Tulisan ini disusun dalam usaha menelaah perbedaan dan kritik Marxisme dari sudut pandang Ken Budha Kusumandaru sebagai seorang intelektual sekaligus sosialis, serta Franz Magnis-Suseno yang merupakan seorang biarawan sekaligus intelektual Gereja. Baik keduanya memiliki latar belakang yang berbeda. Pada masa penulisan buku yang akan di bahas dalam artikel ini, Kusumandaru yang masih muda dan sangat idealis memiliki stereotip pemuda pada umumnya, ialahmempertahankan nilai-nilai idealitas.
Sementara Magnis-Suseno telah lebih jauh bertahan dengan idealisme dan menemukan nilai-nilainya sendiri. Pengalaman kedua pemikir ini berbeda dan perbandingan karya mereka ditujukan untuk melihat corak berpikir keduanya mengenai Marxisme.
Kusumandaru merupakan penulis yang juga sekaligus aktivis, terutama pada masa Orde Baru. Ia merupakan salah seorang dari mahasiswa yang berusaha menjawab kebutuhan zamannya. Sementara itu Magnis-Suseno merupakan seorang imam Katolik yang pada masa yang sama bergerak di bidang sosial-intelektual. Keduanya memiliki porsi dan peran politik yang berbeda.
Pada awal penjabarannya, kedua penulis sama-sama menggambarkan kehidupan Marx dan bagaimana kelahiran teori – teori Marx pada konteks zamannya. Pemikiran Marx yang akan dibahas antara lain adalah sejarah kelas, pertentangan kelas, dan revolusi. Selanjutnya pembahasan meluas tidak hanya pada konsep namun pada catatan sejarah dimana Marxisme menjadi landasan ideologi masyarakat, atau setidaknya menjadi satu panji yang dicanangkan sebagian orang dalam melaksanakan gerakannya. Kusumandaru berusaha untuk memfokuskan perhatian pada revolusi yang terjadi di Rusia. Kritik terhadap naskah Marx dan teks-teks mengenai Marxisme dianggap signifikan untuk dipelajari, terutama demi mencegah pendogmaan Marxisme. Selain itu usaha ini adalah usaha pengkayaan paradigma sebagai bahan utama dalam berdialektika. Marxisme merupakan perangkat analitik, bukan merupakan paham yang diajarkan secara ortodoks pun radikal.
Pokok Filsafat Karl Marx: Sejarah Kelas dan Falsifikasi Pemahaman
Tesis dari filsafat Marx adalah bahwa sejarah merupakan perjalanan masyarakat dalam perjuangan kelas. Dalam hal ini Marx berusaha mencari jalan agar pertentangan kelas terwujud di antara kaum ‘penghisap’ dan ‘terhisap’[1]. Marx mengamati adanya dominasi dan represi dari satu pihak ke pihak lain merupakan suatu kegiatan yang selalu ada di dalam sejarah. Terdapat kritik dalam memahami filsafat sejarah kelas ini, terutama bagaimana kegagalan penafsir Marxisme terjatuh dalam pengertian yang salah. Frans Magnis – Suseno merupakan salah satu filosof yang menilai bahwa terdapat kekurangan dalam proses pencarian Marx atas sejarah pertentangan kelas. Kusumandaru menyangsikan kritisi ini terutama yang diajukan oleh Magnis – Suseno, di antaranya :
- .. Begitu pula ia (Marx) tidak akan bertanya mana yang baik dan mana yang buruk, melainkan ‘basis’ atau keadaan apa yang membuat manusia memerlukan pemerintahan (hlm. 75). Hal ini membentuk permasalahan pertama bagi Magnis – Suseno ketika basis merupakan satu – satunya hal yang diteliti, sementara masih terdapat pola kehidupan masyarakat lain seperti nilai – nilai budaya dan agama.
- Permasalahan kedua ialah bahwa kerangka tersebut tidak memungkinkan pengaruh timbal balik, dimana hubungan basis-ungkapan selalu tidak setingkat sedangkan pengaruh timbal-balik mengandaikan keduanya setara. Pada contohnya Marx dapat memikirkan pengaruh sosial terhadap agama namun bukan sebaliknya (hlm. 76).
- Peranan sebagai membakar proletariat yang polos guna bersama-sama menumbangkan sistem sistem peninedasan masyarakat berkelas tentu amat mengasyikkan bagi kaum intelektual. Mereka jarang diberi peran historis yang sedemikian besar (hlm. 85).
- Marx sendiri melepaskan konsepsi kerja sama antara filsafat dan proletariat hanya setengah tahun, setelah ia menulis kalimat diatas. Dalam kosnepsinya yang lebih konsekuen selanjutnya, tidak ada tempat lagi bagi filsafat. (hlm. 85).
