Kasus-kasus intoleransi yang muncul beberapa waktu terakhir adalah bukti nyata bagaimana nama agama disalahgunakan, seperti peristiwa pengeboman Gereja Katedral di Makassar, atau kedatangan Zakiah Aini seorang diri ke Mabes Polri berbekal pistol, pembakaran masjid Jemaah Ahmadiyah di Kalimantan Barat, penendangan sesajen daerah Lumajang – Semeru dan beberapa insiden ekstremisme-terorisme lain yang tak terhitung banyaknya. Dari potret deretan peristiwa tersebut, salah satu faktornya adalah bermula dari sikap merasa paling benar, paling otoritatif, dan tentu saja merasa ‘paling autentik’ sesuai manhaj ar-rasul. Diakui atau tidak, hal tersebut juga dilatarbelakangi oleh ideologi yang disokong oleh beberapa itikad tertentu. Pendeklarasian diri sebagai jundullah, siap mati kapanpun dengan dalih menumpas kemaksiatan, berebut menjadi martir berbekal bom dengan harapan dapat meraih surga merupakan bagian dari fenomena ideologi Islam garis keras. Dalam penjabaran berikut hendak dijelaskan bagaimana sudut pandang Jurgen Habermas dalam memandang ideologi yang tidak humanis tersebut.
Dalam hermeneutika filosofis Hans-Georg Gadamer, hal seperti ini disebut fusion of horizon atau kondisi menyatunya horizon-horizon pengalaman pembaca dengan batas wilayah teks dari hasil pembacaan hingga muncul suatu tindakan. Hal ini tidak lepas dari konsepsi pra-struktur yang dipengaruhi oleh Martin Heidegger. Seseorang membaca teks yang sama boleh jadi melahirkan pemahaman yang berbeda sesuai konteks sejarah dirinya, baik intelektualitas maupun problematika yang dipengaruhi oleh lingkungan sosial akan melahirkan pemahaman yang beragam pula.
Hal menarik dari konsepsi pemikiran Habermas adalah “kecurigaan”. Kecurigaan di sini bukan dalam arti pesimis terhadap suatu hal, melainkan sikap kritis untuk menanggapi beragam hal. Atau dengan kata lain sebagai bentuk upaya kehati-hatian dengan anggapan “jangan-jangan ada suatu kepentingan di balik ini dan itu”. Bagi Habermas tidak ada sesuatu pun yang lepas dari kepentingan, baik dalam konteks politik, pasar, dan bahkan agama sekalipun. (lihat, Budi Hardiman, 2015, p. 215)
Habermas mengonsepsikan apa yang disebut sebagai the world of ethics dan the world of morality. The world of ethics di sini secara sederhana ialah kondisi di mana setiap dari individu atau kelompok memiliki cara yang berbeda, mempunyai tolok ukur kebenaran yang berbeda, dan tentu ukuran “kesalihan” yang berbeda pula. Dalam konteks Islam, ada kelompok tradisionalis yang sebut saja diwakili oleh Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, dan kelompok yang cenderung berbeda dengannya adalah pengusung khilafah, katakanlah HTI/FPI dan lain sebagainya. Pancasila sebagai ideologi negara benar menurut Nahdlatul Ulama atau Muhammadiyah, tapi tidak bagi HTI/FPI. Hal yang selanjutnya perlu digarisbawahi adalah bahwa setiap individu maupun kelompok memiliki tolok ukur kebenarannya tersendiri.
Namun jika ditarik pada lingkup yang lebih luas dalam konteks pluralitas keindonesiaan, bagaimana dari setiap sudut pandang yang berbeda tadi dapat menuju pada the world of morality. The world of morality dapat dipahami secara sederhana sebagai menekankan universalitas yang dapat diterima satu sama lain. Dengan demikian maka yang paling penting menurut Habermas adalah pencapaian konsensus melalui tindakan komunikatif dengan cara rasional dan diskursif, bukan jalan politis atau kekuasaan.
