Berakhirnya Perang Dunia II, menandakan berakhir pula cerita panjang nan kelam bagi seluruh negara di muka bumi. Ini merupakan momentum yang banyak diharapkan masyarakat dunia untuk dapat menjadi angin segar yang membawa kedamaian dan sikap egaliter bagi setiap bangsa, di atas nama kemanusiaan (humanity). Memang sepatutnya, solidaritas kemanusiaan tidak mengenal sekat dan batas teritorial. Nama kemanusiaan juga mengajak dan mendorong setiap individu untuk tidak lagi berbuat karena memandang identitas yang melekat sama di dirinya, – status sosial, latar budaya, agama, suku, dan bangsa – tujuannya agar menjadikan setiap individu untuk dapat berbuat setara dan adil pada siapapun di dalam satu bahasa komando, ialah kemanusiaan itu sendiri.
Imbas dari berhentinya Perang Dunia II ialah dibentuk lembaga internasional bernama United Nations atau Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), maupun United Nations Security Council atau Dewan Keamanan PBB (DK PBB), yang pada intinya, tujuan pendirian lembaga ini untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Akan tetapi, bagi sebagian negara menyadari pendirian lembaga internasional itu, tidak akan membawa perubahan apa-apa, bahkan justru bukan menjadi isyarat baik, melainkan sebagai babak baru untuk dimulainya peperangan yang sesungguhnya, salah satunya siapa lagi kalau bukan negara Palestina.
Konflik Israel-Palestina telah berlangsung selama berjilid-jilid, yang dimulai sejak berakhirnya Perang Dunia II, pada tahun 1948. Seperti yang banyak dikenal bahwa konflik peperangan sering kali ditempuh melalui jalan pertumpahan darah. Maka, adanya konflik ini pastinya turut membawa masalah berupa tragedi kemanusiaan yang jauh lebih memilukan dibanding sebelumnya, sebab perang hari ini turut didukung dengan seiring kemajuan perkembangan teknologi. Oleh sebab itu, apakah hadirnya lembaga internasional tersebut merupakan “omong kosong” belaka? Ataukah malah menjadikan suasana tenang dan damai sebagai barang mahal serta eksklusif yang sulit dirasakan oleh seluruh masyarakat dunia?
Dalam menganalisisnya kita dapat berkaca pada salah satu pemikir politik kontemporer yang banyak membahas mengenai masalah tragedi kemanusiaan atau kejahatan dan kaitannya terhadap suatu institusi lembaga, yakni Hannah Arendt. Tulisan ini mencoba menelaah pemikiran Hannah Arendt terhadap penekanannya mengenai analisis tragedi kemanusiaan pada konteks yang terjadi dalam konflik peperangan Israel-Palestina.
Mengenal Singkat Hannah Arendt
Hannah Arendt, merupakan seorang ahli teoritikus politik Jerman.[1] Lahir di Linden, Hannover, Jerman pada 14 Oktober 1906, ia dibesarkan di Königsberg juga Berlin dalam lingkungan keluarga/komunitas Yahudi sekuler.[2] Perkembangan intelektualnya dimulai ketika ia belajar fenomenologi pada Martin Heidegger di Universitas Marburg, seorang filsuf terkemuka asal Jerman pada abad ke-20.[3] Pada tahun 1925, ia harus pindah ke Universitas Heidelberg guna melanjutkan pendidikan bersama filsuf eksistensialis, Karl Jaspers.
Perkembangan pemikirannya sangat dipengaruhi oleh kedua dosennya selama menjalani studi, Karl Jaspers dan Martin Heidegger yang banyak menginsipirasi serta mengilhami dirinya dalam menganalisis fenomena yang terjadi, khususnya terkait latar belakang kehidupannya saat rezim fasis Nazi.