- …apakah negara selalu mesti merupakan negara kelas? Jadi apakah negara selalu sekedar alat dalam tangan kelas-kelas atas? (hlm. 132).
- ..kepentingan kelas buruh dan kelas pemiik modal juga memiliki kepentingan yang sama. (hlm. 130).
- Anggapan Marx bahwa bidang politik tidak perlu diberi banyak perhatian karena perkembangan-perkembangan yang menentukan terjadi dalam bidang ekonomi sekarang tidak dapat dipertahankan lagi, bahkan oleh orang Marxis sekalipun (hlm. 152).
- Ajaran Marx tentang masyarakat komunis adalah bagian yang paling utopis dan problematis dari seluruh teori Marx. …tetapi, sebagai utopis buruk, harapan akan masyarakat komunis tanpa kelas itu justru dapat mencegah usaha perbaikan-perbaikan nyata di dalam masyarakat berkelas yang ada. (hlm. 177).
- Kapital memberi tambahan nilai pada satu produk (hlm. 195) dan mesin (hlm. 196).
Oleh sebab itu Kusumandaru berusaha membantah penilaian determinatif Magnis – Suseno atas kerangka berpikir Marx sebagai berikut:
Menurut Kusumandaru salah satu konsepsi filsafat Marx yang paling penting terletak pada konsep pertentangan kelas. Konsep ini merupakan bagian dari proses sosial dan ekonomi. Konsep ini membentuk basis yang merupakan hal terpenting untuk membentuk budaya dan kepercayaan. Basis yang mempengaruhi pertimbangan manusia untuk melakukan segala sesuatu karena pada prinsipnya, juga basis untuk saling mempengaruhi dan tidak dapat terpisahkan dalam satu kesatuan.
Hubungan timbal balik dapat terjadi pada konsepsi Marx karena basis tidak selalu menjelaskan ungkapan. Ungkapan dapat menjelaskan basis, dengan kata lain keduanya tetap setara, walaupun Marx menggarisbawahi petingnya memperhatikan basis sebagai salah satu mata pisau analisanya. Hal ini dibuktikan dengan penjelasan bahwa pembentukan masyarakat feodalis terjadi karena mereka mengatur proses produksinya terlebih dahulu. Oleh karena itu masyarakat feodalis terbentuk bukan melalui basis terlebih dahulu, melainkan melalui ungkapan-ungkapan yang berdialektika dengan basis.
Tidak ada satu pun kalimat dalam Manifesto Komunis yang memberikan peran pada kaum intelektual. Marx percaya bahwa pembebasan kaum buruh hanya dapat dilakukan oleh kelas pekerja sendiri, sementara kaum intelektual hanya berperan sebagai pendukung moral atau legalitas dari gerakan buruh tersebut.
Pandangan Magnis-Suseno sekali lagi dibantahkan oleh Kusumandaru, menurutnya salah satu hal yang terlupakan oleh Magnis-Suseno adalah bahwa Marx berusaha untuk meninggalkan filsafat yang tidak membumi[2], dan menggunakan filsafat yang dapat diamati dalam refleksi sehari-hari.
Negara terbentuk dari masyarakatnya. Keamanan dan politik negara bergantung dari hasil agraria negara tersebut, sedangkan mereka yang mengusahakan untuk mengelola sumber daya alam merupakan manusia di kelas pekerja. Dengan kata lain negara lahir dari jerih payah usaha pembangunan kelas pekerja. Dengan demikian negara dapat dikatakan sebagai negara kelas.
Pertentangan kelas mempertemukan kelas pemilik modal dengan kelas pekerja dalam lokus yang sama, dalam ruang hidup yang sama. Pertentangan ini juga membuahkan perebutan kekuasaan atas ruang dan hak hidup. Namun yang menjadi kepentingan kaum pemilik modal tetap merupakan hal yang berbeda dibandingkan dengan kelas pekerja. Kelas pekerja memperjuangkan keadilan bagi mereka sehingga mereka juga dapat menghasilkan kehidupan yang layak bagi keluarganya. Sementara itu kelas pemilik modal hanya membutuhkan usaha untuk mempertahankan kepentingannya dalam konsensi, ialah usaha untuk mengurangi tingkat upaya penghisapan tanpa mengurangi hasil penghisapan itu sama sekali.
Kehidupan ekonomi menjadi lokomotif dalam masyarakat dan negara, beriringan dengan itu, kehidupan politik juga mengambil peran di dalamnya karena bila tidak, maka tidak terjadi persebaran, pemerataan, pengelolaan bahan dan hasil produksi di tengah masyarakat.