Kembali pada pelaku ekstremisme-terorisme, muncul pertanyaan; apakah mereka sadar jikalau Tindakan mereka telah keluar dari batas akal sehat? Dengan menghalalkan segala cara walau memberangus banyak nyawa? Tidak, bahkan tetap bersikukuh menganggap hal itu benar menurut versinya sebagaimana diyakini dan menemukan dalil teologis yang melandasinya, kehilangan kontak dengan realitas yang lebih luas lantaran tertutup dengan indoktrinasi ideologis mereka. Yang menyadari bahwa hal tersebut salah adalah lingkaran luar dari mereka. Kembali menurut Habermas mereka telah mengalami kondisi komunikasi yang terdistorsi secara sistematis.
“Secara sistematis” yang dimaksud di sini adalah kondisi di mana distorsi yang dimaksud telah menjauhkan atau bahkan mengisolasi para pelaku dari akal sehat. (Budi Hardiman: 2015, p. 221) Sebagai contoh, jika ada orang yang gila berhimpun menjadi komunitas orang gila, maka orang-orang gila yang berkumpul tersebut tidak sedikit pun menyadari tindakan kegilaan yang dilakukan. Malah yang menyadari kegilaan mereka adalah di luar lingkaran mereka.
Begitu pula tindakan terorisme, bukan merupakan kebenaran yang dihasilkan dari proses rasionalisasi akal sehat mereka, melainkan proses atau efek-efek indoktrinasi ideologis. Dalih memberantas kemungkaran dengan semangat perusakan hingga meletus aksi terorisme telah mendapatkan dalil teologis yang dianggap benar.
Ketika ini telah terjadi, mereka tidak akan menyadari bahwa jalan yang mereka tempuh adalah perbuatan salah. Pemahaman bahwa perbuatan mereka mulia disebut Karl Marx sebagai Falsches Bewusstsein atau kesadaran palsu.
Habermas juga mengamini apa yang dikatakan Marx, dan ingin menggeser ideologi parsial-partikular (ethics) ke ideologi universal (morality) berdasar good reason yang diperoleh dari dari discursive rationality dengan mengandaikan konsensus sebagai kebenaran pengetahuannya.
Habermas dalam bukunya yang bertajuk Moral Consciousness and Communicative Action menuliskan (1990: p. 89);
Discursive ethic based communication:
1) Every subject with the competence to speak and act is allowed to take part in a discourse. 2) a. Everyone is allowed to question any assertion whatever. b. Everyone is allowed to introduce any assertion whatever into the discourse. c. Everyone is allowed to express his attitude, desires, and needs. 3) No speaker may be prevented, by internal external coercion.
Setiap individu maupun kelompok bebas berkehendak apapun dan bagaimanapun sejauh tidak memunggungi prinsip universalitas, tapi ketika menginjakkan kaki pada ranah kehidupan bersama, mau tidak mau, masyarakat tetap harus tunduk dan menjunjung tinggi universalitas yang dapat diterima bersama. Untuk mencapai hal itu, sekali lagi saya tekankan bahwa cara-cara yang baik bagi Habermas diperoleh melalui cara-cara rasional dan diskursif yang puncaknya jatuh pada konsensus, bukan dengan cara-cara politis kekuasaan.
Andai saja pemaksaan dalam pengejawantahan ideologi khilafah dalam tubuh NKRI sedang berlangsung, sudikah kiranya warga negara Indonesia yang plural ini menerimanya? Diakui atau tidak, ideologi khilafah dalam penerapannya ini bersifat parsial-partikular, yang hanya bisa diterima bagi kelompok tertentu, dan tidak bagi lainnya.
Perdebatan panas mengenai permasalahan ini telah berlalu, bangsa kita memiliki Pancasila sebagai konsensus final yang memayungi segala aspek keragaman di Indonesia. Dengan merujuk pada teori kebenaran Habermas discoursive-rational-agreement atau consensus yang menekankan adanya konsensus agar terwujud penerimaan kolektif dengan demi melahirkan masyarakat yang saling memahami satu sama lain.