Arendt menolak disebut sebagai filsuf, menurutnya ia tidak termasuk dalam lingkaran para filsuf. Sebab, apa yang dilakukannya selama ini, lebih mengarah sebagai seorang pemikir politik. Kalaupun ada istilah profesi yang sesuai dengan aktivitasnya, maka profesi yang tepat adalah sebagai teoritikus politik dan bukannya filsuf politik.[4]
Atas pendidikan yang ditempuhnya, Arendt banyak melahirkan karya yang banyak mendulang perhatian khalayak umum seperti The Origin of Totalitarianism (1951), Rahel Varnhagen: The Life of a Jewish Woman (1958), The Human Condition (1958), Between Past and Future (1961), Eichmann in Jerusalem: A Report on The Banality of Evil (1963), On Revolution (1963), Men in Dark Times (1968), On Violence (1970), The Jew as Pariah: Jewish Identity and Politics in the Modern Age (1978), dan karya terakhir menjelang kematiannya The Life of Mind (1979). Akhirnya, Hannah Arendt meninggal di New York City, pada 14 Desember 1975 saat berusia 69 tahun.
Selayang Pandang Konflik Israel-Palestina
Memahami segala peristiwa yang terjadi hari ini, tentu tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang yang telah terjadi di masa lalu. Sejatinya, apa yang terjadi di masa lampau dapat merefleksikan masa depan, karena terdapat hukum sebab-akibat yang saling mempengaruhi di setiap zamannya. Meskipun begitu, tidak dapat dipungkiri, perubahan juga merupakan sesuatu hal yang mutlak, tidak dapat terelakkan serta sewaktu-waktu bisa saja terjadi. Perubahan itu sendiri juga tidak selalu berada dalam koridor yang baik, tetapi dapat pula bermaksud buruk atau karena terjebak oleh keadaan yang terjadi. Begitulah narasi pengantar dalam memahami konflik Israel-Palestina dan perubahan geopolitik negara-negara Arab yang terjadi saat ini.
Dalam sejarahnya, sebagian besar negara Arab hari ini, berasal dari satu kesatuan Kekaisaran Turki Utsmani. Namun ketika jatuhnya imperium ini, akhirnya membuat bangsa Arab terpecah belah menjadi negara-negara tersendiri. Penyebab runtuhnya kekaisaran terbesar umat Islam ini disebabkan berbagai faktor, mulai dari dalam pemerintahan berupa konflik internal, hingga serangan luar dengan invasi kolonialisme bangsa eropa terutama Inggris dan Prancis di wilayah Jazirah Arab. Kondisi ini mengakibatkan Turki Utsmani semakin goyah dan redup pengaruhnya. Ditambah lagi dampak penjajahan bangsa eropa yang menyebarkan ajaran-ajaran barat, khususnya terkait liberalisme dan nasionalisme, kian mendorong semangat di dalam tubuh bangsa Arab sendiri untuk ingin mendirikan negara masing-masing.
Berpecahnya bangsa Arab dengan membentuk negara masing-masing, membuat berubahnya peta geopolitik di kawasan timur tengah. Ketika negara-negara Arab merayakan kemerdekaan dengan memerdekakan diri sendiri, disaat bersamaan ada harga yang harus dibayar mahal, khususnya pada bangsa Arab yang didominasi oleh umat Islam. Wilayah Al-Quds dan sekitarnya, menjadi tempat perseteruan antara negara-negara Arab yang secara solid mendukung kemerdekaan Palestina harus berhadapan dengan Inggris beserta sekutunya yang memberikan sepetak tanah di wilayah yang sama pada bangsa Yahudi untuk turut mendirikan negara Israel.
Diplomasi bangsa Yahudi berbuah manis dengan berhasil melobi Inggris untuk dapat memberikan tempat pada mereka di atas tanah bekas jajahan Inggris yang menurut bangsa Yahudi menganggapnya sebagai tanah yang “dijanjikan” oleh Messiah, sebagai tanah suci. Tanah itu dulunya berada di wilayah kekuasaan Palestina. Akhirnya, perebutan atas tanah itulah yang menciptakan konflik berkepanjangan sampai hari ini di antara kedua negara.
Gerakan politik yang dilakukan bangsa Yahudi ini, kemudian dikenal sebagai zionisme yang pertama kali digaungkan Theodore Herzl, sekaligus menjadi awal mula lahirnya negara Israel.[5] Ujung-ujungnya, perang yang berlarut ini akan bermuara pada pertanyaan mendasar, “apakah persoalan yang terjadi antara Israel dan Palestina disebabkan urusan agama ataukah politik?”