Hal yang perlu diingat dalam tujuan menciptakan masyarakat komunis tanpa kelas adalah bagaimana masyarakat menciptakan segala sesuatu sesuai dengan kebutuhannya sendiri. Selain itu sistem politik tidak boleh berpisah dari komunitas. Masyarakat komunis bukan merupakan hal yang utopis dan buruk, menurut sejarah semua hal baik akan menemui akhirnya, namun konteks akan menemukan waktu untuk kembali mewujudkan masyarakat komunis tanpa kelas.
Kapitalis tidak menambah nilai dari suatu produk dan mesin. Mesin akan bernilai sesuai dengan apa yang kemudian menjadi hasilnya, sehingga tidak memiliki penambahan nilai karena sistem kapitalis yang berjalan. Sementara itu suatu hasil produksi juga memiliki nilai yang sama. Hanya saja kemudian nilai tukar yang ditawarkan oleh kaum kapitalis sebagian bagian dari sistem kapitalisme menambahkan nilai tukar secara artifisial dan kemudian meningkatkan nilai jual.
Pandangan mengenai Revolusi Sosialis
Marx telah banyak mempelajari secara langsung revolusi yang terjadi di Perancis tahun 1789 dan revolusi Perancis – Jerman tahun 1848. Marx mengenal revolusi Perancis melalui gema dan imbas yang dihasilkan. Marx mengamati bahwa revolusi borjuis hanya akan membawa persaingan diantara kaum feodal dan borjuis, sementara kaum proletar akan tetap pada posisi yang sama. Di samping itu pada saat Marx menghadapi revolusi tahun 1848, ia menemukan kenyataan bahwa kaum borjuis justru memanfaatkan kaum proletar untuk mencapai tahapan yang mereka harapkan.
Tahun 1848 Marx mengalami kegagalan besar dengan bubarnya Communist League saat menghadapi revolusi Jerman. Baginya pelajaran yang dapat diambil dari pengalaman tersebut adalah untuk tidak berteori tanpa berpraktek dan tidak mengaplikasikan mentah – mentah pengalaman revolusioner pihak lain[3]. Di satu sisi, faktor yang akan sangat mempengaruhi revolusi menurut Marx ialah krisis ekonomi. Dengan kata lain kondisi perekonomian suatu bangsa dapat membawa perubahan apabila negara tersebut sedang mengalami pergoncangan dalam bidang ekonomi, bukan politik. Pemikiran ekonomi, filsafat dan politiknya menguatkan dasar analisa permasalahan dari pergerakan yang ia kembangkan. Hal tersebut memajukan pemikiran kritis masyarakat Eropa, terutama kelas pekerja dan sebagian kecil borjuis. Ide mengenai komunisme tumbuh subur terutama di negara-negra dimana rakyatnya mengalami tekanan antar kelas.
Stalinisme
Pasca berakhirnya masa kepemimpinan Lenin, Stalin mengembangkan sayap pemerintahannya di antara kondisi perekonomian yang carut-marut dan tidak tertata. Ia mewarisi hutang-hutang yang terjadi pada masa penguasaan Tsar Nicolas II serta kehancuran pasca revolusi Oktober Merah. Dua permasalahan Uni Sovyet masa itu adalah masyarakat yang kelaparan dan bagaimana kemandirian negara berlaku merata. Demi memenuhi semuanya, Stalin menjalankan beberapa peraturan yang berlawanan dengan konsep-konsep Marx. Dalam masa kepemimpinannya, Stalin bahkan merubah sebagian pemikiran Marx, menuliskannya ulang serta mengaplikasikan negara sosialis dengan sudut pandang yang berbeda dari Marx. Stalin mulai mengembangkan birokrasi, alih-alih administrasi yang lebih menekankan status pengusaan dibandingan pengelolaan. Ia merubah Cetha, organ intelegen Uni Soviet menjadi Komitet Gosudarstvennoy Bazopasnosti (KGB).
Selain itu Stalin juga mendirikan Red Army (Tentara Merah) yang pada praktiknya menjalankan mesin penebang bagi suara atau kekuatan lain, yang menghalangi kebijakan Stalin demi kelancaran pembangunan. Dengan berdirinya Tentara Merah, Stalin menunjukkan pandangannya mengenai ketahanan bukan berasal dari rakyat, masyarakat yang bersenjata dala waktu terbatas melainkan merupakan kelompok profesional dan terpisah dari rakyat[4]. Demikian juga mengenai konsep keluarga, bagi Stalin keluarga merupakan satu protoplasma dari konstruksi sosial sehingga merupakan sel yang harus dikembangkan melalui program Keluarga Teladan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitasnya dalam membangun bangsa. Sementara Marx menyatakan bahwa pernikahan dapat menyebabkan roda kapitalisme dan pertentangan kelas semakin kuat berjalan.
