Manunggaling Kawula Gusti merupakan suatu asas dasar yang dihidupi secara spiritual dalam masyarakat Jawa, hingga akhirnya turut melahirkan berbagai etika, moral dan cara pandang masyarakat Jawa dalam kehidupan sehari-harinya. Lebih mendalam lagi, Manunggaling Kawula Gusti merupakan salah satu inti atau pokok pengajaran dalam falsafah Jawa yang menjadi titik acuan penting dalam cara hidup masyarakat Jawa. Manunggaling Kawula Gusti memiliki arti dari beberapa kata yakni “manunggal-ing” yang berarti “menyatu”, “Kawula” yang berarti hamba atau diartikan sebagai “aku”, dan “Gusti” yang bermakna “Tuhan”. Secara keseluruhan, Manunggaling Kawula Gusti dimaknai sebagai suatu keadaan menyatunya manusia dengan Tuhan.
Untuk memahami Manunggaling Kawula Gusti, tentu tidak dapat dilepaskan dari narasi yang menjadi pusat tuntunan dan spiritualitas kehidupan masyarakat Jawa, yakni Serat Dewa Ruci. Dalam pandangan mistik Jawa, terdapat kesadaran tentang kesatuan diri sebagai mikrokosmos yang disebut sebagai jagad cilik dan alam semesta sebagai makrokosmos yaitu jagad gedhe. Ini dapat dilihat melalui kisah Bima dalam perjalanannya mencari air kehidupan hingga perjumpaannya dengan Dewa Ruci yang tak lain tak bukan berarti Bima sedang mencari makna atas dirinya dan sadar bahwa dirinya berhadapan dengan Sang Hyang Murbengrat sebagai gambaran atas dirinya sendiri. Arti dari pencarian air kehidupan oleh Bima ini dapat dimaknai dengan sebuah pengertian bahwa manusia harus sampai kepada sumber air hidupnya apabila ia mau mencapai kesempurnaan, dan dengan demikian sampai pada realitasnya yang paling mendalam. Titik penentu dari narasi dalam Serat Dewa Ruci ini adalah perjumpaan Bima dengan Dewa Ruci, di mana perjumpaan ini dihayati bagaikan “penyataan yang ilahi” kepada Bima selaku hambanya. Dari sinilah pokok ajaran hidup dari Serat Dewa Ruci bermakna bahwa mencapai paran atau tujuan hidup yang sebenarnya seharusnya diraih sejak keberadaan hidup di dunia ini.
Konsep Kesatuan dan Kosmomonisme
Menjadi menarik oleh karena sejatinya, dalam falsafah kehidupan Jawa tidak mengenal konsep dosa atau bahkan konsep keselamatan yang berkaitan dengan “surga” dan “neraka” seperti halnya pemahaman yang umum diterima dalam agama-agama Abrahamik seperti Yahudi, Kristen, maupun Islam. Melalui keberadaan hidup yang manunggal atau bersekutu dengan Sang Khalik, setiap manusia dipanggil untuk mengarahkan dan mengelola hidupnya berdasarkan keberadaan menyatunya diri dengan Sang Khalik.
Segala sesuatu berasal dan menuju kembali kepada Sang Hyang, segala sesuatu yang ada di semesta ini telah ditentukan oleh Sang Khalik, baik berkenaan dengan waktu dan tempatnya. Masyarakat Jawa menghayati kehidupan sebagai satu kesatuan yang manunggal, yakni satu realitas tunggal dalam tata tertib yang harmonis dalam tatanan kosmis. Dalam hal ini, masyarakat Jawa dapat digolongkan sebagai suatu kebudayaan yang memiliki pemahaman kosmomonisme, yang berarti terdapat satu realitas tunggal dalam tata tertib yang harmonis atau kosmos. Hanya ada satu realitas tunggal di dalam kehidupan semesta, dengan demikian setiap unsur yang ada di dalamnya memiliki tempat dan perannya sendiri dalam keselarasan di kehidupan. Sebagai realitas tunggal, Tuhan dan alam semesta beserta segala isinya memiliki tata tertibnya, dan ketertiban atau keselarasan ini pertama-tama dimanifestasikan pertama-tama pada perputaran musim atau mangsa yang bergerak secara dinamis. Prinsip ini dikenal dengan semboyan hidup “samubarang iku gilir gumanti” atau yang berarti segala sesuatu bergilir atau berganti sesuai dengan prinsip harmoni.
Dosa dan Pengendalian Diri
Kendati manusia Jawa tidak mengenal konsep dosa sebagaimana dalam pandangan agama-agama besar lainnya, manusia Jawa memaknai bahwa keselarasan dan harmoni dalam kehidupan merupakan sesuatu yang harus dicapai. Dosa berarti berjalan tidak selaras dengan apa yang sudah pada tempatnya dan pada perannya, atau merusak harmoni yang harusnya diraih tersebut. Dalam Jawa juga terdapat suatu distingsi antara dua segi fundamental realitas, yaitu segi lahir dan segi batin. Segi lahir manusia terbangun dari sifat jasmaninya, yakni atas tindakan-tindakan, gerakan-gerakan, ucapannya, lakunya, dan sebagainya. Sementara di balik segi lahir, terselubung segi batin yang menyatakan diri dalam kehidupan sebagai kesadaran subjektif.
Dengan mencapai kesadaran akan keberadaan hidup yang manunggal atau bersekutu dengan Sang Khalik, maka pribadi harus memiliki kesadaran pengendalian diri dan mampu mengendalikan hawa nafsu. Seperti di dalam kisah Bima mencari air kehidupan dalam Serat Dewa Ruci, sewaktu Bima memasuki batinnya sendiri ia menemukan kekosongan di dalam dirinya dan mencapai sukma sebagai dasar batin dari dirinya sebagai manusia. Pada dasar batinnya ini lah Bima mampu berjumpa dengan Yang Ilahi, dengan melepaskan belenggu-belenggu yang mengikatnya pada alam lahir. Contohnya, dalam kebudayaan Jawa, terdapat konsep “Molimo” yang merupakan lima perkara yang dilarang dalam kehidupan. Lima perkara tersebut adalah “Emoh Main” (tidak mau berjudi), “Emoh Ngombe” (tidak mau minum yang memabukkan), “Emoh Madat” (tidak mau menghisap candu atau ganja), “Emoh Maling” (tidak mau mencuri atau kolusi), dan “Emoh Madon” (tidak mau berzina). Melalui pengendalian batin, manusia dapat menghindari lima perkara terlarang dalam kehidupan tersebut. Sehingga meraih kesadaran diri merupakan titik penting dalam pengertian atau kawruh pengajaran falsafah kehidupan Jawa.
Daftar Pustaka
Franz Magnis-Suseno, Etika Jawa : Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, (Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1987)
Yusak Tridarmanto, Serba-Serbi Di Sekitar Kehidupan Orang Jawa : Sebagai Konteks Berteologi, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2013)
satu Respon