Konflik di antara Agama dan Kepentingan Politik
Konflik Israel dan Palestina merupakan salah satu konflik berkepanjangan di timur tengah yang belum menemukan titik terang dari kedua belah pihak. Pencaplokan tanah yang dilakukan Israel terhadap Palestina saat ini tidak dapat dijustifikasi dengan menyederhanakan bahwa persoalan ini hanya sebatas urusan agama. Karena, bagaimanapun pendudukan Israel terhadap Palestina merupakan isu kemanusiaan disertai adanya intervensi politik yang mengakar kuat dan telah melibatkan banyak kepentingan di dalamnya. Sehingga menjadikan konflik ini jauh lebih kompleks dan rumit yang belum menemukan titik resolusi.
Sebab terlihat mustahil, negara yang belum genap berusia 100 tahun dan dibangun dari sepetak tanah kecil pemberian Inggris, kini telah digadang-gadang menjadi negara adikuasa yang hampir menguasai seluruh wilayah Palestina. Pihak Israel tidak pernah berhenti dengan upaya perluasan pemukiman Yahudi atas tanah Palestina, ditambah lagi Israel selalu mendapat restu dan dukungan dari Amerika Serikat. Seberapa besarpun tekanan dunia terhadap negara ini, Israel akan dengan leluasa mewujudkan keinginannya tanpa memedulikan kecaman-kecaman dari berbagai negara yang tidak setuju dengan kebijakan dan sepak terjangnya. Seberapa banyakpun resolusi Dewan Keamanan PBB, ketika itu merugikan kepentingan Israel, Amerika Serikat akan menjadi negara terdepan yang memveto resolusi tersebut.
Sebaliknya, nasib bangsa Palestina selalu dipandang sebelah mata oleh Amerika Serikat, bahkan Israel terkesan “menutup mata” terhadap pembantaian manusia yang terjadi. Perjuangan bangsa Palestina selalu mengalami kebuntuan. Mereka dikepung oleh kepentingan-kepentingan global dari Amerika Serikat. Disaat yang bersamaan juga, perubahan geopolitik yang terjadi di timur tengah, membuat satu per satu negara Arab berganti posisi, yang dahulu kompak dan serempak mendukung penuh Palestina, kini menjadi melunak dengan Israel. Hal ini disebabkan banyak negara Arab yang masih bergantung pada Amerika Serikat dalam berbagai hal, utamanya perkembangan sains dan teknologi. Akibatnya, Amerika Serikat memiliki sekutu Arab yang dengan mudah didikte sesuai keinginannya.
Alih-alih mendukung Palestina, hubungan sesama negara Arab sendiri pun masih sering terjadi perang saudara. Saat ini, banyak negara Arab lebih memilih diam terhadap konflik dan tragedi kemanusiaan yang terjadi di Palestina. Sikap pembelaan bangsa Arab terhadap nasib Palestina seolah hanya sebatas formalitas. Mereka tidak sungguh-sungguh memperjuangkan kemerdekaan Palestina. Apalagi, dalam tubuh internal Palestina sendiri juga terpecah belah dan dipenuhi konflik kepentingan masing-masing, antara kelompok Hamas dan Fatah yang menurut Prof. Azyumardi Azra selama kedua kelompok ini tidak bersatu, selama itu pula dua kelompok ini tidak lebih dari sebuah mainan politik Israel.[6]
Realitas ini semakin menunjukkan bahwa memang majunya Israel tidak terlepas dari adanya intervensi kepentingan politik Amerika Serikat dengan memanfaatkan ruwetnya kondisi di negara-negara Arab. Walaupun demikian, konflik ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan juga dari akar pengaruh doktrin agama, sebab zionisme sendiri lahir dari pemahaman agama dalam Yahudi, terhadap adanya tanah yang dijanjikan pada mereka, ialah Al-Quds. Begitupun sikap umat Muslim bangsa Palestina, yang juga ingin mempertahankan tanah suci ketiga Islam setelah Mekkah dan Madinah. Sehingga jelas, bahwa keduanya berangkat dari pemahaman doktrin keagamaan yang kuat. Karena itu, baik Israel maupun Palestina tetap bersikukuh mempertahankan wilayah tersebut.