Konsep yang bertentangan terakhir adalah bagaimana cita-cita Marx akan negara komunias diingkari oleh Stalin dengan mengutamakan Uni Sovyet dalam ‘pelenyapan Negara’. Pelenyapan negara menurut Marx merupakan usaha di dalam negara itu sendiri agar negara meniadakan dirinya demi menjadi Negara Kelas Pekerja. Sementara itu Stalin menekankan keunggulan Uni Sovyet dan apa yang menjadi pencapaiannya dalam menguasai segala hal sebelum akhirnya melebur meniadakan negara. Stalin melupakan persatuan kelas pekerja internasional yang memiliki kekuatan dan cara pandang lokal untuk mempertahankan nasib sesama pekerja.
Kusumandaru dan Magnis-Suseno: Berbeda Arah
Dalam pemikian Kusumandaru mengenai sosialisme, nampak jelas bahwa aktivis Partai Rakyat Demokratik ini menggunakan analisis MDH (Materialisme Dialektik Historis) dalam memahami sosialisme Marx. Sementara itu, berbeda dengan Kusumandaru, Magnis-Suseno lebih beranjak dari pengalaman dan konteks hidupnya di Indonesia. Hal ini dicirikan dengan pemahamannya mengenai sosialisme Marx yang bertitik tolak bukan saja pada naskah-naskah Marx melainkan juga dari perkembangan sosialisme di Indonesia. Sebuah buku pengantar mempelajari Marx yang ditulis oleh Magnis-Suseno terasa lebih ringan dibaca karena ia bertolak bukan pada kitab-kita sosialis yang seharusnya, melainkan pada pengalaman dan pemahamannya sebagai seorang imam yang mengalami pengalaman buruk melihat sosialisme dikibarkan sebagai mesin penindas alih-alih pembebas.
Hal berbeda terjadi pada Kusumandaru yang tumbuh sebagai pemuda zaman dan konteksnya. Kusumandaru justru lebih banyak menganut pendapat dan nilai-nilai Barat secara lurus sebagaimana yang telah dituangkan oleh Marx. Ia menyerap hampir seluruh pemikiran Marx secara tepat sehingga praktis, sosialisme yang ada pada idealitasnya merupakan sosialisme yang berada pada idealisme Barat di era Modern. Berbeda dengan Magnis-Suseno yang sudah me-multi-tafsir-kan pemikiran Marx. Magnis-Suseno berangkat dari pengalaman dan pemahaman yang sudah mengendap, bukan lagi pemantapan yang lurus dan ketat atas sosialisme.
Kusumandaru menekankan bagaimana marxisme merupakan salah satu pisau analisa yang dapat digunakan dalam membedah permasalahan sosial. Kenyataan bahwa berbagai pergerakan sosial terpengaruhi oleh konsepsi Marx tidak dapat menghalangi penyimpangan atau ekses pemahaman konsep di dalam gerakan. Seiring dengan hal tersebut maka sejarah telah menghantarkan manusia kepada pemahaman akan materialisme, di mana seluruh bagian dari sejarah tidak dapat terlepas dari apa yang bukan semata ‘ide’ namun secara fiskal adalah ‘ada’. Sementara bagi Magnis-Suseno, materi saling mempengaruhi dan membentuk sejarah, dan bersamaan dengan itu terlahirlah kelas – kelas masyarakat. Sosialisme melahirkan paham – paham baru dan gerakan sosial dalam bentuk revolusi. Apa yang kemudian menjadi pelajaran adalah bahwa praksis dari Marxisme terus berkembang dalam menggambarkan suatu kondisi dan terus dapat digunakan dalam memilah permasalahan bahkan bagi dirinya sendiri.
Daftar Pustaka
Fromm, Erich. Konsep Manusia Menurut Marx, terj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Kusumandaru, Ken Budha. Karl Marx, Revolusi dan Sosialisme : Sanggahan Terhadap Frans Magnis-Suseno. Yogyakarta : Resist Book. 2004.
Magnis – Suseno, Franz. Pemikiran Marx : Dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan Revisionisme. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 1999.
[1] Idem, 54
[2] Erich Fromm. Konsep Manusia Menurut Karl Marx. Hlm. 48
[3] Idem , 32
[4] Kusumandaru, hlm :291
- 17/12/2019
- 21/02/2020
- 07/04/2020