sendiri, tanpa memisahkan satu  konsep dari konsep lainnya, akan memunculkan universal intelektual (kulli aqli). Dengan demikian, jelaslah bahwa dasar reflektif dan dikotomi semacam ini menjadi alasan mengapa mahiyyah manusia qua mahiyyah manusia tak memiliki kondisi ataupun determinasi; ia tak lebih dan tak kurang mahiyyah manusia begitu saja. Perdebatan yang terjadi berada di sekitar: kewujudan universal alami di realitas eksternal dengan individunya, apakah karena wujud atau aksiden-aksiden spesifik.

Pembahasan mahiyyah dalam filsafat Islam sangat erat kaitannya dengan prinsip dasar realisme di dalamnya: menegakkan sesuatu yang fundamental, sisanya adalah realiasi yang mewujud secara aksidental pada yang fundamental ini. Pembahasan mahiyyah sendiri, seperti telah ditunjukkan, mencakup:

  1. Mahiyyah merupakan jawaban dari pertanyaan “apakah itu?”. Dalam hal ini, mahiyyah bisa berarti: 1. Definisi konsep mahiyyah yang tersusun dari jenus dan diferensia, sejauh upaya ini terikat dengan aktivitas rasional; 2. Batasan sesuatu yang menjadikan sesuatu qua dirinya sendiri. Ini seperti memerhatikan perbedaan mahiyyah manusia dengan mahiyyah kuda.
  2. Seseorang bisa memikirkan mahiyyah dengan beberapa macam kondisi dan determinasinya. Implikasi dari berbagai pertimbangan ini adalah mahiyyah berada dalam klasifikasi tertentu, tergantung cara seseorang merefleksikannya. Satu hal yang patut diperhatikan adalah sifat positif bagi mahiyyah bisa dinegasikan untuk menetralisir esensi mahiyyah dari kualifikasi berbagai aksiden. Lebih jauh, mahiyyah tanpa kondisi adalah poros pembagian positif dan negatif. Ini seperti bilangan qua bilangan yang bisa dikondisikan oleh sifat positif atau sifat negatif.
  3. Dasar klasifikasi untuk seluruh determinasi mahiyyah adalah universal alami. Ia hadir pada tiap-tiap klasifikasi, tapi pada saat yang sama universal alami ini bisa dipikirkan sebagai mahiyyah qua mahiyyah yang dimurnikan dari predikat universal. Jika ia berada di dalam klasifikasi, maka tak ubahnya seperti mahiyyah absolut yang terdeterminasi dan terkondisikan oleh keabsolutannya. Universal alami adalah mahiyyah begitu saja, tak lebih dan tak kurang.

Referensi

Dinani, Husain Ibrahim. Al-Qawaid al-Falsafiyyah al-’Ammah Fi al-Falsafah al-Islamiyyah. Vol. 1. Beirut: Dar al-Hadi, 2007.

Farabi, Abu Nashr. Fushus Al-Hikmah. Tehran: Anjoman Atsar Mafakhir Farhangi, 2002.

Fayyadhi, Ghulam Ridha. “Ta’sis Li Mafhum al-Wujud ‘ala Dhou’ al-Waqi’iyyah al-Mahuwiyyah.” In Musa’alah al-Wujud Ala Dhou al-Waqi’iyyah al-Shadraiyyah, 159–75. Beirut: Dar Al-Ma’arif Al-Hikmiyyah, 2015.

Hilli, ’Allamah. Kasyf Al-Murad Fi Syarh Tajrid al-I’tiqad. Beirut: Muassasat al-’Alami Lil-Matbu’at, 1988.

Ibn Sina, Abu Ali. Al-Isyarat Wa al-Tanbihat: Fi ’ilm Ma Qabla ’Ilm al-Thabi’ah. Vol. 3. Qom, Iran: Al-Nasyr Al-Balaghah, 2014.

Muthahhari, Murtadha. Al-Mantiq. Translated by Hasan Ali Hashemi. Beirut: Dar al-Wala Li-Thiba’ah wa al-Nasyr, 2011.

Muzafar, Muhammad Ridha. Al-Mantiq. Beirut: Dar al-Ta’aruf, 2006.

Rifa’i, Abdul Jabbar. Mabadi’ al-Falsafah al-Islamiyyah. Beirut: Dar al-Hadi, 2001.

Thabathabai, Muhammad Husain. Nihayah Al-Hikmah. Vol. 1. Qom, Iran: Mu’assasah al-Nasyr al-Islami, 2007.

Thabathabai, Muhammad Husain. Syarah Bidayah Al-Hikmah. Vol. 1. Iran: Mansyurat Dzawi Qurba, 2001.

Zunjani, Ibrahim Musawi. Bidayah Al-Falsafah al-Islamiyyah. Beirut: Muassasat al-Wafa’, 1982.

M. Rainhard Vidiansyah

Alumnus Filsafat di Sekolah Tinggi Agama Islam Sadra, Jakarta Selatan.

Catatan

  1. Konsep dan referen secara sederhana bisa dicontohkan konsep manusia yang sesuai dengan individu (fard) dari Ali, Zaid, Hasan, dan individu lainnya sejauh ia mewujud sebagai manusia. Dalam logika klasik ada dua konsep paling umum yang dibahas: konsep partikular (al-mafhum al-juz’i) dan konsep universal (al-mafhum al-kulli). Konsep partikular hanya memiliki satu ekstensi eksternal, seperti konsep Zayd yang hanya berkorespondensi dengan realitas Zayd semata; sementara konsep universal sangat mungkin memiliki banyak ekstensi eksternal, seperti konsep manusia yang bisa memiliki referen terhadap banyak individu(Muthahhari, 2011).
  2. Seluruh wujud kontinjen merupakan komposisi (al-zauj al-tarkibiy) dari mahiyyah dan wujud. Namun demikian, ini bukan merupakan realisasi eksternal, melainkan analisis pikiran semata (i’tibar ‘aqli)(Thabathabai, 2001).
  3. Dalam bahasa Arabnya disebut: Al-mahiyyah min haitsu hiya hiya laisat illa hiya; atau al-mahiyyah fi hadd al-dzatiha.

Comments

Berikan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses

Baca Juga