Kekerasan dan Kekuasaan dalam Konflik Berkepanjangan Israel-Palestina
Seiring berjalannya waktu, ketika kepentingan politik merubah peta pertempuran negara-negara Arab terhadap Israel, membuat keberadaan Palestina semakin tertindas yang bukan hanya dijajah oleh Israel, melainkan ditinggalkan, tidak diperdulikan, dan tidak dibantu negara-negara Arab. Palestina seperti “saudara tiri” yang semakin terpojokkan dari aspek politik, ekonomi, maupun militer.
Kenyataan ini pada akhirnya membuat Israel semakin terlihat sewenang-wenang terhadap Palestina. Penindasan, genosida, dan tragedi kemanusiaan menjadi panorama yang biasa saja dilakukan oleh aparat Israel pada masyarakat Palestina. Maka dari itu, fenomena ini sangat relevan dengan pemikiran Hannah Arendt dalam menganalisis sekaligus mengkritik kejahatan rezim Nazi, khususnya saat kejadian pembantaian 6000 jiwa (holocaust) pada bangsa Yahudi.
Realitas dan kompleksitas masalah yang sedang terjadi di timur tengah, seakan-akan membenarkan tesis Arendt bahwa hubungan internasional memang dibangun berdasarkan relasi kekuasaan dan kekerasan.[7] Arendt bependapat bahwa kekerasan merupakan bagian dari alat politik untuk mempertahankan atau mengekspansi kekuasaan, justru dengan hubungan tersebut, kekerasan menemukan “pembenarannya” di dalam tabir kekuasaan.
Dalam karyanya On Violence (1970) yang merupakan refleksi serius atas konteks politik abad ke-20 yang memahami kekerasan sebagai manifestasi yang mencolok dari kekuasaan[8] yang seakan-akan ingin menegaskan bahwa kekerasan akan tetap ada, karena menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam praktik politik.
Arendt berpandangan kekerasan pasti dapat dimanfaatkan oleh rezim politik tertentu sebagai alat untuk mempertahankan atau mengekspansi kekuasaan.[9] Lantas, sampai hari ini, imperialisme Israel terhadap Palestina masih berlangsung dan telah memakan korban ratusan hingga ribuan jiwa, terutama anak-anak dan perempuan.
Dari analisis tersebut menegaskan bahwa berakhirnya Perang Dunia II, justru tidak menyelesaikan praktik kekerasan dan membawa perdamaian dunia. Melainkan, semakin menimbulkan praktik kekerasan dan kejahatan dengan “bungkus” yang lebih baru, yang lebih terlembaga oleh institusi dunia. Dalam konteks tersebut, mengartikan bahwa badan-badan politik berserta instrumennya tidak lebih dari representasi sebuah sistem komunikasi suprastruktur yang menggunakan paksaan dan kekerasan.
Analisis Banality of Evil: Legitimasi Kekerasan dalam Kekuasaan
Sebagaimana tragedi kemanusiaan yang terjadi pada konflik Israel-Palestina, membuat kekerasan dan kejahatan menjadi hal yang “terkesan” banal, biasa, wajar, dan normal. Bagi Arendt, kekerasan dan kejahatan yang dilakukan dapat terkesan lumrah, karena tidak terlepas dari faktor kekuasaan yang melegitimasi kekerasan dan kejahatan itu. Para penguasa berhasil mempengaruhi aspek psikologis manusia dengan menciptakan rasa takut agar taat padanya, sehingga berhasil menjadikan aparat yang patuh pada penguasa dan kekuasaan. Hal ini tentu dapat berpotensi menjadikan penguasa sewenang-wenang dalam kekuasaannya, termasuk melegalkan membunuh.
Hal ini sesuai dengan karya Arendt berjudul Eichmann in Jerusalem: A Report on the Banality of Evil (1963), ia menguraikan banalitas kejahatan berdasarkan fenomena realitas yang benar-benar ada. Arendt mengambil contoh kasus Eichmann sebagai analisis filsafat tindakannya. Kasus Eichmann menunjukkan bahwa kejahatan dapat dilakukan dengan lazim. Kejahatan seperti genosida, pembunuhan, penyiksaan, dan penindasan dilakukan bukan karena alasan tertentu, melainkan karena gagalnya Eichmann dalam berpikir sekaligus memahami situasi, karena posisinya di bawah pengaruh penguasa yang absolut.
Hal ini berarti tindak kejahatan bukan terjadi karena motivasi atau sikap pelaku kekerasan yang jahat dan ingin menyiksa korban dengan kasar, namun karena ketidakmampuannya sebagai pelaku kekerasan dalam berpikir terhadap setiap tindakan yang dilakukannya. Kejadian inilah yang terjadi pada warga sipil dalam perang Israel-Palestina, pembantaian manusia yang dilakukan secara brutal dan kejam, dianggap biasa saja. Tindak pelanggaran hak asasi manusia tersebut dilakukan dengan enteng, sebab terdapat doktrin dari penguasa yang otoriter dan mendapatkan legalitas oleh institusi negara. Sehingga inilah yang menghilangkan rasa empati dan aspek kemanusiaan dalam diri pelaku kekerasan. Doktrin bisa berupa paham keagamaan yang radikal, maupun doktrin rasial.
Menurut Arendt, aktivitas yang bekerja dalam sistem ini merupakan suatu bentuk dari proses dehumanisasi massal yang menghilangkan perasaan atau aspek kemanusiaan yang ada dalam diri setiap manusia. Fungsi birokrat yang bersifat mekanikal menjadikan kerja aparat-aparat negara tidak lebih dari sebuah robot yang diatur dan diperintah sesuka kehendak penguasa. Rezim seperti ini memandang keberadaan umat manusia sebagai objek dan kuantitas yang harus dimanfaatkan untuk memberi keuntungan pada penguasa, bukan melihat kualitas dan esensi pada hakikat manusia.
Artinya, banalitas kejahatan, merupakan situasi di mana kejahatan atau kekerasan dirasakan sebagai sesuatu hal yang biasa sekali. Seseorang melakukan tindakan keji, sama sekali tidak memiliki motivasi dan kesadaran atas apa yang dilakukannya, selain hanya sebatas menuruti perintah atasan yang dianggapnya sebagai sesuatu yang baik dan terpuji. Banalitas kejahatan juga membuat seseorang tidak pernah menyadari dampak apa yang akan dilakukannya. Maka dengan begitu, banality of evil tidak jauh dari suatu hasil produk sikap otoriter yang dilakukan penguasa untuk menciptakan kepatuhan bagi orang-orang.
Konflik Israel-Palestina dan Perang yang Tidak Berkesudahan
Banalitas kejahatan merupakan kritik Arendt pada Pemerintahan Nazi saat itu yang sedang melakukan pembunuhan massal pada bangsa Yahudi. Adanya pemahaman doktrin agama yang radikal akan membawa gerakan zionisme, menjadi gerakan rasial dan identitas agama, yang akhirnya akan membawa dampak pada bangkitnya imperialisme. Sebab, menurut Arendt pemahaman yang berangkat dari suatu doktrin yang kuat dapat digunakan sebagai “senjata ideologis” untuk semakin menekankan bahwa guna menciptakan tatanan negara yang baik, maka pemerintahan haruslah dipimpin dari ras-ras unggul atas ras-ras inferior.[10] Jika menarik ke dalam konteks imperialisme Israel, menurut bangsa Yahudi, tatanan kehidupan yang baik harus dipimpin oleh orang-orang dari mereka. Oleh sebab itu, adanya tindakan imperialis ini didasarkan pada pemahaman identitas kesukuan, agama, dan ras untuk menghapus identitas yang berbeda, serta turut pula bisa jadi pembelaan dalam melakukan tindakan-tindakan kejahatan yang lain.
Menurut Arendt, keliru jika para penguasa berpikir bahwa perdamaian akan tercapai menyusul kekalahan satu kubu dalam sebuah perang. Arendt menolak pandangan bahwa kekerasan dapat mengakhiri konflik. Para penguasa yang memosisikan kekerasan sebagai alat untuk mewujudkan kekuasaan lupa bahwa akhir dari sebuah perang bukanlah perdamaian. Justru kekerasan yang akan menghancurkan diri penguasa sendiri, karena tidak pernah berhasil mencegah terjadinya revolusi.
Membaca ke dalam konteks konflik Israel-Palestina, baik masyarakat Palestina ataupun masyarakat dunia yang tidak setuju dengan penjajahan ini, pasti akan terus memiliki cara dan metode sendiri untuk tetap menentang serta melawan kekuasaan Israel yang diperoleh dengan kekerasan, bahkan termasuk kelompok bangsa Yahudi sendiri yang tidak sepakat dengan gerakan zionis ini. Maka seandainya, jika sekalipun Israel telah berhasil menguasai penuh Palestina atas penjajahan dan penindasan, kalau kata Arendt yang terjadi bukanlah ketaatan pada kekuasaan itu, melainkan dendam pembangkangan dan perlawanan yang tetap terus-menerus terjadi, sehingga kekuasaan tidak pernah ditaati.
Pada akhirnya, berbagai tindakan imperialisme dan kejahatan yang dilakukan oleh aparat Israel pada Palestina ini berangkat dari sikap diskriminatif berbasis doktrin agama, rasial, dan suku yang membawa tergerusnya legitimasi otoritas nasional dan hilangnya tindakan demokratis. Rezim berhasil menciptakan tatanan yang penuh teror dan rasa takut.
Sesungguhnya, membaca pemikiran Arendt sama dengan membaca sejarah peristiwa kekejaman genosida oleh kekuasaan rezim otoriter fasis Nazi terhadap bangsa Yahudi. Meskipun konteks sekarang telah berubah, dahulu bangsa Yahudi menjadi bangsa yang tertindas, kini menjadi bangsa penindas. Namun satu hal yang tidak berubah, tragedi kemanusiaan tetap terjadi, seakan-akan pembantaian dan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Israel terhadap warga sipil Palestina sebagai bentuk “pelampiasan” atau semacam pembalasan dendam, tetapi pada alamat yang salah.
Pemikiran dan gagasan Hannah Arendt merupakan bentuk kritik tajam pada kekuasaan otoriter fasis Nazi yang tidak memandang aspek kemanusiaan dan memperlakukan manusia secara kejam serta jahat terhadap bangsa Yahudi dalam tindakan politiknya. Artinya, disaat yang bersamaan tesis yang dibangunnya ini secara tidak langsung menafsirkan bahwa pemikirannya juga berlaku menjadi autokritik pula terhadap bangsanya saat ini.
[1] I Gusti A. A. B. Yanti, “Konsep, Praktik, dan Kontekstualisasi Manusia Politik dan Ruang Publik Hannah Arendt,” E-Jurnal Universitas Udayana, hlm. 4.
[2] Nur Wahid, “Jalan Dakwah PKS dalam Tubuh Muhammadiyah (Kasus di Yogyakarta dalam Perspektif Politik Hannah Arendt),” Jurnal Ilmiah Sosiologi Agama, Vol. 5, No. 2 (Juli-Desember 2013): hlm. 11.
[3] Astrid Veranita Indah, “Jati Diri Manusia Berdasarkan Filsafat Tindakan Hannah Arendt Perspektif Filsafat Manusia: Relevansi Dengan Pelanggaran HAM Tahun 1965-1966 di Indonesia,” Jurnal Filsafat, Vol. 25, No. 2 (Agustus 2015): hlm. 286.
[4] Hannah Arendt, Essays in Understanding, Jerome Khone (ed.) (New York: Schocken Books, 1994), hlm. 1.
[5] Syarif Bahaudin Mudore, “Peran Diplomasi Indonesia dalam Konflik Israel-Palestina,” Jurnal CMES Vol. 12, No. 2 (Juli-Desember 2019): hlm. 171.
[6] Umar Mukhtar dan Nashih Nashrullah, “Azyumardi Azra: Konversi Hagia Sophia Tak Bantu Palestina,” artikel diakses pada 29 Mei 2021 dari https://republika.co.id/amp/qdkj0l320
[7] Yeremias Jena, “Pemikiran Hannah Arendt Mengenai Kekerasan dalam Kekuasaan,” DISKURSUS Vol. 10, No. 2 (Oktober 2011): hlm. 170.
[8] Hannah Arendt, On Violence (New York: A Harvest Book, 1970), hlm. 4-5.
[9] Yeremias Jena, “Pemikiran Hannah Arendt Mengenai Kekerasan dalam Kekuasaan,” DISKURSUS Vol. 10, No. 2 (Oktober 2011): hlm. 168.
[10] Ibid., hlm. 10.